- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pustaka Emha - CERMIN


TS
habibgoogle
Pustaka Emha - CERMIN
Quote:

Spoiler for cekidot:
Ranjang 65 Juta Rupiah

Kita bisa dan boleh membeli ranjang dan kasur tidur seharga 65 juta rupiah. Tapi kita pilih yang harganya satu juta rupiah saja. Atau yang harganya seratus ribu rupiah saja. Bahkan ada teman kita yang memilih jauh lebih murah dari itu.
Kenapa? Salah satu jawabannya adalah: karena ia dewasa.
Ranjang 65 juta rupiah itu bisa dipakai untuk menggaji 2000 guru sekolah dasar, atau untuk makan minum sebulan 1000 keluarga rakyat kecil, atau bisa juga dipakai untuk memodali 130 organisasi koperasi wong cilik.
Tegaan Hati

Kalau tiap hari kita bisa tenang mengunyah makanan yang satu paket harganya sama dengan gaji resmi pegawai negeri 4A misalnya.
Kalau satu hari konsumsi dan fasilitas hidup keluarga kita tidak bisa didapatkan oleh jutaan saudara-saudara kita sendiri dengan bekerja keras tiga bulan penuh ditambah lembur tiap malam; dan kita mengenyam itu semua dengan perasaan yang tenteram-tenteram saja — maka kemungkinannya ada tiga.
Pertama, kita tidak punya imajinasi sosial.
Kedua, kita tahu masalah sosial, tapi tak bisa bersikap ilmiah, sehingga tak bisa merumuskan keharusan-keharusan hidup kita.
Kemungkinan ketiga, memang kita kurang bermoral dan tegaan hati.
Keunggulan

Keunggulan kita atas orang lain tidak ditentukan oleh kenyataan bahwa kita lebih berkuasa, lebih pandai atau lebih kaya. Melainkan ditentukan oleh tingkat manfaat kita atas orang banyak.
Harga pribadi kita di tengah orang banyak tidak bergantung pada tingginya pendapatan ekonomi saya, oleh sukses karier kita, atau oleh simbol-simbol reputasi yang bisa kita pamerkan. Melainkan bergantung pada seberapa banyak yang bisa kita berikan kepada orang banyak.
Kehilangan Muka
Jendela di Sorga
Seandainya Allah berkenan memasukkan kita ke sorga, lantas suatu sore kita beristirahat, bermain gitar, bersenandung sambil memandang keluar jendela, dan tampak saudara-saudara kita sendiri yang kita kenal baik sedang meraung-raung disiksa di kubangan api neraka, rasanya tidak tega juga.
Padahal kita sah masuk sorga dan saudara-saudara kita itu memang pantas masuk neraka. Tapi kita tetap tidak tega.
Padahal itu di sorga. Apalagi di dunia ini. Kita belum tentu pantas berbahagia, karena mungkin jalan kita untuk kaya dan sejahtera tidak seratus persen sah secara sistem. Jutaan saudara-saudara kita juga bisa jadi seharusnya tidak melarat dan menderita, seandainya tatanan yang mengatur kehidupan kita semua ini berlaku semestinya.
Tapi tatkala kalimat-kalimat ini saya ungkapkan kepada teman-teman, mereka berkata: “Masa di sorga ada sore hari dan ada jendela. Masa di sorga kita bisa main gitar dan bersenandung”.
Padahal saya tidak berbicara tentang sorga, melainkan seratus persen tentang dunia.
Bodoh di Depan Tuhan
Kenikmatan
Rasanya nikmat bukan main kalau karier kita sukses, pendapatan kita berlimpah, rumah dan saham kita bertebaran di mana-mana, kita jadi boss, kita punya kelebihan di atas banyak orang, mereka semua lebih rendah dari kita, semua orang menunduk dan tinggal kita perintah-perintah.
Pada posisi seperti itu kita sangat sukar percaya bahwa ada kenikmatan yang jauh lebih dahsyat.
Ialah kalau yang disebut “pribadi” kita bukanlah individu kita, melainkan merangkum sebanyak mungkin orang.
Ialah kalau yang dimaksud “keluarga” kita bukanlah sebatas sanak famili dan koneksi, melainkan meluas ke sebanyak mungkin saudara-saudara sesama manusia.
Ialah kalau orang tidak lebih rendah dari kita.
Keberlimpahan kita adalah keberlimpahan banyak orang.
Saham kita adalah saham harapan banyak orang.
Kebahagiaan kita adalah bank masa depan orang banyak.
Dan kita bukan bos, melainkan buruh dari rasa malu sosial dan kasih sayang kemanusiaan yang terkandung di lubuk batin kita.
Tapi ya itu tadi; orang sukar percaya, dan bertahan untuk tidak percaya.
Staf Khusus
Kebesaran Orang Kecil

Kebanyakan orang kecil adalah orang besar. Mereka bukan hanya berhati tabah, bermental baja dan berperasaan terlalu sabar, tapi juga berkemampuan hidup yang luar biasa.
Mereka sanggup dan rela berjualan beberapa botol air untuk penghidupan primernya. Kita pasti juga sanggup berjualan seperti itu, tapi tidak rela.
Orang kecil mampu menjadi kenek angkutan, menjadi satpam, menjadi tukang parkir atau menjadi pembantu rumah tangga seumur hidup.
Sedangkan kita tidak mampu dan tak akan pernah bisa membuktikan bahwa kita sanggup menjadi kenek atau satpam atau pembantu rumah tangga seumur hidup.
Mereka ikhlas untuk tidak boleh terlalu memikirkan harapan dan masa depan. Sementara kita selalu memamerkan harapan dan masa depan yang kita pidatokan seakan-akan berlaku untuk mereka, padahal hanya berlaku untuk kita.
Mereka adalah orang-orang besar yang berjiwa besar. Mereka senantiasa siap menjalankan perintah kita dan menyesuaikan segala perilakunya dengan kehendak kita.
Kita inilah yang sebenarnya orang kecil. Kita hanya ikhlas kalau kita kaya, sukses dan berkuasa. Kita hanya sanggup menjadi pembesar. Kita hanya sanggup memerintah dan menggantungkan diri pada orang yang kita perintah.
Hati Rapuh

Seorang teman berkata kepada saya: “Hati saya ini sangat rapuh”
“Apa maksudmu?”
“Tiap hari kerjanya mau nangis dan menyalahkan diri sendiri”
“Cespleng saja, apa maksudmu?”
“Sekedar melihat orang berjualan makanan, memikul angkringan atau mendorong gerobak, saya sudah hendak menangis”
“Itu namanya gembeng”, kata saya.
“Melihat orang bekerja sebegitu suntuk, seharian, semalaman, untuk mencari seribu dua ribu rupiah untuk anak istri, perasaan saya hancur…”
“Romantik”, kata saya lagi.
“Apalagi kalau menyaksikan persaingan keras, sehingga yang satu laku keras sedangkan lainnya tidak begitu laku — rasanya mau bunuh diri saya…”
“Hatimu memang rapuh”, saya berkomentar terus.
“Itulah yang ingin saya kemukakan kepadamu”, katanya, “Hati saya sangat rapuh. Sedangkan orang-orang kecil yang saya ceritakan itu berhati baja. Mereka tidak bergeming oleh penderitaan, oleh tekanan-tekanan….”
Hidayah Penumpang Taksi
Kita para sopir taksi, dari berbagai perusahaan, berbagi wilayah. Demikianlah etika orang berusaha, serta demikianlah cara kita menjalankan amanat Tuhan untuk membagi alam dan dunia ini secara seadil mungkin.
Dengan kata lain, menjalankan etika bisnis, pada hakekat dan kenyataannya adalah menjalankan nilai Agama, alias mematuhi penuturan Allah di kitab suci.
Namun di setiap wilayah itu kita bersaing satu sama lain. Ada di antara kita yang suka menang sendiri atau menyerobot, mungkin karena dia tidak punya pengetahuan yang cukup luas tentang rejeki.
Ada juga di antara kita yang suka mengalah dan tidak bersedia gontok-gontokan. Mungkin karena ia memang orang lembek, hatinya tidak tegaan, atau karena dia yakin Tuhan sangat bersahabat dengan hambaNya yang berhati lapang kepada sesama manusia.
Karena Tuhan bersahabat dengannya, maka batas rejeki sopir taksi sahabat kita itu tidak dibiarkan terbatas pada perolehan dari penumpang, tapi juga dari kemurahan-kemurahan yang tak terduga. Kemurahan itu bisa datang dari luar urusan taksi, bisa juga melalui seorang penumpang yang dihidayahi Tuhan untuk bermurah hati kepadanya.
Penumpang Dari Gang
Kita para sopir taksi memiliki perhitungan tentang wilayah-wilayah tertentu pada jam-jam tertentu yang kira-kira banyak penumpang. Kita memilih lahan mencari nafkah berdasarkan perhitungan peta pasar penumpang.
Demikianlah akal kita membaca dunia dan kehidupan.
Tapi pada suatu siang kita lewat di suatu jalan, pada jam tertentu, menit tertentu dan detik tertentu — muncullah seseorang dari dalam sebuah gang, yang langsung melambaikan tangan memanggil taksi kita.
Bisakah akal kita memperhitungkan atau memperkirakan adegan itu? Bisakah kita mengetahui bahwa pada detik itu seseorang akan nongol dari gang dan memanggil kita? Kalau tidak, siapakah yang mengatur pertemuan di sebuah detik itu?
Kalau kita lebih cepat lima detik, maka taksi lain yang akan dipanggil oleh calon penumpang dari gang itu.
Apakah kalau kita lewat terlalu cepat maka kita simpulkan bahwa memang itu bukan rejeki kita, melainkan rejeki kawan sopir taksi di belakang kita? Ataukah kita sedang dirancang untuk mendapatkan rejeki berikutnya yang lebih besar dari calon penumpang yang lain yang entah di mana nanti akan mencegat kita?
Setahun 23 Bulan
Begitu seorang karyawan diterima, keluarganya dipanggil ke kantor untuk diberikan gaji tiga bulan pertama. Jumlah gaji yang diberikan dua kali lipat lebih banyak dibanding standar umum, sehingga sangat jauh di atas UMR.
Pimpinan perusahaan berkata kepada istri si karyawan: “Mudah-mudahan dengan uang seadanya ini rumah tanggamu aman. Tolong dorong suamimu agar bekerja keras. Kami semua juga mohon doa agar usaha kita ini diridhoi Tuhan sehingga bermanfaat bagi semua warganya dan masyarakat luas”.
Kalau datang hari ulang tahun Nabi Muhammad, semua karyawan digaji tiga bulan. Demikian juga pada hari-hari besar lain, termasuk 17 Agustus. Kalau Idul Fitri tiba, diterimakan gaji lima bulan. Dalam setahun, yang diterima para karyawan sebanyak 23 bulan gaji.
Pada idul adha, semua karyawan diberi jatah perkelompok untuk berkorban. Biasanya setiap hari raya korban oleh perusahaan disediakan sekitar 160 sapi, 500 kambing serta sejumlah uang. Zakat dan infaq perusahaan keseluruhan perusahaan ini pertahun antara 12 hingga 15 milyar.
Semua itu tidak pernah ditayangkan di teve ataupun dimuat di surat kabar.
Seribu Rupiah

Uang seribu rupiah, kalau kita pinjamkan tiga ratus rupiah, menjadi tinggal tujuh ratus rupiah.
Kalau yang tiga ratus rupiah itu kita sampaikan kepada orang lain — dengan ikhlas dan berdasarkan apresiasi terhadap kadar kebutuhan orang yang diberi, serta dengan kebahagiaan memahami bahwa Tuhan menyediakan alam ini untuk berbagi -– maka uang seribu rupiah itu bisa malah menjadi tujuh ribu rupiah.
Yang enam ribu tiga ratus rupiah itu bisa berupa uang, bisa juga berupa potensialitas rejeki dan kebahagiaan hidup yang bermacam-macam bentuknya, yang datangnya tidak kita duga-duga dan lolos dari hitungan managemen kita.
Managemen Zam Zam
Kata Tuhan: “Kalau engkau bersyukur, akan kutambahi berlipat-lipat. Kalau engkau ingkar, ingatlah siksaanku sangat dahsyat”.
Empati kepada derita atau kekurangan orang lain, kemudian upaya untuk mengisinya, adalah suatu bentuk rasa syukur. Egoisme, ketidakperdulian terhadap keadaan orang lain, adalah ingkar terhadap hakekat kebersamaan hidup. Orang menciptakan sistem sosial atau menyelenggarakan lembaga sejarah yang bernama “negara”, sesungguhnya karena berusaha memenuhi ketentuan Tuhan melalui hakekat dan formula kemakhlukan alam dan manusia.
Maka semakin kita menghayati derita orang lain dan bersedia bekerjasama untuk mengatasi penderitaan itu, semakin lebur kita di dalam kebersamaan hidup, sehingga Tuhan juga semakin sayang kepada kita.
Kalau kita disayang Tuhan, kita seakan-akan menjadi air zam zam. Tak akan habis. Bukannya kita hebat, bukannya kita tidak akan habis. Melainkan Tuhan yang hebat, karena Tuhan memang tidak akan pernah habis.
Jiwo dan Tejo
Di desa, saya punya dua teman. Yang satu Jiwo namanya, lainnya Tejo. Nasib mereka berbeda. Posisi mereka tidak sama. Cara orang banyak memandang dan menilai mereka juga unik.
Misalnya dalam pergaulan. Kalau Jiwo terlihat di warung, duduk di sisi seseorang yang dikenal suka maling, maka orang menyebut Jiwo adalah temannya maling, punya rancangan kolusi untuk maling, dengan kata lain Jiwo dianggap juga seorang maling. Contoh lain kalau Jiwo pada suatu siang tampak diboncengkan oleh sepeda motor Pak Lurah, maka orang menganggap Jiwo sudah direkrut oleh Pak Lurah, sudah berkongkalikong dengan Pak Lurah, sudah berkhianat kepada sebagian penduduk yang kebetulan pernah disusahkan hidupnya oleh Pak Lurah.
Adapun nasib Tejo berbeda. Kalau ia akrab dengan maling, orang menyimpulkan itu adalah taktik untuk menginsafkan maling. Kalau Tejo jalan runtang-runtung dengan tukang renten, itu adalah bagian dari strategi makro politik perekonomian Tejo. Kalau Tejo pagi hari bercengkerama dengan buruh-buruh di gardu, sorenya dijamu di rumah Pak Lurah — orang menyimpulkan Tejo adalah seorang yang kosmopolit, seorang demokrat sejati dan arif, yang mau bergaul dengan siapa saja.
Ada kemungkinan, jika kelak Jiwo masuk sorga, orang akan menyebut itu adalah penyelundupan, atau sekurang-kurangnya Jiwo telah menyogok agar bisa masuk sorga. Sedangkan kalau Tejo masuk neraka, itu adalah strategi untuk menghindari sikap takabur bahwa ia sesungguhnya berhak masuk sorga. Juga Tejo sengaja menemani orang-orang menderita di neraka.
Matematika Buruh
Tulang punggung setiap lembaga usaha atau perusahaan adalah masyarakat buruh. Tulang punggung itu bersusun-susun atau berlapis-lapis. Lapisan paling luar adalah etos kerja yang maksimal pada para buruh.
Supaya etos kerja mereka tinggi, mereka memerlukan keikhlasan bekerja.
Supaya hati mereka ikhlas, terlebih dulu mereka perlu merasa bahagia dan bangga menjadi bagian dari perusahaan.
Supaya mereka bangga, mereka butuh pengetahuan dan pengalaman bahwa tidak ada tempat lain di mana mereka bisa mendapatkan tingkat upah dan santunan yang melebihi perusahaan di mana mereka bekerja.
Supaya kebahagiaan diperoleh oleh masyarakat buruh, mereka memerlukan kenyataan bahwa nafkah keluarga mereka terjamin, ekonomi rumahtangga mereka aman.
Supaya produktivitas kerja mereka meningkat lagi, maka kebahagiaan yang mereka dapatkan tidak sekedar terjamin dan aman, tapi juga lebih dari itu.
Maka kita tidak heran kalau seorang pimpinan perusahaan berkata kepada Tuhan dalam sembahyangnya: “Tuhan, buruh-buruh yang bekerja padaku bukan hanya asset perusahaanku. Mereka adalah kekasih hidupku….”
Mensana Mensini

Mensana incorporesano, di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
Ini filosofi dasar tentang betapa pentingnya berolahraga, merawat kesehatan badan, agar semua onderdilnya berfungsi maksimal.
Hanya saja, banyak orang yang tubuhnya sakit-sakitan tapi jiwanya sehat, akalnya tegak, mentalnya positif, hatinya teguh, sehingga produk moral sosialnya juga menggembirakan orang lain.
Sementara tidak sedikit orang yang tubuhnya sangat sehat, makan minumnya bergizi ultramodern, konsumsi badaniahnya mahal dan bergengsi – namun jiwanya kotor, mentalnya kacau, akalnya licik, hatinya egoistik, suka memeras dan mau enaknya sendiri, sehingga hasil perilakunya juga menyusahkan orang banyak.
Yang kita perlukan sekarang adalah teman yang bisa berbahasa Yunani dan merumuskan mensana incorporesano namun di balik.
Badan yang sehat terletak di dalam jiwa yang sehat.
Orang yang sehat jiwanya tahu persis bahwa badan harus disehatkan, tapi orang yang berbadan sehat tidak dijamin sadar atau bersedia untuk menyehatkan jiwanya.
Kalau tak ada yang tahu apa bahasa Yunaninya, ya kita ciptakan sendiri saja: Mensana Mensini.
Spoiler for Teks:

Kita bisa dan boleh membeli ranjang dan kasur tidur seharga 65 juta rupiah. Tapi kita pilih yang harganya satu juta rupiah saja. Atau yang harganya seratus ribu rupiah saja. Bahkan ada teman kita yang memilih jauh lebih murah dari itu.
Kenapa? Salah satu jawabannya adalah: karena ia dewasa.
Ranjang 65 juta rupiah itu bisa dipakai untuk menggaji 2000 guru sekolah dasar, atau untuk makan minum sebulan 1000 keluarga rakyat kecil, atau bisa juga dipakai untuk memodali 130 organisasi koperasi wong cilik.
Tegaan Hati
Spoiler for teks:

Kalau tiap hari kita bisa tenang mengunyah makanan yang satu paket harganya sama dengan gaji resmi pegawai negeri 4A misalnya.
Kalau satu hari konsumsi dan fasilitas hidup keluarga kita tidak bisa didapatkan oleh jutaan saudara-saudara kita sendiri dengan bekerja keras tiga bulan penuh ditambah lembur tiap malam; dan kita mengenyam itu semua dengan perasaan yang tenteram-tenteram saja — maka kemungkinannya ada tiga.
Pertama, kita tidak punya imajinasi sosial.
Kedua, kita tahu masalah sosial, tapi tak bisa bersikap ilmiah, sehingga tak bisa merumuskan keharusan-keharusan hidup kita.
Kemungkinan ketiga, memang kita kurang bermoral dan tegaan hati.
Keunggulan
Spoiler for teks:

Keunggulan kita atas orang lain tidak ditentukan oleh kenyataan bahwa kita lebih berkuasa, lebih pandai atau lebih kaya. Melainkan ditentukan oleh tingkat manfaat kita atas orang banyak.
Harga pribadi kita di tengah orang banyak tidak bergantung pada tingginya pendapatan ekonomi saya, oleh sukses karier kita, atau oleh simbol-simbol reputasi yang bisa kita pamerkan. Melainkan bergantung pada seberapa banyak yang bisa kita berikan kepada orang banyak.
Kehilangan Muka
Spoiler for teks:
Menurut orang bijak, kedewasaan adalah pengetahuan dan penerimaan terhadap kewajaran sosial, serta mengutamakannya di atas kewajaran pribadi.
Mungkin saya ini seorang pengusaha raksasa yang berpendapatan bersih satu hari 4 juta dolar Amerika Serikat.
Tapi kalau itu kita telah semua untuk konsumsi pribadi dan keluarga, kayaknya kurang memenuhi kewajaran sosial. Yakni kesanggupan untuk mengukur secara tepat proporsi diri saya di tengah kebersamaan orang banyak.
Seandainyapun yang saya konsumsikan dalam sehari sekedar seperseribu dari 4 juta US dolar, saya masih kehilangan muka di depan perasaan yang bernama malu.
Mungkin saya ini seorang pengusaha raksasa yang berpendapatan bersih satu hari 4 juta dolar Amerika Serikat.
Tapi kalau itu kita telah semua untuk konsumsi pribadi dan keluarga, kayaknya kurang memenuhi kewajaran sosial. Yakni kesanggupan untuk mengukur secara tepat proporsi diri saya di tengah kebersamaan orang banyak.
Seandainyapun yang saya konsumsikan dalam sehari sekedar seperseribu dari 4 juta US dolar, saya masih kehilangan muka di depan perasaan yang bernama malu.
Jendela di Sorga
Spoiler for teks:
Seandainya Allah berkenan memasukkan kita ke sorga, lantas suatu sore kita beristirahat, bermain gitar, bersenandung sambil memandang keluar jendela, dan tampak saudara-saudara kita sendiri yang kita kenal baik sedang meraung-raung disiksa di kubangan api neraka, rasanya tidak tega juga.
Padahal kita sah masuk sorga dan saudara-saudara kita itu memang pantas masuk neraka. Tapi kita tetap tidak tega.
Padahal itu di sorga. Apalagi di dunia ini. Kita belum tentu pantas berbahagia, karena mungkin jalan kita untuk kaya dan sejahtera tidak seratus persen sah secara sistem. Jutaan saudara-saudara kita juga bisa jadi seharusnya tidak melarat dan menderita, seandainya tatanan yang mengatur kehidupan kita semua ini berlaku semestinya.
Tapi tatkala kalimat-kalimat ini saya ungkapkan kepada teman-teman, mereka berkata: “Masa di sorga ada sore hari dan ada jendela. Masa di sorga kita bisa main gitar dan bersenandung”.
Padahal saya tidak berbicara tentang sorga, melainkan seratus persen tentang dunia.
Bodoh di Depan Tuhan
Spoiler for teks:
Karena saya tidak bisa membuat tangan dan kaki saya sendiri, karena saya tidak sanggup menciptakan kepala dan otak saya sendiri, karena bahkan saya tidak mampu memproduksi sehelai rambut alis atau sehelai rambut apapun lainnya, maka modal dan ekuipmen produksi yang saya pergunakan bukanlah benar-benar saham saya.
Jadi kalau dengan itu saya merasa dan yakin bahwa pendapatan hidup saya adalah sepenuhnya hak pribadi saya, berarti:
Saya tidak punya pengetahuan tentang diri saya sendiri.
Saya tidak bersikap realistis kepada kenyataan hidup.
Saya juga tidak berlaku ilmiah atas kasunyatan dialektika hubungan kemakhlukan.
Dan saya bodoh kepada Tuhan
Jadi kalau dengan itu saya merasa dan yakin bahwa pendapatan hidup saya adalah sepenuhnya hak pribadi saya, berarti:
Saya tidak punya pengetahuan tentang diri saya sendiri.
Saya tidak bersikap realistis kepada kenyataan hidup.
Saya juga tidak berlaku ilmiah atas kasunyatan dialektika hubungan kemakhlukan.
Dan saya bodoh kepada Tuhan
Kenikmatan
Spoiler for teks:
Rasanya nikmat bukan main kalau karier kita sukses, pendapatan kita berlimpah, rumah dan saham kita bertebaran di mana-mana, kita jadi boss, kita punya kelebihan di atas banyak orang, mereka semua lebih rendah dari kita, semua orang menunduk dan tinggal kita perintah-perintah.
Pada posisi seperti itu kita sangat sukar percaya bahwa ada kenikmatan yang jauh lebih dahsyat.
Ialah kalau yang disebut “pribadi” kita bukanlah individu kita, melainkan merangkum sebanyak mungkin orang.
Ialah kalau yang dimaksud “keluarga” kita bukanlah sebatas sanak famili dan koneksi, melainkan meluas ke sebanyak mungkin saudara-saudara sesama manusia.
Ialah kalau orang tidak lebih rendah dari kita.
Keberlimpahan kita adalah keberlimpahan banyak orang.
Saham kita adalah saham harapan banyak orang.
Kebahagiaan kita adalah bank masa depan orang banyak.
Dan kita bukan bos, melainkan buruh dari rasa malu sosial dan kasih sayang kemanusiaan yang terkandung di lubuk batin kita.
Tapi ya itu tadi; orang sukar percaya, dan bertahan untuk tidak percaya.
Staf Khusus
Spoiler for teks:
Ada anak-anak kecil menjajakan makanan di perempatan jalan. Sebagian yang lainnya meminta-minta. Karena inisiatifnya sendiri atau dipekerjakan oleh orangtuanya, atau diorganisir oleh bos komunitasnya, sebagaimana juga yang mungkin terjadi pada para penyandang lepra yang dijadikan armada pengemis di berbagai tempat strategis kota-kota besar.
Di buku mana nama-nama mereka kita daftar? Kepada siapa nasib mereka kita adukan? Di lembaran formulir peradaban manusia pandai modern yang mana jumlah mereka dihitung?
Ada orang bijak berkata: “Jangan kawatir. Nasib mereka ada di tangan Tuhan”.
Apakah itu berarti Tuhan membebaskan ummat manusia, negara dan organisasi-organisasi kehidupan dalam sejarah, dari tanggung jawab dan kasih sayang kepada mereka?
Dengan kata lain: apakah Tuhan dijadikan staf khusus manusia yang bertugas mengurusi masyarakat yang menderita?
Di buku mana nama-nama mereka kita daftar? Kepada siapa nasib mereka kita adukan? Di lembaran formulir peradaban manusia pandai modern yang mana jumlah mereka dihitung?
Ada orang bijak berkata: “Jangan kawatir. Nasib mereka ada di tangan Tuhan”.
Apakah itu berarti Tuhan membebaskan ummat manusia, negara dan organisasi-organisasi kehidupan dalam sejarah, dari tanggung jawab dan kasih sayang kepada mereka?
Dengan kata lain: apakah Tuhan dijadikan staf khusus manusia yang bertugas mengurusi masyarakat yang menderita?
Kebesaran Orang Kecil
Spoiler for teks:

Kebanyakan orang kecil adalah orang besar. Mereka bukan hanya berhati tabah, bermental baja dan berperasaan terlalu sabar, tapi juga berkemampuan hidup yang luar biasa.
Mereka sanggup dan rela berjualan beberapa botol air untuk penghidupan primernya. Kita pasti juga sanggup berjualan seperti itu, tapi tidak rela.
Orang kecil mampu menjadi kenek angkutan, menjadi satpam, menjadi tukang parkir atau menjadi pembantu rumah tangga seumur hidup.
Sedangkan kita tidak mampu dan tak akan pernah bisa membuktikan bahwa kita sanggup menjadi kenek atau satpam atau pembantu rumah tangga seumur hidup.
Mereka ikhlas untuk tidak boleh terlalu memikirkan harapan dan masa depan. Sementara kita selalu memamerkan harapan dan masa depan yang kita pidatokan seakan-akan berlaku untuk mereka, padahal hanya berlaku untuk kita.
Mereka adalah orang-orang besar yang berjiwa besar. Mereka senantiasa siap menjalankan perintah kita dan menyesuaikan segala perilakunya dengan kehendak kita.
Kita inilah yang sebenarnya orang kecil. Kita hanya ikhlas kalau kita kaya, sukses dan berkuasa. Kita hanya sanggup menjadi pembesar. Kita hanya sanggup memerintah dan menggantungkan diri pada orang yang kita perintah.
Hati Rapuh
Spoiler for teks:

Seorang teman berkata kepada saya: “Hati saya ini sangat rapuh”
“Apa maksudmu?”
“Tiap hari kerjanya mau nangis dan menyalahkan diri sendiri”
“Cespleng saja, apa maksudmu?”
“Sekedar melihat orang berjualan makanan, memikul angkringan atau mendorong gerobak, saya sudah hendak menangis”
“Itu namanya gembeng”, kata saya.
“Melihat orang bekerja sebegitu suntuk, seharian, semalaman, untuk mencari seribu dua ribu rupiah untuk anak istri, perasaan saya hancur…”
“Romantik”, kata saya lagi.
“Apalagi kalau menyaksikan persaingan keras, sehingga yang satu laku keras sedangkan lainnya tidak begitu laku — rasanya mau bunuh diri saya…”
“Hatimu memang rapuh”, saya berkomentar terus.
“Itulah yang ingin saya kemukakan kepadamu”, katanya, “Hati saya sangat rapuh. Sedangkan orang-orang kecil yang saya ceritakan itu berhati baja. Mereka tidak bergeming oleh penderitaan, oleh tekanan-tekanan….”
Hidayah Penumpang Taksi
Spoiler for teks:
Kita para sopir taksi, dari berbagai perusahaan, berbagi wilayah. Demikianlah etika orang berusaha, serta demikianlah cara kita menjalankan amanat Tuhan untuk membagi alam dan dunia ini secara seadil mungkin.
Dengan kata lain, menjalankan etika bisnis, pada hakekat dan kenyataannya adalah menjalankan nilai Agama, alias mematuhi penuturan Allah di kitab suci.
Namun di setiap wilayah itu kita bersaing satu sama lain. Ada di antara kita yang suka menang sendiri atau menyerobot, mungkin karena dia tidak punya pengetahuan yang cukup luas tentang rejeki.
Ada juga di antara kita yang suka mengalah dan tidak bersedia gontok-gontokan. Mungkin karena ia memang orang lembek, hatinya tidak tegaan, atau karena dia yakin Tuhan sangat bersahabat dengan hambaNya yang berhati lapang kepada sesama manusia.
Karena Tuhan bersahabat dengannya, maka batas rejeki sopir taksi sahabat kita itu tidak dibiarkan terbatas pada perolehan dari penumpang, tapi juga dari kemurahan-kemurahan yang tak terduga. Kemurahan itu bisa datang dari luar urusan taksi, bisa juga melalui seorang penumpang yang dihidayahi Tuhan untuk bermurah hati kepadanya.
Penumpang Dari Gang
Spoiler for teks:
Kita para sopir taksi memiliki perhitungan tentang wilayah-wilayah tertentu pada jam-jam tertentu yang kira-kira banyak penumpang. Kita memilih lahan mencari nafkah berdasarkan perhitungan peta pasar penumpang.
Demikianlah akal kita membaca dunia dan kehidupan.
Tapi pada suatu siang kita lewat di suatu jalan, pada jam tertentu, menit tertentu dan detik tertentu — muncullah seseorang dari dalam sebuah gang, yang langsung melambaikan tangan memanggil taksi kita.
Bisakah akal kita memperhitungkan atau memperkirakan adegan itu? Bisakah kita mengetahui bahwa pada detik itu seseorang akan nongol dari gang dan memanggil kita? Kalau tidak, siapakah yang mengatur pertemuan di sebuah detik itu?
Kalau kita lebih cepat lima detik, maka taksi lain yang akan dipanggil oleh calon penumpang dari gang itu.
Apakah kalau kita lewat terlalu cepat maka kita simpulkan bahwa memang itu bukan rejeki kita, melainkan rejeki kawan sopir taksi di belakang kita? Ataukah kita sedang dirancang untuk mendapatkan rejeki berikutnya yang lebih besar dari calon penumpang yang lain yang entah di mana nanti akan mencegat kita?
Setahun 23 Bulan
Spoiler for teks:
Begitu seorang karyawan diterima, keluarganya dipanggil ke kantor untuk diberikan gaji tiga bulan pertama. Jumlah gaji yang diberikan dua kali lipat lebih banyak dibanding standar umum, sehingga sangat jauh di atas UMR.
Pimpinan perusahaan berkata kepada istri si karyawan: “Mudah-mudahan dengan uang seadanya ini rumah tanggamu aman. Tolong dorong suamimu agar bekerja keras. Kami semua juga mohon doa agar usaha kita ini diridhoi Tuhan sehingga bermanfaat bagi semua warganya dan masyarakat luas”.
Kalau datang hari ulang tahun Nabi Muhammad, semua karyawan digaji tiga bulan. Demikian juga pada hari-hari besar lain, termasuk 17 Agustus. Kalau Idul Fitri tiba, diterimakan gaji lima bulan. Dalam setahun, yang diterima para karyawan sebanyak 23 bulan gaji.
Pada idul adha, semua karyawan diberi jatah perkelompok untuk berkorban. Biasanya setiap hari raya korban oleh perusahaan disediakan sekitar 160 sapi, 500 kambing serta sejumlah uang. Zakat dan infaq perusahaan keseluruhan perusahaan ini pertahun antara 12 hingga 15 milyar.
Semua itu tidak pernah ditayangkan di teve ataupun dimuat di surat kabar.
Seribu Rupiah
Spoiler for teks:

Uang seribu rupiah, kalau kita pinjamkan tiga ratus rupiah, menjadi tinggal tujuh ratus rupiah.
Kalau yang tiga ratus rupiah itu kita sampaikan kepada orang lain — dengan ikhlas dan berdasarkan apresiasi terhadap kadar kebutuhan orang yang diberi, serta dengan kebahagiaan memahami bahwa Tuhan menyediakan alam ini untuk berbagi -– maka uang seribu rupiah itu bisa malah menjadi tujuh ribu rupiah.
Yang enam ribu tiga ratus rupiah itu bisa berupa uang, bisa juga berupa potensialitas rejeki dan kebahagiaan hidup yang bermacam-macam bentuknya, yang datangnya tidak kita duga-duga dan lolos dari hitungan managemen kita.
Managemen Zam Zam
Spoiler for teks:
Kata Tuhan: “Kalau engkau bersyukur, akan kutambahi berlipat-lipat. Kalau engkau ingkar, ingatlah siksaanku sangat dahsyat”.
Empati kepada derita atau kekurangan orang lain, kemudian upaya untuk mengisinya, adalah suatu bentuk rasa syukur. Egoisme, ketidakperdulian terhadap keadaan orang lain, adalah ingkar terhadap hakekat kebersamaan hidup. Orang menciptakan sistem sosial atau menyelenggarakan lembaga sejarah yang bernama “negara”, sesungguhnya karena berusaha memenuhi ketentuan Tuhan melalui hakekat dan formula kemakhlukan alam dan manusia.
Maka semakin kita menghayati derita orang lain dan bersedia bekerjasama untuk mengatasi penderitaan itu, semakin lebur kita di dalam kebersamaan hidup, sehingga Tuhan juga semakin sayang kepada kita.
Kalau kita disayang Tuhan, kita seakan-akan menjadi air zam zam. Tak akan habis. Bukannya kita hebat, bukannya kita tidak akan habis. Melainkan Tuhan yang hebat, karena Tuhan memang tidak akan pernah habis.
Jiwo dan Tejo
Spoiler for teks:
Di desa, saya punya dua teman. Yang satu Jiwo namanya, lainnya Tejo. Nasib mereka berbeda. Posisi mereka tidak sama. Cara orang banyak memandang dan menilai mereka juga unik.
Misalnya dalam pergaulan. Kalau Jiwo terlihat di warung, duduk di sisi seseorang yang dikenal suka maling, maka orang menyebut Jiwo adalah temannya maling, punya rancangan kolusi untuk maling, dengan kata lain Jiwo dianggap juga seorang maling. Contoh lain kalau Jiwo pada suatu siang tampak diboncengkan oleh sepeda motor Pak Lurah, maka orang menganggap Jiwo sudah direkrut oleh Pak Lurah, sudah berkongkalikong dengan Pak Lurah, sudah berkhianat kepada sebagian penduduk yang kebetulan pernah disusahkan hidupnya oleh Pak Lurah.
Adapun nasib Tejo berbeda. Kalau ia akrab dengan maling, orang menyimpulkan itu adalah taktik untuk menginsafkan maling. Kalau Tejo jalan runtang-runtung dengan tukang renten, itu adalah bagian dari strategi makro politik perekonomian Tejo. Kalau Tejo pagi hari bercengkerama dengan buruh-buruh di gardu, sorenya dijamu di rumah Pak Lurah — orang menyimpulkan Tejo adalah seorang yang kosmopolit, seorang demokrat sejati dan arif, yang mau bergaul dengan siapa saja.
Ada kemungkinan, jika kelak Jiwo masuk sorga, orang akan menyebut itu adalah penyelundupan, atau sekurang-kurangnya Jiwo telah menyogok agar bisa masuk sorga. Sedangkan kalau Tejo masuk neraka, itu adalah strategi untuk menghindari sikap takabur bahwa ia sesungguhnya berhak masuk sorga. Juga Tejo sengaja menemani orang-orang menderita di neraka.
Matematika Buruh
Spoiler for teks:
Tulang punggung setiap lembaga usaha atau perusahaan adalah masyarakat buruh. Tulang punggung itu bersusun-susun atau berlapis-lapis. Lapisan paling luar adalah etos kerja yang maksimal pada para buruh.
Supaya etos kerja mereka tinggi, mereka memerlukan keikhlasan bekerja.
Supaya hati mereka ikhlas, terlebih dulu mereka perlu merasa bahagia dan bangga menjadi bagian dari perusahaan.
Supaya mereka bangga, mereka butuh pengetahuan dan pengalaman bahwa tidak ada tempat lain di mana mereka bisa mendapatkan tingkat upah dan santunan yang melebihi perusahaan di mana mereka bekerja.
Supaya kebahagiaan diperoleh oleh masyarakat buruh, mereka memerlukan kenyataan bahwa nafkah keluarga mereka terjamin, ekonomi rumahtangga mereka aman.
Supaya produktivitas kerja mereka meningkat lagi, maka kebahagiaan yang mereka dapatkan tidak sekedar terjamin dan aman, tapi juga lebih dari itu.
Maka kita tidak heran kalau seorang pimpinan perusahaan berkata kepada Tuhan dalam sembahyangnya: “Tuhan, buruh-buruh yang bekerja padaku bukan hanya asset perusahaanku. Mereka adalah kekasih hidupku….”
Mensana Mensini
Spoiler for teks:

Mensana incorporesano, di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
Ini filosofi dasar tentang betapa pentingnya berolahraga, merawat kesehatan badan, agar semua onderdilnya berfungsi maksimal.
Hanya saja, banyak orang yang tubuhnya sakit-sakitan tapi jiwanya sehat, akalnya tegak, mentalnya positif, hatinya teguh, sehingga produk moral sosialnya juga menggembirakan orang lain.
Sementara tidak sedikit orang yang tubuhnya sangat sehat, makan minumnya bergizi ultramodern, konsumsi badaniahnya mahal dan bergengsi – namun jiwanya kotor, mentalnya kacau, akalnya licik, hatinya egoistik, suka memeras dan mau enaknya sendiri, sehingga hasil perilakunya juga menyusahkan orang banyak.
Yang kita perlukan sekarang adalah teman yang bisa berbahasa Yunani dan merumuskan mensana incorporesano namun di balik.
Badan yang sehat terletak di dalam jiwa yang sehat.
Orang yang sehat jiwanya tahu persis bahwa badan harus disehatkan, tapi orang yang berbadan sehat tidak dijamin sadar atau bersedia untuk menyehatkan jiwanya.
Kalau tak ada yang tahu apa bahasa Yunaninya, ya kita ciptakan sendiri saja: Mensana Mensini.
Sumur= cak nun
Quote:
Just because you don't believe it, doesn't mean that it's not true
Spoiler for Trit HT:
Diubah oleh habibgoogle 23-08-2017 18:11
0
13.6K
Kutip
89
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan