TS
adenuansa
Asrama Dua
"Pergi kau dari hadapanku!!!, jangan ganggu aku!!! ", ia melotot sampai-sampai salah satu bola matanya menggelinding keluar dan berhenti tepat di hadapan jempol kakiku, aku yang saat itu berada di lantai dua disudutkan di pojok balkon sehingga tak ada kesempatan untuk lari, perlahan ia mendekat, sekejap menghilang, dan tiba-tiba muncul lagi tepat di depanku, wajahnya hampir menempel dengan wajahku, wajah keriput dengan borok berbelatung, ini terlalu dekat, sehingga aku tak bisa menahan kaget dan tak bisa menahan tubuhku, akhirnya aku terjatuh dari lantai dua.
(----------------------) Hitam.
Perlahan ku buka mataku, aku sudah berada di klinik dengan balutan perban, patah tulang, dan beberapa memar di tubuh. Sial, baru seminggu tinggal disini aku sudah mendapatkan luka separah ini, gumamku.
Tak ada pilihan lain, hanya asrama ini yang bisa kutinggali, asrama yang disediakan universitas dengan biaya bulanan yang lumayan murah, harta ibu bapakku tak cukup untuk membayar sewa sebuah kosan, walau yang tersempit sekalipun, segini saja sudah sangat untung, otakku cukup encer untuk menghanyutkan beasiswa hingga sampai di tanganku.
Di mata manusia normal, asrama ini pasti terlihat indah dan nyaman, sayangnya aku bukan salah satunya, aku terlalu normal, Tuhan memberikanku indera yang lebih banyak, ketika orang-orang pada umumnya memiliki lima, aku memiliki enam, hal itu tentu saja bukan suatu prestasi, melainkan amunisi berisi bahan peledak yang bisa meledak kapan saja.
Karena tuntutan daftar ulang terpaksa aku harus pindahan lebih awal padahal perkuliahan benar-benar aktif sekitar 20 hari mendatang, biaya dan jarak menjadi masalah, hanya menghabiskan uang jika aku bulak balik antar provinsi.
Sangat beruntung, aku mendapatkan C.II.9, blok C, lantai dua, nomor 9, kamar terangker di asrama yang angker. Ketika kamar lain cerah karena dipasang lampu 20 watt, kamarku tetap kelabu walau dipasang lampu dengan jumlah watt dan merek yang sama, dinding lembab sampai-sampai keluarga jamur tumbuh dengan subur. Kamar ini cukup luas, di bagian dalam ada dua ranjang, dua meja belajar, dan satu lemari, dibagian balkon ada dapur dan dua jamban namun salah satu jambannya terkunci rapat, balkon dilengkapi dengan tralis besi sehingga tidak memberi kesempatan untuk penghuninya melakukan praktik bunuh diri dengan cara terjun bebas, kamar ini seharusnya diisi oleh dua orang namun karena jumlah penghuni tahun ini ganjil jadi aku harus berlapang dada menikmati kamar ini sendirian.
Bersambung...
(----------------------) Hitam.
Perlahan ku buka mataku, aku sudah berada di klinik dengan balutan perban, patah tulang, dan beberapa memar di tubuh. Sial, baru seminggu tinggal disini aku sudah mendapatkan luka separah ini, gumamku.
Tak ada pilihan lain, hanya asrama ini yang bisa kutinggali, asrama yang disediakan universitas dengan biaya bulanan yang lumayan murah, harta ibu bapakku tak cukup untuk membayar sewa sebuah kosan, walau yang tersempit sekalipun, segini saja sudah sangat untung, otakku cukup encer untuk menghanyutkan beasiswa hingga sampai di tanganku.
Di mata manusia normal, asrama ini pasti terlihat indah dan nyaman, sayangnya aku bukan salah satunya, aku terlalu normal, Tuhan memberikanku indera yang lebih banyak, ketika orang-orang pada umumnya memiliki lima, aku memiliki enam, hal itu tentu saja bukan suatu prestasi, melainkan amunisi berisi bahan peledak yang bisa meledak kapan saja.
Karena tuntutan daftar ulang terpaksa aku harus pindahan lebih awal padahal perkuliahan benar-benar aktif sekitar 20 hari mendatang, biaya dan jarak menjadi masalah, hanya menghabiskan uang jika aku bulak balik antar provinsi.
Sangat beruntung, aku mendapatkan C.II.9, blok C, lantai dua, nomor 9, kamar terangker di asrama yang angker. Ketika kamar lain cerah karena dipasang lampu 20 watt, kamarku tetap kelabu walau dipasang lampu dengan jumlah watt dan merek yang sama, dinding lembab sampai-sampai keluarga jamur tumbuh dengan subur. Kamar ini cukup luas, di bagian dalam ada dua ranjang, dua meja belajar, dan satu lemari, dibagian balkon ada dapur dan dua jamban namun salah satu jambannya terkunci rapat, balkon dilengkapi dengan tralis besi sehingga tidak memberi kesempatan untuk penghuninya melakukan praktik bunuh diri dengan cara terjun bebas, kamar ini seharusnya diisi oleh dua orang namun karena jumlah penghuni tahun ini ganjil jadi aku harus berlapang dada menikmati kamar ini sendirian.
Bersambung...
Polling
0 suara
Apakah cerita "Asrama Dua" ini menarik?
anasabila memberi reputasi
1
2.7K
20
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan