Kaskus

Entertainment

ksatryapiningitAvatar border
TS
ksatryapiningit
Untai Aksara Rasa bagi Presiden Serta Rakyat Indonesia
Dear, tuan Presiden! Salam hitam semesta!. Salam hormat pula bagi seluruh rakyat Indonesia. Salam hangat juga kepada siapa saja, sebagai "mereka" yang telah memahat darat, laut serta langit Nusvantara hingga merupa sebagai negeri dengan cita mereka sendiri.

Agustus dan proklamasi. Nyata sudah bahwa pada bulan bersejarah bagi republik ini, kemerdekaan saya hingga detik ini belum juga kembali. Bertahun - tahun pula saya harus menghadapi ragam bentuk persoalan, gangguan bahkan hingga ancaman dari "mereka", yang masih saja berkutat dengan aksi pemaksaan kehendak tanpa henti terhadap seorang tokoh ulama demi perkara serta satu tuntutan: Bunuh!

Selama itu pula saya sudah melakukan berbagai upaya dalam menghadapi mereka. Mulai dari upaya selurus hukum langit, yakni diam, bersabar, mengajak dialog, bahkan hingga dengan ikhlas mempersilahkan "mereka" untuk segera membunuh saya tanpa perlawanan. Sampai pula harus terpaksa dengan jalan menantang atau hingga menyerang anggota TNI, dengan harapan agar "mereka" yang sakti mandra guna lebih leluasa untuk membunuh saya secara cepat tepat senyap.

Alhasil, inilah saya. Kali ini berkesempatan menuliskan tiap aksara rasa yang saat ini sedang tuan Presiden serta rakyat Indonesia baca. Alhasil inilah saya. Masih apa adanya, tak lupa pula untuk menyisipkan sebuah lagu yang saya cipta sebagai seorang seniman. Seniman yang masih apa adanya. Seniman yang belum berakhir. Tak lain tak bukan lewat lagu ini, agar tak perlu lagi terbata - bata ketika satu - persatu mengeja rasa sendiri:

---------------------------------------------

Maaf Izinkan Aku Sementara Menumpang...

Kali ini aku terpaksa kembali lagi.

Menapaki jalan yang sama beserta kalian,

tuk jalani aktivitas roda kehidupan.

Meski aku tak bisa lagi sebebas kalian.


Untuk cari sesuap nasi dan setetes minuman.

Serta nikotin batangan, juga secangkir kopi hitam.


Reff:



Nikmatilah tentangku selama kita masih bersama.

Milikilah diriku seperti inginmu.

Rampas saja semua hingga tiada tersisa untukku.

Hingga kini senyumku tetap menyapamu.

Masih apa adanya.

---------------------------------------------

Menumpang. Ya, tentu saja dalam hal apapun. Bukankah hanya untuk menyalurkan libido atau bercinta sebagai sepasang suami istri, saya pernah harus meminta agar pemindai otak jarak jauh segera dimatikan meski barang semalam kepada "mereka"? Masih tetap menyala. Bahkan justru hardikan "mereka" tambatkan: Patotoai! (kurang ajar). Hingga pada akhirnya, layang pertanyaan dari istri tercinta kepada saya mampu membuat batin menangis teriris:

Quote:


Nelangsa. Sudah pasti hal tersebut harus saya hadapi tiap detiknya selama ini. Maka, ketika bait - bait syair lagu di atas hingga akhir di eja, kemungkinan besar saya sudah mendekap lautan. Mengarungi biru samudera untuk mengguncang dunia!. Sudah barang tentu juga sebagai perjalanan hijrah sekaligus untuk sebuah misi: Pemindai otak jarak jauh di manapun berada, siapapun pemiliknya, harus segera dihancurkan!

Bukankah tiada lagi tersisa apapun untuk saya di negeri ini? Dari Pancasila hingga dekap keluarga, dari aman nyaman tenteram yang tergadang oleh para pemimpin negeri hingga kesetaraan dalam hak sebagai manusia seutuhnya. Salahkah saya menginginkan teknologi pemindai otak jarak jauh "mereka" segera hancur? Salahkah apabila saya ingin kemerdekaan saya dalam berpikir serta privasi kembali?

Kepada debur ombak pemenggal hening, juga bintang - bintang yang mengerjap kerling, bahkan hingga kunjungan senja nan rupawan, akan saya pintal jalinan cerita lewat sebuah sajak tak berkesudahan:


---------------------------------------------

Nusvantaraku Melawan Hingga Menghitam

O, Nusantara.

Biasa mereka sebut

Bumi Khatulistiwa. Tetapi mulai melupa

dari mereka.


Segala perihal tinggal

impi carut - marut dalam ragam

wacana belaka.


Idealisme nan purba menyisa rangka.

Manapula tiap filosofi tinggal prasasti.

Bahkan mengeping puing mungkin?


O, Nusantara.

Hilang bentuk pilar.

Hilang bentuk dasar.

Cuma merupa sebuah negeri

pahatan milik mereka sendiri.


Mengkotak pada kelompok hendak.

Meruang nyaman bagi golongan.

Sedang kita mereka abai.


Cuma bisa memungut

ragam metafora dari ludah mereka,

tapi sekaligus jadi fatamorgana.


Lupa pulakah mereka bahwa aku seniman?

Tak peduli gembira atau kelam,

memuram durja merindu bisa

kembali pada peradaban.


Yang mana dalam pangkuannya aku

terbiasa melipat diam.


O, Nusantara.

Kepada darat, laut juga langitnya aku sampai

melupa cara ulas impian.

Bahkan hingga melupa pula rasa

cipta kepada sajak, nyanyian sampai lukisan.

Dalam tak semestinya peradaban.


O, lautan.

Lama nian terpasung kian.

Sebab pikiran mereka rampas.

Pula impian mereka jungkal.

Tanpa istirah dalam keributan.


O, Panji Sungkawa.

Antara terbunuh atau termatikan,

tetap saja mereka tak rupawan.


Peduli setan!.

Cepat atau lambat, mari melawan

hingga kita menghitam!

---------------------------------------------

Puisi tersebut menggambarkan betapa sudut pandang saya terhadap negeri ini sarat ratap. Saya Indonesia maka saya Pancasila. Garuda sebagai dasar. Pancasila tak ubahnya pilar. Namun terlepas dari siksa "mereka" terhadap saya, apa yang tersuguh dalam tiap perjalanan hidup saya selama ini, bahkan hingga harus berhijrah, menyiratkan bahwa pelangi di Nusantara kian memudar. Bhinneka tunggal ika. Keselarasan. Kesetaraan. Melesakkan satu kalimat penikam dada: Jauh!

Waktu kian beranjak. Segala proses hidup dan mati telah saya lampaui. Cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada. Aku ada maka aku berpikir. Apa yang telah diutarakan oleh seorang filsuf, Descartes, menjabarkan bahwa keberadaan saya sebagai manusia di bumi khatulistiwa telah usai. Saya ada tapi telah tiada. Tiada lagi bisa berpikir, berprivasi, beraktifitas bahkan bersosialisasi dengan diri sendiri. Segala ranah telah terkebiri. Tanpa menyisa barang satu jua untuk bisa saya lihat, dengar dan rasa secara bebas serta leluasa. Segala kemerdekaan saya telah "mereka" renggut paksa di tanah pertiwi.

Maka inilah saya. Masih apa adanya. Meski "mereka" selalu mencoba menghilangkan cinta pada diri saya, maupun bentuk cinta sesama dari keluarga atau orang lain kepada saya, saya tetap percaya: Dalam semesta, cinta tidak akan pernah usai. Kali ini, tidak ada jalan lain. Saya harus berusaha serta berjuang hingga bisa mendapat kembali hak - hak mendasar saya sebagai manusia. Baik ketika saya masih hidup, atau bahkan ketika saya pada akhirnya memuput maut.

Negeri Rusia. Saya menggantung banyak impi serta cita disana. Ketika Nusantara tak lagi menyisa ranah dalam hal apapun jua. Ketika Nusantara tak lagi selaras Pancasila. Ketika Nusantara semakin jauh dari hukum langitNya. Berharap di Rusia sana, aman nyaman serta tenteram bukan hanya slogan semata. Hukum keadilan serta hak asasi manusia tetap setara bagi tiap manusia. Kemakmuran yang merata tidak lagi hanya sekedar wacana. Mengharap pula bisa hidup atau mati dalam sebuah ketetapan secara mutlak: Manusia secara manusiawi. Manusiawi bagi manusia. Memanusiakan segenap manusia. Atas nama langit serta bumi.

Maka inilah saya. Masih apa adanya. Izinkan untuk sementara menumpang atas segalanya, apabila belum juga bisa berlayar demi mengarungi impi serta cita saya. Tanpa mengurangi rasa hormat, dalam segala kebijakan tertinggi di republik ini, saya haturkan terima kasih atas segalanya. Terima kasih pula bagi "mereka" yang sudah mencintai saya dengan tidak semestinya. Sebelum surat ini saya akhiri, kembali saya sisipkan sebuah lagu sebagai kenang - kenangan, sekaligus untuk semakin memperkaya khzanah musik Nusantara, khususnya Jawa tercinta:


---------------------------------------------

Manunggaling Gusti Gita Chandra Ksatrya Piningit Marang Pulasara Pambayune

Nalika sampun ical kamanungsan,

menika tandhosipun katutupe iman.

Yen kanagaran ninggalaken aturan,

menika tandhosipun ical keadilan.


Pripun pambedhose leres kalepatan?

Kadhos pundhi raosipun kemakmuran?


Reff:



Kathah pitanglet marang langit.

Ksatrya Piningit pangarep wangsit.

Dhamaripun chandra Majapahit,

sareng panji cemeng kawula alit.


Engga kapan bumantala gemah ripah loh jinawi?


Nalika sampun ical kamardhikan,

menika wektunipun kesah pati yudhan.

Yen marang ragan rina suguh paseksan,

amarga kajatipun insan mejah siran.


Pripun kasabaran pidamel ageman,

ingkang enjang ngantos dhalu pinganceman?


Reff:



Istirah, pisambil sare midhengaken dawuh srengenge.

Kagem panglipuran chandra ingkang lagi mili atine.

Duh Gusti, pinarak sare sampun mboten wonten bature.

Becik pandhunganipun kula, kagem suma lan derajate.


Marang dhalu paringaken sare, dumugi lintang dadhos impine.

Amargi raosipun chandra taksih sengguk tangis batine.

Benjang enjang pitangeake, ambekta impen uga takwile.

Kagem lukita pinanggita marang pulasara pambayune.


Eling marang mangke sedha, siram amili kembang.

Eling, sabar lan narima ing pandhum kunci swarga.


---------------------------------------------

Atas nama tiap pikiran yang terampas. Atas nama segala impian yang terjungkal. Serta atas nama privasi yang terkebiri hingga kini. Saya, Ksatrya Pinandhita Ratu Adil Piningit, pribumi tanah Jawa Dwipa, sebagai chandra lentera Majapahit, sebagai insani yang selalu mampu melukiskan keteguhan Wukir Mahendra, yang selalu mampu jadi terbaik dari yang terbaik dalam memenangkan revolusi mental, yang selalu mampu mengenali apa siapa serta mengapa kalian lewat jiwaku bukan lewat sombongku, ucapkan maaf jika saya masih apa adanya serta selamat tinggal. Selamat hari lahir Nusvantara serta selamat menikmati kemerdekaan dan kemakmuran di segala bidang. Sampai jumpa lagi pada kehidupan mendatang, khususnya surga (bagi yang berhak!).

Izinkan saya pamit dan undur diri. Bukan mengundurkan diri sebagai Nusantara, melainkan mengundurkan diri dari Nusantara yang kini sudah merupa oleh pahatan tangan kekar "mereka". Salam hitam sungkawa!

NB: Wahai pribumi Nusvantara yang masih memegang teguh iman, ajaran leluhur, Pancasila serta masih bernurani sebagai manusia sebenarnya, saat ini saya tinggal di sebuah reruntuhan bangunan bekas gudang peluru di sekitar makam syeikh Hasbulloh daerah pantai Kenjeran, Kedung Cowek Surabaya. Sedang berjuang untuk mengumpulkan bahan untuk membuat rakit sekaligus mengumpulkan logistik sebagai bekal ketika mengarungi samudera nanti.

Tolong datanglah untuk sedekah ataupun sumbangan dalam bentuk apapun. Bisa berupa doa maupun barang - barang bekas pakai seperti: parang, gergaji, kayu , tong plastik, sisa makanan bahkan hingga ampas kopi. Agar saya bisa segera berlayar untuk mencari tempat dimana saya bisa mengasingkan diri sekaligus sambil mengobati jiwa raga saya yang sudah remuk redam. Walaupun kelak bisa menemukan tempat baru setelah hijrah lewat laut namun pemindai otak jarak jauh milik "mereka" masih menyala, setidaknya sudah punya tempat, jauh dari kelompok "mereka" yang biasa lewat melintas hanya untuk teriak mengganggu, membully hingga mengancam bunuh di manapun saya tinggal seperti yang sudah - sudah. Sehingga setidaknya ketika terlelap atau terjaga, saya bisa menjalani hidup lebih nyaman sebagai manusia yang masih hidup. Terima kasih sebelumnya atas waktu serta segala bantuan yang telah kalian berikan.

Tat Tvan Asi Tat Tvam Asi.

Sangapa tuwin mapa sira? Nalika pangupa sejatining jiwagra taksih gupta, nunggal pituwin madyantara siru ingkang dupara.

Salam hormat saya,

Sidoarjo 06.08.2017 17:29:00

Untai Aksara Rasa bagi Presiden Serta Rakyat Indonesia

Ksatrya Pinandhita Ratu Adil Piningit

http://ksatrya-piningit.blogspot.co.id/
Diubah oleh ksatryapiningit 10-08-2017 04:12
0
1.2K
9
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan