- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Investasi Naik Tapi Daya Beli Turun, Kepala BKPM: Ini Misteri


TS
shahrah018
Investasi Naik Tapi Daya Beli Turun, Kepala BKPM: Ini Misteri
Investasi Naik Tapi Daya Beli Turun, Kepala BKPM: Ini Misteri
Rabu 02 Aug 2017, 19:25 WIB

Jakarta - Dalam logika ekonomi, ketika realisasi investasi tumbuh maka bisa berdampak terhadap lapangan pekerjaan, hingga meningkatkan penghasilan dan kemampuan daya beli masyarakat. Logika itu ternyata tidak sesuai dengan kondisi sekarang.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menganggap ini adalah misteri. Begitulah diungkapkannya ketika ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (2/8/2017).
"Ini harus ada penjelasannya, kok bisa investasi naik terus tapi daya beli malah turun, harusnya investasi naik penghasilan naik, sehingga permintaan naik, tapi ini misteri," kata Thomas.
Akumulasi realisasi investasi dalam enam bulan (semester I) 2017 adalah Rp 336,7 triliun atau lebih tinggi 12,9% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar Rp 298,1 triliun. Industri ritel sebagai gambaran daya beli masyarakat jatuh, dengan pertumbuhan hanya 3% atau lebih rendah dari kondisi normal yang sebesar 12-14%. Sedangkan inflasi per Juli 3,88% (year on year/yoy).
"Berarti pertumbuhannya (ritel) di bawah inflasi, jadi netto inflasi malah bisa menciut," tegas Thomas.
Secara umum, kata Thomas ekonomi Indonesia tumbuh stabil dengan 5,01% pada kuartal I-2017 dan proyeksi 5,1% pada semester I-2017. Meski ada perlambatan untuk industri ritel, baik penjualan maupun investasi, Thomas masih yakin masih bisa ditambal dari sektor lainnya.
Sehingga target investasi Rp 678,8 triliun sampai akhir tahun bisa tercapai. Begitu juga dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2%.
Hanya saja, kekhawatiran Thomas adalah mengenai struktur investasi. Ini pun sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahwa kalau semakin banyak masuk ke sektor padat modal, maka risikonya penyerapan tenaga kerja bisa tidak optimal dan kembali lagi pada pelemahan daya beli.
"Jadi ujungnya bergantung kepada bisnis confidence, keyakinan dunia usaha, dan itu sangat dipengaruhi regulasi," ujarnya.
Kepastian dalam penerbitan regulasi menjadi penekanan Presiden Jokowi sejak beberapa waktu terakhir. Bahkan dua kementerian disebut langsung dalam rapat kabinet agar mengevaluasi kembali regulasi yang sudah diterbitkan.
"Kalau regulasi-regulasi kita ngawur, dan keluarnya mendadak-mendadak tanpa masa transisi, masa sosialisasi itu kan akan menghantam keyakinan dunia usaha dan akan menimbulkan ketidakpastian, kecemasan. Itu yang membuat dunia usaha lebih mengorientasikan dunia usaha untuk mengurangi lembur, sungkan untuk keluar uang melatih pekerjanya, kalau nantinya tidak ada order kan percuma," pungkasnya.
https://finance.detik.com/berita-eko...pm-ini-misteri
Pengusaha: Pemerintah Jangan Takut-takuti Orang Mau Belanja
Rabu 09 Aug 2017, 18:43 WIB
Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasi persoalan perekonomian nasional yang saat ini terjadi.
Meski tumbuh 5,01% di kuartal II 2017, namun masih belum merata ke seluruh sektor. Hal tersebut tergambar dari realisasi penjualan sektor ritel yang hanya tumbuh 3,7% di semester I tahun ini, angka ini merosot tajam jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta menilai, pemerintah tidak hanya memberikan solusi jangka pendek melainkan jangka panjang agar kejadian serupa tidak lagi terjadi ke depannya.
"Pemerintah yang pegang instrumen, solusi jangka pendek harus dilaksanakan, agar ada target yang dicanangkan, tapi long term ini juga perlu diperbaiki, jangan sampai tahun depan terjadi lagi soal ini, karena tidak ada perbaikan," kata Tutum di Jakarta, Rabu (9/8/2017).
Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah seperti memberikan bantuan sosial, lalu bisa juga menggenjot sektor padat karya untuk menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi. Kebijakan moneter juga bisa dilakukan melalui penurunan suku bunga acuan.
"Banyak faktor yang bisa, masalahnya ini warisan yang dulu tidak dikerjakan, short term ini belum, jadi lebih kepada ketenangan, kenyamanan pelaku usaha dan konsumen, jangan ditakut-takuti, mau belanja ini ditakut-takutin," tambah dia.
Ketakutan itu misalnya datang dari pajak. Pemerintah sempat berencana untuk mengecek penghasilan melalui transaksi pada kartu kredit dan pemantauan rekening dengan batas Rp 200 juta.
Meski bisa dilakukan perbaikan dengan jangka pendek, Tutum meminta pemerintah tetap melakukan upaya untuk jangka panjang. Dia mengibaratkan, jika penyakit ginjal dengan gejala awal panas dalam, untuk jangka pendeknya minum obat panas dalam, begitu seterusnya sehingga tidak pernah diketahui bahwa penyakit yang sebenarnya ginjal. Sehingga, jangka menengah hanya sebagai penenang sesaat.
"Apapun teorinya, seperti kita minum kalau ginjal kita sakit, seperti panas dalam, dan itu hanya minum obat penurun panas, memang turun, tapi dia tidak tahu kalau ginjalnya itu sakit," ungkap dia.
Apalagi, lanjut Tutum, jika akar masalah soal perekonomian nasional yang data makro tidak sejalan dengan mikro tidak segera ditangani, maka yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat kelas bawah.
"Yang kena duluan itu ya kelas bawah, karena berhubungan langsung itu padat karya, jadi kalau drop harganya pasti produksi menurun dan berefek pada tenaga kerja, aktivitasnya dari atas itu kan berputar, yang mendeteksi itu duluan adalah minimarket," tukas dia.
https://finance.detik.com/berita-eko...ng-mau-belanja
-----------------------------
Masalahnya itu, yang kaya itu kamu-kamu melulu!
Kagak kasih kesempatan yang menengah ke bawah untuk bisa memperbaiki pendapatannya!
Rabu 02 Aug 2017, 19:25 WIB

Jakarta - Dalam logika ekonomi, ketika realisasi investasi tumbuh maka bisa berdampak terhadap lapangan pekerjaan, hingga meningkatkan penghasilan dan kemampuan daya beli masyarakat. Logika itu ternyata tidak sesuai dengan kondisi sekarang.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menganggap ini adalah misteri. Begitulah diungkapkannya ketika ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (2/8/2017).
"Ini harus ada penjelasannya, kok bisa investasi naik terus tapi daya beli malah turun, harusnya investasi naik penghasilan naik, sehingga permintaan naik, tapi ini misteri," kata Thomas.
Akumulasi realisasi investasi dalam enam bulan (semester I) 2017 adalah Rp 336,7 triliun atau lebih tinggi 12,9% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar Rp 298,1 triliun. Industri ritel sebagai gambaran daya beli masyarakat jatuh, dengan pertumbuhan hanya 3% atau lebih rendah dari kondisi normal yang sebesar 12-14%. Sedangkan inflasi per Juli 3,88% (year on year/yoy).
"Berarti pertumbuhannya (ritel) di bawah inflasi, jadi netto inflasi malah bisa menciut," tegas Thomas.
Secara umum, kata Thomas ekonomi Indonesia tumbuh stabil dengan 5,01% pada kuartal I-2017 dan proyeksi 5,1% pada semester I-2017. Meski ada perlambatan untuk industri ritel, baik penjualan maupun investasi, Thomas masih yakin masih bisa ditambal dari sektor lainnya.
Sehingga target investasi Rp 678,8 triliun sampai akhir tahun bisa tercapai. Begitu juga dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2%.
Hanya saja, kekhawatiran Thomas adalah mengenai struktur investasi. Ini pun sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahwa kalau semakin banyak masuk ke sektor padat modal, maka risikonya penyerapan tenaga kerja bisa tidak optimal dan kembali lagi pada pelemahan daya beli.
"Jadi ujungnya bergantung kepada bisnis confidence, keyakinan dunia usaha, dan itu sangat dipengaruhi regulasi," ujarnya.
Kepastian dalam penerbitan regulasi menjadi penekanan Presiden Jokowi sejak beberapa waktu terakhir. Bahkan dua kementerian disebut langsung dalam rapat kabinet agar mengevaluasi kembali regulasi yang sudah diterbitkan.
"Kalau regulasi-regulasi kita ngawur, dan keluarnya mendadak-mendadak tanpa masa transisi, masa sosialisasi itu kan akan menghantam keyakinan dunia usaha dan akan menimbulkan ketidakpastian, kecemasan. Itu yang membuat dunia usaha lebih mengorientasikan dunia usaha untuk mengurangi lembur, sungkan untuk keluar uang melatih pekerjanya, kalau nantinya tidak ada order kan percuma," pungkasnya.
https://finance.detik.com/berita-eko...pm-ini-misteri
Pengusaha: Pemerintah Jangan Takut-takuti Orang Mau Belanja
Rabu 09 Aug 2017, 18:43 WIB
Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasi persoalan perekonomian nasional yang saat ini terjadi.
Meski tumbuh 5,01% di kuartal II 2017, namun masih belum merata ke seluruh sektor. Hal tersebut tergambar dari realisasi penjualan sektor ritel yang hanya tumbuh 3,7% di semester I tahun ini, angka ini merosot tajam jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta menilai, pemerintah tidak hanya memberikan solusi jangka pendek melainkan jangka panjang agar kejadian serupa tidak lagi terjadi ke depannya.
"Pemerintah yang pegang instrumen, solusi jangka pendek harus dilaksanakan, agar ada target yang dicanangkan, tapi long term ini juga perlu diperbaiki, jangan sampai tahun depan terjadi lagi soal ini, karena tidak ada perbaikan," kata Tutum di Jakarta, Rabu (9/8/2017).
Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah seperti memberikan bantuan sosial, lalu bisa juga menggenjot sektor padat karya untuk menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi. Kebijakan moneter juga bisa dilakukan melalui penurunan suku bunga acuan.
"Banyak faktor yang bisa, masalahnya ini warisan yang dulu tidak dikerjakan, short term ini belum, jadi lebih kepada ketenangan, kenyamanan pelaku usaha dan konsumen, jangan ditakut-takuti, mau belanja ini ditakut-takutin," tambah dia.
Ketakutan itu misalnya datang dari pajak. Pemerintah sempat berencana untuk mengecek penghasilan melalui transaksi pada kartu kredit dan pemantauan rekening dengan batas Rp 200 juta.
Meski bisa dilakukan perbaikan dengan jangka pendek, Tutum meminta pemerintah tetap melakukan upaya untuk jangka panjang. Dia mengibaratkan, jika penyakit ginjal dengan gejala awal panas dalam, untuk jangka pendeknya minum obat panas dalam, begitu seterusnya sehingga tidak pernah diketahui bahwa penyakit yang sebenarnya ginjal. Sehingga, jangka menengah hanya sebagai penenang sesaat.
"Apapun teorinya, seperti kita minum kalau ginjal kita sakit, seperti panas dalam, dan itu hanya minum obat penurun panas, memang turun, tapi dia tidak tahu kalau ginjalnya itu sakit," ungkap dia.
Apalagi, lanjut Tutum, jika akar masalah soal perekonomian nasional yang data makro tidak sejalan dengan mikro tidak segera ditangani, maka yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat kelas bawah.
"Yang kena duluan itu ya kelas bawah, karena berhubungan langsung itu padat karya, jadi kalau drop harganya pasti produksi menurun dan berefek pada tenaga kerja, aktivitasnya dari atas itu kan berputar, yang mendeteksi itu duluan adalah minimarket," tukas dia.
https://finance.detik.com/berita-eko...ng-mau-belanja
-----------------------------
Masalahnya itu, yang kaya itu kamu-kamu melulu!
Kagak kasih kesempatan yang menengah ke bawah untuk bisa memperbaiki pendapatannya!


nona212 memberi reputasi
1
1.9K
20


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan