- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tuntas Mengurus Beras


TS
hattori hanzo
Tuntas Mengurus Beras
Indonesia merupakan salah satu negara agraris terbesar, tetapi memiliki jumlah penduduk sangat besar. Konsekuensinya, pemenuhan kebutuhan pangan menjadi hajat hidup masyarakat luas. Target swasembada pangan tidak bisa lagi menjadi pilihan, tetapi keniscayaan. Dengan porsi perdagangan pangan dunia yang minim—kurang dari 15 persen—ketergantungan impor pangan akan berisiko tinggi terhadap pemenuhan akses masyarakat pada pangan. Sayangnya, hampir 72 tahun merdeka, karut-marut pengelolaan pangan tidak kunjung terselesaikan.
Pertama, dari hal yang paling sederhana, yakni menghitung luas areal tanam, tak pernah ada data yang benar-benar akurat. Padahal, dalam era teknologi modern, akurasi data menjadi soal yang sederhana. Data yang tidak tepat berimbas pada perhitungan data produksi dan ketersediaan pasokan.
Kedua, menyelesaikan persoalan yang mendasar, yaitu konversi lahan pertanian yang masif dan petani gurem yang penguasaan lahannya kurang dari 0,3 hektar. Tentu usaha tani tidak akan memenuhi skala ekonomi sehingga berdampak pada produktivitas rendah dan kesejahteraan petani. Dengan lahan terbatas, tak mungkin petani kita mampu bersaing dengan petani Thailand dan Filipina yang rata-rata penguasaan lahannya 3,2 hektar (ha) dan 2 ha. Sayangnya, dari target pencetakan lahan sawah baru sekitar 100.000 ha per tahun, hanya sekitar 50 persen yang terealisasi. Program reforma agraria diterjemahkan sekadar sertifikasi tanah gratis, padahal yang terpenting meningkatkan akses petani terhadap pengelolaan lahan sekalipun tak menjadi hak milik.
Ketiga, polemik efektivitas subsidi input. Subsidi input (benih dan pupuk) meningkat drastis dalam dua tahun terakhir. Di APBN 2017, subsidi pupuk lebih dari Rp 30 triliun. Bahkan, total anggaran kedaulatan pangan melonjak sekitar 53,2 persen dari Rp 67,3 triliun pada 2014 menjadi Rp 103,1 triliun pada 2017. Subsidi input diharapkan mampu mengurangi beban biaya produksi petani. Kenyataannya, biaya produksi padi di Indonesia 2,5 kali dari biaya di Vietnam. Di Indonesia, biaya produksi padi Rp 4.079 per kilogram (kg), sedangkan di Vietnam hanya Rp 1.679 per kg. Masih ada persoalan efektivitas dari subsidi input yang dinikmati petani. Studi Bank Dunia menyebutkan, subsidi pupuk yang efektif dinikmati petani sekitar 40 persen.
Keempat, perhitungan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras sering tidak sesuai dengan nilai keekonomian usaha tani. Sebab, asumsi perhitungan subsidi input tidak tepat. Kendati harga gabah di atas HPP, petani tidak kunjung memperoleh nilai keekonomian karena tetap harus menanggung beban biaya produksi yang tinggi.
Kelima, jumlah penggilingan padi mencapai 182.191 unit yang terdiri dari penggilingan padi besar (PPB) sekitar 8 persen serta 92 persen sisanya berupa penggilingan padi kecil (PPK) dan penggilingan padi kecil keliling (PPKL). Meskipun hanya 8 persen, PPB menguasai lebih dari 60 persen pasokan beras nasional. Saat harga beras berada di atas HPP, Perum Bulog tak mampu membeli atau menyerap beras. Instrumen HPP yang tumpul ini berimplikasi membuka ruang para spekulan beras untuk bermain dan mendominasi penguasaan pasokan. Konsekuensinya, kebutuhan cadangan minimum Bulog sering kali tidak terpenuhi. Akhirnya, Bulog akan kesulitan melakukan intervensi pasar (operasi pasar) saat harga di tingkat konsumen melonjak. Tanpa memiliki instrumen intervensi, penerapan harga eceran tertinggi (HET) tidak akan efektif mengendalikan harga pasar.
Keenam, komando mereduksi disparitas harga. Disparitas harga antara harga di level petani dan konsumen sangat tinggi. Namun, penentu utama harga adalah hukum permintaan dan penawaran. Artinya, jika terjadi kegagalan pasar—dengan indikasi tingginya margin perdagangan—dibutuhkan kehadiran pemerintah untuk meregulasi agar kondisi persaingan kembali sehat. Pemerintah harus memiliki instrumen untuk mampu menghilangkan posisi penentu harga akibat keberadaan pelaku usaha yang mendominasi penguasaan pasokan. Pemerintah tidak mungkin dapat melawan pasar dengan cara instan melalui sistem komando, hanya dengan menentukan HPP atau HET. Jika pemerintah tidak hati-hati dan tidak prudensial menerapkan kebijakan, pemerintah berpotensi melakukan government failure yang justru akan berakibat menciptakan kegagalan pasar atau market failure.
Harga acuan pada prinsipnya merupakan harga referensi. Dengan harga acuan, petani dan konsumen mempunyai informasi harga yang sama. Namun, jika harga acuan ini akan dijadikan sebagai harga patokan seperti HET, pemerintah harus memiliki instrumen seperti stok penyangga. Penetapan HPP ataupun HET semestinya hanya fokus mengendalikan beras jenis tertentu, yang secara konsisten ada intervensi pemerintah.
Terakhir, komitmen pemerintah untuk menyejahterakan petani dan tetap menjaga daya beli konsumen harus diapresiasi. Namun, kebijakan yang dilakukan harus tuntas, tidak bisa secara instan dan parsial. Jika tidak, kebijakan satu harga dikhawatirkan justru menjadi disinsentif untuk seluruh pemangku kepentingan perberasan, baik petani maupun pelaku usaha.
ENNY SRI HARTATI
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
sumur
Pertama, dari hal yang paling sederhana, yakni menghitung luas areal tanam, tak pernah ada data yang benar-benar akurat. Padahal, dalam era teknologi modern, akurasi data menjadi soal yang sederhana. Data yang tidak tepat berimbas pada perhitungan data produksi dan ketersediaan pasokan.
Kedua, menyelesaikan persoalan yang mendasar, yaitu konversi lahan pertanian yang masif dan petani gurem yang penguasaan lahannya kurang dari 0,3 hektar. Tentu usaha tani tidak akan memenuhi skala ekonomi sehingga berdampak pada produktivitas rendah dan kesejahteraan petani. Dengan lahan terbatas, tak mungkin petani kita mampu bersaing dengan petani Thailand dan Filipina yang rata-rata penguasaan lahannya 3,2 hektar (ha) dan 2 ha. Sayangnya, dari target pencetakan lahan sawah baru sekitar 100.000 ha per tahun, hanya sekitar 50 persen yang terealisasi. Program reforma agraria diterjemahkan sekadar sertifikasi tanah gratis, padahal yang terpenting meningkatkan akses petani terhadap pengelolaan lahan sekalipun tak menjadi hak milik.
Ketiga, polemik efektivitas subsidi input. Subsidi input (benih dan pupuk) meningkat drastis dalam dua tahun terakhir. Di APBN 2017, subsidi pupuk lebih dari Rp 30 triliun. Bahkan, total anggaran kedaulatan pangan melonjak sekitar 53,2 persen dari Rp 67,3 triliun pada 2014 menjadi Rp 103,1 triliun pada 2017. Subsidi input diharapkan mampu mengurangi beban biaya produksi petani. Kenyataannya, biaya produksi padi di Indonesia 2,5 kali dari biaya di Vietnam. Di Indonesia, biaya produksi padi Rp 4.079 per kilogram (kg), sedangkan di Vietnam hanya Rp 1.679 per kg. Masih ada persoalan efektivitas dari subsidi input yang dinikmati petani. Studi Bank Dunia menyebutkan, subsidi pupuk yang efektif dinikmati petani sekitar 40 persen.
Keempat, perhitungan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras sering tidak sesuai dengan nilai keekonomian usaha tani. Sebab, asumsi perhitungan subsidi input tidak tepat. Kendati harga gabah di atas HPP, petani tidak kunjung memperoleh nilai keekonomian karena tetap harus menanggung beban biaya produksi yang tinggi.
Kelima, jumlah penggilingan padi mencapai 182.191 unit yang terdiri dari penggilingan padi besar (PPB) sekitar 8 persen serta 92 persen sisanya berupa penggilingan padi kecil (PPK) dan penggilingan padi kecil keliling (PPKL). Meskipun hanya 8 persen, PPB menguasai lebih dari 60 persen pasokan beras nasional. Saat harga beras berada di atas HPP, Perum Bulog tak mampu membeli atau menyerap beras. Instrumen HPP yang tumpul ini berimplikasi membuka ruang para spekulan beras untuk bermain dan mendominasi penguasaan pasokan. Konsekuensinya, kebutuhan cadangan minimum Bulog sering kali tidak terpenuhi. Akhirnya, Bulog akan kesulitan melakukan intervensi pasar (operasi pasar) saat harga di tingkat konsumen melonjak. Tanpa memiliki instrumen intervensi, penerapan harga eceran tertinggi (HET) tidak akan efektif mengendalikan harga pasar.
Keenam, komando mereduksi disparitas harga. Disparitas harga antara harga di level petani dan konsumen sangat tinggi. Namun, penentu utama harga adalah hukum permintaan dan penawaran. Artinya, jika terjadi kegagalan pasar—dengan indikasi tingginya margin perdagangan—dibutuhkan kehadiran pemerintah untuk meregulasi agar kondisi persaingan kembali sehat. Pemerintah harus memiliki instrumen untuk mampu menghilangkan posisi penentu harga akibat keberadaan pelaku usaha yang mendominasi penguasaan pasokan. Pemerintah tidak mungkin dapat melawan pasar dengan cara instan melalui sistem komando, hanya dengan menentukan HPP atau HET. Jika pemerintah tidak hati-hati dan tidak prudensial menerapkan kebijakan, pemerintah berpotensi melakukan government failure yang justru akan berakibat menciptakan kegagalan pasar atau market failure.
Harga acuan pada prinsipnya merupakan harga referensi. Dengan harga acuan, petani dan konsumen mempunyai informasi harga yang sama. Namun, jika harga acuan ini akan dijadikan sebagai harga patokan seperti HET, pemerintah harus memiliki instrumen seperti stok penyangga. Penetapan HPP ataupun HET semestinya hanya fokus mengendalikan beras jenis tertentu, yang secara konsisten ada intervensi pemerintah.
Terakhir, komitmen pemerintah untuk menyejahterakan petani dan tetap menjaga daya beli konsumen harus diapresiasi. Namun, kebijakan yang dilakukan harus tuntas, tidak bisa secara instan dan parsial. Jika tidak, kebijakan satu harga dikhawatirkan justru menjadi disinsentif untuk seluruh pemangku kepentingan perberasan, baik petani maupun pelaku usaha.
ENNY SRI HARTATI
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
sumur
Quote:
0
1.2K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan