- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Warga Adat Cigugur Sulit Dapat KTP, Kang Dedi : Kita Durhaka Pada Leluhur!


TS
dewaagni
Warga Adat Cigugur Sulit Dapat KTP, Kang Dedi : Kita Durhaka Pada Leluhur!
Warga Adat Cigugur Sulit Dapat KTP, Kang Dedi : Kita Durhaka Pada Leluhur!
Penulis
Hiski Darmayana
-
July 27, 2017

Masyarakat adat Cigugur, Kuningan, Jawa Barat merupakan salah satu contoh masyarakat yang masih memegang teguh adat warisan leluhur. Mereka adalah keturunan Pangeran Madrais, penggagas ajaran spiritual berbasis kesundaan yang berasal dari Kepangeranan Gebang, Cirebon.
Karena masih berpegangan teguh pada ajaran Madrais itulah, warga adat Cigugur sulit mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP). Sebab, ajaran yang mereka anut tidak diakui negara sehingga membuat kolom agama di KTP mereka tak bisa diisi. Hal ini sudah terjadi puluhan tahun.
Menurut Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, diskriminasi yang dialami oleh masyarakat adat Cigugur merupakan contoh nyata betapa negara ini tidak menghormati mereka yang memegang teguh ajaran leluhur. Bahkan, bagi Dedi, diskriminasi terhadap keyakinan warga adat ini merupakan kedurhakaan kita semua pada leluhur negeri.
“Mungkin ini penyebab dari terus munculnya permasalahan yang mendera bangsa ini,karena kita telah durhaka pada leluhur,” kata Dedi ketika berbicara dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Pancasila Dan Budaya” di Universitas Parahyangan,Bandung, pada Kamis (27/7).
Padahal, menurut pria yang akrab disapa kang Dedi itu, masyarakat adat seperti di Cigugur inilah yang mempertahankan ajaran leluhur. Kita sepatutnya berterima kasih pada mereka, sebab tanpa mereka mungkin kita sudah tak mengenal lagi tradisi dan bahasa leluhur kita.
Ya, masyarakat adat Cigugur bukan hanya pemegang teguh ajaran karuhun. Kehidupan mereka pun bisa dikatakan sebagai miniatur Indonesia yang bhinneka. Mereka bisa hidup berdampingan dan penuh toleransi dengan pemeluk agama lain seperti Katolik dan Islam.
Kerukunan itu tampak ketika mereka bergotong royong melaksanakan salah satu tradisi yang masih terus dilakukan hingga kini, yakni Seren Taun. Seren Taun bisa dikatakan merupakan manifestasi rasa syukur pada Sang Pencipta atas hasil panen yang mereka raih. Puncak upacara Seren Taun dilaksanakan setiap tanggal 22 rayagung dalam sistem kalender Sunda.
Seren Taun kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pariwisata Kabupaten Kuningan, bahkan Jawa Barat. Ritual budaya ini mampu menarik banyak wisatawan budaya dari daerah lain di nusantara, bahkan mancanegara.
Namun, dikala salah satu ritual mereka diakui sebagai wahana pariwisata penarik penghasilan daerah, keyakinan mereka justru tidak diakui negara. Nasib serupa juga dialami warga penganut ajaran Sunda Buhun lainnya, seperti warga adat Cireundeu, warga Baduy serta warga Aliran Perjalanan Ciparay.
Mereka terpaksa menjadi ‘anak tiri’ di negeri sendiri. Semua karena, seperti yang dikatakan kang Dedi, kita telah durhaka pada leluhur kita.
http://jabarkahiji.id/2017/07/27/war...-pada-leluhur/
Betul pak Dedi, emang benar nasbung bumi datar pentol korek api sumbu pendek 2d pada maling Kundang semua
Penulis
Hiski Darmayana
-
July 27, 2017

Masyarakat adat Cigugur, Kuningan, Jawa Barat merupakan salah satu contoh masyarakat yang masih memegang teguh adat warisan leluhur. Mereka adalah keturunan Pangeran Madrais, penggagas ajaran spiritual berbasis kesundaan yang berasal dari Kepangeranan Gebang, Cirebon.
Karena masih berpegangan teguh pada ajaran Madrais itulah, warga adat Cigugur sulit mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP). Sebab, ajaran yang mereka anut tidak diakui negara sehingga membuat kolom agama di KTP mereka tak bisa diisi. Hal ini sudah terjadi puluhan tahun.
Menurut Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, diskriminasi yang dialami oleh masyarakat adat Cigugur merupakan contoh nyata betapa negara ini tidak menghormati mereka yang memegang teguh ajaran leluhur. Bahkan, bagi Dedi, diskriminasi terhadap keyakinan warga adat ini merupakan kedurhakaan kita semua pada leluhur negeri.
“Mungkin ini penyebab dari terus munculnya permasalahan yang mendera bangsa ini,karena kita telah durhaka pada leluhur,” kata Dedi ketika berbicara dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Pancasila Dan Budaya” di Universitas Parahyangan,Bandung, pada Kamis (27/7).
Padahal, menurut pria yang akrab disapa kang Dedi itu, masyarakat adat seperti di Cigugur inilah yang mempertahankan ajaran leluhur. Kita sepatutnya berterima kasih pada mereka, sebab tanpa mereka mungkin kita sudah tak mengenal lagi tradisi dan bahasa leluhur kita.
Ya, masyarakat adat Cigugur bukan hanya pemegang teguh ajaran karuhun. Kehidupan mereka pun bisa dikatakan sebagai miniatur Indonesia yang bhinneka. Mereka bisa hidup berdampingan dan penuh toleransi dengan pemeluk agama lain seperti Katolik dan Islam.
Kerukunan itu tampak ketika mereka bergotong royong melaksanakan salah satu tradisi yang masih terus dilakukan hingga kini, yakni Seren Taun. Seren Taun bisa dikatakan merupakan manifestasi rasa syukur pada Sang Pencipta atas hasil panen yang mereka raih. Puncak upacara Seren Taun dilaksanakan setiap tanggal 22 rayagung dalam sistem kalender Sunda.
Seren Taun kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pariwisata Kabupaten Kuningan, bahkan Jawa Barat. Ritual budaya ini mampu menarik banyak wisatawan budaya dari daerah lain di nusantara, bahkan mancanegara.
Namun, dikala salah satu ritual mereka diakui sebagai wahana pariwisata penarik penghasilan daerah, keyakinan mereka justru tidak diakui negara. Nasib serupa juga dialami warga penganut ajaran Sunda Buhun lainnya, seperti warga adat Cireundeu, warga Baduy serta warga Aliran Perjalanan Ciparay.
Mereka terpaksa menjadi ‘anak tiri’ di negeri sendiri. Semua karena, seperti yang dikatakan kang Dedi, kita telah durhaka pada leluhur kita.
http://jabarkahiji.id/2017/07/27/war...-pada-leluhur/
Betul pak Dedi, emang benar nasbung bumi datar pentol korek api sumbu pendek 2d pada maling Kundang semua
0
4.3K
41


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan