- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mungkin ini alasan personel Rumah Sakit, The Upstairs berhenti bermusik
TS
ekspektasi
Mungkin ini alasan personel Rumah Sakit, The Upstairs berhenti bermusik
selain rumah sakit dan the upstairs, ada 2 personil pure saturday,
Siapin cemilan dan minuman agan, artikel ini cukup buat perut agan jadi pada laper...
Ketika musik sebagai anak kandung budaya pop digolongkan ke dalam kegiatan terlarang oleh sebuah majelis taklim yang menamakan dirinya The Strangers Al Ghuroba, banyak orang kemudian merasa gusar dan mempertanyakan keabsahannya. Terutama ketika hal itu justru dilontarkan oleh orang-orang yang sebagian besar waktu hidupnya pernah diabdikan dengan mengimani musik sebagai mata pencaharian; mereka pernah begitu tergantung, berbahagia dan diselamatkan oleh musik. Kini melalui penggalian dan pendalaman terhadap agama beserta sejumlah tafsir dalilnya, sebuah palu telah dijatuhkan dari lidah seorang manusia yang menganggap dirinya sebagai budak sepenuhnya dari raja bernama Tuhan, bahwa memainkan juga mendengarkan musik adalah termasuk satu bentuk dosa besar, atau menurut mereka, HARAM, yang disetarakan bersama perzinahan, kain sutera bagi lelaki dan minuman beralkohol. “Alat-alat musik itu adalah bagaikan pemabuk jiwa,” sebut Ahmad Zainuddin, yang dianggap sebagai guru besar oleh The Strangers Al Ghuroba dalam pengajian mereka yang bertajuk “Semua Suka Musik?” pada pertengahan tahun lalu.
Sudut pandang itu tentu saja segera menimbulkan polemik seru tiada tara bagi negara yang mengaku berdemokrasi ini di mana kebebasan berpendapat seharusnya begitu dijunjung tinggi. Yang artinya begitu sebuah pernyataan dilontarkan oleh satu kelompok, halal hukumnya jika kelompok lainnya melancarkan sikap kontra. Dalam hal itu kami mewawancarai Wendi Putranto yang dikenal luas sebagai editor Rolling Stone, media pers musik terbesar di sini dan mencoba mencari tahu opininya mengenai gerakan mengharamkan musik tadi.
Perlu diketahui Wendi pernah menjabat sebagai manajer The Upstairs, gerombolan disko paling punk negeri ini yang dua anggotanya telah termasuk ikut dalam golongan para pemurtad musik kelompok The Strangers Al Ghuroba. Dan juga salah seorang dari penggagas konser Metal Untuk Semua, sebuah pagelaran musik pro pluralisme dan anti terorisme yang diadakan lima tahun lalu di Bulungan, Jakarta.
“Memang di Al Quran sendiri setelah gue baca dan pelajari, tidak ada ayat yang secara tegas menyatakan bahwa musik itu dilarang. Hanya ada hadist saja yang memperkuat bahwa musik ini begini dan begitu,” sebut Wendi. “Bahkan Nabi Muhammad pun masih memperbolehkan rebana jika itu dimainkan ketika Idul Fitri,” lanjutnya lagi.
Dalam mungkin dua tahun terakhir ini terdapat banyak fenomena musisi tobat. Bahkan beberapa diantara mereka malah jadi berbalik mengharamkan musik itu sendiri. Menurut Anda apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Sebenarnya berpaling ke agama dari musik yang dianggap sangat duniawi, atau ketika orang memutuskan untuk lebih tekun beribadah, lebih mendekatkan diri kepada Pencipta-nya, gue melihatnya itu sebagai keputusan yang sepenuhnya pribadi. Tidak ada masalah di situ. Siapa pun boleh melakukan itu karena memang termasuk hak asasi sebagai seorang manusia. Cuma yang membuat gue jadi curiga, skeptis dan sangat penasaran untuk tahu alasan mereka tobat adalah kenapa waktunya bisa hampir berbarengan. Kenapa bisa nyaris semuanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Ini seperti getok tular, dari satu orang mempengaruhi yang lain, kemudian orang yang terpengaruh terakhir juga mencari teman yang lain untuk dipengaruhi. Ini bergeraknya dengan sistem sel.
Jadi mereka saling mempengaruhi, begitu?
Iyalah, menurut gue forum-forum seperti pengajian di Blok M Square, semua yang bisa kita tonton di videonya itu… dakwah kan juga tujuannya untuk mempengaruhi. Gue ingat ceritanya Alfi (Chaniago, pemain bas The Upstairs) ketika memutuskan untuk pindah dari Upstairs, bukan ke band lain, tapi untuk berhenti main musik. Dia bilang dia ketemu dengan teman SMA-nya yang sudah puluhan tahun tidak bertemu, dan sudah berubah sama sekali dengan yang dikenalnya dulu. Ketika pertemuan pertama itu mereka masih dalam batas silaturahmi. Baru setelahnya dia mulai menyuntikkan pemahaman-pemahaman agama kepada Alfi. Momen saat itulah seseorang mulai dipengaruhi secara individual. ‘Apa lo sudah menjalankan kewajiban muslim dengan benar?’, ‘Apa lo sudah solat dengan benar?’, ‘Apa lo sudah memikirkan nanti setelah mati mau jadi apa?’, itu beberapa pertanyaan yang diajukan, dan Alfi ketika mendapat pertanyaan-pertanyaan semacam itu, benar-benar terketuk. Tidak lama kemudian dia mengundang anak-anak untuk meeting, menjelaskan bahwa ‘gue akan berhenti main band dan memutuskan untuk belajar agama’.
Sebagai manajer The Upstairs ketika itu apa yang Anda katakan padanya?
Gue bilang, ‘kalau lo mau mendalami agama, itu keputusan individual, tapi gue nggak mau liat lo di Pos Kota jadi ‘pengantin’, karena lo temen gue. Mudah-mudahan ini pengajian yang benar yang membuat lo jadi lebih baik, lebih tenang dan lebih bisa menikmati hidup dalam gaya yang berbeda’. Ya secara nggak langsung gue bilang, ‘lo jangan jadi teroris’ (tersenyum).
Saat itu di The Upstairs pun bukan hanya Alfi yang bertobat tapi juga ada beberapa kru. Apa Alfi juga yang mempengaruhi mereka?
Nggak, sih bukan Alfi. Tapi nggak tahu, ya kalau di belakang gue. Gue juga nggak ngerti gimana awalnya tuh anak-anak pada tobat. Kalau si videografernya Upstairs, dia sempet jatuh dari motor, terus harus dioperasi dengkulnya. Cukup parah. Dan menurut penjelasannya saat itu dia bisa saja mati. Jadi dia mengalami near death experience yang membuatnya, ‘gila berarti gue masih ‘dijagain’ oleh Allah’. Itulah momentum yang membuat dia berpaling dari musik. Setelah itu dia mendonasikan koleksi kaos dan CD-nya ke gue, yang dengan senang hati gue terima (tertawa). Dia juga menghapus semua file musik metal di komputernya. Menurutnya, musik adalah sesuatu yang membuat dia lalai, lupa solat, jauh dari Tuhan. Jadi lebih banyak mudaratnya.
Menurut Anda sendiri kalau dihadapkan pada pernyataan ‘musik lebih banyak membawa mudarat’ itu bagaimana?
Kalau sampai ada orang-orang yang mudarat dan meninggalkan solat, bukan karena musiknya menurut gue. Ya lo aja nggak disiplin beribadah. Jangan dikambinghitamkan ke musiknya. Itu tergantung orangnya juga dalam mencerna musik. Kita dari kecil mendengarkan musik metal yang dibilang sama orang tua sebagai musik setan, yang mana gue sendiri nggak berkembang jadi seorang pemuja setan. Bahwa kemudian ada orang-orang yang, katakanlah seperti musisi black metal yang lebih serius mendalami paganisme atau okultisme atau satanisme, itu pilihan mereka. Kalau menurut gue itu terlalu keseriusan (tertawa). Basically, gue lebih percaya bahwa fungsi nomor satu musik adalah hiburan. Yang kedua, ya baru lo mendapat pencerahan dari musik, lo bahagia, terinspirasi. Ya lo mungkin terlalu serius untuk mendalami musik itu jadi sebuah ideologi, sebuah ajaran, sebuah paham. Dan itu menurut gue, lo lebay.
Mungkin itulah orang-orang lebay yang akhirnya menganggap musik itu haram, seperti yang diproklamirkan oleh The Strangers Al Ghuroba. Apa pendapat Anda mengenai mereka?
Al Ghuroba itu artinya, kan strangers dalam bahasa Arab. Menurut gue ini sekadar pengajian majelis taklim saja, sih, yang tujuannya melakukan pertobatan massal, kayaknya. Dan yang disasar memang anak-anak musik, musisi, penggemar musik yang bisa dibilang punya potensi massa pengikut yang besar. Ada strategi tertentu yang dimainkan di dalam itu. Gue sendiri nggak terlalu paham tujuan akhirnya apa. Apakah hanya sekadar mengajak orang agar lebih rajin beribadah atau menabung pahala buat mendapatkan tangga menuju surga yang mana itu sebenarnya bisa dikasih oleh Led Zeppelin (tersenyum). Jadi, ya hal-hal seperti itu kalau memang sifatnya sebuah pilihan personal, kita harus hargai, hormati. Tapi kalau ternyata dibalik gerakan ini ada sebuah masterplan atau grand design…
Seperti agenda Islamisasi atau Arabisasi?
Bukan Islamisasi sih maksudnya. Itu sesuatu yang wajar kalau menurut gue. Itu misionaris kalau dalam format Kristen. Yang lebih parah lagi kalau ada ide-ide yang ingin menggulingkan negara ini menjadi bagian dari Jamaah Islamiyah atau mendirikan Khilafah yang mengubah dasar negara ini dari Pancasila jadi syariah. Seperti itu yang berbahaya buat kebinekaan di Indonesia. Indonesia ketika dulu pertama kali dideklarasikan sudah jelas berasal dari berbagai macam suku bangsa. Jadi kalau mau diseragamkan… itukan namanya penyeragaman, pemaksaan kehendak bahwa negara ini akan dijadikan negara yang berdasarkan teokrasi oleh satu agama tertentu. Itu yang menjadi salah satu ketakutan gue bahwa teman-teman yang berada dalam gerakan ini nantinya terasosiasi atau terkoneksi dengan ISIS, misalnya, atau gerakan terorisme internasional yang memang tujuannya mengubah negara-negara di dunia menjadi bagian dari mereka, Negara Islam bisa dikatakan.
Tapi ada tidak kecenderungan dari mereka untuk menuju ke arah sana?
Gue belum melakukan riset atau penelitian lebih lanjut untuk tahu bahwa gerakan ini memiliki anasir kayak gitu. Cuma menurut gue ini related dengan kehidupan sehari-hari kita. Teman-teman kita yang dari kecil mendengar atau main dan terpengaruh musik, dibesarkan oleh musik, mereka mencari uang dari musik, kok tiba-tiba dalam hitungan sebulan dua bulan tiga bulan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi membenci musik, meninggalkan musik, mengharamkan musik. Itu sesuatu yang mencurigakan. Kok bisa seperti itu? Ada apa sebenarnya ini? Apa yang mereka lakukan terhadap teman-teman gue? Dan sebagai teman yang baik kita sudah sepatutnya untuk curiga. Berjaga-jaga dan waspada, jangan sampai terjadi sesuatu dengan teman-teman kita itu. Kalau memang dia mau jadi ustadz atau ulama, gue nggak ada urusan, nggak punya hak untuk intervensi. Tapi kecenderungannya di masyarakat sekarang, gerakan yang ada itu… ya tiba-tiba ada kiriman bom di mal atau di Ciputat ada penggrebekkan terhadap markas teroris yang diam-diam sudah mengontrak rumah selama tiga bulan. Itu bukan sesuatu yang mustahil. Itu kehidupan sehari-hari lo di Jakarta, selain cari uang dan menghadapi kemacetan adalah ancaman terorisme. Dan bukannya mendiskreditkan, bukannya memberikan stigma yang jelek kepada agama tertentu, tapi yang terjadi, mereka yang melakukan pengeboman, mereka yang dikejar-kejar polisi identik dengan agama Islam. Nah, itu yang kini sedang digeluti oleh teman-teman gue. Ini bisa dibilang phobia, kalau itu akan menjadi sebuah gerakan yang masif karena pelan-pelan jumlah anggotanya bertambah, dan kenapa yang direkrut anak-anak band, karena mereka punya basis massa.
Kalau melihat pergerakan The Strangers Al Ghuroba mereka masih menggunakan unsur-unsur pop dari musik itu sendiri, mulai dari logo, flyer sampai mencantumkan nama-nama eks band para anggotanya.
Itu sebuah varian gerakan yang mereka lakukan dengan menunggangi kebudayaan populer. Itu strategi mereka untuk bisa menembus anak-anak muda, dengan menggunakan logo band atau massa dari band yang sudah ngetop untuk menyebarluaskan ajaran mereka.
Sebenarnya juga dengan menyebut musik haram secara tidak langsung mereka telah menganggap orang yang masih main atau mendengarkan musik sebagai kafir.
Ya memang itu sama saja dengan menunjuk ke muka lo bahwa lo kafir. Ada persamaan bahwa mereka termasuk Kaum Takfiri.
Apa itu Kaum Takfiri?
Kaum yang senang men-judge golongan orang lain sebagai kafir. Jadi gampang mengkafiri orang, ‘Kafir! Kafir! Kafir!’.
Budaya judgemental seperti itu rasanya memang mengakar, ya di masyarakat kita.
Yang gue lihat ya itu, karena bisa dibilang nyaris tidak ada dialog dengan gerakan tersebut. Dengan The Strangers yang dihadapkan bukan berdialog, bukan mengkaji dengan logika tapi lo berhadapan secara langsung, ‘ini wahyu-nya, ini ayat-nya, ini hadist-nya’, gaya hidup dengan pemurnian Islam; kalau lo mendengarkan musik sementara musik nggak diatur dalam Al Quran, ya berarti haram. Melakukan aktifitas haram lo dapat dosa, semakin banyak lo mengoleksi dosa tempat lo bukan di surga.
Yang terakhir dari The Upstairs adalah Beni (Adhiantoro, drummer) juga ikut masuk ke The Strangers Al Ghuroba. Anda sempat berbicara dengan dia?
Beni itu muallaf. Sebelum memutuskan resign dari Upstairs Beni masuk Islam, dan sekitar 2009 dia menikah dengan seorang Muslim. Jadi pertimbangan gue waktu itu kenapa dia masuk Islam supaya bisa menikahi calon istrinya. Dan setelah dia menikah, pacarnya sendiri yang tadinya cukup sekuler dan moderat kemudian mulai pakai jilbab. Pas gue dengar dia keluar dari Upstairs, gue kaget karena Beni adalah nyawa buat Upstairs, dia penyuplai beat. ‘Generatornya Upstairs, nih yang cabut’. Gue sempat tanya langsung kenapa keluar, ‘ya pengen ninggalin aja hal-hal yang mudarat. Biar nggak termasuk golongan orang-orang yang lalai’, katanya gitu. Menurut gue alasan itu keluar dari mulut Beni, cukup ngagetin karena gue tahu hidupnya cuma bisa di musik. Berarti dia meninggalkan mata pencahariannya. Sampai akhirnya gue nemu video di Youtube dia lagi menggergaji gitar. Terus sempat ditanya sama gitarisnya Straight Out, Piping, ‘kenapa gitar yang lo hancurin? Kan lo bukan gitaris. Bakar drum dong’. Masih sayang, katanya (tersenyum).
Bisa tidak dibilang kalau mereka beralih ke agama karena karir musik mandek, begitu-begitu saja dan stagnan?
Ada beberapa teori yang bilang kayak gitu, salah satunya dari Jimi (Multhazam, vokalis The Upstairs, Morfem): orang-orang yang bergabung dengan Strangers adalah mereka yang karirnya jatuh atau kehidupan personalnya lagi terpuruk, ya cuma yang bisa menjawab hanya orang-orang ini. Sayangnya mereka nggak ada yang bisa diwawancara, karena ketika Rolling Stone bikin feature tentang itu mereka nggak mau diwawancara.
Apa alasan mereka tidak mau diwawancara?
Ya mereka tertutup. Nggak ada alasan. Nggak mau aja. Jadi nggak ada verifikasi atau klarifikasi. Intinya nggak mau saja. Makanya cukup kaget ketika ada majalah Jogja, Warning, bisa wawancara Alfi. Menurut gue itu agak ajaib.
Anda sudah baca?
Udah.
Ada jawaban apa dari Alfi yang menarik di sana?
Ya misalnya komentar, ‘Beni tadinya orang yang paling keras menentang mundurnya gue dari Upstairs karena takut gue bergabung dengan teroris, tapi akhirnya orang yang paling keras menentang justru sekarang udah ikut langkah gue’. Menurut gue, ya kita harus tanya sama masing-masing orang itu, apakah lo bergabung dan dipersatukan karena isu yang sama atau digerakkan oleh satu kekuatan yang mungkin lo sendiri juga nggak tahu kekuatan itu eksis dengan alasan menjalankan kepentingan agama.
eramadina.com
Ok. Kalau dengan gerakan Metal Satu Jari bagaimana?
Berbeda. Karena Metal Satu Jari itu satu organisasi atau komunitas yang justru menggunakan musik metal untuk menyebarluaskan Islam, sementara yang ini (Strangers Al Ghuroba) benar-benar mengharamkan musik, apapun jenisnya yang dihasilkan dari instrumen musik. Sebenarnya Metal Satu Jari nggak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Rhoma Irama di tahun 70an.
Dan Anda adalah juga termasuk salah satu penggagas konser Metal Untuk Semua di tahun 2010 yang bertujuan untuk melawan Metal Satu Jari itu.
Ya karena waktu itu juga Metal Satu Jari kita curigai adalah orang-orang yang bersimpati pada teroris, yang memberikan dukungannya kepada gerakan terorisme.
Kenapa sampai timbul kecurigaan seperti itu?
Karena Ombat (vokalis Tengkorak, salah satu gerombolan Metal Satu Jari yang paling disegani) adalah tim pembela Abu Jibril. Dia yang mengepalai tim advokasi terhadap para terduga teroris. Itu sangat masuk akal kalau akhirnya kita curiga. Tengkorak band besar dan memiliki penggemar yang besar. Ombat juga orang yang sangat kharismatik. Dia menggunakan pengaruhnya untuk menggerakkan anak-anak muda. Ya itu cukup membuat kita khawatir karena walaupun di situ dia berdiri secara profesional sebagai tim penasehat hukum, secara nggak langsung pasti ada ikatan emosional. Jadi ketika ada orang-orang yang melakukan aktifitas terorisme tapi tidak dikecam, tidak dikutuk, dan malah dibela, mau nggak mau itu merupakan satu hal yang patut dipertanyakan.
Tapi gaung Metal Satu Jari tampaknya sudah mereda akhir-akhir ini.
Bukan mereda, sih, menurut gue lebih karena ini gerakan yang hangat-hangat tahi ayam. Bahwa kalau mau dibandingkan, Metal Satu Jari akhirnya justru lebih bagus dibandingkan The Strangers.
Karena mereka tidak mengharamkan musik.
Ya. Metal Satu Jari nggak munafik untuk bicara terang-terangan bahwa mereka melakukan ini untuk Tauhid. Satu jari. Tujuannya untuk Allah. Menggunakan musik underground, menggunakan budaya populer untuk melakukan counter opini terhadap isu-isu liberal, atau istilahnya SIPILIS.
(tertawa) Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme.
Nah, itu yang mereka mau lawan. Jadinya mereka tidak mengharamkan musik. Itu semacam gerakan white metal kalau di Amerika, kayak Stryper. Jadi nggak perlu ditakutkan, toh mereka preaching, berdakwah. Bebas. Kita mau beribadah, menyebarluaskan agama, ya bebas. Tapi mereka tidak melakukan aksi-aksi yang vandal.
Jadi Metal Satu Jari sempat melakukan aksi vandal di sini?
BERSAMBUNG......
Siapin cemilan dan minuman agan, artikel ini cukup buat perut agan jadi pada laper...
Spoiler for ReadME:
Ketika musik sebagai anak kandung budaya pop digolongkan ke dalam kegiatan terlarang oleh sebuah majelis taklim yang menamakan dirinya The Strangers Al Ghuroba, banyak orang kemudian merasa gusar dan mempertanyakan keabsahannya. Terutama ketika hal itu justru dilontarkan oleh orang-orang yang sebagian besar waktu hidupnya pernah diabdikan dengan mengimani musik sebagai mata pencaharian; mereka pernah begitu tergantung, berbahagia dan diselamatkan oleh musik. Kini melalui penggalian dan pendalaman terhadap agama beserta sejumlah tafsir dalilnya, sebuah palu telah dijatuhkan dari lidah seorang manusia yang menganggap dirinya sebagai budak sepenuhnya dari raja bernama Tuhan, bahwa memainkan juga mendengarkan musik adalah termasuk satu bentuk dosa besar, atau menurut mereka, HARAM, yang disetarakan bersama perzinahan, kain sutera bagi lelaki dan minuman beralkohol. “Alat-alat musik itu adalah bagaikan pemabuk jiwa,” sebut Ahmad Zainuddin, yang dianggap sebagai guru besar oleh The Strangers Al Ghuroba dalam pengajian mereka yang bertajuk “Semua Suka Musik?” pada pertengahan tahun lalu.
Sudut pandang itu tentu saja segera menimbulkan polemik seru tiada tara bagi negara yang mengaku berdemokrasi ini di mana kebebasan berpendapat seharusnya begitu dijunjung tinggi. Yang artinya begitu sebuah pernyataan dilontarkan oleh satu kelompok, halal hukumnya jika kelompok lainnya melancarkan sikap kontra. Dalam hal itu kami mewawancarai Wendi Putranto yang dikenal luas sebagai editor Rolling Stone, media pers musik terbesar di sini dan mencoba mencari tahu opininya mengenai gerakan mengharamkan musik tadi.
Perlu diketahui Wendi pernah menjabat sebagai manajer The Upstairs, gerombolan disko paling punk negeri ini yang dua anggotanya telah termasuk ikut dalam golongan para pemurtad musik kelompok The Strangers Al Ghuroba. Dan juga salah seorang dari penggagas konser Metal Untuk Semua, sebuah pagelaran musik pro pluralisme dan anti terorisme yang diadakan lima tahun lalu di Bulungan, Jakarta.
“Memang di Al Quran sendiri setelah gue baca dan pelajari, tidak ada ayat yang secara tegas menyatakan bahwa musik itu dilarang. Hanya ada hadist saja yang memperkuat bahwa musik ini begini dan begitu,” sebut Wendi. “Bahkan Nabi Muhammad pun masih memperbolehkan rebana jika itu dimainkan ketika Idul Fitri,” lanjutnya lagi.
Dalam mungkin dua tahun terakhir ini terdapat banyak fenomena musisi tobat. Bahkan beberapa diantara mereka malah jadi berbalik mengharamkan musik itu sendiri. Menurut Anda apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Sebenarnya berpaling ke agama dari musik yang dianggap sangat duniawi, atau ketika orang memutuskan untuk lebih tekun beribadah, lebih mendekatkan diri kepada Pencipta-nya, gue melihatnya itu sebagai keputusan yang sepenuhnya pribadi. Tidak ada masalah di situ. Siapa pun boleh melakukan itu karena memang termasuk hak asasi sebagai seorang manusia. Cuma yang membuat gue jadi curiga, skeptis dan sangat penasaran untuk tahu alasan mereka tobat adalah kenapa waktunya bisa hampir berbarengan. Kenapa bisa nyaris semuanya terjadi dalam waktu yang berdekatan. Ini seperti getok tular, dari satu orang mempengaruhi yang lain, kemudian orang yang terpengaruh terakhir juga mencari teman yang lain untuk dipengaruhi. Ini bergeraknya dengan sistem sel.
Jadi mereka saling mempengaruhi, begitu?
Iyalah, menurut gue forum-forum seperti pengajian di Blok M Square, semua yang bisa kita tonton di videonya itu… dakwah kan juga tujuannya untuk mempengaruhi. Gue ingat ceritanya Alfi (Chaniago, pemain bas The Upstairs) ketika memutuskan untuk pindah dari Upstairs, bukan ke band lain, tapi untuk berhenti main musik. Dia bilang dia ketemu dengan teman SMA-nya yang sudah puluhan tahun tidak bertemu, dan sudah berubah sama sekali dengan yang dikenalnya dulu. Ketika pertemuan pertama itu mereka masih dalam batas silaturahmi. Baru setelahnya dia mulai menyuntikkan pemahaman-pemahaman agama kepada Alfi. Momen saat itulah seseorang mulai dipengaruhi secara individual. ‘Apa lo sudah menjalankan kewajiban muslim dengan benar?’, ‘Apa lo sudah solat dengan benar?’, ‘Apa lo sudah memikirkan nanti setelah mati mau jadi apa?’, itu beberapa pertanyaan yang diajukan, dan Alfi ketika mendapat pertanyaan-pertanyaan semacam itu, benar-benar terketuk. Tidak lama kemudian dia mengundang anak-anak untuk meeting, menjelaskan bahwa ‘gue akan berhenti main band dan memutuskan untuk belajar agama’.
Sebagai manajer The Upstairs ketika itu apa yang Anda katakan padanya?
Gue bilang, ‘kalau lo mau mendalami agama, itu keputusan individual, tapi gue nggak mau liat lo di Pos Kota jadi ‘pengantin’, karena lo temen gue. Mudah-mudahan ini pengajian yang benar yang membuat lo jadi lebih baik, lebih tenang dan lebih bisa menikmati hidup dalam gaya yang berbeda’. Ya secara nggak langsung gue bilang, ‘lo jangan jadi teroris’ (tersenyum).
Saat itu di The Upstairs pun bukan hanya Alfi yang bertobat tapi juga ada beberapa kru. Apa Alfi juga yang mempengaruhi mereka?
Nggak, sih bukan Alfi. Tapi nggak tahu, ya kalau di belakang gue. Gue juga nggak ngerti gimana awalnya tuh anak-anak pada tobat. Kalau si videografernya Upstairs, dia sempet jatuh dari motor, terus harus dioperasi dengkulnya. Cukup parah. Dan menurut penjelasannya saat itu dia bisa saja mati. Jadi dia mengalami near death experience yang membuatnya, ‘gila berarti gue masih ‘dijagain’ oleh Allah’. Itulah momentum yang membuat dia berpaling dari musik. Setelah itu dia mendonasikan koleksi kaos dan CD-nya ke gue, yang dengan senang hati gue terima (tertawa). Dia juga menghapus semua file musik metal di komputernya. Menurutnya, musik adalah sesuatu yang membuat dia lalai, lupa solat, jauh dari Tuhan. Jadi lebih banyak mudaratnya.
Menurut Anda sendiri kalau dihadapkan pada pernyataan ‘musik lebih banyak membawa mudarat’ itu bagaimana?
Kalau sampai ada orang-orang yang mudarat dan meninggalkan solat, bukan karena musiknya menurut gue. Ya lo aja nggak disiplin beribadah. Jangan dikambinghitamkan ke musiknya. Itu tergantung orangnya juga dalam mencerna musik. Kita dari kecil mendengarkan musik metal yang dibilang sama orang tua sebagai musik setan, yang mana gue sendiri nggak berkembang jadi seorang pemuja setan. Bahwa kemudian ada orang-orang yang, katakanlah seperti musisi black metal yang lebih serius mendalami paganisme atau okultisme atau satanisme, itu pilihan mereka. Kalau menurut gue itu terlalu keseriusan (tertawa). Basically, gue lebih percaya bahwa fungsi nomor satu musik adalah hiburan. Yang kedua, ya baru lo mendapat pencerahan dari musik, lo bahagia, terinspirasi. Ya lo mungkin terlalu serius untuk mendalami musik itu jadi sebuah ideologi, sebuah ajaran, sebuah paham. Dan itu menurut gue, lo lebay.
Mungkin itulah orang-orang lebay yang akhirnya menganggap musik itu haram, seperti yang diproklamirkan oleh The Strangers Al Ghuroba. Apa pendapat Anda mengenai mereka?
Al Ghuroba itu artinya, kan strangers dalam bahasa Arab. Menurut gue ini sekadar pengajian majelis taklim saja, sih, yang tujuannya melakukan pertobatan massal, kayaknya. Dan yang disasar memang anak-anak musik, musisi, penggemar musik yang bisa dibilang punya potensi massa pengikut yang besar. Ada strategi tertentu yang dimainkan di dalam itu. Gue sendiri nggak terlalu paham tujuan akhirnya apa. Apakah hanya sekadar mengajak orang agar lebih rajin beribadah atau menabung pahala buat mendapatkan tangga menuju surga yang mana itu sebenarnya bisa dikasih oleh Led Zeppelin (tersenyum). Jadi, ya hal-hal seperti itu kalau memang sifatnya sebuah pilihan personal, kita harus hargai, hormati. Tapi kalau ternyata dibalik gerakan ini ada sebuah masterplan atau grand design…
Seperti agenda Islamisasi atau Arabisasi?
Bukan Islamisasi sih maksudnya. Itu sesuatu yang wajar kalau menurut gue. Itu misionaris kalau dalam format Kristen. Yang lebih parah lagi kalau ada ide-ide yang ingin menggulingkan negara ini menjadi bagian dari Jamaah Islamiyah atau mendirikan Khilafah yang mengubah dasar negara ini dari Pancasila jadi syariah. Seperti itu yang berbahaya buat kebinekaan di Indonesia. Indonesia ketika dulu pertama kali dideklarasikan sudah jelas berasal dari berbagai macam suku bangsa. Jadi kalau mau diseragamkan… itukan namanya penyeragaman, pemaksaan kehendak bahwa negara ini akan dijadikan negara yang berdasarkan teokrasi oleh satu agama tertentu. Itu yang menjadi salah satu ketakutan gue bahwa teman-teman yang berada dalam gerakan ini nantinya terasosiasi atau terkoneksi dengan ISIS, misalnya, atau gerakan terorisme internasional yang memang tujuannya mengubah negara-negara di dunia menjadi bagian dari mereka, Negara Islam bisa dikatakan.
Tapi ada tidak kecenderungan dari mereka untuk menuju ke arah sana?
Gue belum melakukan riset atau penelitian lebih lanjut untuk tahu bahwa gerakan ini memiliki anasir kayak gitu. Cuma menurut gue ini related dengan kehidupan sehari-hari kita. Teman-teman kita yang dari kecil mendengar atau main dan terpengaruh musik, dibesarkan oleh musik, mereka mencari uang dari musik, kok tiba-tiba dalam hitungan sebulan dua bulan tiga bulan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi membenci musik, meninggalkan musik, mengharamkan musik. Itu sesuatu yang mencurigakan. Kok bisa seperti itu? Ada apa sebenarnya ini? Apa yang mereka lakukan terhadap teman-teman gue? Dan sebagai teman yang baik kita sudah sepatutnya untuk curiga. Berjaga-jaga dan waspada, jangan sampai terjadi sesuatu dengan teman-teman kita itu. Kalau memang dia mau jadi ustadz atau ulama, gue nggak ada urusan, nggak punya hak untuk intervensi. Tapi kecenderungannya di masyarakat sekarang, gerakan yang ada itu… ya tiba-tiba ada kiriman bom di mal atau di Ciputat ada penggrebekkan terhadap markas teroris yang diam-diam sudah mengontrak rumah selama tiga bulan. Itu bukan sesuatu yang mustahil. Itu kehidupan sehari-hari lo di Jakarta, selain cari uang dan menghadapi kemacetan adalah ancaman terorisme. Dan bukannya mendiskreditkan, bukannya memberikan stigma yang jelek kepada agama tertentu, tapi yang terjadi, mereka yang melakukan pengeboman, mereka yang dikejar-kejar polisi identik dengan agama Islam. Nah, itu yang kini sedang digeluti oleh teman-teman gue. Ini bisa dibilang phobia, kalau itu akan menjadi sebuah gerakan yang masif karena pelan-pelan jumlah anggotanya bertambah, dan kenapa yang direkrut anak-anak band, karena mereka punya basis massa.
Kalau melihat pergerakan The Strangers Al Ghuroba mereka masih menggunakan unsur-unsur pop dari musik itu sendiri, mulai dari logo, flyer sampai mencantumkan nama-nama eks band para anggotanya.
Itu sebuah varian gerakan yang mereka lakukan dengan menunggangi kebudayaan populer. Itu strategi mereka untuk bisa menembus anak-anak muda, dengan menggunakan logo band atau massa dari band yang sudah ngetop untuk menyebarluaskan ajaran mereka.
Sebenarnya juga dengan menyebut musik haram secara tidak langsung mereka telah menganggap orang yang masih main atau mendengarkan musik sebagai kafir.
Ya memang itu sama saja dengan menunjuk ke muka lo bahwa lo kafir. Ada persamaan bahwa mereka termasuk Kaum Takfiri.
Apa itu Kaum Takfiri?
Kaum yang senang men-judge golongan orang lain sebagai kafir. Jadi gampang mengkafiri orang, ‘Kafir! Kafir! Kafir!’.
Budaya judgemental seperti itu rasanya memang mengakar, ya di masyarakat kita.
Yang gue lihat ya itu, karena bisa dibilang nyaris tidak ada dialog dengan gerakan tersebut. Dengan The Strangers yang dihadapkan bukan berdialog, bukan mengkaji dengan logika tapi lo berhadapan secara langsung, ‘ini wahyu-nya, ini ayat-nya, ini hadist-nya’, gaya hidup dengan pemurnian Islam; kalau lo mendengarkan musik sementara musik nggak diatur dalam Al Quran, ya berarti haram. Melakukan aktifitas haram lo dapat dosa, semakin banyak lo mengoleksi dosa tempat lo bukan di surga.
Yang terakhir dari The Upstairs adalah Beni (Adhiantoro, drummer) juga ikut masuk ke The Strangers Al Ghuroba. Anda sempat berbicara dengan dia?
Beni itu muallaf. Sebelum memutuskan resign dari Upstairs Beni masuk Islam, dan sekitar 2009 dia menikah dengan seorang Muslim. Jadi pertimbangan gue waktu itu kenapa dia masuk Islam supaya bisa menikahi calon istrinya. Dan setelah dia menikah, pacarnya sendiri yang tadinya cukup sekuler dan moderat kemudian mulai pakai jilbab. Pas gue dengar dia keluar dari Upstairs, gue kaget karena Beni adalah nyawa buat Upstairs, dia penyuplai beat. ‘Generatornya Upstairs, nih yang cabut’. Gue sempat tanya langsung kenapa keluar, ‘ya pengen ninggalin aja hal-hal yang mudarat. Biar nggak termasuk golongan orang-orang yang lalai’, katanya gitu. Menurut gue alasan itu keluar dari mulut Beni, cukup ngagetin karena gue tahu hidupnya cuma bisa di musik. Berarti dia meninggalkan mata pencahariannya. Sampai akhirnya gue nemu video di Youtube dia lagi menggergaji gitar. Terus sempat ditanya sama gitarisnya Straight Out, Piping, ‘kenapa gitar yang lo hancurin? Kan lo bukan gitaris. Bakar drum dong’. Masih sayang, katanya (tersenyum).
Bisa tidak dibilang kalau mereka beralih ke agama karena karir musik mandek, begitu-begitu saja dan stagnan?
Ada beberapa teori yang bilang kayak gitu, salah satunya dari Jimi (Multhazam, vokalis The Upstairs, Morfem): orang-orang yang bergabung dengan Strangers adalah mereka yang karirnya jatuh atau kehidupan personalnya lagi terpuruk, ya cuma yang bisa menjawab hanya orang-orang ini. Sayangnya mereka nggak ada yang bisa diwawancara, karena ketika Rolling Stone bikin feature tentang itu mereka nggak mau diwawancara.
Apa alasan mereka tidak mau diwawancara?
Ya mereka tertutup. Nggak ada alasan. Nggak mau aja. Jadi nggak ada verifikasi atau klarifikasi. Intinya nggak mau saja. Makanya cukup kaget ketika ada majalah Jogja, Warning, bisa wawancara Alfi. Menurut gue itu agak ajaib.
Anda sudah baca?
Udah.
Ada jawaban apa dari Alfi yang menarik di sana?
Ya misalnya komentar, ‘Beni tadinya orang yang paling keras menentang mundurnya gue dari Upstairs karena takut gue bergabung dengan teroris, tapi akhirnya orang yang paling keras menentang justru sekarang udah ikut langkah gue’. Menurut gue, ya kita harus tanya sama masing-masing orang itu, apakah lo bergabung dan dipersatukan karena isu yang sama atau digerakkan oleh satu kekuatan yang mungkin lo sendiri juga nggak tahu kekuatan itu eksis dengan alasan menjalankan kepentingan agama.
eramadina.com
Ok. Kalau dengan gerakan Metal Satu Jari bagaimana?
Berbeda. Karena Metal Satu Jari itu satu organisasi atau komunitas yang justru menggunakan musik metal untuk menyebarluaskan Islam, sementara yang ini (Strangers Al Ghuroba) benar-benar mengharamkan musik, apapun jenisnya yang dihasilkan dari instrumen musik. Sebenarnya Metal Satu Jari nggak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Rhoma Irama di tahun 70an.
Dan Anda adalah juga termasuk salah satu penggagas konser Metal Untuk Semua di tahun 2010 yang bertujuan untuk melawan Metal Satu Jari itu.
Ya karena waktu itu juga Metal Satu Jari kita curigai adalah orang-orang yang bersimpati pada teroris, yang memberikan dukungannya kepada gerakan terorisme.
Kenapa sampai timbul kecurigaan seperti itu?
Karena Ombat (vokalis Tengkorak, salah satu gerombolan Metal Satu Jari yang paling disegani) adalah tim pembela Abu Jibril. Dia yang mengepalai tim advokasi terhadap para terduga teroris. Itu sangat masuk akal kalau akhirnya kita curiga. Tengkorak band besar dan memiliki penggemar yang besar. Ombat juga orang yang sangat kharismatik. Dia menggunakan pengaruhnya untuk menggerakkan anak-anak muda. Ya itu cukup membuat kita khawatir karena walaupun di situ dia berdiri secara profesional sebagai tim penasehat hukum, secara nggak langsung pasti ada ikatan emosional. Jadi ketika ada orang-orang yang melakukan aktifitas terorisme tapi tidak dikecam, tidak dikutuk, dan malah dibela, mau nggak mau itu merupakan satu hal yang patut dipertanyakan.
Tapi gaung Metal Satu Jari tampaknya sudah mereda akhir-akhir ini.
Bukan mereda, sih, menurut gue lebih karena ini gerakan yang hangat-hangat tahi ayam. Bahwa kalau mau dibandingkan, Metal Satu Jari akhirnya justru lebih bagus dibandingkan The Strangers.
Karena mereka tidak mengharamkan musik.
Ya. Metal Satu Jari nggak munafik untuk bicara terang-terangan bahwa mereka melakukan ini untuk Tauhid. Satu jari. Tujuannya untuk Allah. Menggunakan musik underground, menggunakan budaya populer untuk melakukan counter opini terhadap isu-isu liberal, atau istilahnya SIPILIS.
(tertawa) Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme.
Nah, itu yang mereka mau lawan. Jadinya mereka tidak mengharamkan musik. Itu semacam gerakan white metal kalau di Amerika, kayak Stryper. Jadi nggak perlu ditakutkan, toh mereka preaching, berdakwah. Bebas. Kita mau beribadah, menyebarluaskan agama, ya bebas. Tapi mereka tidak melakukan aksi-aksi yang vandal.
Jadi Metal Satu Jari sempat melakukan aksi vandal di sini?
BERSAMBUNG......
Spoiler for SUMBER:
Diubah oleh ekspektasi 17-10-2015 11:33
0
14.2K
Kutip
80
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan