- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Kenapa Yogyakarta menjadi provinsi paling timpang di Indonesia


TS
BeritagarID
Kenapa Yogyakarta menjadi provinsi paling timpang di Indonesia

Pedagang Pasar Selatan Stasiun Tugu melakukan aksi "Tapa Pepe" atau berjemur di Alun-Alun Utara, Yogyakarta, Minggu (16/7) mengadukan penggusuran pedagang di pasar selatan Stasiun Tugu. Yogyakarta menjadi provinsi paling timpang di Indonesia.
Ketimpangan, tak selalu muncul di kota-kota besar. Di provinsi Yogyakarta, yang hanya satu dari lima wilayahnya merupakan perkotaan, ketimpangannya justru paling besar di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional, Senin (17/7) lalu mengeluarkan data kemiskinan dan ketimpangan di seluruh Indonesia.
Dalam mengukur ketimpangan, BPS menggunakan Ratio Gini alias indeks gini. Indeks ini menggunakan skala 0-1. Makin besar nilai indeks gini, makin besar ketimpangannya. Artinya, jurang ekonomi antar kelompok di wilayah itu makin lebar.
BPS hanya menghitung jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat untuk mengukur rasio Gini. Pendapatan, tingkat inflasi, dan faktor pertumbuhan ekonomi hanya menjadi faktor pendukung yang mempengaruhi jumlah pengeluaran masyarakat.
Menurut pengukuran BPS, nilai ketimpangan di Indonesia mencapai 0,393. Tapi Yogyakarta indeks ketimpangan ini mencapai 0,432. Melebihi Jakarta, Banten, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.
Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik, Sairi Hasbullah menjelaskan, penduduk Yogyakarta memiliki pola konsumsi yang unik.
"Kalau rumah tangga miskin, sangat hemat," kata Sairi seperti dinukil dari Tempo.co, Rabu (19/7). Sedangkan pendatang dan kelas menengah-atas di Yogyakarta, pengeluarannya hampir setara dengan di provinsi lain.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mendapati, sumber utama ketimpangan yakni Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Kedua wilayah ini dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terjangkit fenomena modernisasi yang seakan dipaksakan.
Pembangunan ini melahirkan ketimpangan pengeluaran yang terlampau tinggi. Sebab, pembangunan hotel dan mal di provinsi itu dinilai hanya memfasilitasi kelompok ekonomi menengah ke atas. Sementara kelompok ekonomi terbawah tidak mengubah gaya hidupnya yang sederhana.
Artinya, saat kalangan ekonomi mampu di Yogyakarta mulai mengikuti gaya hidup mereka ala kota-kota besar lainnya di Indonesia, sebagian lagi masyarakat bawah mempertahankan gaya hidupnya yang seadanya.
"Tata ruang di Yogya liar sekali. Izin hotel dan mal mudah didapat. Padahal lahannya diperuntukkan persawahan. Ada serbuan juga oleh pendatang kaya," ujar Bhima, di Jakarta, Selasa (18/7), seperti dipetik dari Republika.co.id.
Menurut hitungan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), penduduk miskin di Yogyakarta angkanya tertinggi di Jawa, pada 2016 mencapai 488.830 jiwa, meningkat dibanding tahun sebelumnya (2016) yang mencapai 485.560 jiwa.
Hitungan BPS Yogyakarta berbeda. Hingga Maret 2017, garis kemiskinan di provinsi itu dipasang di angka Rp374.009 per kapita per bulan. Mereka yang pengeluarannya di bawah patokan itu ada 488.530 orang. Turun 6.410 jiwa dari Maret tahun sebelumnya, 494.940 orang.
Menurut Kepala PSKK UGM Agus Heruanto Hadna pembangunan yang marak di Yogyakarta, seperti pembangunan bandara internasional, mall, hotel, dan rencana jalan tol harusnya menekan ketimpangan dan kemiskinan. Tapi yang terjadi malah anomali.
"Karena kehadiran (pembangunan Mall dan Hotel di Yogyakarta) tidak banyak membawa manfaat kepada masyarakat," kata Agus, Senin (15/05), seperti dipetik dari MediaIndonesia.com.
Bhima menilai, uang pembangunan itu bukan berasal dari Yogyakarta. Pembeli dan pengisi bangunan itu pun bukan orang asli Yogyakarta. Petani yang makin terjepit kondisi ekonomi akhirnya terpaksa melepas lahannya untuk dijadikan lahan properti.
Menurut hitungan situs properti Rumah.com, harga rata-rata properti rumah tapak hingga Juni tahun ini di Kota Gudeg itu mencapai Rp6,09 juta per meter.
Country Manager Rumah.com, Wasudewan menilai faktor utama kenaikan harga rumah tapak di Yogyakarta adalah karena kota tersebut menjadi tujuan wisata utama di Indonesia selain Bali, Bandung dan Jakarta.
Tapi di sisi lain, liarnya perizinan hotel ini dicegah dengan moratorium pembangunan hotel. "(Ini) membuat para investor dan para pengembang beralih pada rumah tapak," ujar Wasudewan, Senin (3/7).
Bhima menyebut, pemerintah harus mengendalikan harga tanah dari permainan spekulan. Jika harga properti yang mahal, sulit dijangkau warga Yogyakarta, terutama dari kelompok miskin. Tapi lebih dinikmati oleh pendatang dari kelompok kaya.
"Instrumen pengendalian harga salah satunya dengan memberikan denda yang tinggi bagi pemilik lahan sawah yang mengkonversi jadi bangunan," kata dia.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...g-di-indonesia
---
Baca juga dari kategori BERITA :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
9.3K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan