Asal muasal perayaan ini memang simpang siur. Dari cerita rakyat tentang dewi yang terluka saat melahirkan sampai mitos akan perempuan yang vaginanya dikuasai iblis.

Kalau dari sisi sejarah beneran, festival ini diadakan untuk memohon perlindungan bagi para pramuria dari segala penyakit kelamin.

Meski sekilas tampak mesum, festival ini sebenarnya memiliki makna yang penting. Terutama di Jepang yang tiap tahun angka kelahiran menurun, warganya harus lebih subur.

Namun seiring melejitnya popularitas festival ini di kalangan umum, makna filosofisnya tampak terkikis. Para turis tampaknya hanya heboh karena tema festival yang unik dan tabu.

Makanya festival ini seakan-akan dilahirkan kembali sebagai budaya pop yang trendi. Di mana penjual kaki lima bermunculan menjual segala hal berbentuk penis.

Dibanding mendalami makna festival ini yang sesunggunya, tampaknya cinderamata unik justru jadi daya tarik utama. Terutama bagi kalangan muda

Tak hanya turis lokal saja, turis manca negara tampaknya jauh lebih antusias dan penasaran terhadap perayaan ini

Tentunya disamping menjawab rasa penasaran akan festival aneh ini, para pengunjung wajib berfoto ria dengan suvenir-suvenir unik yang dijual sepanjang jalan.

Tapi modernisasi juga membawa pelebaran makna dalam festival ini. ‘Mikoshi‘ pink bernama Elizabeth sekarang ikut diarak untuk meningkatkan awareness terhadap isu LGBT.

Yang lebih patut diacungi jempol adalah fakta bahwa uang donasi yang dikumpulkan akan disumbangkan kepada yayasan HIV/AIDS.