- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Humor, antara Estetika dan Kosmetika
TS
habibgoogle
Humor, antara Estetika dan Kosmetika
Quote:
Quote:
Semua humor itu plesetan. Plesetan, di luar humor, bisa bernama penyelewengan hukum, kemunafikan sikap perilaku, atau tragedi politik.
Humor, juga humor-plesetan, itu kasus estetika. Radius “hak” humor hanya dalam wilayah konteks estetika. Adapun dalam etika dan saintika, atau jika humor dan plesetan menjadi watak dunia etika dan saintika: destruksi hasilnya.
Jelasnya: dalam urusan etika (baik-buruk) dan saintika (benar-salah), humor dan plesetan hanya berfungsi kosmetik. Ibarat badan, saintika itu anatomi tulang-belulang, etika itu daging dan kulit, estetika itu bedak pupur belaka. 4 x 4 itu 16, jangan diplesetkan menjadi sama dengan terserah “petunjuk bapak”. Itu hakiki saintika.
Kedaulatan rakyat, demokrasi, hak asasi, itu bukan humor dan jangan diplesetkan, kecuali sekadar untuk hiasan, rumbai, atau instrumen pelentur dan penyegar dalam susah payah proses mewujudkannya. Hak perut untuk diisi makanan, hak darah untuk beredar, hak akal untuk mencerap dan merumuskan, hak mulut untuk mengungkapkan, hak kaki dan tangan untuk bekerja, hak nurani untuk memperindah kehidupan—itu sangat serius, bukan humor, bukan dagelan dan tidak “berkewajiban” untuk diplesetkan.
Hal estetika sendiri, tentu tak usah kita jelas-jelaskan betapa pentingnya bagi kehidupan. Kalau kita menyuguhkan nasi dengan menaruhnya dalam botol, pasti “tidak lucu”. Juga kalau naik bus kota sambil menciumi foto pacar sampai basah-basah itu kertas foto: tidak salah menurut saintika dan etika, tapi “tidak lucu” menurut estetika.
Quote:
Serius
Quote:
Humor itu serius sebagai dan dalam dirinya sendiri. Humor itu sungguh-sungguh sebagai kesenian hidup. Jika humor diterapkan sebagai prinsip dalam kebenaran ilmu, tata negara, peribadatan, pergaukan rakyat-negara, manusia, Tuhan, dan lain sebagainya, ia merusak, seperti melipat-lipat kaca.
Di dalam kesenian, juga humor dan plesetan, surealisme atau ekspresionisme-liberal boleh—atau bahkan disarankan—untuk diterapkan. Hidung boleh dilebih-panjangkan, kepala silakan ditambah-besarkan, kaki dibengkok-bengkokkan, dan wajah dipeletot-peletotkan; sebab fenomena itu berada dalam wilayah kemungkinan inovasi estetik. Dan itu hanya berlaku sebagai estetika. Tidak sebagai etika atau saintika.
Maka data tentang kemiskinan dilarang untuk ditambah atau dikurangi. Fakta tentang korupsi, penindasan, pemelaratan, tak boleh dikecilkan atau dibesarkan. Fakta kehidupan, realitas manusia, kenyataan sejarah, bisa dihumorkan, tapi bukan humor.
Gejala plesetan yang membengkak tahun-tahun terakhir ini sesungguhnya terbatas pada jenis plesetan verbal: “Abdurrahman wahing… wahing pon wage kliwon… bumbu masak kliwooon… bumbu landu paranggi penyair sumba… sumba ainun nadjib… kasihan najib rakyat kita… kita purnamasari… saridin mbahmu!”
Adapun hampir seluruh teknik humor sebenarnya adalah plesetan. Plesetan logika. Plesetan asosiasi. Plesetan pemahaman. Plesetan atas plesetan. Yang terakhir ini, maksudnya: ketika orang sudah terbiasa dan mulai “imun” terhadap tradisi plesetan, justru diberi yang tidak plesetan, artinya plesetan diplesetkan ke sungguh-sungguh. Alhasil, metode komunikasi untuk memproduk tawa selalu melalui plesetan, karena asal-usul tawa berasal dari segala sesuatu yang tak terduga, yang melenceng dari kerangka asosiasi baku. Hampir semua pelawak memplesetkan wajahnya.
Quote:
Kemungkinan
Quote:
Humor selalu berdenyut di antara kutub kemungkinan sebagai ketahanan budaya dengan pelarian psikis. Kadarnya saja yang naik turun. Estetika humor membuat manusia lebih kerasan hidup, lebih resisten terhadap penderitaan, lebih memperoleh kesegaran dan keindahan. Tapi segala keindahan dan kesegaran, bahkan apa saja pengalaman manusia dalam hidup, selalu bisa memabukkan, menjerumuskan, menjebak. Tidak hanya wiski yang bikin teler. Air biasa juga bisa, asal kita minum satu drum aspal.
Juga bahwa tradisi humor pada saat tertentu hanya merupakan jenis eskapisme psikologis dari masyarakat, antisipasi kita ada dua macam. Kalau bisa, sebarkan kesadaran beserta tekniknya agar jangan terhenti sebagai pelarian. Kalau tak bisa, ya ndak apa-apa. Masih untung ada humor untuk tempat pelarian. Habisnya mau lari ke mana rakyat Anda yang bersedih dan ditimpa kepusingan struktural? Kepada Pak Camat, malah dikemplang. Kepada ulama, malah dicurigai sempalan. Kepada cendekiawan, malah dituduh cengeng. Kepada Tuhan, susah caranya omong-omongan.
Kalau bicara soal eskapisme, yang mungkin menjadi terdakwa bukan hanya humor, tapi juga ibadat dan tarekat, diskusi, dan asyik-masyuk akrobat intelektual, naik haji, sisi show demonstrasi, yayasan filantropi, romantisme “posmo”, sejumlah gejala “LSM”, seni tinggu, dan macam-macam lagi.
Quote:
Kritik
Quote:
Tetapi pasti bagus untuk menyadari dan meletakkan humor dalam fungsi kritik. Tradisi clowns, guyon parikeno, abdidalem oceh-ocehan, dan lain sebagainya yang sesungguhnya berlaku universal, selalu berfungsi kritik, meskipun tak usah dikasih beban melebihi kapasitasnya dalam menyumbang perubahan-perubahan dalam sejarah dengan “S” besar. Ia bahkan punya kelemahan mendasar tatkala disadari dan diperlakukan justru sebagai humor.
Kita boleh mengoceh sampai kemeng, tapi Sang Maharaja hanya tersenyum dan nyeletuk ringan: “Toh sekadar humor”, dan rakyat percaya bahwa itu toh sekadar humor. Sayang sekali ada jenis kalangan yang terlalu pelit budaya dan kecut politik, “sekadar humor” saja dilarang.
Humor itu kekayaan dahsyat yang memungkinkan seluruh sisi pergaulan dan pola komunikasi umat manusia lebih menemukan diri bahwa mereka hidup. Kuliah di kampus, ngungun di sel tahanan, dakwah agama, pidato politik dan ilmiah, pentas kesenian, rumah tangga, apa pun, akan penuh kematian jika steril dari estetika humor. Humor itu bagian amat mendasar dan mendalam dari daya survival manusia. Adapun jika humor kita nafsuin untuk didayagunakan dalam kontks-konteks besar sejarah-perubahan sosial, perlawanan politik, tandingan budaya, dan seterusnya—itu cukup mungkin.
Cuma, kalau gagasan semacam itu menggebu-gebu, biasanya tidak berasal dari orang yang “menguasai humor”. Para pelaku dan pentradisi humor biasanya tahu betapa pretensi nonhumor yang berlebih bisa melunturkan metabolisme kreativitas humor dalam sistem saraf-dalamnya. Humor tidak terlalu dekat dengan otak, melainkan cenderung intim dengan naluri, instink, spontanitas, serta berbagai jenis kepekaan. Padahal bangunan setiap pretensi politik itu sangat intelektualistik dan teknokratik. Di situ, orang malah bisa kehilangan humor.
Untunglah, kata sejumlah orang mulia yang cerdik-cendekia: Allah sendiri itu Mahahumor. Sudah enak-enak hidup sendiri kok bikin macam-macam makhluk yang lucu-lucu begini. Apa dia kesepian. Adam sudah nyaman-nyaman di surga, dibiarkan tercampak ke bumi. kok lucu. Buah Khuldi saja kok ndak boleh dimakan. Mbok ya biar. Apa sih ruginya Tuhan kehilangan sebiji Khuldi? Mbok biarkan Adam kimpoi sama Hawa di surga, pengantinan dan pesta sampai anak turunnya sekarang ini.
Kenapa makhluk-makhluk itu harus menunggu terlalu lama untuk memperoleh kesempatan bercengkerama mesra dengan-Nya. Lucu. Pakai bikin Iblis-Setan segala. Bertugas menggoda manusia. Terus manusia jadi susah sendiri. Ada yang membunuh ada yang dibunuh. Ada yang menindas ada yang ditindas. Ada yang sibuk korupsi tak habis-habisnya padahal makannya juga cuma tiga piring sehari.
Manusia juga jadi lucu-lucu dan aneh-aneh. Bikin sekolahan, merumuskan ideologi, mempertengkarkannya dengan darah dan mesin, sok pintar, cari nama besar, merintis karier, padahal ujung-ujungnya ya kempot, peot, dan mati.
Suara Merdeka, 25 September 1992
Diubah oleh habibgoogle 16-07-2017 12:36
0
3.1K
Kutip
14
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan