- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ada Kamu di Balik Pintu (Short Story)


TS
blue041
Ada Kamu di Balik Pintu (Short Story)
Pertemuan, ya pertemuan merupakan awal dari sebuah kisah. Setiap orang mengalami pertemuan, dengan cara apa pun itu, tetap kita namai pertemuan. Seperti halnya aku, aku pun mengalami apa yang di alami segelintir orang mengenai pertemuan itu.
Berawal dari pertemuanku dengan dia, di persimpangan jalan yang sering kami lewati semasa putih abu. Arah jalan membawa kisahku pada alur dirinya yang mengkesima. Pandangan-pandanganku tentang dia, tentang laki-laki yang sering aku lihat di persimpangan jalan itu. Awalnya aku biasa, terbiasa memandangi dia dari arah jauh di belakang, berfikir siapa kah dia gerangan. Semakinku lihat, semakin tak tentu arahku untuk mengenali dirinnya.
Sampai akhirnya kujumpai dia di sekolahku, dia yang entah siapa berjalan sembari melontar senyum kearah sekitarnya. Terkesima kembali, senyumnya begitu menawan, sampai tak sadar bahwa dia lah sosok yang seringku jumpai di persimpangan jalan itu.
“Nes, Nes, Nesaaa.” Ujar sahabatku Reni, hingga suaranya menggema di sekitar kantin.
“iya ada apa?” jawabku sekenanya.
“lagi apa si kamu? Aku tau mesti lagi liatin seseorang?” curiga Reni, sahabatku.
“apa? Bukan. Lagi liatin burung terbang kok.” Elakku, yang tak mau mengambil pusing masalah ini.
“jangan bohong deh, aku tau banget kalo kamu itu bohong.” Ucap Reni masih tak percaya.
Aku hanya tersenyum, menyikapi kenyataannya jika aku masih membayangkan sosok di persimpangan jalan yang masih sering ku lihat.
Hari terus berganti, sejak pertemuanku ke dua dengan laki-laki di kantin sekolah itu rasa penasaranku terus menghantui. Hingga siang yang tak terduga, aku jumpai dia sepulang sekolah dekat pintu gerbang sekolah kami. Ada salah seorang siswa sekolah ku entah siapa memanggil namanya. Sontak aku kaget, dia menghadapku, dia mengira aku yang memanggilnya. Aku hanya tersenyum memandangi dia yang aneh melihatku, padahal kejadian memanggil nama itu bukan aku yang dengan sengaja memanggil namanya. Tapi aku bersyukur, sejak saat itu aku tau laki-laki itu. Sena, ya itu lah nama dia. Nama itu terus terngiang dalam ingatanku.
Sejak saat itu, aku selalu menunggu kehadirannya. Kehadiran dirinya di sekolah yang luas ini. Laki-laki yang sama sekali takku kenali, entah dia kakak kelas, adik kelas, atau satu angkatan aku pun tak tau. Yang aku tau dia Sena, laki-laki yang seringku jumpai di persimpangan jalan itu.
Kehadiran yang kurasa cukup lama, hingga siang itu ku jumpai dia lagi. Seperti biasa, dia, Sena, berjalan sembari melontar senyum ke sekitarnya. Entah apa yang aku harapkan, aku bahagia, dan sangat bahagia kala itu saat aku melihatnya lagi, melihat dia yang selalu tersenyum menawan saat kujumpai. Dari sini, aku tau jika dia, Sena, adalah kakak kelas ku. Berbunga-bunga perasaan ini, telah ku ketahui sekaligus terbayarkan sudah rasa penasaran mengenai siapa dia, laki-laki yang sering ku jumpai di persimpangan jalan itu.
Pertemuan itu membuatku semakin dekat dengan Sena, ya Sena seorang laki-laki yang ternyata dia adalah kakak kelasku. Semenjak aku tau dia kakak kelasku, semenjak itu pula aku semakin sering berjumpa dengannya di sekolah. Entah apa maksud dari semua ini, aku bersikap biasa, melalui hari-hari ku untuk menimba ilmu. Namun berjumpa dengannya merupakan salah satu hal yang aku tunggu setiap aku berada di sekolah. Aneh mungkin, aku sekedar hanya ingin melihat senyum dan tawanya yang menawan, hanya itu, tak lebih untuk saat ini.
Kisah ini aku ceritakan pada sahabatku Reni. Dia yang sangat tau aku, dan bisa membaca isi hatiku membuat ku tak segan untuk sekedar cerita apa pun itu. Dan kali ini aku menceritakan laki-laki itu, yang bernama Sena. Tercengan, mungkin ini hal pertama yang aku rasa sejak Reni menceritakan semua tentang Sena. Reni tau siapa Sena, sampai mantan pacar Sena, Reni pun tau. Tak habis pikir, Reni benar-benar mengerti apa yang aku maksud dengan aku bercerita dengannya.
“Ren, yang bener? Ah masa?” ucapku masih tak percaya dengan cerita Reni mengenai Sena.
“iya bener, waktu itu di ......, ada ....., menasehati ..... karena kelakuan dia.” Ujar Reni yang mencoba meyakinkan ku.
“Kelakuan Sena seperti itu?” ucapku yang masih sangat tak percaya, aku pun langsung terdiam. Sangat dan sangat kaget, kenapa aku harus penasaran untuk mengenal Sena yang ternyata bisa disebut memiliki perangai kurang baik.
Perasaan tak percaya akan Sena masih terus mengalir dalam pikiranku, tak percaya jika dari balik senyumnya yang menawan dia menampakan sisi kurang baiknya. Sangat di sayangkan, sejauh ini aku berusaha mengenali dirinya. Sejak saat itu pula, aku mencoba menghapus nama Sena dari ingatanku. Namun apa yang terjadi, semakin aku mencoba menghilangkannya dari pikiranku, semakin aku terus memikirkan dia, dan semakin sering pula aku berjumpa dengannya. Ditambah, masih di persimpangan jalan itu aku sering berjumpa dengannya, dan pernah sewaktu itu aku tak sengaja melihatnya, masih dengan hal sama yang dia perbuat, dia saat itu tersenyum menawan memandangku. Sungguh perasaan yang sangat sulitku cerna. Awalnya aku hanya ingin tau, namun aku sadari perasaanku pada dia lebih dari sekadar ingin mengetahui.
Aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa ini bisa terjadi, kenapa aku harus bertemu dengan Sena, kenapa seolah pertemuan itu menuntunku untuk dapat mengetahui siapa Sena sebenarnya.
Rasa resah itu semakin hari semkain menjadi, aku tak bisa lepas untuk tidak memikirkan dia. Karna dia pun sering aku lihat, masih dengan senyumnya yang menawan, dari balik pintu kelas ku. Dari sini lah aku maknai perasaanku padanya bahwa aku suka dengannya. Rasa suka yang belum bisa kunamai dengan cinta, karna aku terbiasa untuk melihat senyumnya, ya karna aku suka dengan senyumnya yang menawan. Suka dengan apa ada dirinya, yang selalu tersenyum dengan hal disekelilingnya, tertawa bersama teman-temannya dengan semua yang ia lakukan sungguh aku terkesima dan suka dengan semua itu.
Dan apa yang dikatakan Reni benar adanya. Disisi lain perangainya kurang baik. Sempat di sore hari aku melihatnya, dengan teman yang mungkin aku lihat temannya kurang baik. Tapi entah lah, aku masih berminat memandangi dia dari balik pintu kelasku sewaktu dia lewat, melihat manis senyumnya, yang membuat aku seolah terbang akan indahnya warna hidup dari balik senyumannya.
“Nes, kamu suka dengan Sena?” ujar Reni yang kembali mengagetkanku dengan perkataannya.
“ngga, apaan si kamu Ren?” jawabku yang mencoba mengelak.
“jujur deh, kamu itu ga bisa bohong sama aku.” ucap Reni meyakinkan.
“aku pun ngga tau Ren, yang jelas jujur aku suka sama sikap dia.” Ujarku dengan perasaan setengah ragu dengan apa yang aku katakan pada Reni.
“ooh, kirain kamu sampe cinta. Aku saranin kamu jangan sampe cinta sama Sena.” Ucap Reni yang kembali mengagetkanku.
“memang kenapa Ren?”
“dia ngga baik buat kamu.”
“tapi.....” sengkal ku dengan rasa tak karuan, berharap semoga apa yang dikatakan Reni salah jika aku tak boleh untuk mencintainya.
“kamu akan mengerti nanti.” Ucap Reni diakhir perbincangan kami di perpus sekolah.
Saat itu aku terus menelaah, kenapa apa yang dimaksudkan Reni selalu tepat mengenai kegundahanku saat ini. Aku benar-benar sangat bimbang, aku tak bisa semudah apa yang dibayangkan untuk menghapus nama Sena dari pikiranku. Aku yang terbiasa mengharap kehadirannya dari balik pintu kelas, aku yang selalu berharap tiap hari berjumpa dengannya di persimpangan jalan, aku yang berharap melihat kelucuannya disaat jam istirahat, aku yang selalu berharap melihat tingkah konyolnya sewaktu di kantin, dan aku seorang yang hanya berharap itu semua akan terus ada mewarnai hariku di sekolah. Yang hanya sekedar melihat senyum dan tawa seorang Sena yang menawan bagiku.
Aku tak bisa membohongi perasaanku, apa yang dimaksudkan Reni terus terngiang dalam pikiranku. Aku meneguhkan jangan sampai aku mencintai Sena. Namun aku tak bisa untuk itu, semakin kesini aku sadar aku mencintai dia. Mencintai semua kebiasaanya tersenyum manis ke sekitarnya, mencintai semua tingkah baik dan buruk Sena. Benar-benar suatu perasaan yang sulit untuk di lukiskan. Aku berharap semoga apa yang di katakan Reni salah, jika aku tak diperkenankan untuk mencintainya, dengan alasan Sena tak baik buat aku.
Aku pun tak berharap lebih jika nantinya Sena akan tau semua ini, namun aku menikmati apa yang aku jalani. Aku hanya berharap perasaan itu akan indah pada saatnya. Meski pun entah kapan itu, karna sebentar lagi Sena akan meninggalkan sekolah ini. Meninggalkann semua kenangannya dari balik pintu kelas ku, tak ada lagi senyum menawanya, gelak tawanya, dan semua tingkah lucunya yang membuatku terhibur. Karna dia akan melangkah jauh untuk menggapai impiannya di bangku kuliah. Sedih, ya aku akui aku sedih jika harus kehilangan semua kebiasaan Sena yang terbiasa mewarnai hari-hariku di sekolah. Meski hanya dari balik pintu aku bisa melihat semua itu.
Maret, bulan ini lah aku bisa melihat dia berbeda. Saat ujian praktek kelas 12 berlangsung. Masih dengan senyumnya yang menawan, dia benar-benar kembali mengingatkankan tentang pertemuan aku dan dia dipersimpangan jalan itu. Saat kupandangi dia berfoto bersama teman sekelasnya, mengenakan baju batik yang tampak serasi dengan temannya yang lain. Sungguh bahagia, aku pernah mengenal Sena. Mengenali semua sikap baik dan buruknya, dari sini pula aku belajar. Mencintai sesorang itu perlu kesanggupan untuk dapat menerima sisi baik dan buruknya, sehingga kita dapat merasakan cinta yang sesungguhnya.
Salam sukses buat kakak kelasku, Sena. Semoga hasil UN memuaskan dan diterima di perguruan tinggi yang di harapkan. Aku masih disini, mengagumi senyumanmu yang menawan. Mungkin kita bisa bersua lagi di persimpangan jalan itu, dan aku akan melangkah jauh mengikuti jejakmu di bangku kuliah tahun esok. Dengan jalan dan kehidupan kita masing-masing kita akan melangkah.
Selesai
Berawal dari pertemuanku dengan dia, di persimpangan jalan yang sering kami lewati semasa putih abu. Arah jalan membawa kisahku pada alur dirinya yang mengkesima. Pandangan-pandanganku tentang dia, tentang laki-laki yang sering aku lihat di persimpangan jalan itu. Awalnya aku biasa, terbiasa memandangi dia dari arah jauh di belakang, berfikir siapa kah dia gerangan. Semakinku lihat, semakin tak tentu arahku untuk mengenali dirinnya.
Sampai akhirnya kujumpai dia di sekolahku, dia yang entah siapa berjalan sembari melontar senyum kearah sekitarnya. Terkesima kembali, senyumnya begitu menawan, sampai tak sadar bahwa dia lah sosok yang seringku jumpai di persimpangan jalan itu.
“Nes, Nes, Nesaaa.” Ujar sahabatku Reni, hingga suaranya menggema di sekitar kantin.
“iya ada apa?” jawabku sekenanya.
“lagi apa si kamu? Aku tau mesti lagi liatin seseorang?” curiga Reni, sahabatku.
“apa? Bukan. Lagi liatin burung terbang kok.” Elakku, yang tak mau mengambil pusing masalah ini.
“jangan bohong deh, aku tau banget kalo kamu itu bohong.” Ucap Reni masih tak percaya.
Aku hanya tersenyum, menyikapi kenyataannya jika aku masih membayangkan sosok di persimpangan jalan yang masih sering ku lihat.
Hari terus berganti, sejak pertemuanku ke dua dengan laki-laki di kantin sekolah itu rasa penasaranku terus menghantui. Hingga siang yang tak terduga, aku jumpai dia sepulang sekolah dekat pintu gerbang sekolah kami. Ada salah seorang siswa sekolah ku entah siapa memanggil namanya. Sontak aku kaget, dia menghadapku, dia mengira aku yang memanggilnya. Aku hanya tersenyum memandangi dia yang aneh melihatku, padahal kejadian memanggil nama itu bukan aku yang dengan sengaja memanggil namanya. Tapi aku bersyukur, sejak saat itu aku tau laki-laki itu. Sena, ya itu lah nama dia. Nama itu terus terngiang dalam ingatanku.
Sejak saat itu, aku selalu menunggu kehadirannya. Kehadiran dirinya di sekolah yang luas ini. Laki-laki yang sama sekali takku kenali, entah dia kakak kelas, adik kelas, atau satu angkatan aku pun tak tau. Yang aku tau dia Sena, laki-laki yang seringku jumpai di persimpangan jalan itu.
Kehadiran yang kurasa cukup lama, hingga siang itu ku jumpai dia lagi. Seperti biasa, dia, Sena, berjalan sembari melontar senyum ke sekitarnya. Entah apa yang aku harapkan, aku bahagia, dan sangat bahagia kala itu saat aku melihatnya lagi, melihat dia yang selalu tersenyum menawan saat kujumpai. Dari sini, aku tau jika dia, Sena, adalah kakak kelas ku. Berbunga-bunga perasaan ini, telah ku ketahui sekaligus terbayarkan sudah rasa penasaran mengenai siapa dia, laki-laki yang sering ku jumpai di persimpangan jalan itu.
Pertemuan itu membuatku semakin dekat dengan Sena, ya Sena seorang laki-laki yang ternyata dia adalah kakak kelasku. Semenjak aku tau dia kakak kelasku, semenjak itu pula aku semakin sering berjumpa dengannya di sekolah. Entah apa maksud dari semua ini, aku bersikap biasa, melalui hari-hari ku untuk menimba ilmu. Namun berjumpa dengannya merupakan salah satu hal yang aku tunggu setiap aku berada di sekolah. Aneh mungkin, aku sekedar hanya ingin melihat senyum dan tawanya yang menawan, hanya itu, tak lebih untuk saat ini.
Kisah ini aku ceritakan pada sahabatku Reni. Dia yang sangat tau aku, dan bisa membaca isi hatiku membuat ku tak segan untuk sekedar cerita apa pun itu. Dan kali ini aku menceritakan laki-laki itu, yang bernama Sena. Tercengan, mungkin ini hal pertama yang aku rasa sejak Reni menceritakan semua tentang Sena. Reni tau siapa Sena, sampai mantan pacar Sena, Reni pun tau. Tak habis pikir, Reni benar-benar mengerti apa yang aku maksud dengan aku bercerita dengannya.
“Ren, yang bener? Ah masa?” ucapku masih tak percaya dengan cerita Reni mengenai Sena.
“iya bener, waktu itu di ......, ada ....., menasehati ..... karena kelakuan dia.” Ujar Reni yang mencoba meyakinkan ku.
“Kelakuan Sena seperti itu?” ucapku yang masih sangat tak percaya, aku pun langsung terdiam. Sangat dan sangat kaget, kenapa aku harus penasaran untuk mengenal Sena yang ternyata bisa disebut memiliki perangai kurang baik.
Perasaan tak percaya akan Sena masih terus mengalir dalam pikiranku, tak percaya jika dari balik senyumnya yang menawan dia menampakan sisi kurang baiknya. Sangat di sayangkan, sejauh ini aku berusaha mengenali dirinya. Sejak saat itu pula, aku mencoba menghapus nama Sena dari ingatanku. Namun apa yang terjadi, semakin aku mencoba menghilangkannya dari pikiranku, semakin aku terus memikirkan dia, dan semakin sering pula aku berjumpa dengannya. Ditambah, masih di persimpangan jalan itu aku sering berjumpa dengannya, dan pernah sewaktu itu aku tak sengaja melihatnya, masih dengan hal sama yang dia perbuat, dia saat itu tersenyum menawan memandangku. Sungguh perasaan yang sangat sulitku cerna. Awalnya aku hanya ingin tau, namun aku sadari perasaanku pada dia lebih dari sekadar ingin mengetahui.
Aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa ini bisa terjadi, kenapa aku harus bertemu dengan Sena, kenapa seolah pertemuan itu menuntunku untuk dapat mengetahui siapa Sena sebenarnya.
Rasa resah itu semakin hari semkain menjadi, aku tak bisa lepas untuk tidak memikirkan dia. Karna dia pun sering aku lihat, masih dengan senyumnya yang menawan, dari balik pintu kelas ku. Dari sini lah aku maknai perasaanku padanya bahwa aku suka dengannya. Rasa suka yang belum bisa kunamai dengan cinta, karna aku terbiasa untuk melihat senyumnya, ya karna aku suka dengan senyumnya yang menawan. Suka dengan apa ada dirinya, yang selalu tersenyum dengan hal disekelilingnya, tertawa bersama teman-temannya dengan semua yang ia lakukan sungguh aku terkesima dan suka dengan semua itu.
Dan apa yang dikatakan Reni benar adanya. Disisi lain perangainya kurang baik. Sempat di sore hari aku melihatnya, dengan teman yang mungkin aku lihat temannya kurang baik. Tapi entah lah, aku masih berminat memandangi dia dari balik pintu kelasku sewaktu dia lewat, melihat manis senyumnya, yang membuat aku seolah terbang akan indahnya warna hidup dari balik senyumannya.
“Nes, kamu suka dengan Sena?” ujar Reni yang kembali mengagetkanku dengan perkataannya.
“ngga, apaan si kamu Ren?” jawabku yang mencoba mengelak.
“jujur deh, kamu itu ga bisa bohong sama aku.” ucap Reni meyakinkan.
“aku pun ngga tau Ren, yang jelas jujur aku suka sama sikap dia.” Ujarku dengan perasaan setengah ragu dengan apa yang aku katakan pada Reni.
“ooh, kirain kamu sampe cinta. Aku saranin kamu jangan sampe cinta sama Sena.” Ucap Reni yang kembali mengagetkanku.
“memang kenapa Ren?”
“dia ngga baik buat kamu.”
“tapi.....” sengkal ku dengan rasa tak karuan, berharap semoga apa yang dikatakan Reni salah jika aku tak boleh untuk mencintainya.
“kamu akan mengerti nanti.” Ucap Reni diakhir perbincangan kami di perpus sekolah.
Saat itu aku terus menelaah, kenapa apa yang dimaksudkan Reni selalu tepat mengenai kegundahanku saat ini. Aku benar-benar sangat bimbang, aku tak bisa semudah apa yang dibayangkan untuk menghapus nama Sena dari pikiranku. Aku yang terbiasa mengharap kehadirannya dari balik pintu kelas, aku yang selalu berharap tiap hari berjumpa dengannya di persimpangan jalan, aku yang berharap melihat kelucuannya disaat jam istirahat, aku yang selalu berharap melihat tingkah konyolnya sewaktu di kantin, dan aku seorang yang hanya berharap itu semua akan terus ada mewarnai hariku di sekolah. Yang hanya sekedar melihat senyum dan tawa seorang Sena yang menawan bagiku.
Aku tak bisa membohongi perasaanku, apa yang dimaksudkan Reni terus terngiang dalam pikiranku. Aku meneguhkan jangan sampai aku mencintai Sena. Namun aku tak bisa untuk itu, semakin kesini aku sadar aku mencintai dia. Mencintai semua kebiasaanya tersenyum manis ke sekitarnya, mencintai semua tingkah baik dan buruk Sena. Benar-benar suatu perasaan yang sulit untuk di lukiskan. Aku berharap semoga apa yang di katakan Reni salah, jika aku tak diperkenankan untuk mencintainya, dengan alasan Sena tak baik buat aku.
Aku pun tak berharap lebih jika nantinya Sena akan tau semua ini, namun aku menikmati apa yang aku jalani. Aku hanya berharap perasaan itu akan indah pada saatnya. Meski pun entah kapan itu, karna sebentar lagi Sena akan meninggalkan sekolah ini. Meninggalkann semua kenangannya dari balik pintu kelas ku, tak ada lagi senyum menawanya, gelak tawanya, dan semua tingkah lucunya yang membuatku terhibur. Karna dia akan melangkah jauh untuk menggapai impiannya di bangku kuliah. Sedih, ya aku akui aku sedih jika harus kehilangan semua kebiasaan Sena yang terbiasa mewarnai hari-hariku di sekolah. Meski hanya dari balik pintu aku bisa melihat semua itu.
Maret, bulan ini lah aku bisa melihat dia berbeda. Saat ujian praktek kelas 12 berlangsung. Masih dengan senyumnya yang menawan, dia benar-benar kembali mengingatkankan tentang pertemuan aku dan dia dipersimpangan jalan itu. Saat kupandangi dia berfoto bersama teman sekelasnya, mengenakan baju batik yang tampak serasi dengan temannya yang lain. Sungguh bahagia, aku pernah mengenal Sena. Mengenali semua sikap baik dan buruknya, dari sini pula aku belajar. Mencintai sesorang itu perlu kesanggupan untuk dapat menerima sisi baik dan buruknya, sehingga kita dapat merasakan cinta yang sesungguhnya.
Salam sukses buat kakak kelasku, Sena. Semoga hasil UN memuaskan dan diterima di perguruan tinggi yang di harapkan. Aku masih disini, mengagumi senyumanmu yang menawan. Mungkin kita bisa bersua lagi di persimpangan jalan itu, dan aku akan melangkah jauh mengikuti jejakmu di bangku kuliah tahun esok. Dengan jalan dan kehidupan kita masing-masing kita akan melangkah.
Selesai


anasabila memberi reputasi
1
1.2K
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan