- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Totti Dan Sepak Bola Modern


TS
mariyuanapsycho
Totti Dan Sepak Bola Modern




Totti Pergi Tidak Dengan Kenangannya

Aku bukanlah seorang fans A.S. Roma, aku pun tidak begitu mengenal kultur sepak bola Italia kecuali kegilaan para ultras dan mafia di sana.
Namun, jika ada seseorang yang bertanya “Siapa pemain sepak bola yang paling memberi makna tersendiri untukmu?” Maka dengan tegas aku akan menjawab, “Selain Lorenzo Cabanas dan Steven Gerrard, tentunya adalah Francesco Totti.”
Aku menggemari Cabanas, selain karena dulu ia bermain untuk Persib, adalah karena ia orang yang sangat rendah hati. Selalu tersenyum ketika ada yang menyapa, tak pernah terlihat "meninggi" meski saat itu namanya cukup ditakuti pemain-pemain lawan. Dan aku menemukan karakter yang sama pada Gerrard, yang bermain dengan hati sepenuhnya.
Bagaimana tentang Totti?
Pemain yang lahir dan tumbuh di Roma itu sudah menjelma bagai dewa bagi para suporter i Giallorossi, bahkan mungkin untuk Italia. Penyerang kelahiran 27 September 1976 tersebut, mewarnai masa kecilku lewat PlayStation 1 dan Televisi.
Ia tetap ada di tim yang sama sejak 1992, tetap bertahan hingga aku pubertas, melalui masa remaja, hingga kini usiaku 20 tahun. Dengan permainan ngotot dan sedikit "keras", ia melintasi masa-masa suka dan duka dengan keteguhan hati untuk Roma, meski ia membenci sepak bola modern sekali pun.
Totti adalah salah satu simbol dari semakin berkurangnya jumlah pemain sepak bola yang bermain dengan hati di zaman ini. Dan di laga giornata 38 Serie A melawan Genoa itu, Totti masuk di awal babak kedua sebagai pemain pengganti.
Tepukan tangan dan tangis para suporter sudah menghiasi Olimpico sejak awal mereka memasuki tribun-tribun yang penuh sesak itu. Sentuhan-sentuhan terakhir kepada bola di laga itu seperti menaburkan melankolia ke seluruh jiwa-jiwa suporter dan rekan se-tim yang seolah berlubang karena masih tak mengira bahwa waktu berjalan begitu cepat.

Salah seorang temanku berujar, “Beckham, Gerrard, Lampard dan Totti, mereka sudah pensiun. Kau tahu apa artinya? Kita sudah menua!” lalu kami membuka sebuah kanal Youtube yang mengupload video perpisahan Sang Pangeran Roma, seiring Totti yang membacakan pesan dengan bergumam dan mata yang berkaca-kaca, tiba-tiba air mata temanku pun menetes begitu saja.
Maksudku, temanku itu bukanlah berasal dari Roma, ia tak betul-betul paham apa yang dikatakan Totti, namun ia ikut menangis.



Inilah sepak bola! Pikirkan saja, seringkali sepak bola adalah alasan seorang lelaki melampaui omong kosong maskulinitas dengan tangisan.
Yang tersisa untuk hari-hari selanjutnya hanyalah nostalgia, yang mungkin akan kita ceritakan kepada generasi selanjutnya bahwa pada masa di mana kita tumbuh dewasa, masih ada pemain sepak bola yang bermain dengan hati dan menghabiskan karirnya hanya untuk satu tim.
Totti dan Roma adalah sebuah romantisme, seperti sajak dan harum kopi di pagi hari. Kemudian semua berlalu, kita tak dapat lagi menyaksikan Totti, akan ada rasa yang berbeda dari Roma.
Setidaknya, Totti telah pergi dari tengiknya sepak bola modern, namun ia akan selalu muncul di setiap dinding dan bibir-bibir orang dari kota Roma nan tua.
Setelah dingin mengecup tubuh, biarkan daun-daun itu gugur dan mewarnai jalanan yang usang, biarkan tetap indah meski terinjak dan tersapu.
Totti pergi, namun tidak dengan kenangannya. Karena waktu itu fana, namun Totti abadi.
Oleh: R.R (Dissidence)
Diposting pada blog pribadi : tanyamenggeliat.wordpress.com
INDUSTRIALISASI SEPAK BOLA DAN KETIDAKBUTUHAN TOTTI MENJADI MODERN
Francesco Totti pernah berkata, “Modern players are a bit like nomads. They are following the money, not their heart. Not many athletes follow their heart. They decide to move elsewhere to win trophies and to earn more money. Football has changed a lot, it is all about money now.”
Sang Pangeran Roma menambahkan, “Players change teams all the time, to make a bit more money elsewhere. It’s more about money than about passion. People go to the stadiums to enjoy themselves and to see players in action who will always be with their team. They expect not to be betrayed. Just look at what happened with Higuain, leaving Napoli for Juventus. It’s a disaster.”
Kutipan di atas merupakan reaksi Totti menanggapi kepindahan Gonzalo Higuain menuju Juventus.
Apa yang dilontarkan olehnya seakan menjadi titik kulminasi tentang bagaimana kegeramannya melihat situasi sepak bola modern era sekarang.
Kondisi aktual saat ini memang menunjukkan bahwa kekuatan modal dalam industri sepak bola begitu hagemonik. Namun sepertinya, perubahan tersebut tak pernah berhasil menyentuh idealisme il pupone.
Sebenarnya, bila kita melihat ke belakang, Higuain bukan orang pertama dan satu-satunya pelaku “kejahatan pengkhianatan” semacam itu. Hadirnya era industri modern sepak bola selalu menghasilkan “judas”, mulai dari Luis Figo hingga Robin van Persie.
Dengan kondisi tersebut, pemain seperti Totti semakin langka atau bahkan akan dianggap sebagai deviant (penyimpangan) dalam dunia sepak bola modern.
Kenapa? karena dengan segala bakat dan kemampuannya, Totti akan selalu menarik perhatian kesebelasan super kaya yang siap mengakomodasi kepentingan finansial dan capaian gelar selama ia berkarier.
Totti, dengan segala tingkah laku dan pernyataan-pernyataannya, dapat juga dipahami sebagai bentuk resistensi seorang manusia terhadap ide dan gagasan bagaimana modernitas itu bekerja.
Ia seakan ingin mendekonstruksi apa yang selama ini dianggap sebagai pemain ideal bagi sepak bola saat ini. Untuk itu, perlu kiranya mengetahui lebih jauh bagaimana tipe pemain ideal dibentuk akibat lahirnya modernitas dalam dunia sepak bola.

Virus N-Ach
Seiring perkembangan zaman, kita tentu mengenal istilah modernitas.
Modernitas dan industrialisasi hampir selalu berjalan beriringan. Kehadirannya kini telah mendominasi kehidupan di berbagai sektor, tak terkecuali dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola.
Munculnya tim-tim “kapitalis modern” seakan menegaskan dan menjadi manifestasi dari paham tersebut karena modernitas dianggap merupakan jalan paling optimis menuju perubahan.
Sifatnya yang diklaim begitu cepat, progresif, dan revolusioner diasumsikan cocok dengan perkembangan masyarakat ke depannya yang dalam hal ini dikontekskan dengan industri modern sepak bola.

Salah satu implikasi dari lahirnya modernitas ialah budaya kompetitif, dan jelas dari setiap kompetisi membutuhkan pemenang. Individu yang tidak mengangankan dan menginginkan menjadi juara tentu tidak bisa disebut sebagai manusia modern.
Kebutuhan akan berprestasi tersebut, menurut seorang pemikir modernitas bernama David C McClelland dalam bukunya berjudul The Achieving Society disebut sebagai virus N-Ach atau virus Need For Achievment.
Selain motif uang, tentu keinginan meraih prestasi menjadi faktor kunci dalam kasus transfer para “judas” seperti Higuain dan van Persie. Sebagai pesepak bola modern, mereka baik secara langsung maupun tidak langsung telah menghidupi pemikiran yang telah disebutkan di atas.

Kebutuhan untuk selalu berprestasi adalah yang membedakan pemain modern dan pemain tradisional seperti Totti. Tentu saja saya tidak mengatakan Totti tidak berprestasi sama sekali. Ia pernah meraih scudetto bersama AS Roma.
Namun, dengan begitu banyaknya tawaran dari berbagai klub besar Eropa, sepertinya akan mudah baginya untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
Memang, semua orang tidak ada yang menginginkan kekalahan bagi dirinya dan virus N-Ach akan selalui menemui perwujudannya dalam setiap individu modern termasuk pesepak bola.
Bila kita sering mendengar istilah glory hunter pada diri pemain (atau bahkan penggemar) sepak bola, hal itu dapat dipahami sebagai perwujudan dari virus N-Ach dan sikap untuk menjadi manusia modern.
Pilihan tetap menjadi tradisional
Salah satu sikap yang paling dibenci oleh hadirnya modernitas ialah tradisionalisme. Tradisionalisme dianggap sebagai penghambat apa yang dianggap oleh rezim modernitas sebagai progres atau kemajuan.
Dengan adanya kondisi tersebut, sikap tradisional harus direduksi atau bahkan dihilangkan dari masing-masing individu. Pada pemain sepak bola, tradisionalisme hanya akan membuat karier seorang pemain berhenti pada level tertentu, atau dengan kata lain tidak memungkinkan untuk terjadinya progres pada kariernya.

Kita boleh menyebut Totti sebagai pribadi naif dengan segala kesempatannya pindah menuju kesebelasan terbaik pada masa jaya, atau menganggap dirinya terlalu utopis untuk mengharapkan banyak pemain meniru idealismenya.
Akan tetapi, sikap tradisional dalam diri kapten Roma berupa loyalitas luar biasa kepada Tim Serigala Ibu Kota seolah menjadi sebuah resistensi terhadap industrialisasi dalam sepak bola.
Lebih jauh, ia telah mengibarkan bendera perlawanan terhadap modernisasi sepak bola yang telah melahirkan banyak nama pengkhianat mulai dari Ashley Cole hingga Carlos Tevez.
Fransesco Totti mungkin satu di antara sedikit pemain hebat yang memilih tetap memelihara tradisionalisme dalam dirinya. Ia menolak menjadi pemain modern demi mencapai prestasi tertinggi dan memutuskan bertahan bersama AS Roma sepanjang kariernya hingga saat ini.
Konsekuensi pilihannya memang berat, dalam level domestik, mungkin Roma pernah menjadi scudetto bersamanya, akan tetapi tidak halnya dengan kompetisi bergengsi Liga Champions. Bila saja Totti memilih bergabung dengan Real Madrid atau AC Milan mungkin tulisan ini tidak akan pernah saya buat.
“Jalan sepi” yang dipilih Totti tidak selamanya membuatnya menderita.
Ia jelas mendapatkan hal manis dan tak terbeli, bahkan oleh berpuluh-puluh trofi yang mungkin bisa ia dapat jika memilih hengkang dari Roma.
Penghormatan terhadapnya bukan hanya dari pendukung I Lupi, tapi juga dari seluruh penikmat sepak bola. Bukan hanya suporter AS Roma.
Keistimewaan ini nampaknya sepadan dengan berbagai pengorbanan sepanjang kariernya.
Dalam musim pentas terakhir Totti sebagai pesepak bola profesional, ia resmi mencetak gol ke-250 sepanjang perjalanannya di Serie A.

Sebagai penonton sepak bola, mencari padanan Totti selepas pensiun mungkin akan sangat sulit.
Sangat sulit mencari pemain yang tidak hanya hebat dan mampu mencetak banyak gol, sekaligus mampu menjaga pemikirannya. Pada akhirnya, Totti tetaplah Totti, si pemain tradisional yang menolak menjadi pemain modern karena ia memang tidak membutuhkannya.

Oleh Mohammad Jefri Rynaldi
Dimuat di Fandom.id
Thread ini dibuat menggunakan hp pada jam kerja. jadi maaf kalo banyak kekurangan hhehe. salam
dan link ini menuju oa line sepak bola yang recomended banget : http://line.me/ti/p/%40eal1337p
Diubah oleh mariyuanapsycho 11-07-2017 02:03
0
3K
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan