- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Bahaya pelabelan "lone wolf"


TS
BeritagarID
Bahaya pelabelan "lone wolf"

Anggota Brimob berjaga di sekitar tempat kejadian perkara penikaman anggota polisi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (30/6).
Buntut penusukan terhadap dua anggota satuan elite kepolisian, Brigade Mobil, pada Jumat (30/6) di Masjid Falatehan, Jakarta Selatan, predikat "lone wolf" seketika disematkan kepada sang pelaku, Mulyadi, 28 tahun.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Rikwanto, mengatakan bahwa Mulyadi diduga tidak tergabung dalam kelompok-kelompok jaringan teroris yang ada di Indonesia.
"Bila dilihat dari keterangan saksi dan barang bukti yang ada, diduga Mulyadi merupakan simpatisan ISIS secara unstruktur. Mulyadi melakukan aksi terornya secara lone wolf," ujar Rikwanto kepada CNNIndonesia.com, Minggu (2/7).
Menurut Rikwanto, Mulyadi--tewas ditembak usai melakukan penyerangan--dicurigai mendeklarasikan diri sebagai pendukung ISIS. Dia pun ditengarai mengamini propaganda ISIS di media sosial. Contoh persetujuan terhadap pemikiran tersebut adalah menyerang polisi dan merebut sejatanya.
Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun ikut berkomentar mengenai kecenderungan "lone wolf" ini. Dalam hematnya, perkembangan teknologi berpengaruh besar terhadap kemunculannya.
"Teknologi juga itu membuat menyebabkan orang radikal. Itu tandanya lone wolf itu. Karena yang mengajarkan itu bukan orang. Mereka membaca, di internet dan sebagainya," ujarnya dikutip detikcom, Selasa (4/7).
Ketika Sultan Azianzah, 22 tahun, menusuk seorang polisi di Cikokol, Tangerang, pada Oktober 2016, dia pun dicap sebagai "lone wolf".
Label itu ditempelkan oleh pengamat urusan terorisme, Harits Abu Ulya, dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), seperti dilansir Kompas.com.
"Tindakan SA lebih tepat sebagai fenomena lone wolf. Aksi kekerasan yang dia lakukan adalah inisiatif pribadi," katanya.
Namun, menanggapi pelabelan "lone wolf" kepada Sultan, Sydney Jones, pengamat terorisme dan direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), menekankan bahwa "terlalu dini untuk diketahui orang ini (pelaku), apakah sebagian dari kelompok atau bergerak atas inisiatif sendiri". Soalnya, menurut dia, serangan jenis "lone wolf" masih tetap jarang terjadi di Indonesia.
"Definisi lone wolf bukan apakah satu orang menjadi pelakunya, tetapi apakah dia melakukan aksi itu atas inisiatif sendiri atau sebagai anggota dari kelompok yang merencanakan serangan tersebut," katanya kepada BBC Indonesia.
Pasalnya, Jones menengarai Sultan kemungkinan ikut kelompok pro-ISIS di Ciamis. Pun, afiliasi Sultan sebelumnya, "apakah dia pernah ikut pengajian-pengajian radikal, atau apakah dia pernah jadi anggota JAT (Jamaah Ansharut Tauhid) atau pernah kerja sama dengan orang lain dari Ciamis yang sudah ke Suriah, itu semuanya harus dipikirkan".
Meski begitu, Jones mengatakan strategi menggunakan sel-sel kecil dan mengerahkan pelaku tunggal dalam melepaskan serangan diambil karena jaringan teror menilai "terlalu berbahaya bagi mereka untuk bergerak sebagai satu organisasi besar".
Foreign Affairs pernah mempertanyakan cepatnya pelabelan terhadap pelaku serangan teror tunggal sebagai "lone wolf". Media yang berfokus pada kebijakan asing AS dan permasalahan hangat dunia itu mengajukan sebuah misal atas kasus pemberian cap prematur terhadap pelaku teror.
Dalam laporan dimaksud, terpampang informasi mengenai serangkaian serangan di Eropa pada 2014-2015 yang dilakukan oleh sejumlah orang--di antaranya Sid Ahmed Ghlam dan Ayoub El Khazzani--ternyata berkaitan dengan Abdelhamid Abaaoud. Nama belakangan disebut itu mengarahkan Ghlam, Khazzani, dan lain-lain untuk menggelar serangan di Eropa.
Hal yang memungkinkan keterhubungan itu adalah kecanggihan teknologi komunikasi. Para individu yang biasa dicap "lone wolf" acap kali berkomunikasi dengan orang-orang berhaluan keras, kadang dengan layanan terenkripsi.
Layanan demikian membuka peluang bagi perekrut virtual untuk mencari sukarelawan, mencuci otak mereka, memberikan panduan operasi, menyediakan bantuan teknis (contohnya, pembuatan bom), dan mendorong aksi.
Menurut Jason Burke dalam tulisannya di The Guardian, pelabelan "lone wolf" untuk setiap aksi teror tunggal--yang berkesan terburu-buru--justru dapat mengaburkan ancaman sesungguhnya yang mengarah kepada masyarakat, yang pada ujungnya membuat keamanan khalayak luas tergerus.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...tlone-wolfquot
---
Baca juga dari kategori BERITA :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
3K
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan