- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Tentang thesis "Ottoman Decline"


TS
Zooasaurus
Tentang thesis "Ottoman Decline"
Thesis Ottoman Decline adalah thesis/pernyataan yang masih populer di kalangan pelajar sejarah maupun masyarakat umum baik di Indonesia maupun di seluruh penjuru dunia. Thesis ini menyatakan bahwa kesultanan Ottoman mengalami kemunduran, atau sering disebut juga stagnasi/decline setelah masa kekuasaan Süleyman I dan tidak bisa dihentikan bahkan dengan reformasi berkali-kali oleh banyak Sultan lain. Untungnya, thesis ini sudah dianggap salah dan tidak digunakan lagi di kalangan sejarawan. Jadi kali ini ane bakal membahas dengan singkat soal thesis ini dan pembantahannya

Bernard Lewis. Ia adalah sejarawan yang handal dan terkenal, tetapi kebanyakan tulisannya terutama pada kesultanan Ottoman sudah ketinggalan jaman untuk standar sekarang
Pertama, kita harus mendefinisikan apa yang dimaksud thesis decline ini. Penjelasan yang paling populer untuk hal ini dapat dilihat dalam artikel buatan sejarawan Timur Tengah Bernard Lewis berjudul “Some Reflections on the Decline of the Ottoman Empire” dalam jurnal Studia Islamica. Dalam artikel ini, ia mendeskripsikan poin-poin dalam thesis ini sebagai berikut:
- 10 Sultan pertama kesultanan Ottoman dari Sultan Osman I ke Süleyman I semuanya adalah Sultan yang sempurna dan hebat, tetapi Sultan setelah mereka semuanya adalah Sultan yang inkompeten dan tidak bisa memerintah
- Pemerintahan sentral mengalami kehancuran, dan bureukrasi menjadi tidak efektif dan berkualitas
- Militer Ottoman selalu gagal untuk menandingi atau menyamai militer Eropa
- Pemerintahan dan masyarakat Ottoman diarahkan untuk ekspansi militer, sehingga ketika kesultanan tidak dapat berekspansi lagi, pemerintahan mengalami kemunduran dan kehilangan dinamisme sehingga tidak dapat berdiri sejajar dengan negara Eropa lain
- Ekonomi Ottoman dihancurkan oleh munculnya rute perdagangan baru memutari Afrika
- Munculnya sistem tax farming (malikane) di abad ke-17 dan 18 mengakibatkan membludaknya korupsi dan opresi
- Kesultanan Ottoman menjadi lebih fanatik dan konservatif sehingga menolak sains modern
Jadi menurut Lewis, Ottoman pada abad ke-18 dan seterusnya telah berubah menjadi "Negara abad pertengahan dengan mentalitas dan ekonomi abad pertengahan pula"
Seperti yang bisa dilihat, "decline" dalam hal ini tidak merujuk ke sesuatu yang simpel seperti hilangnya teritori kekuasaan atau kekuatan militer, tetapi segala aspek dalam kesultanan Ottoman termasuk pemerintahan, ekonomi, militer, dan budaya
Tentu saja, ini merupakan interpretasi sejarah Ottoman yang sangat depresiatif, apalagi mengingat kesultanan bertahan sekitar kurang lebih 350 tahun setelah kematian Süleyman I. Tetapi thesis ini menjadi sangat terkenal dan diterima karena motivasi ideologi dari segala arah. Di Barat, thesis ini mempunya 2 fungsi: Yang pertama dan paling penting, thesis ini menopang peryataan bahwa Eropa adalah pusat peradaban. Kita semua pasti pernah mendengar soal naratif "Rise of The West" atau "Kebangkitan Negara Barat" dan counterpartnya "Decline of The East" atau "Jatuhnya Negara Timur". Disini Ottoman digambarkan sebagai negara bobrok dan mempunyai semua karakteristik negatif yang tidak ada di negara barat. Kedua, thesis ini menjustifikasikan kolonialisme Eropa ke negara Timur Tengah. Jika kesultanan Ottoman amatlah bobrok dan sudah pasti akan runtuh, pengambilan alih teritori Ottoman adalah langkah yang tepat untuk menyelamatkan dan memodernisasikan masyarakat didalamnya. Sementara di pihak lain, thesis ini melegitimasikan nasionalisme negara-negara yang pernah dikuasai oleh Ottoman, termasuk Turki dimana Ottoman, lagi, digambarkan sebagai negara yang anti-modern, terbelakang dan opresif dan membuat imej bahwa negara-negara baru ini akan menjadi yang sebaliknya.
Tetapi pada tahun 1980an, setelah publikasi buku "Orientalism" oleh Edward Said, sejarawan mulai menganalisa fondasi sejarah Ottoman dan mempertanyakan penggunaan term "decline" ini. Salah satu artikel yang paling berpengaruh dalam membantah hal ini adalah "Ottoman Historiography and the Literature of “Decline” of the Sixteenth and Seventeenth Centuries" oleh Douglas Howard, dimana ia menganalisa nasihatname, kumpulan literatur yang sering dijadikan bukti thesis ini. Nasihatname ini ditulis oleh orang-orang yang kecewa dan merasa dikhianati oleh Sultan secara pribadi, sehingga mereka menggambarkan kesultanan dengan buruk. Sejarawan awal telah melakukan kesalahan dengan menerima pandangan mereka secara tidak kritis dan mentah-mentah. Setelah itu, banyak sejarawan Ottoman mulai menulis bantahan demi bantahan terhadap thesis ini, seperti Gábor Ágoston, Linda Darling, Leslie Pierce, Rhoads Murphey, dan El-Rouayheb. Sayangnya, perkembangan baru seperti ini sangat sulit untuk menyebar ke masyarakat luas dan bahkan sejarawan diluar sejarah Ottoman. Sejarawan Ottoman sudah berulangkali mengekspresikan rasa frustasi dengan sejarah Europanist yang selalu saja mengulang apa yang sudah dianggap kuno dan ketinggalan jaman, seperti apa yang dikatakan sejarawan Timur Tengah Ehud Toledano:
"Didalam literatur ilmiah yang dibuat Ottomanis sejak pertengahan 1970an, pandangan akan Ottoman Decline sudah dibantah secara efektif. Tetapi, seringkali hasil dari riset dan revisi didalam literatur tersebut belum menyebar ke pelajar diluar studi Ottoman. Sejarawan di studi lain juga sering menggunakan sumber klasik dan survei uninformatif yang melangsungkan hidupnya pandangan kuno ini"
Setelah ini ane akan sebisa mungkin menuliskan bantahan terhadap beberapa aspek-aspek pandangan "Ottoman Decline"

Janisari melakukan volley fire, 1517
Salah satu mitos populer yang sering diutarakan Europanis dan generalis Timur Tengah adalah bahwa kesultanan Ottoman tidak mampu memproduksi senjata mereka sendiri, Mempunyai kualitas senjata yang buruk, dan terus menggunakan meriam raksasa yang kuno. Faktanya, kesultanan Ottoman mampu memproduksi meriam, senapan, dan mesiu mereka sendiri hingga kira-kira akhir abad ke-18, Memiliki kualitas senjata yang seringkali melebihi rival Eropa mereka, dan menggunakan meriam yang kurang lebih sama dengan yang digunakan oleh rival Eropa mereka. Kesultanan Ottoman memiliki wilayah yang kaya akan mineral untuk membuat senjata (besi dan tembaga) dan mesiu sendiri (saltpeter, sulfur, arang, dan kayu bakar). Material yang mereka kurang hanyalah timah, tetapi kebanyakan meriam dan senapan Ottoman hanya membutuhkan sedikit timah, dan kebutuhan bisa dengan mudah terpenuhi dengan impor dari Inggris. Mineral didapat dari pertambangan di Balkan dan Anatolia dan cukup untuk menopang militer Ottoman. Contohnya pada tahun 1684-1685, hasil pertambangan mineral mencapai 850 ton, cukup untuk membuat ratusan meriam bombardir dan lapangan. Pada waktu yang sama pabrik di Balkan dan Anatolia mencetak ratusan ribu amunisi meriam setiap tahun dengan berat total mencapai 100 ke 800 ton pada abad ke-17 dan 18. Ottoman membuat meriam mereka di Adriatik (Avlonya dan Prevesa), Hungaria (Buda dan Temesvár), Balkan (Rudnik, Iskenderiye, Semendire, Praviste, Novaberda, dan Belgrade), Anatolia (Diyarbakir, Erzurum, Van, Mardin, Birecik), Iraq (Baghdad dan Basra), dan Mesir (Cairo) untuk kebutuhan pasukan lokal. tetapi, pusat pembuatan meriam ada di Pabrik Meriam (Tophane-i Amire) di Istanbul, yang Mehmed II dirikan segera setelah jatuhnya Konstantinopel. Ini adalah salah satu arsenal pertama di Eropa yang dibuat, dioperasikan, dan dibiayai oleh pemerintahan sentral. Pabrik Istanbul ini sanggup membuat ratusan meriam setiap tahun dan bisa dengan mudah meningkatkan produksi jika dibutuhkan. Contohnya, pada tahun 1676 pabrik Istanbul hanya membuat 46 meriam, tetapi diantara Juli 1684 dan Juni 1685, diawal perang melawan Holy League, mereka membuat 785 meriam, kebanyakan merupakan meriam lapangan kecil. Mengenai mesiu, pabrik mesiu Ottoman sanggup memenuhi kebutuhan militer, AL, dan garnisun Ottoman hingga akhir abad ke-18, memproduksi sekitar 650-1000 ton mesiu per tahun pada akhir abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Tetapi, pada tahun 1770an berkurangnya produksi membuat Ottoman terpaksa mengimpor mesiu dari Eropa hingga akhir abad ke-18, dimana dengan pendirian pabrik mesiu Azadli baru di Istanbul dengan bantuan Prancis membuat Ottoman kembali mampu memproduksi mesiu dengan cukup dan dengan kualitas yang lebih baik
Salah satu stereotipe Ottoman adalah mereka hanya menggunakan meriam raksasa yang tidak stabil, tidak akurat, dan tidak bisa diandalkan. Tetapi, statistik produksi membuktikan bahwa kebanyakan meriam yang dipakai Ottoman adalah meriam berukuran kecil atau sedang (Meriam yang menembakkan peluru kurang dari 1.5 okka (1.8 kg) termasuk meriam kecil, sementara yang menembakkan peluru 1.5 hingga 11 okka (13.5 kg) termasuk meriam sedang) . Mayoritas meriam kecil Ottoman adalah meriam jenis sakaloz dan prangi, yang hanya menembakkan peluru seberat 0.1 dan 0.33 pound, sehingga lebih kecil dari meriam Falconet Eropa. Meriam 11-okka Ottoman mirip dengan meriam culebrina 30-pounder Spanyol dan Karthaun 24-pounder Habsburg. Tetapi, kebanyakan meriam sedang Ottoman seperti darbzen hanya menembakkan peluru seberat 0.33 sampai 2 pound. Meriam besar tetapi tetap merupakan bagian dari militer Ottoman, kebanyakan ditaruh di benteng atau fortifikasi dan dibawa sebagai bombardir ketika pengepungan suatu kota atau benteng. Contohnya adalah Bacaloska yang menembakkan peluru seberat 17 hingga 28 kg yang kurang lebih sama dengan meriam 40, 50, dan 60-pounder Eropa
Mengenai kualitas senjata, kebanyakan pengamat Eropa dan non-Eropa kontemporer setuju kalau senjata Ottoman memiliki kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan senjata Eropa. Jendral dan pengamat Habsburg menyebutkan bahwa barel senapan Ottoman memiliki metal yang lebih berkualitas dan memiliki jarak dan kekuatan yang lebih baik dibandingan senapan mereka sendiri. Pengamat teknologi Eropa sangat mengagumi barel senapan Ottoman yang dibuat dengan cara membentuk lempengan besi menjadi spiral, sehingga menjadi lebih kuat dan tidak mudah rusak. Barel seperti itu menjadi incaran negara Eropa dan sering digunakan di senapan Eropa pada abad ke-16. Senapan Ottoman juga sangat dihargai di Safavid Persia, Mughal India, Asia Tengah dan Ming China, dimana sebuah literatur di akhir abad ke-16 China menyebutkan bahwa senapan Ottoman jauh lebih baik dibandingkan senapan Portugis. Walaupun Ottoman memang tidak menggunakan bayonet, pasukan mereka mempunyai cara tersendiri dalam menghalau musuh, seperti menempelkan pisau atau belati pada bagian belakan senapan mereka
Stereotipe Ottoman lain adalah mereka tidak mau menggunakan taktik seperti volley fire, dan tidak dapat mereformasi pasukan mereka hingga terus menerus mengalami kekalahan melawan pasukan Eropa. Hal-hal ini tentu saja sudah dibantah oleh sejarawan militer Ottoman. Pasukan Ottoman, terutama para Janisari terbukti menggunakan volley fire, bahkan mungkin jauh lebih awal dibandingkan negara Eropa lain. Teori tentang volley fire sudah ada sejak tahun 1590an, tetapi tidak ada negara Eropa yang benar-benar mengimplementasikan taktik tersebut sebelum tahun 1620an kecuali Belanda yang menggunakannya dengan efektif pada tahun 1600. Sumber Ottoman menyebutkan bahwa pasukan Ottoman sudah mampu menggunakan volley fire sejak tahun 1605. Diari sekretaris korps artileri Ottoman Abdülkadir Efendi menyebutkan bahwa Janisari Ottoman menggunakan taktik volley fire pada 1605 ketika penyerangan Esztergom di Hungaria. Selain itu, sebuah gambar yang dibuat pada tahun yang sama tetapi menggambarkan sebuah pertempuran pada tahun 1597 juga menggambarkan Janisari menggunakan volley fire, jauh sebeluh pasukan Eropa menggunakan taktik tersebut. Hal ini membuktikan bahwa militer Ottoman dapat beradaptasi dengan mudah dan bisa mengadopsi taktik baru, seperti bagaimana mereka mengadopsi Wagenburg Bohemia.
Mengenai reformasi kualitas pasukan Ottoman, Civilianisasi korps janisari adalah salah satu contoh reformasi di militer Ottoman, walau akhirnya berakibat fatal. Awalnya, pasukan klasikal Ottoman (1450-1580) merupakan pasukan elit yang terdisiplin, bermayoritaskan kavaleri dan berukuran relatif kecil. Hal ini membuat mereka sangat efektif dan berbahaya pada pertempuran pada masanya. Tetapi, Mulai akhir abad ke-16 penggunaan senapan mulai meningkat secara drastis, dan militer Ottoman mulai mengalami kesulitan melawan militer Habsburg yang berhasil memperbesar pasukan mereka, terutama dalam pengepungan dimana kavaleri tidak bisa digunakan dengan sempurna. Karena ini, militer Ottoman mulai memperbesar korps janisari dengan memperbolehkan anak janisari menjadi janisari pula, hal ini membuat ukuran korps janisari membesar dari 12.000 di tahun 1550 menjadi 40.000 di awal abad ke-17. Militer Ottoman akhirnya setara dengan rival mereka dalam jumlah dan komposisi pasukan hingga perang dengan Holy League yang mulai menghabiskan tentara Ottoman secara besar-besaran, sehingga militer Ottoman akhirnya memperbolehkan orang-orang Muslim bervoluntir menjadi Janisari. Hal ini berhasil memenuhi kebutuhan manpower militer Ottoman, tetapi mengorbankan kualitas dan kedisiplinan Janisari, dan Janisari pada titik ini tidak lagi pasukan elit dan terdisiplin seperti mereka dulu, tetapi merupakan korps berisi konskrip dan voluntir seperti levend. Walaupun begitu, militer Ottoman tetap dapat bertahan melawan rival mereka dan memenangkan perang hingga tahun 1768, dimana mereka mulai mengalami kekalahan melawan Russia akibat hiatus panjang. Setelah janisari dibubarkan pada 1826, reformasi dan westernisasi pasukan Ottoman besar-besaran dimulai. Sultan Mahmud II dan penerusnya berhasil memodernisasikan militer Ottoman hingga setara dengan militer Eropa, mulai dari ukuran, organisasi, hingga persenjataan. Sayangnya, militer Ottoman masih memiliki metode perekrutan dan latihan jendral dan officer yang kurang baik bahkan setelah reformasi ini, yang mengakibatkan kekalahan melawan Russia pada 1877 hingga perang Balkan.
Jadi konklusinya, Militer Ottoman berhasil beradaptasi dan bereformasi sesuai jaman, sayangnya kepemimpinan Ottoman pasca-reformasi adalah bagian paling lemah dalam militer Ottoman, dimana officer kurang berpengalaman, jendral yang gegabah dan hubris mengakibatkan kekalahan Ottoman dalam perang-perang modern yang dialami, kecuali dalam perang Krimea dan perang melawan Yunani pada tahun 1897
(bersambung)
Spoiler for Apa itu thesis "Ottoman Decline"?:

Bernard Lewis. Ia adalah sejarawan yang handal dan terkenal, tetapi kebanyakan tulisannya terutama pada kesultanan Ottoman sudah ketinggalan jaman untuk standar sekarang
Pertama, kita harus mendefinisikan apa yang dimaksud thesis decline ini. Penjelasan yang paling populer untuk hal ini dapat dilihat dalam artikel buatan sejarawan Timur Tengah Bernard Lewis berjudul “Some Reflections on the Decline of the Ottoman Empire” dalam jurnal Studia Islamica. Dalam artikel ini, ia mendeskripsikan poin-poin dalam thesis ini sebagai berikut:
- 10 Sultan pertama kesultanan Ottoman dari Sultan Osman I ke Süleyman I semuanya adalah Sultan yang sempurna dan hebat, tetapi Sultan setelah mereka semuanya adalah Sultan yang inkompeten dan tidak bisa memerintah
- Pemerintahan sentral mengalami kehancuran, dan bureukrasi menjadi tidak efektif dan berkualitas
- Militer Ottoman selalu gagal untuk menandingi atau menyamai militer Eropa
- Pemerintahan dan masyarakat Ottoman diarahkan untuk ekspansi militer, sehingga ketika kesultanan tidak dapat berekspansi lagi, pemerintahan mengalami kemunduran dan kehilangan dinamisme sehingga tidak dapat berdiri sejajar dengan negara Eropa lain
- Ekonomi Ottoman dihancurkan oleh munculnya rute perdagangan baru memutari Afrika
- Munculnya sistem tax farming (malikane) di abad ke-17 dan 18 mengakibatkan membludaknya korupsi dan opresi
- Kesultanan Ottoman menjadi lebih fanatik dan konservatif sehingga menolak sains modern
Jadi menurut Lewis, Ottoman pada abad ke-18 dan seterusnya telah berubah menjadi "Negara abad pertengahan dengan mentalitas dan ekonomi abad pertengahan pula"
Seperti yang bisa dilihat, "decline" dalam hal ini tidak merujuk ke sesuatu yang simpel seperti hilangnya teritori kekuasaan atau kekuatan militer, tetapi segala aspek dalam kesultanan Ottoman termasuk pemerintahan, ekonomi, militer, dan budaya
Tentu saja, ini merupakan interpretasi sejarah Ottoman yang sangat depresiatif, apalagi mengingat kesultanan bertahan sekitar kurang lebih 350 tahun setelah kematian Süleyman I. Tetapi thesis ini menjadi sangat terkenal dan diterima karena motivasi ideologi dari segala arah. Di Barat, thesis ini mempunya 2 fungsi: Yang pertama dan paling penting, thesis ini menopang peryataan bahwa Eropa adalah pusat peradaban. Kita semua pasti pernah mendengar soal naratif "Rise of The West" atau "Kebangkitan Negara Barat" dan counterpartnya "Decline of The East" atau "Jatuhnya Negara Timur". Disini Ottoman digambarkan sebagai negara bobrok dan mempunyai semua karakteristik negatif yang tidak ada di negara barat. Kedua, thesis ini menjustifikasikan kolonialisme Eropa ke negara Timur Tengah. Jika kesultanan Ottoman amatlah bobrok dan sudah pasti akan runtuh, pengambilan alih teritori Ottoman adalah langkah yang tepat untuk menyelamatkan dan memodernisasikan masyarakat didalamnya. Sementara di pihak lain, thesis ini melegitimasikan nasionalisme negara-negara yang pernah dikuasai oleh Ottoman, termasuk Turki dimana Ottoman, lagi, digambarkan sebagai negara yang anti-modern, terbelakang dan opresif dan membuat imej bahwa negara-negara baru ini akan menjadi yang sebaliknya.
Tetapi pada tahun 1980an, setelah publikasi buku "Orientalism" oleh Edward Said, sejarawan mulai menganalisa fondasi sejarah Ottoman dan mempertanyakan penggunaan term "decline" ini. Salah satu artikel yang paling berpengaruh dalam membantah hal ini adalah "Ottoman Historiography and the Literature of “Decline” of the Sixteenth and Seventeenth Centuries" oleh Douglas Howard, dimana ia menganalisa nasihatname, kumpulan literatur yang sering dijadikan bukti thesis ini. Nasihatname ini ditulis oleh orang-orang yang kecewa dan merasa dikhianati oleh Sultan secara pribadi, sehingga mereka menggambarkan kesultanan dengan buruk. Sejarawan awal telah melakukan kesalahan dengan menerima pandangan mereka secara tidak kritis dan mentah-mentah. Setelah itu, banyak sejarawan Ottoman mulai menulis bantahan demi bantahan terhadap thesis ini, seperti Gábor Ágoston, Linda Darling, Leslie Pierce, Rhoads Murphey, dan El-Rouayheb. Sayangnya, perkembangan baru seperti ini sangat sulit untuk menyebar ke masyarakat luas dan bahkan sejarawan diluar sejarah Ottoman. Sejarawan Ottoman sudah berulangkali mengekspresikan rasa frustasi dengan sejarah Europanist yang selalu saja mengulang apa yang sudah dianggap kuno dan ketinggalan jaman, seperti apa yang dikatakan sejarawan Timur Tengah Ehud Toledano:
"Didalam literatur ilmiah yang dibuat Ottomanis sejak pertengahan 1970an, pandangan akan Ottoman Decline sudah dibantah secara efektif. Tetapi, seringkali hasil dari riset dan revisi didalam literatur tersebut belum menyebar ke pelajar diluar studi Ottoman. Sejarawan di studi lain juga sering menggunakan sumber klasik dan survei uninformatif yang melangsungkan hidupnya pandangan kuno ini"
Setelah ini ane akan sebisa mungkin menuliskan bantahan terhadap beberapa aspek-aspek pandangan "Ottoman Decline"
Spoiler for Militer:

Janisari melakukan volley fire, 1517
Salah satu mitos populer yang sering diutarakan Europanis dan generalis Timur Tengah adalah bahwa kesultanan Ottoman tidak mampu memproduksi senjata mereka sendiri, Mempunyai kualitas senjata yang buruk, dan terus menggunakan meriam raksasa yang kuno. Faktanya, kesultanan Ottoman mampu memproduksi meriam, senapan, dan mesiu mereka sendiri hingga kira-kira akhir abad ke-18, Memiliki kualitas senjata yang seringkali melebihi rival Eropa mereka, dan menggunakan meriam yang kurang lebih sama dengan yang digunakan oleh rival Eropa mereka. Kesultanan Ottoman memiliki wilayah yang kaya akan mineral untuk membuat senjata (besi dan tembaga) dan mesiu sendiri (saltpeter, sulfur, arang, dan kayu bakar). Material yang mereka kurang hanyalah timah, tetapi kebanyakan meriam dan senapan Ottoman hanya membutuhkan sedikit timah, dan kebutuhan bisa dengan mudah terpenuhi dengan impor dari Inggris. Mineral didapat dari pertambangan di Balkan dan Anatolia dan cukup untuk menopang militer Ottoman. Contohnya pada tahun 1684-1685, hasil pertambangan mineral mencapai 850 ton, cukup untuk membuat ratusan meriam bombardir dan lapangan. Pada waktu yang sama pabrik di Balkan dan Anatolia mencetak ratusan ribu amunisi meriam setiap tahun dengan berat total mencapai 100 ke 800 ton pada abad ke-17 dan 18. Ottoman membuat meriam mereka di Adriatik (Avlonya dan Prevesa), Hungaria (Buda dan Temesvár), Balkan (Rudnik, Iskenderiye, Semendire, Praviste, Novaberda, dan Belgrade), Anatolia (Diyarbakir, Erzurum, Van, Mardin, Birecik), Iraq (Baghdad dan Basra), dan Mesir (Cairo) untuk kebutuhan pasukan lokal. tetapi, pusat pembuatan meriam ada di Pabrik Meriam (Tophane-i Amire) di Istanbul, yang Mehmed II dirikan segera setelah jatuhnya Konstantinopel. Ini adalah salah satu arsenal pertama di Eropa yang dibuat, dioperasikan, dan dibiayai oleh pemerintahan sentral. Pabrik Istanbul ini sanggup membuat ratusan meriam setiap tahun dan bisa dengan mudah meningkatkan produksi jika dibutuhkan. Contohnya, pada tahun 1676 pabrik Istanbul hanya membuat 46 meriam, tetapi diantara Juli 1684 dan Juni 1685, diawal perang melawan Holy League, mereka membuat 785 meriam, kebanyakan merupakan meriam lapangan kecil. Mengenai mesiu, pabrik mesiu Ottoman sanggup memenuhi kebutuhan militer, AL, dan garnisun Ottoman hingga akhir abad ke-18, memproduksi sekitar 650-1000 ton mesiu per tahun pada akhir abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Tetapi, pada tahun 1770an berkurangnya produksi membuat Ottoman terpaksa mengimpor mesiu dari Eropa hingga akhir abad ke-18, dimana dengan pendirian pabrik mesiu Azadli baru di Istanbul dengan bantuan Prancis membuat Ottoman kembali mampu memproduksi mesiu dengan cukup dan dengan kualitas yang lebih baik
Salah satu stereotipe Ottoman adalah mereka hanya menggunakan meriam raksasa yang tidak stabil, tidak akurat, dan tidak bisa diandalkan. Tetapi, statistik produksi membuktikan bahwa kebanyakan meriam yang dipakai Ottoman adalah meriam berukuran kecil atau sedang (Meriam yang menembakkan peluru kurang dari 1.5 okka (1.8 kg) termasuk meriam kecil, sementara yang menembakkan peluru 1.5 hingga 11 okka (13.5 kg) termasuk meriam sedang) . Mayoritas meriam kecil Ottoman adalah meriam jenis sakaloz dan prangi, yang hanya menembakkan peluru seberat 0.1 dan 0.33 pound, sehingga lebih kecil dari meriam Falconet Eropa. Meriam 11-okka Ottoman mirip dengan meriam culebrina 30-pounder Spanyol dan Karthaun 24-pounder Habsburg. Tetapi, kebanyakan meriam sedang Ottoman seperti darbzen hanya menembakkan peluru seberat 0.33 sampai 2 pound. Meriam besar tetapi tetap merupakan bagian dari militer Ottoman, kebanyakan ditaruh di benteng atau fortifikasi dan dibawa sebagai bombardir ketika pengepungan suatu kota atau benteng. Contohnya adalah Bacaloska yang menembakkan peluru seberat 17 hingga 28 kg yang kurang lebih sama dengan meriam 40, 50, dan 60-pounder Eropa
Mengenai kualitas senjata, kebanyakan pengamat Eropa dan non-Eropa kontemporer setuju kalau senjata Ottoman memiliki kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan senjata Eropa. Jendral dan pengamat Habsburg menyebutkan bahwa barel senapan Ottoman memiliki metal yang lebih berkualitas dan memiliki jarak dan kekuatan yang lebih baik dibandingan senapan mereka sendiri. Pengamat teknologi Eropa sangat mengagumi barel senapan Ottoman yang dibuat dengan cara membentuk lempengan besi menjadi spiral, sehingga menjadi lebih kuat dan tidak mudah rusak. Barel seperti itu menjadi incaran negara Eropa dan sering digunakan di senapan Eropa pada abad ke-16. Senapan Ottoman juga sangat dihargai di Safavid Persia, Mughal India, Asia Tengah dan Ming China, dimana sebuah literatur di akhir abad ke-16 China menyebutkan bahwa senapan Ottoman jauh lebih baik dibandingkan senapan Portugis. Walaupun Ottoman memang tidak menggunakan bayonet, pasukan mereka mempunyai cara tersendiri dalam menghalau musuh, seperti menempelkan pisau atau belati pada bagian belakan senapan mereka
Stereotipe Ottoman lain adalah mereka tidak mau menggunakan taktik seperti volley fire, dan tidak dapat mereformasi pasukan mereka hingga terus menerus mengalami kekalahan melawan pasukan Eropa. Hal-hal ini tentu saja sudah dibantah oleh sejarawan militer Ottoman. Pasukan Ottoman, terutama para Janisari terbukti menggunakan volley fire, bahkan mungkin jauh lebih awal dibandingkan negara Eropa lain. Teori tentang volley fire sudah ada sejak tahun 1590an, tetapi tidak ada negara Eropa yang benar-benar mengimplementasikan taktik tersebut sebelum tahun 1620an kecuali Belanda yang menggunakannya dengan efektif pada tahun 1600. Sumber Ottoman menyebutkan bahwa pasukan Ottoman sudah mampu menggunakan volley fire sejak tahun 1605. Diari sekretaris korps artileri Ottoman Abdülkadir Efendi menyebutkan bahwa Janisari Ottoman menggunakan taktik volley fire pada 1605 ketika penyerangan Esztergom di Hungaria. Selain itu, sebuah gambar yang dibuat pada tahun yang sama tetapi menggambarkan sebuah pertempuran pada tahun 1597 juga menggambarkan Janisari menggunakan volley fire, jauh sebeluh pasukan Eropa menggunakan taktik tersebut. Hal ini membuktikan bahwa militer Ottoman dapat beradaptasi dengan mudah dan bisa mengadopsi taktik baru, seperti bagaimana mereka mengadopsi Wagenburg Bohemia.
Mengenai reformasi kualitas pasukan Ottoman, Civilianisasi korps janisari adalah salah satu contoh reformasi di militer Ottoman, walau akhirnya berakibat fatal. Awalnya, pasukan klasikal Ottoman (1450-1580) merupakan pasukan elit yang terdisiplin, bermayoritaskan kavaleri dan berukuran relatif kecil. Hal ini membuat mereka sangat efektif dan berbahaya pada pertempuran pada masanya. Tetapi, Mulai akhir abad ke-16 penggunaan senapan mulai meningkat secara drastis, dan militer Ottoman mulai mengalami kesulitan melawan militer Habsburg yang berhasil memperbesar pasukan mereka, terutama dalam pengepungan dimana kavaleri tidak bisa digunakan dengan sempurna. Karena ini, militer Ottoman mulai memperbesar korps janisari dengan memperbolehkan anak janisari menjadi janisari pula, hal ini membuat ukuran korps janisari membesar dari 12.000 di tahun 1550 menjadi 40.000 di awal abad ke-17. Militer Ottoman akhirnya setara dengan rival mereka dalam jumlah dan komposisi pasukan hingga perang dengan Holy League yang mulai menghabiskan tentara Ottoman secara besar-besaran, sehingga militer Ottoman akhirnya memperbolehkan orang-orang Muslim bervoluntir menjadi Janisari. Hal ini berhasil memenuhi kebutuhan manpower militer Ottoman, tetapi mengorbankan kualitas dan kedisiplinan Janisari, dan Janisari pada titik ini tidak lagi pasukan elit dan terdisiplin seperti mereka dulu, tetapi merupakan korps berisi konskrip dan voluntir seperti levend. Walaupun begitu, militer Ottoman tetap dapat bertahan melawan rival mereka dan memenangkan perang hingga tahun 1768, dimana mereka mulai mengalami kekalahan melawan Russia akibat hiatus panjang. Setelah janisari dibubarkan pada 1826, reformasi dan westernisasi pasukan Ottoman besar-besaran dimulai. Sultan Mahmud II dan penerusnya berhasil memodernisasikan militer Ottoman hingga setara dengan militer Eropa, mulai dari ukuran, organisasi, hingga persenjataan. Sayangnya, militer Ottoman masih memiliki metode perekrutan dan latihan jendral dan officer yang kurang baik bahkan setelah reformasi ini, yang mengakibatkan kekalahan melawan Russia pada 1877 hingga perang Balkan.
Jadi konklusinya, Militer Ottoman berhasil beradaptasi dan bereformasi sesuai jaman, sayangnya kepemimpinan Ottoman pasca-reformasi adalah bagian paling lemah dalam militer Ottoman, dimana officer kurang berpengalaman, jendral yang gegabah dan hubris mengakibatkan kekalahan Ottoman dalam perang-perang modern yang dialami, kecuali dalam perang Krimea dan perang melawan Yunani pada tahun 1897
(bersambung)
Diubah oleh Zooasaurus 28-06-2017 06:50




Arif839 dan anak manis memberi reputasi
2
38.6K
Kutip
245
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan