Belakangan banyak yang ngeributin kenapa Sevel gulung tiker. Nah, gue punya teori yang berlawanan ama Prof. Rhenald. Doi bilang ini gara-gara regulasi yang maksain
Sevel berubah konsep. Nonton dulu di bawah:
Padahal enggak, Sevel dari awal minta ijin ke Kemendag emang dikasih ijin resto, karena dia milihnya ya resto bukan ritel. Tapi, setelah ijin turun dan dia ditegur pada tahun 2012, dia tetep beroperasi kayak biasa, cuman nambahin sejumlah menu makanan grab and go–makanan beku, pembeli ngambil sendiri, terus dipanaskan sambil bayar, nah kurang dari 5 menit udah ready to bite.
Gue rasa kegagalan Sevel lebih cocok dibebankan pada 4 faktor berikut ini:
1. Identitas brand-nya gak jelas alias banci
Quote:
Sevel sebagai sebuah brand gak bisa diidentifikasi dengan jelas, value apa yang sebetulnya hendak ia tawarkan? Tempat nongkrong? Tapi, wifinya lambat. Restoran? Tapi, makanannya biasa aja. Ritel? Tapi, barang-barangnya super mahal. Tempat meeting? Tapi, lokasi kurang elegan.
Sevel ibarat ababil yang masih mencari jati diri, sehingga gue sebagai konsumen juga bingung ketika menempatkannya dalam berbagai pilihan yang ada di pasar.
Dengan budget yang sama, kalo gue mau cari tempat nongkrong, ada colokan, ada wifi, 24 jam, yang menyediakan makanan, bahkan mungkin lebih enak, maka ada McDonalds (McD), lengkap dengan McCafe yang menyediakan kopi dan donat.
2. Serba nanggung
Quote:
Sevel lovers mungkin akan menjawab dengan, “ih, McD kan gak ada ritelnya.” Iya, sih, tapi sebagai ritel juga Sevel itu nanggung. Sama sekali gak lengkap. Bahkan untuk makanan ringan kayak Chitato pun dia gak menyediakan semua varian rasa. Selain gak lengkap, harganya juga buset mahal banget!
Mungkin ya, dia juga kelimpungan kali...
Apa mau fokus ngembangin burger yang lebih enak dari Super Beef Back Cheeseburger-nya Carl’s Jr dan steak yang lebih enak dari Jack Daniel’s Grill-nya TGI Friday’s atau nyediain varian rasa Chitato dan Indomie yang lebih lengkap dari Alfamidi dengan harga yang sama murahnya sekaligus tempat meeting yang lebih nyaman dari Starbucks.
3. Sempet kena larangan Miras
Quote:
Masalah produk ini juga emang sebagiannya ada yang bersinggungan dengan regulasi, yakni minuman keras (miras). Sevel sendiri sempet dapet sekitar 10-15% keuntungannya dari menjual miras.
Sayang sekali, sejak tahun 2015, miras dilarang beredar di mini market–btw, aneh ya? Sevel secara de jure beroperasi sebagai restoran, tapi secara de facto kena dampak regulasi ritel. Hukum Indonesia emang membingungkan.
4. Besar pasak daripada tiang
Quote:
Masalah produk juga sangat mungkin mempengaruhi per person spending. Misalnya aja, barang yang berpotensi dibeli harganya relatif rendah padahal bisa dinikmati beramai-ramai.
Sementara perputaran pengunjung lambat karena memang sebagian besar nongkrong. Jangan lupa, anak muda kadang tega. Mereka bisa beli minuman sebotol, lalu dibagi berenam, selanjutnya main poker sampai pagi.
Padahal, pengeluaran Sevel besar banget untuk sewa tempat, bayar AC dan penjaga toko yang on terus 24 jam, belom lagi wifi yang walaupun lambat tetep aja harus dibayar kan!
Nah, ini sih menurut gue yang bikin
Sevel tutup. Dan siap-siap aja dah bisnis laen yang hobi ngasih tempat nongkrong ke kawula muda tapi produknya gak kompetitif kayak Warunk Upnormal dan What's Up Cafe, bukan mustahil ikutan nyungsep juga ahahaha.
Gimana menurut agan?
Sumber 1
Sumber 2
Sumber 3