- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mahasiswa ITB Ini Menulis Surat Terbuka Untuk Pemerintah Tentang Pendidikan Indonesia
TS
faisalayyub
Mahasiswa ITB Ini Menulis Surat Terbuka Untuk Pemerintah Tentang Pendidikan Indonesia
Quote:
Pertama -tama Mohon di 
Quote:
TS MENGHARAPKAN 
Quote:
TS MENOLAK 
Quote:
SURAT TERBUKA UNTUK PEMERINTAH TERCINTA TENTANG PENDIDIKAN INDONESIA
Quote:
Ujian Nasional telah selesai, lantas jutaan calon penerus bangsa kita mendaftarkan dirinya untuk menerukan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. SNMPTN, SBMPTN pun telah selesai dan sukses dilaksanakan. Mulai tahun ini, PPDB Online pun telah menghiasi seluk beluk pendidikan Indonesia. Akan tetapi peraturan pemerintah lah yang membuat anak-anak kita menjadi putus asa dengan apa yang mereka usahakan selama ini. Ya, Pemerintah menerapkan sistem zonasi serta "keistimewaan" bagi siswa pemegang "Kartu Sakti" tahun ini.
Quote:
Berdasarkan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, dengan menerapkan sistem zonasi, sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Domisili calon peserta didik tersebut berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, sistem zonasi merupakan implementasi dari arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai pentingnya pemerataan kualitas pendidikan.
“Semua sekolah harus jadi sekolah favorit. Semoga tidak ada lagi sekolah yang mutunya rendah,” ujar Mendikbud dalam acara Sosialisasi Peraturan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta, Rabu (7/5/2017). Acara sosialisasi tersebut dihadiri sekitar 200 kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten, dan kota se-Indonesia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, sistem zonasi merupakan implementasi dari arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai pentingnya pemerataan kualitas pendidikan.
“Semua sekolah harus jadi sekolah favorit. Semoga tidak ada lagi sekolah yang mutunya rendah,” ujar Mendikbud dalam acara Sosialisasi Peraturan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta, Rabu (7/5/2017). Acara sosialisasi tersebut dihadiri sekitar 200 kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten, dan kota se-Indonesia.
Quote:
Peraturan Bersama Antara Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Nomor: 07/D/BP/2017, dan Nomor: 02/MPK.C/PM/2017, Tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Indonesia Pintar Tahun 2017 pun menambahkan bahwa Sekolah WAJIB menerima siswa yang memiliki "Kartu Sakti" tersebut.
Hal ini sangatlah menyakitkan bagi siswa berprestasi berasal dari luar daerah yang ingin bersekolah di tempat favorit di daerah tersebut. Kenapa? Kuota 10% yang diberikan oleh domisili luar daerah semua dihabiskan oleh pemegang "Kartu Sakti" luar daerah. Sehingga usaha anak tersebut untuk bersekolah di tempat favorit terebut dalam sekejam sirna. Mau tidak mau anak tersebut pun bersekolah di daerah domisili yang sama dengan kualitas "lebih rendah" dari sekolah favorit tersebut.
Hal ini sangatlah menyakitkan bagi siswa berprestasi berasal dari luar daerah yang ingin bersekolah di tempat favorit di daerah tersebut. Kenapa? Kuota 10% yang diberikan oleh domisili luar daerah semua dihabiskan oleh pemegang "Kartu Sakti" luar daerah. Sehingga usaha anak tersebut untuk bersekolah di tempat favorit terebut dalam sekejam sirna. Mau tidak mau anak tersebut pun bersekolah di daerah domisili yang sama dengan kualitas "lebih rendah" dari sekolah favorit tersebut.
Quote:
Berikut adalah Tulisan dari seorang mahasiswa yang sangat kritis menanggapi kondisi ini.
Quote:
SURAT TERBUKA UNTUK SIAPAPUN TERUTAMA MENTERI PENDIDIKAN DAN PRESIDEN INDONESIA
Cerita ini baru aku dengar siang tadi dan dialami oleh orang yang aku kenal betul. Sebutlah seorang pelajar (selanjutnya disebut Dia) yang baru lulus UN SMP 2017 dengan nilai yang aku anggap gemilang. Dia berhasil mendapatkan nilai 10 pada mapel IPA dan matematika (tanpa beli kunci jawaban pastinya). Tapi aku tidak menanyakan berapa rata-ratanya.
Dia mendaftar ke salah satu SMA "favorit" di sebuah kota (selanjutnya disebut Kota). Dari dulu aku selalu optimis Dia pasti masuk SMA itu karena prestasinya dan keambisiusannya. Ternyata aku mendengar masih ada halangan.
Kuota untuk luar kota dibatasi. Memang aku pernah mendengar kasus seperti ini semasa aku mendaftar SMA juga. Tapi dalam kasus ini yang dipermasalahkan adalah domisili. Ya, bukan asal sekolah lagi. Kalau dahulu kuota asal sekolah luar kota yang dibatasi, sekarang pelajar yang berdomisili luar kota yang dimasalahkan. Padahal Dia berasal dari SMP "favorit" di Kota dan termasuk kelas unggulan.
Kasus ini sama dengan sistem SBMPTN yang mengatakan bahwa kita hanya boleh memilih 1 buah PTN luar daerah. Alasannya sih agar tidak terjadi urbanisasi. Agar kota tidak penuh. Tapi apakah pendidikan kita harus dibatasi dari tempat tinggal kita? Aku berasal dari desa dan sekarang aku tinggal di suatu kota besar Indonesia karena pendidikan. Bukannya kita memang harus mencari ilmu sampai ke negeri China? Boleh dong imigrasi boleh dong urbanisasi maupun transmigrasi? Kalau begini pendidikan orang pelosok akan makin terpelosok?
Sementara yang aku lihat banyak juga orang-orang kota yang tidak mampu masuk ke PTN kota ini. Banyak teman-teman yang memang berasal dari desa. Katanya pendidikan merata? Apa berarti pendidikan merata itu sekolah bagus dihuni pelajar "jelek" namun sekolah jelek dihuni pelajar bagus? Yah sekolah bagus dan tidak bukan masalah utama di sini.
Menjadi pelajar luar kota bukan masalah utama Dia. Dengan nilai seperti itu dia berhasil menjadi peringkat pertama dalam kuota luar kota. Tapi ternyata masih ada masalah lain.
Indonesia menyediakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk menjamin pendidikan orang kurang mampu. Dengan kartu itu "orang miskin" dapat bersekolah di mana saja. Ya di mana saja. Di kota maupun luar kota. Sayangnya Dia bukanlah pelajar kurang mampu (ya sayang sekali). Sehingga ketika ada pelajar KIP mendaftar, peringkat Dia semakin turun. Padahal berdasarkan nilai tetap nilai Dia lebih tinggi (yang nota bene mempunyai 2 buah nilai 10).
Peringkat dia dikalahkan oleh pelajar-pelajar KIP yang rata-ratanya ~6 - 7. Hingga akhirnya pada hari terakhir pendaftaran ini (14 Juni 2017) Dia dinyatakan tidak diterima di SMA Kota. Begitu pula dengan teman-temannya yang bukan pelajar KIP (karena awalnya dia peringkat pertama untuk kuota luar kota).
Yang aku tekankan di sini adalah sistem pendaftaran dan sistem pendidikan Indonesia. Aku tidak tahu apakah di seluruh Indonesia berlaku sistem yang sama atau tidak. Atau sistem ini hanya berlaku di Kota. Aku ingin menyoroti Pancasila sila kelima dan adanya KIP. Pancasila sila kelima berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Bagiku bukan hanya keadilan sosial namun juga pendidikan, hukum, beragama, dll (ya kan para ahli Negara?). Memang adanya KIP dipertujukan untuk memberi keadilan pendidikan pada rakyat Indonesia. Tapi apakah dengan pelajar KIP dapat bersekolah di mana saja itu adil? Ini seperti memberikan uang saku yang sama kepada seluruh anak. Padahal satunya sudah bekerja, kuliah, dan masih SD. Apakah apabila diberi uang saku 100 ribu itu artinya adil? Tidak.
Begitu pula dengan pendidikan ini. Mungkin tujuannya memang agar pelajar KIP mendapat sistem pembelajaran yang lebih baik. Namun bukan berarti mereka harus bersekolah di tempat mana saja. Setiap orang punya kemampuan otak masing-masing. Keahlian masing-masing. Bisa jadi apabila seseorang yang berkemampuan otak pas-pasan tidak akan kuat hati dan otak di tempat yang bertaraf lebih tinggi. Malah kalau tidak kuat dapat mengakibatkan drop out (untuk kasus kuliah), gangguan kejiwaan, dan bunuh diri. Itu kasus yang ekstrim. Karena aku sering mendengar berita semacam pelajar yang tidak kuat dan bunuh diri dll. Sehingga itu tidak dapat disebut adil.
Mungkin ini sudah telat untuk kasus Dia. Pendaftaran SMA sudah ditutup. Tapi pembelajaran ini untuk kasus selanjutnya. Untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Memang aku baru sadar ketika ada orang dekat yang mengalami.
Aku percaya SMA terbaik belum berarti yang terbaik untuk Dia. Telah Disiapkan masa depan yang lebih baik untuk Dia.
Masalah yang terkait adalah mengenai "keadilan" pelajar luar kota dan dalam kota, dan penggunaan KIP.
Kalau adil harusnya dalam dan luar kota mengalami seleksi yang sama. Apakah kemampuan kita berdasarkan tempat tinggal kita? Maaf apabila aku sombong, tapi aku yang dari pelosok berhasil mengungguli orang kota di PTN ini. Aku juga pernah membuktikan itu di SMA. Sehingga bukan masalah orang kota dan orang pelosok.
Kemudian mengenai keadilan penggunaan KIP. Seleksi tetap bergantung pada kemampuan. KIP memang menjamin pendidikan, tapi bukan berarti bisa dimana saja kalau memang tidak mampu (bukan ekonomi).
Sebetulnya masalah luar kota dan KIP merupakan hal yang saling kontra. KIP bertujuan untuk menyamaratakan pendidikan orang miskin dan orang kaya. Tapi kenapa ada ketidak adilan pada pendidikan orang luar kota dan dalam kota? Tujuannya agar sekolah luar kota tidak tertinggal dari dalam kota? Hmm egois tidak sih?
Kalau ingin menyamaratakan pendidikan Indonesia, seharusnya yang disamakan kualitas sekolahnya, kualitas guru, kualitas kurikulum sekolah. Bukan malah menyamaratakan pejalar dengan cara disebarkan. Aku tahu memang akreditasi A antara tempat ini tidak sama dengan tempat itu. Bahkan standar UN pun dibedakan untuk daerah Jawa dan Luar Jawa dengan dalih berbeda kemampuan.
Namun dengan KIP kemampuannya dianggap sama?
Pernah juga ada kasus anak guru mendapatkan nilai lebih. Mungkin pertimbangannya karena dididik oleh guru langsung dari lahir jadi kemampuannya dianggap lebih. Lalu bagaimana dengan aku yang anak petani? Apalagi dengan pendidikan orang tuaku hanya lulusan sekolah dasar dan lulusan sekolah menengah. Apakah aku tidak berhak mendapat pendidikan yang baik? Saat itu belum ada KIP, dan aku berhasil masuk ke sekolah "bagus" karena diadakan tes pendaftaran. Kalau sekarang mungkin aku tidak akan diterima.
Bukan berarti aku tidak mendukung adanya KIP. KIP akan sangat membantu untuk pelajar sepertiku. Yang aku pertanyakan adalah penggunaan KIP. Apakah sudah tepat dengan kasus seperti ini? Memang Dia "patut mengalah" untuk pelajar "kurang mampu (ekonomi)", tapi aku rasa harus ada seleksi juga kan?
<3 Putri, Seorang awam pendidikan Indonesia
Cerita ini baru aku dengar siang tadi dan dialami oleh orang yang aku kenal betul. Sebutlah seorang pelajar (selanjutnya disebut Dia) yang baru lulus UN SMP 2017 dengan nilai yang aku anggap gemilang. Dia berhasil mendapatkan nilai 10 pada mapel IPA dan matematika (tanpa beli kunci jawaban pastinya). Tapi aku tidak menanyakan berapa rata-ratanya.
Dia mendaftar ke salah satu SMA "favorit" di sebuah kota (selanjutnya disebut Kota). Dari dulu aku selalu optimis Dia pasti masuk SMA itu karena prestasinya dan keambisiusannya. Ternyata aku mendengar masih ada halangan.
Kuota untuk luar kota dibatasi. Memang aku pernah mendengar kasus seperti ini semasa aku mendaftar SMA juga. Tapi dalam kasus ini yang dipermasalahkan adalah domisili. Ya, bukan asal sekolah lagi. Kalau dahulu kuota asal sekolah luar kota yang dibatasi, sekarang pelajar yang berdomisili luar kota yang dimasalahkan. Padahal Dia berasal dari SMP "favorit" di Kota dan termasuk kelas unggulan.
Kasus ini sama dengan sistem SBMPTN yang mengatakan bahwa kita hanya boleh memilih 1 buah PTN luar daerah. Alasannya sih agar tidak terjadi urbanisasi. Agar kota tidak penuh. Tapi apakah pendidikan kita harus dibatasi dari tempat tinggal kita? Aku berasal dari desa dan sekarang aku tinggal di suatu kota besar Indonesia karena pendidikan. Bukannya kita memang harus mencari ilmu sampai ke negeri China? Boleh dong imigrasi boleh dong urbanisasi maupun transmigrasi? Kalau begini pendidikan orang pelosok akan makin terpelosok?
Sementara yang aku lihat banyak juga orang-orang kota yang tidak mampu masuk ke PTN kota ini. Banyak teman-teman yang memang berasal dari desa. Katanya pendidikan merata? Apa berarti pendidikan merata itu sekolah bagus dihuni pelajar "jelek" namun sekolah jelek dihuni pelajar bagus? Yah sekolah bagus dan tidak bukan masalah utama di sini.
Menjadi pelajar luar kota bukan masalah utama Dia. Dengan nilai seperti itu dia berhasil menjadi peringkat pertama dalam kuota luar kota. Tapi ternyata masih ada masalah lain.
Indonesia menyediakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk menjamin pendidikan orang kurang mampu. Dengan kartu itu "orang miskin" dapat bersekolah di mana saja. Ya di mana saja. Di kota maupun luar kota. Sayangnya Dia bukanlah pelajar kurang mampu (ya sayang sekali). Sehingga ketika ada pelajar KIP mendaftar, peringkat Dia semakin turun. Padahal berdasarkan nilai tetap nilai Dia lebih tinggi (yang nota bene mempunyai 2 buah nilai 10).
Peringkat dia dikalahkan oleh pelajar-pelajar KIP yang rata-ratanya ~6 - 7. Hingga akhirnya pada hari terakhir pendaftaran ini (14 Juni 2017) Dia dinyatakan tidak diterima di SMA Kota. Begitu pula dengan teman-temannya yang bukan pelajar KIP (karena awalnya dia peringkat pertama untuk kuota luar kota).
Yang aku tekankan di sini adalah sistem pendaftaran dan sistem pendidikan Indonesia. Aku tidak tahu apakah di seluruh Indonesia berlaku sistem yang sama atau tidak. Atau sistem ini hanya berlaku di Kota. Aku ingin menyoroti Pancasila sila kelima dan adanya KIP. Pancasila sila kelima berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Bagiku bukan hanya keadilan sosial namun juga pendidikan, hukum, beragama, dll (ya kan para ahli Negara?). Memang adanya KIP dipertujukan untuk memberi keadilan pendidikan pada rakyat Indonesia. Tapi apakah dengan pelajar KIP dapat bersekolah di mana saja itu adil? Ini seperti memberikan uang saku yang sama kepada seluruh anak. Padahal satunya sudah bekerja, kuliah, dan masih SD. Apakah apabila diberi uang saku 100 ribu itu artinya adil? Tidak.
Begitu pula dengan pendidikan ini. Mungkin tujuannya memang agar pelajar KIP mendapat sistem pembelajaran yang lebih baik. Namun bukan berarti mereka harus bersekolah di tempat mana saja. Setiap orang punya kemampuan otak masing-masing. Keahlian masing-masing. Bisa jadi apabila seseorang yang berkemampuan otak pas-pasan tidak akan kuat hati dan otak di tempat yang bertaraf lebih tinggi. Malah kalau tidak kuat dapat mengakibatkan drop out (untuk kasus kuliah), gangguan kejiwaan, dan bunuh diri. Itu kasus yang ekstrim. Karena aku sering mendengar berita semacam pelajar yang tidak kuat dan bunuh diri dll. Sehingga itu tidak dapat disebut adil.
Mungkin ini sudah telat untuk kasus Dia. Pendaftaran SMA sudah ditutup. Tapi pembelajaran ini untuk kasus selanjutnya. Untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Memang aku baru sadar ketika ada orang dekat yang mengalami.
Aku percaya SMA terbaik belum berarti yang terbaik untuk Dia. Telah Disiapkan masa depan yang lebih baik untuk Dia.
Masalah yang terkait adalah mengenai "keadilan" pelajar luar kota dan dalam kota, dan penggunaan KIP.
Kalau adil harusnya dalam dan luar kota mengalami seleksi yang sama. Apakah kemampuan kita berdasarkan tempat tinggal kita? Maaf apabila aku sombong, tapi aku yang dari pelosok berhasil mengungguli orang kota di PTN ini. Aku juga pernah membuktikan itu di SMA. Sehingga bukan masalah orang kota dan orang pelosok.
Kemudian mengenai keadilan penggunaan KIP. Seleksi tetap bergantung pada kemampuan. KIP memang menjamin pendidikan, tapi bukan berarti bisa dimana saja kalau memang tidak mampu (bukan ekonomi).
Sebetulnya masalah luar kota dan KIP merupakan hal yang saling kontra. KIP bertujuan untuk menyamaratakan pendidikan orang miskin dan orang kaya. Tapi kenapa ada ketidak adilan pada pendidikan orang luar kota dan dalam kota? Tujuannya agar sekolah luar kota tidak tertinggal dari dalam kota? Hmm egois tidak sih?
Kalau ingin menyamaratakan pendidikan Indonesia, seharusnya yang disamakan kualitas sekolahnya, kualitas guru, kualitas kurikulum sekolah. Bukan malah menyamaratakan pejalar dengan cara disebarkan. Aku tahu memang akreditasi A antara tempat ini tidak sama dengan tempat itu. Bahkan standar UN pun dibedakan untuk daerah Jawa dan Luar Jawa dengan dalih berbeda kemampuan.
Namun dengan KIP kemampuannya dianggap sama?
Pernah juga ada kasus anak guru mendapatkan nilai lebih. Mungkin pertimbangannya karena dididik oleh guru langsung dari lahir jadi kemampuannya dianggap lebih. Lalu bagaimana dengan aku yang anak petani? Apalagi dengan pendidikan orang tuaku hanya lulusan sekolah dasar dan lulusan sekolah menengah. Apakah aku tidak berhak mendapat pendidikan yang baik? Saat itu belum ada KIP, dan aku berhasil masuk ke sekolah "bagus" karena diadakan tes pendaftaran. Kalau sekarang mungkin aku tidak akan diterima.
Bukan berarti aku tidak mendukung adanya KIP. KIP akan sangat membantu untuk pelajar sepertiku. Yang aku pertanyakan adalah penggunaan KIP. Apakah sudah tepat dengan kasus seperti ini? Memang Dia "patut mengalah" untuk pelajar "kurang mampu (ekonomi)", tapi aku rasa harus ada seleksi juga kan?
<3 Putri, Seorang awam pendidikan Indonesia
Spoiler for SUMBER 1:
Spoiler for SUMBER 2:
Diubah oleh faisalayyub 16-06-2017 16:35
tien212700 memberi reputasi
1
3.5K
Kutip
18
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan