- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mahfud MD: Persoalan Kita Bukan Keyakinan Tapi Kesenjangan Sosial


TS
annisaputrie
Mahfud MD: Persoalan Kita Bukan Keyakinan Tapi Kesenjangan Sosial
Mahfud MD: Persoalan Kita Bukan Keyakinan Tapi Kesenjangan Sosial
RABU, 14 JUNI 2017 , 00:28:00 WIB

Prof.Dr.Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
RMOL. Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Indonesia, Prof. Mahfud MD mengatakan persoalan yang terjadi saat ini bukan karena persoalan keyakinan, melainkan kesenjangan sosial.
Demikian diungkapkan mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu dalam acara Curah Rasa dan Pendapat Para Tokoh Nasional, Refleksi Kebangsaan Rawat Kebhinekaan Untuk Menjaga Keutuhan NKRI, di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (13/6).
Hadir dalam acara tersebut, Ketua MPR RI Zulkifli Hassan, dua wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid dan E.E Mangindaan, serta Jendral (Pur) Try Sutrisno, Prof. Jimly Ashiddiqie, dan KH. Salahuddin Wahid.
Selain menampilkan para undangan dari tokoh nasional, tokoh agama, juga hadir dari kalangan budayawan, tokoh adat dan suku.
Sedangkan dari kalangan tokoh budayawan dan tokoh agama diantaranya hadir, Benny Susetyo, Romo Benny, Bachtiar Nashir, Jaya Suprana, HS Dillon, Sandyawan Sumardi, Franz Magnis Suseno dan Romo Mudji Sutrisno, serta Uung Sendana, ketua Matakin dari perwakilan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia.
Jimly Asshiddiqie selaku moderator mengatakan, pertemuan Curah Rasa dan Pendapat Para Tokoh Nasional ini mungkin belum sempurna, penyelenggaraan dan materi dibahas, maka diperlukan sebagai lanjutan.
"Majelis Permusyawaratan Rakyat siap sebagai rumah rakyat untuk menampung ide da pembicaraan mengenai pentingnya kerukunan negara ini," katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, istilah yang dipakai dalam dialog ini adalah curah rasa dan pendapat dan refleksi kebangsaan, bukan hanya curah rasionalitas. "Saya hanya mengatur lalu lintas, saya persilahkan bapak ibu bergantian memberi pendapatnya," kata Jimly.
Mahfud MD tampil sebagai tokoh pertama dalam acara yang dimulai pukul 13.00 WIB. Ia mengatakan, merasa ada sekelompok kecil, yang merasa kelompoknya harus dominan di negeri ini, karena kelompoknya dianggap terbesar secara sosial.
"Ada sekelompok kecil orang Islam. Membuat garis perjuangan. Kalau mainstream umat Islam tidak begitu. Seperti, NU dan Muhammadiyah. Tidak ada masalah dengan Pancasila, tidak ada saling dominan. Ini negara kekeluargaan dan gotong royong," ungkapnya.
Mahfud mengatakan, sebagai orang Islam, berislam di Indonesia sangat nyaman dibanding di Saudi Arabia. Majelis Taklim di sana tidak ada. Pengajian sangat resmi di sana. Di Indonesia menjalankan kegiatan keagamaan enak, hubungan personal sangat enak.
"Yang tidak Islam pun sudah terbiasa memakai therma-therma Islam. Seperti, InsyaAlllah, Alhamdulilah atau Assalamualaikum. Sudah biasa dan tidak merasa berat mengatakan. Kita tidak ada persoalan permusuhan. Situasi sekarang ini bukan persoalan keyakinan pada awalnya, tapi kesenjangan sosial," katanya.
"Situasi sekarang menurut saya, bukan persoalan keyakinan awalnya, tapi kesenjangan sosial, ketidakadilan dan penegakan hukum yang transaksional uang, atau posisi lalu orang yang pengikut yang mainstream tadi, ikut numpang dan yang ekstrim ikut protes, menjadi masif dan tidak terkendali. Kontestasi politik biasanya begitu selesai berakhir baik. Misal, soal pemilu legislatif ribut, tapi setelah itu mulai pulih," tambah Mahfud.
Ia mengatakan, Clinton Center menyatakan kehidupan umat Islam di Indonesia, paling diandalkan dalam kehidupan demokrasi. "Tapi begitu Pilgub selesai melebar kemana-mana, rasa sakit meluas dan kita curah pendapat di sini. Selama ini tidak pernah ribut soal ras, agama dan suku selama 70 tahun lebih kemerdekaan. Kini, bagaimana pemerintah bangun kesejahteraan rakyat dengan sungguh-sungguh," imbuhnya.
Menurut Mahfud, penegakan hukum banyak melenceng, banyak rekayasa di aparat penegak hukum. Mereka bilang dibuktikan ke pengadilan.
"Saya paling tidak setuju pembuktian di pengadilan. Ke pengadilan kalau terpaksa saja. Itu hanya mengajak bertengkar, bukan menjadikan hukum menjadi harmoni di tengah masyarakat kita," ujarnya.
http://www.rmol.co/read/2017/06/14/2...jangan-Sosial-
----------------------------------
PERINGATAN seperti yang dilontarkan Machfud MD atau Bank Dunia diatas itu memang lebih ditujukan kepada Pemerintah/Negara, karena risiko kepincangan ekonomi yang buruk akibat ketidak-adilan ekonomi itu, bisa menimbulkan kerusuhan sosial.
Belajar dari sejarah Indonesia modern, kayaknya siklus "revolusi/reformasi" di negeri ini akan terjadi sekitar 20-25 tahun sekali, sebagai koreksi atas ketidak-adilan yang melanda seluruh negeri.
Revolusi 1945, di awali dengan kondisi buruknya ekonomi rakyat dan ketidak-adilan yang amat buruk sepeninggalan penjajahan Jepang selama 3,5 tahun. Moment kekosongan kekuasaan pasca jepang menyerah itu, hanya "casus belli" untuk terjadinya revolusi. Dan revolusi saat itu, sama sekali bukan dikompori oleh pihak Jepang, tapi memang sudah saatnya rakyat bangkit melawan ketidak-adilan.
Perang Saudara 1965, juga hampir sama. Kondisi sosial-ekonomi dan ketidak-adilan ekonomi yang sangat buruk periode 1960-1964 akibat rezim Orde Lama tidak becus mengurus perekonomian rakyat, berakibat terjadi kelaparan se antero negeri, terutama di Jawa.. Rakyat yang sudah tak kuat lagi menahan kesabarannya, akhirnya meledak dan melawan Penguasa dengan "casus belli" pembunuhan 7 Jenderal oleh G30S/PKI.
Reformasi 1998, juga mirip sekali kondisi ekonomi masyarakat pada waktu itu. Setelah setahun menderita dan kelaparan akibat krismon 1997, rakyat sudah tak sabar lagi untuk memunculkan perubahan. Dan kali ini "casus belli" yang jadi pemicunya adalah di-sniper-nya 3 mahasiswa Trisakti di tengah lautan demo mahasiswa yang menuntut rezim 32 tahun Orde Baru untuk mundur.
Perhatikan itu tahun-tahun sakti terjadi perubahan sosial di negeri ini semenjak kemerdekaan: "1945" - "1965" dan "1998"
..... kalau yang terakhir adalah "1998" ... maka kapan waktu berikutnya? "2018" atau "2020" atau .....
Bahkan dari sisi agama Islam, orang muslim yang mayoritas di negeri ini meyakini sekali akan kebenaran sebuah firman Allah di dalam Al-Qur'an yang meng-isyarat-kan akan terjadi kerusakan/kehancuran suatu negeri apabila ketidak-adilan ekonomi di negeri itu sudah sedemikian buruknya akibat ulah orang kayanya dan para pemimpinnya yang hidup berfoya-foya dan enggan berbagi harta kekayaannya kepada kelompok miskin atau berpendapatan rendah di negerinya. Mereka lebih suka menimpun hartanya dan mengkonsentrasikan jumlah kekayaannya pada kelompok, etnis, atau golongannya sendiri.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
(QS al-Isra’: 16)
RABU, 14 JUNI 2017 , 00:28:00 WIB

Prof.Dr.Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
RMOL. Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Indonesia, Prof. Mahfud MD mengatakan persoalan yang terjadi saat ini bukan karena persoalan keyakinan, melainkan kesenjangan sosial.
Demikian diungkapkan mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu dalam acara Curah Rasa dan Pendapat Para Tokoh Nasional, Refleksi Kebangsaan Rawat Kebhinekaan Untuk Menjaga Keutuhan NKRI, di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (13/6).
Hadir dalam acara tersebut, Ketua MPR RI Zulkifli Hassan, dua wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid dan E.E Mangindaan, serta Jendral (Pur) Try Sutrisno, Prof. Jimly Ashiddiqie, dan KH. Salahuddin Wahid.
Selain menampilkan para undangan dari tokoh nasional, tokoh agama, juga hadir dari kalangan budayawan, tokoh adat dan suku.
Sedangkan dari kalangan tokoh budayawan dan tokoh agama diantaranya hadir, Benny Susetyo, Romo Benny, Bachtiar Nashir, Jaya Suprana, HS Dillon, Sandyawan Sumardi, Franz Magnis Suseno dan Romo Mudji Sutrisno, serta Uung Sendana, ketua Matakin dari perwakilan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia.
Jimly Asshiddiqie selaku moderator mengatakan, pertemuan Curah Rasa dan Pendapat Para Tokoh Nasional ini mungkin belum sempurna, penyelenggaraan dan materi dibahas, maka diperlukan sebagai lanjutan.
"Majelis Permusyawaratan Rakyat siap sebagai rumah rakyat untuk menampung ide da pembicaraan mengenai pentingnya kerukunan negara ini," katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, istilah yang dipakai dalam dialog ini adalah curah rasa dan pendapat dan refleksi kebangsaan, bukan hanya curah rasionalitas. "Saya hanya mengatur lalu lintas, saya persilahkan bapak ibu bergantian memberi pendapatnya," kata Jimly.
Mahfud MD tampil sebagai tokoh pertama dalam acara yang dimulai pukul 13.00 WIB. Ia mengatakan, merasa ada sekelompok kecil, yang merasa kelompoknya harus dominan di negeri ini, karena kelompoknya dianggap terbesar secara sosial.
"Ada sekelompok kecil orang Islam. Membuat garis perjuangan. Kalau mainstream umat Islam tidak begitu. Seperti, NU dan Muhammadiyah. Tidak ada masalah dengan Pancasila, tidak ada saling dominan. Ini negara kekeluargaan dan gotong royong," ungkapnya.
Mahfud mengatakan, sebagai orang Islam, berislam di Indonesia sangat nyaman dibanding di Saudi Arabia. Majelis Taklim di sana tidak ada. Pengajian sangat resmi di sana. Di Indonesia menjalankan kegiatan keagamaan enak, hubungan personal sangat enak.
"Yang tidak Islam pun sudah terbiasa memakai therma-therma Islam. Seperti, InsyaAlllah, Alhamdulilah atau Assalamualaikum. Sudah biasa dan tidak merasa berat mengatakan. Kita tidak ada persoalan permusuhan. Situasi sekarang ini bukan persoalan keyakinan pada awalnya, tapi kesenjangan sosial," katanya.
"Situasi sekarang menurut saya, bukan persoalan keyakinan awalnya, tapi kesenjangan sosial, ketidakadilan dan penegakan hukum yang transaksional uang, atau posisi lalu orang yang pengikut yang mainstream tadi, ikut numpang dan yang ekstrim ikut protes, menjadi masif dan tidak terkendali. Kontestasi politik biasanya begitu selesai berakhir baik. Misal, soal pemilu legislatif ribut, tapi setelah itu mulai pulih," tambah Mahfud.
Ia mengatakan, Clinton Center menyatakan kehidupan umat Islam di Indonesia, paling diandalkan dalam kehidupan demokrasi. "Tapi begitu Pilgub selesai melebar kemana-mana, rasa sakit meluas dan kita curah pendapat di sini. Selama ini tidak pernah ribut soal ras, agama dan suku selama 70 tahun lebih kemerdekaan. Kini, bagaimana pemerintah bangun kesejahteraan rakyat dengan sungguh-sungguh," imbuhnya.
Menurut Mahfud, penegakan hukum banyak melenceng, banyak rekayasa di aparat penegak hukum. Mereka bilang dibuktikan ke pengadilan.
"Saya paling tidak setuju pembuktian di pengadilan. Ke pengadilan kalau terpaksa saja. Itu hanya mengajak bertengkar, bukan menjadikan hukum menjadi harmoni di tengah masyarakat kita," ujarnya.
http://www.rmol.co/read/2017/06/14/2...jangan-Sosial-
----------------------------------
PERINGATAN seperti yang dilontarkan Machfud MD atau Bank Dunia diatas itu memang lebih ditujukan kepada Pemerintah/Negara, karena risiko kepincangan ekonomi yang buruk akibat ketidak-adilan ekonomi itu, bisa menimbulkan kerusuhan sosial.
Belajar dari sejarah Indonesia modern, kayaknya siklus "revolusi/reformasi" di negeri ini akan terjadi sekitar 20-25 tahun sekali, sebagai koreksi atas ketidak-adilan yang melanda seluruh negeri.
Revolusi 1945, di awali dengan kondisi buruknya ekonomi rakyat dan ketidak-adilan yang amat buruk sepeninggalan penjajahan Jepang selama 3,5 tahun. Moment kekosongan kekuasaan pasca jepang menyerah itu, hanya "casus belli" untuk terjadinya revolusi. Dan revolusi saat itu, sama sekali bukan dikompori oleh pihak Jepang, tapi memang sudah saatnya rakyat bangkit melawan ketidak-adilan.
Perang Saudara 1965, juga hampir sama. Kondisi sosial-ekonomi dan ketidak-adilan ekonomi yang sangat buruk periode 1960-1964 akibat rezim Orde Lama tidak becus mengurus perekonomian rakyat, berakibat terjadi kelaparan se antero negeri, terutama di Jawa.. Rakyat yang sudah tak kuat lagi menahan kesabarannya, akhirnya meledak dan melawan Penguasa dengan "casus belli" pembunuhan 7 Jenderal oleh G30S/PKI.
Reformasi 1998, juga mirip sekali kondisi ekonomi masyarakat pada waktu itu. Setelah setahun menderita dan kelaparan akibat krismon 1997, rakyat sudah tak sabar lagi untuk memunculkan perubahan. Dan kali ini "casus belli" yang jadi pemicunya adalah di-sniper-nya 3 mahasiswa Trisakti di tengah lautan demo mahasiswa yang menuntut rezim 32 tahun Orde Baru untuk mundur.
Perhatikan itu tahun-tahun sakti terjadi perubahan sosial di negeri ini semenjak kemerdekaan: "1945" - "1965" dan "1998"
..... kalau yang terakhir adalah "1998" ... maka kapan waktu berikutnya? "2018" atau "2020" atau .....
Bahkan dari sisi agama Islam, orang muslim yang mayoritas di negeri ini meyakini sekali akan kebenaran sebuah firman Allah di dalam Al-Qur'an yang meng-isyarat-kan akan terjadi kerusakan/kehancuran suatu negeri apabila ketidak-adilan ekonomi di negeri itu sudah sedemikian buruknya akibat ulah orang kayanya dan para pemimpinnya yang hidup berfoya-foya dan enggan berbagi harta kekayaannya kepada kelompok miskin atau berpendapatan rendah di negerinya. Mereka lebih suka menimpun hartanya dan mengkonsentrasikan jumlah kekayaannya pada kelompok, etnis, atau golongannya sendiri.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
(QS al-Isra’: 16)
Diubah oleh annisaputrie 14-06-2017 09:37
0
3.6K
45


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan