- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Impor Pangan Terbukti Rugikan Keuangan Negara


TS
iambacknow
Impor Pangan Terbukti Rugikan Keuangan Negara
JAKARTA - Sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk fokus menangani kejahatan impor pangan sehingga kasus serupa impor garam tidak terulang lagi.
Pemerintah juga diminta bersikap atas kebijakan impor pangan yang ternyata merugikan keuangan negara dan membuat pembangunan pertanian terganggu.
Ekonom Institute for Economic of Development and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan pemerintah harus menyikapi kejahatan impor pangan, seperti dalam kasus impor PT Garam (Persero) yang diduga merugikan keuangan negara 3,5 miliar rupiah, sebagai situasi krisis.
“Pemerintah harus berkaca pada kasus impor garam yang ternyata merugikan keuangan negara. Kenyataan ini juga mengungkapkan potensi kegagalan dalam pembangunan pertanian nasional.
Artinya, kebijakan impor pangan itu tidak memberikan manfaat bagi stabilitas harga dan gagal meningkatkan kesejahteraan petani,” kata Bhima saat dihubungi, Senin (12/6).
Bhima menambahkan, menteri-menteri bidang pangan harus menyadari bahwa kebijakan impor pangan ternyata malah menjadi lahan perburuan rente (rent seeking).
“Kebijakan impor pangan ternyata gagal. Untuk itu, menteri-menteri bidang pangan mesti mengkaji ulang kebijakannya,” paparnya.
Sementara itu, pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santoso, menambahkan kebijakan impor akan membinasakan petani nasional. “Impor justru mematikan kapasitas produksi dalam negeri. Dalam hal ini kapasitas petani, dan menghancurkan petani itu sendiri,” kata dia.
Andreas mencontohkan, kebijakan pemerintah yang akhirnya mematikan petani nasional, misalnya kedelai. Bahkan, sampai tarif impornya nol rupiah.
“Dengan tarif impor nol persen sudah pasti petani Indonesia tidak bisa bersaing dengan petani dari negara lain. Ini artinya petani kecil terpaksa harus berhadapan dengan produk pangan impor murah (low artificial price) dan dumping yang menghancurkan sistem pertanian dan kesejahteraan mereka,” kata Andreas.
Andreas menambahkan orientasi pembangunan pertanian perlu diubah dari produksi ke peningkatan kesejahteraan petani. Untuk itu, penetapan harga acuan yang menguntungkan petani adalah salah satu instrumen yang potensial untuk meningkatkan pendapatan petani.
“Peningkatan produksi merupakan buah dari upaya keras meningkatkan kesejahteraan petani bukan sebaliknya,” paparnya.
Audit Perizinan
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, mengatakan pemerintah perlu segera melakukan audit perizinan pelaksanaan impor garam. “Hal yang paling mendesak adalah melakukan audit terhadap perizinan dan pelaksanaan impor garam,” katanya.
Menurut Abdul Halim, kasus impor garam itu juga karena berbagai tambak dalam negeri selama ini tidak optimal diberdayakan sehingga memunculkan lobi tertutup impor garam.
Ironisnya, PT Garam ikut ambil peluang dagang kuota impor garam dengan melakukan pengemasan ulang dengan merek lokal.
Dia berpendapat ada beberapa fase yang mengakibatkan praktik korupsi terjadi di sektor pergaraman, yaitu fase pengumpulan data produksi garam nasional, saat importir mengajukan izin dan kuota impor, serta fase setelah garam impor didatangkan.
Untuk itu, ujar Abdul Halim, penting pula bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan terhadap tata produksi dan niaga garam dengan menitikberatkan kepada upaya swasembada garam nasional.
Sebelumnya, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri menggeledah sejumlah gudang milik PT Garam di Surabaya, Jawa Timur, terkait kasus dugaan tindak pidana penyimpangan importasi dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton.
Polri juga melakukan pengejaran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana penyimpangan importasi dan distribusi garam industri tersebut. Bareskrim berjanji akan menuntaskan kasus yang merugikan keuangan negara lebih dari 3,5 miliar rupiah.
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto, mengatakan untuk saat ini tersangka yang sudah ditangkap dan ditahan dalam kasus tersebut baru Dirut PT Garam atas nama AB.
“Nah, sekarang sedang kita kejar semuanya yang terlibat, yang terkait dengan kasus ini. Kita akan periksa, kita akan tuntaskan nanti,” kata Setyo. ahm/ers/eko/AR-2
http://www.koran-jakarta.com/impor-p...uangan-negara/
Kejahatan Impor Pangan Memiskinkan Petani
JAKARTA – Terungkapnya kejahatan impor garam yang melibatkan direktur utama PT Garam (Persero) hanyalah salah satu dari korupsi impor pangan yang diduga juga terjadi di beberapa komoditas impor lainnya, seperti gula, jagung, gandum, dan daging.
Bahkan, ada komoditas impor pangan yang sudah berlangsung sekian lama hingga melibatkan oknum pejabat dan importir nakal.
Tak cuma itu, akibat pemerintah terlalu mengandalkan impor pangan untuk stabilitasi harga, kini kondisi pertanian nasional menjadi tidak produktif. Malah, banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi properti dan petani kehilangan mata pencarian.
Pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan dalam memberantas kejahatan pangan, aparat penegak hukum seharusnya tidak berhenti pada komoditas garam karena masih banyak praktik rent seeking lainnya yang lebih merugikan negara dan petani.
“Aparat penegak hukum seharusnya memperluas penanganannya bukan hanya pada komoditas garam saja. Polisi dan KPK juga harus mengungkap praktik nakal importir pangan,
terutama gula yang volume kebutuhannya jauh lebih besar dari garam karena frekuensi dan repeat order impornya lebih sering, dan merupakan komoditas nonsubtitusi,” katanya saat dihubungi, Minggu (11/6).
Sebelumnya, Satgas Pangan Bareskrim Polri menangkap Direktur Utama PT Garam, Achmad Boediyono pada Sabtu (10/6). Achmad diduga melakukan kecurangan dengan mengganti nomor jenis garam agar mendapatkan izin importasi dari Kementerian Perdagangan.
Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Agung Setya, peristiwa ini bermula dari pemerintah yang memberitahukan sebanyak 226 ribu ton kebutuhan garam konsumsi nasional, sehingga PT Garam mengajukan diri untuk merealisasikan 75 ribu ton untuk garam konsumsi tersebut.
“Yang bersangkutan sudah dua kali mengajukan importasi garam konsumsi sejumlah 75 ribu ton dengan mendapatkan surat persetujuan impor (SPI) nomor 42 dan 43,” ungkapnya.
Atas perubahan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan surat kepada Kemendag, sehingga rencana AB ini kemudian direalisasikan dengan mengimpor 75 ribu ton garam industri. “Ini jelas hal yang melanggar,” kata Agung.
Atas perbuatan ini, AB dijerat dengan Pasal 63 Undang-Undang perlindungan konsumen dan Pasal 3 UU tindak pidana korupsi. Kemudian dikenakan juga Pasal 3,5 Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan hukuman 20 tahun penjara.
Kesejahteraan Petani
Ramdan menambahkan, dengan terungkapnya praktik nakal impor garam mesti menjadi momentum bagi pemerintah untuk meningkatkan produksi garam nasional.
“Petani garam kita harus menjadi tuan di rumahnya sendiri. Di sinilah peran pemerintah diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, seperti menaikkan bea tarif impor guna kepentingan nasional,” katanya.
Beberapa waktu lalu, pengamat ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Imron Rozuli, mengatakan seharusnya pemerintah menyadari bahwa sekarang ini jutaan petani hidup pas-pasan dan bergantung pada ladang.
Kondisi ini pun ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro petani, seperti kebijakan harga eceran tertinggi (HET).
“Memurahkan pangan secara tidak adil dan tidak normal tidak akan bertahan. Itu tidak memakmurkan rakyat. Indonesia hanya bisa memakmurkan rakyat, terutama petani yang jumlahnya 40 juta, dengan kemandirian pangan, bukan dengan impor pangan,” tegasnya.
Imron kemudian mengungkap Permenperin Nomor 10 Tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Pabrik Gula Rafinasi yang membolehkan impor gula mentah sebesar 80 persen dari kapasitas pabrik, sebagai kebijakan yang tidak benar sebab siapa yang bisa memeriksanya.
“Bisa saja pabrik gula tersebut menanam tebu, tapi tidak digiling karena memang tidak punya gilingannya. Bisa juga dibuang atau dijual ke pabrik gula lainnya,” katanya.
Pemerintah Indonesia seharusnya berkaca pada kebijakan pangan negara maju yang sangat ketat melindungi petani dan industri dalam negerinya. SB/eko/ers/AR-2
http://www.koran-jakarta.com/kejahat...kinkan-petani/
pernah mengamati mobilisasi warga dari dan ke sekitar jakarta?
fenomena yg tak lazim beberapa tahun ini
petani ini jumlahnya selalu menyusut dari tahun ketahun!
belum lagi pola musim yg kacau bnyk yg gagal panen krn efek emisi karbon
petani sekarang pendpatannya gak lebih dr 50rban/hari loh ini tahun 2017
Pemerintah juga diminta bersikap atas kebijakan impor pangan yang ternyata merugikan keuangan negara dan membuat pembangunan pertanian terganggu.
Ekonom Institute for Economic of Development and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan pemerintah harus menyikapi kejahatan impor pangan, seperti dalam kasus impor PT Garam (Persero) yang diduga merugikan keuangan negara 3,5 miliar rupiah, sebagai situasi krisis.
“Pemerintah harus berkaca pada kasus impor garam yang ternyata merugikan keuangan negara. Kenyataan ini juga mengungkapkan potensi kegagalan dalam pembangunan pertanian nasional.
Artinya, kebijakan impor pangan itu tidak memberikan manfaat bagi stabilitas harga dan gagal meningkatkan kesejahteraan petani,” kata Bhima saat dihubungi, Senin (12/6).
Bhima menambahkan, menteri-menteri bidang pangan harus menyadari bahwa kebijakan impor pangan ternyata malah menjadi lahan perburuan rente (rent seeking).
“Kebijakan impor pangan ternyata gagal. Untuk itu, menteri-menteri bidang pangan mesti mengkaji ulang kebijakannya,” paparnya.
Sementara itu, pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santoso, menambahkan kebijakan impor akan membinasakan petani nasional. “Impor justru mematikan kapasitas produksi dalam negeri. Dalam hal ini kapasitas petani, dan menghancurkan petani itu sendiri,” kata dia.
Andreas mencontohkan, kebijakan pemerintah yang akhirnya mematikan petani nasional, misalnya kedelai. Bahkan, sampai tarif impornya nol rupiah.
“Dengan tarif impor nol persen sudah pasti petani Indonesia tidak bisa bersaing dengan petani dari negara lain. Ini artinya petani kecil terpaksa harus berhadapan dengan produk pangan impor murah (low artificial price) dan dumping yang menghancurkan sistem pertanian dan kesejahteraan mereka,” kata Andreas.
Andreas menambahkan orientasi pembangunan pertanian perlu diubah dari produksi ke peningkatan kesejahteraan petani. Untuk itu, penetapan harga acuan yang menguntungkan petani adalah salah satu instrumen yang potensial untuk meningkatkan pendapatan petani.
“Peningkatan produksi merupakan buah dari upaya keras meningkatkan kesejahteraan petani bukan sebaliknya,” paparnya.
Audit Perizinan
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, mengatakan pemerintah perlu segera melakukan audit perizinan pelaksanaan impor garam. “Hal yang paling mendesak adalah melakukan audit terhadap perizinan dan pelaksanaan impor garam,” katanya.
Menurut Abdul Halim, kasus impor garam itu juga karena berbagai tambak dalam negeri selama ini tidak optimal diberdayakan sehingga memunculkan lobi tertutup impor garam.
Ironisnya, PT Garam ikut ambil peluang dagang kuota impor garam dengan melakukan pengemasan ulang dengan merek lokal.
Dia berpendapat ada beberapa fase yang mengakibatkan praktik korupsi terjadi di sektor pergaraman, yaitu fase pengumpulan data produksi garam nasional, saat importir mengajukan izin dan kuota impor, serta fase setelah garam impor didatangkan.
Untuk itu, ujar Abdul Halim, penting pula bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan terhadap tata produksi dan niaga garam dengan menitikberatkan kepada upaya swasembada garam nasional.
Sebelumnya, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri menggeledah sejumlah gudang milik PT Garam di Surabaya, Jawa Timur, terkait kasus dugaan tindak pidana penyimpangan importasi dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton.
Polri juga melakukan pengejaran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana penyimpangan importasi dan distribusi garam industri tersebut. Bareskrim berjanji akan menuntaskan kasus yang merugikan keuangan negara lebih dari 3,5 miliar rupiah.
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto, mengatakan untuk saat ini tersangka yang sudah ditangkap dan ditahan dalam kasus tersebut baru Dirut PT Garam atas nama AB.
“Nah, sekarang sedang kita kejar semuanya yang terlibat, yang terkait dengan kasus ini. Kita akan periksa, kita akan tuntaskan nanti,” kata Setyo. ahm/ers/eko/AR-2
http://www.koran-jakarta.com/impor-p...uangan-negara/
Kejahatan Impor Pangan Memiskinkan Petani
JAKARTA – Terungkapnya kejahatan impor garam yang melibatkan direktur utama PT Garam (Persero) hanyalah salah satu dari korupsi impor pangan yang diduga juga terjadi di beberapa komoditas impor lainnya, seperti gula, jagung, gandum, dan daging.
Bahkan, ada komoditas impor pangan yang sudah berlangsung sekian lama hingga melibatkan oknum pejabat dan importir nakal.
Tak cuma itu, akibat pemerintah terlalu mengandalkan impor pangan untuk stabilitasi harga, kini kondisi pertanian nasional menjadi tidak produktif. Malah, banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi properti dan petani kehilangan mata pencarian.
Pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan dalam memberantas kejahatan pangan, aparat penegak hukum seharusnya tidak berhenti pada komoditas garam karena masih banyak praktik rent seeking lainnya yang lebih merugikan negara dan petani.
“Aparat penegak hukum seharusnya memperluas penanganannya bukan hanya pada komoditas garam saja. Polisi dan KPK juga harus mengungkap praktik nakal importir pangan,
terutama gula yang volume kebutuhannya jauh lebih besar dari garam karena frekuensi dan repeat order impornya lebih sering, dan merupakan komoditas nonsubtitusi,” katanya saat dihubungi, Minggu (11/6).
Sebelumnya, Satgas Pangan Bareskrim Polri menangkap Direktur Utama PT Garam, Achmad Boediyono pada Sabtu (10/6). Achmad diduga melakukan kecurangan dengan mengganti nomor jenis garam agar mendapatkan izin importasi dari Kementerian Perdagangan.
Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Agung Setya, peristiwa ini bermula dari pemerintah yang memberitahukan sebanyak 226 ribu ton kebutuhan garam konsumsi nasional, sehingga PT Garam mengajukan diri untuk merealisasikan 75 ribu ton untuk garam konsumsi tersebut.
“Yang bersangkutan sudah dua kali mengajukan importasi garam konsumsi sejumlah 75 ribu ton dengan mendapatkan surat persetujuan impor (SPI) nomor 42 dan 43,” ungkapnya.
Atas perubahan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan surat kepada Kemendag, sehingga rencana AB ini kemudian direalisasikan dengan mengimpor 75 ribu ton garam industri. “Ini jelas hal yang melanggar,” kata Agung.
Atas perbuatan ini, AB dijerat dengan Pasal 63 Undang-Undang perlindungan konsumen dan Pasal 3 UU tindak pidana korupsi. Kemudian dikenakan juga Pasal 3,5 Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan hukuman 20 tahun penjara.
Kesejahteraan Petani
Ramdan menambahkan, dengan terungkapnya praktik nakal impor garam mesti menjadi momentum bagi pemerintah untuk meningkatkan produksi garam nasional.
“Petani garam kita harus menjadi tuan di rumahnya sendiri. Di sinilah peran pemerintah diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, seperti menaikkan bea tarif impor guna kepentingan nasional,” katanya.
Beberapa waktu lalu, pengamat ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Imron Rozuli, mengatakan seharusnya pemerintah menyadari bahwa sekarang ini jutaan petani hidup pas-pasan dan bergantung pada ladang.
Kondisi ini pun ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro petani, seperti kebijakan harga eceran tertinggi (HET).
“Memurahkan pangan secara tidak adil dan tidak normal tidak akan bertahan. Itu tidak memakmurkan rakyat. Indonesia hanya bisa memakmurkan rakyat, terutama petani yang jumlahnya 40 juta, dengan kemandirian pangan, bukan dengan impor pangan,” tegasnya.
Imron kemudian mengungkap Permenperin Nomor 10 Tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Pabrik Gula Rafinasi yang membolehkan impor gula mentah sebesar 80 persen dari kapasitas pabrik, sebagai kebijakan yang tidak benar sebab siapa yang bisa memeriksanya.
“Bisa saja pabrik gula tersebut menanam tebu, tapi tidak digiling karena memang tidak punya gilingannya. Bisa juga dibuang atau dijual ke pabrik gula lainnya,” katanya.
Pemerintah Indonesia seharusnya berkaca pada kebijakan pangan negara maju yang sangat ketat melindungi petani dan industri dalam negerinya. SB/eko/ers/AR-2
http://www.koran-jakarta.com/kejahat...kinkan-petani/
pernah mengamati mobilisasi warga dari dan ke sekitar jakarta?
fenomena yg tak lazim beberapa tahun ini
petani ini jumlahnya selalu menyusut dari tahun ketahun!
belum lagi pola musim yg kacau bnyk yg gagal panen krn efek emisi karbon
petani sekarang pendpatannya gak lebih dr 50rban/hari loh ini tahun 2017

0
1.2K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan