- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Sepotong Cerita mahasiswa KKN UGM didesaku Katingting, Popaco, dan Air Tawar


TS
ijalserius
Sepotong Cerita mahasiswa KKN UGM didesaku Katingting, Popaco, dan Air Tawar
Sepotong Cerita mahasiswa KKN UGM didesaku
Katingting, Popaco, dan Air Tawar
‘Sudah pernah makan popaco?’ tanya dokter Nindya hari itu, ketika aku dan Eli—teman satu subunitku—mengajaknya mengobrol. Kami menggeleng. Namanya saja baru dengar, batin kami.
Kami menatap penasaran.
‘Wah, kalian harus coba makanan yang satu itu. Dibakar, rasanya enak banget. Coba minta buatin sama mama-mama yang disini. Enak lho, kalo ada dokter-dokter datang kesini, dihidangkan itu, mereka pasti pada doyan!’ ujar dokter meyakinkan.
Aku menelan ludah. Duh, jadi ingin. Eh tunggu, namanya apa tadi?

—
KKN di Halmahera Selatan ini memang menceritakan banyak hal-hal menarik yang belum pernah ku ketahui sebelumnya. Mulai dari budaya, adat, logat, bahasa, bahkan hal seperti makanan. Nah, justru hal-hal ini lah yang membuat KKN ini menarik dan menantang. Membuka mata lagi tentang betapa beragamnya Indonesia ini.
Rupanya yang mengatakan popaco ini enak tidak hanya satu orang. Begitu pula kata mama-mama piara, dan mama tetangga yang kami ajak mengobrol. Menarik kan? Ternyata popaco adalah keong yang ada di rawa-rawa. Cangkangnya berbentuk kerucut. Cara memasaknya bermacam-macam, bisa dengan direbus, digoreng, bisa juga dibakar, seperti kata dokter.
—
Siang itu terik. Waktu batal puasa masih lama. Program rutin kami, Pesantren Kilat, baru saja selesai.
‘Kita diajak warga ambil bia nih,’ ujar Wiji—salah satu anggota subunit, tiba-tiba siang itu. ‘Kayaknya kita ngga bisa rapat deh jadinya’
Eli, tiba-tiba tertarik. ‘Eh, eh mau ikut!’ ujarnya. ‘emang berangkatnya pake apa?’
‘ada katingtingnya om udin,’ kata wiji menyebut nama salah seorang warga. ‘nanti kita tinggal nalangin solarnya.’
Aku bergidik. Heh? Ka-ting-ting? Perahu kecil itu? Terbayang olehku berbagai cerita seram ala teman-teman yang sudah pernah naik benda itu sebelumnya. Katanya katingting bergoyang-goyang ke kanan ke kiri, katanya kalau berombak bisa saja terbalik, katanya harus naik menggunakan pelampung….
‘kita juga mau ngambil kelapa muda lho,’ Kata mas hamdy—yang juga salah satu anggota subunit. Kemarin mereka sempat mengambil kelapa muda sebelumnya, dan kami kehabisan karena tidak ikut mengambil di kebun. Padahal, wah, bayangkan betapa segarnya meminum es kelapa muda segar setelah siang penuh panas-panas melaksanakan program.
‘kalau mau ikut, kita berangkat jam tiga ya. Siap-siap!’
Nah, tidak ada lagi kesempatan mengundurkan diri dalam perjalanan ini. Jam tiga hanya tinggal kurang lebih dua puluh menit lagi. Eli juga tampak semangat dengan perjalanan ini.
—
Katingting sudah terparkir manis di pinggiran rumah om udin. Rumah warga di desa ini sebagian berada di atas laut, dengan bentuk panggung. Katingting biasa dengan leluasa di parkir di samping rumah. Katingting merupakan kendaraan paling umum masyarakat sekitar, mungkin kalau di daratan ibarat motor lah.
Mas Ibra sudah duluan naik dan mempersiapkan katingting. ‘Ayo naik!’ ujarnya bersemangat. Ia tertawa-tawa melihat Eli yang agak tegang. Eli sudah pernah naik katingting sebelumnya, saat belanja menuju Labuha. Dan kelihatannya itu sedikit menyisakan trauma baginya, hahaha.

Mas Sahar naik terlebih dahulu. Katingting dirapatkan ke tepi jembatan sebelah rumah agar kami, yang perempuan, bisa naik. Kuputuskan untuk turun dari rumah, dan naik ke atas katingting. Katingting tiba-tiba miring ke kanan ketika kupijakkan kaki di atasnya. Kalau kalian baru pertama naik katingting, pastilah khawatir jika bisa saja benda itu tiba-tiba berbalik. Tapi tenang saja, katingting tidak dibuat untuk tenggelam kok, kata salah seorang warga. Kamu hanya perlu sedikit menyesuaikan keseimbangannya. Tidak semengerikan itu kok, rasanya.
Sekarang giliran Eli menaiki katingting. Eli sudah memijakkan satu kakinya di katingting, sedangkan katingtingnya menjauh dari rumah mengikuti arus. Tampaknya sengaja, tidak ada yang berusaha menarik katingting ke arah rumah sehingga Eli tergelincir jatuh ke laut. Sebagian celananya basah, padahal ia tak berniat sama sekali berbasah-basahan. Eli mengomeli anak-anak yang mengisenginya, sembari kami semua tertawa, hahaha.
—
Katingting melaju ke arah Pulau Mamboat.
Hamparan lautan yang biru ada di sisi kanan dan kiri katingting, kita bisa menjulurkan tangan dan merasakan asinnya air laut langsung. Suara mesin katingting berderu-deru di belakang, menambah seru perjalanan. Nyong, salah satu anak Paisumbaos yang tadinya ngotot ingin ikut akhirnya mendayung sampan berdua dengan temannya, menyusul kami yang mengendarai katingting. Sampan yang tidak menggunakan mesin seperti katingting tentu saja membutuhkan keahlian dan tenaga yang ekstra. Belum lagi sampan lebih rentan terbalik dibanding katingting, kita harus bisa menjamin kita bisa berenang kalau sampannya benar-benar terbalik. Tapi bocah-bocah itu tampak santai dan malah sungguhan mengikuti kami sampai pulau seberang. Luar biasa!

—
Pulau mamboat sudah terlihat jelas. Pasirnya yang putih kekuningan menjadi tempat bersandar katingting, dan kami berhamburan keluar menuju pulau. Ternyata pantainya tidak seberapa besar. Dibaliknya ada semacam rawa besar beserta kubangan lumpurnya. Om Udin dan Pak Surdi segera menceburkan diri ke dalam kubangan lumpur, diikuti oleh laki-laki lainnya. Aku dan Eli hanya termenung. Masa iya kita harus ikut nyemplung? Masalahnya adalah aku memakai rok dan Eli memakai celana jeans.
‘Ayo, sini ikut nyemplung, nyari bia!’ Mas Sahar mencoba mengompori kami untuk ikut mencari bia. Kami hanya nyengir, meskipun yah, ingin juga sih. Mas Ibra juga ikut mengompori kami : ‘ayo kita sudah dapat banyak bia lho!’. Karena bia biasanya berkumpul pada tempat-tempat tertentu, mereka mencari semakin jauh dari pantai dan kami hanya termenung menunggu. Setelah beberapa kali berpikir, aku dan Eli memutuskan untuk menceburkan diri ke kubangan lumpur juga. Sudah sampai pulau ini, sayang sekali kalau kami tidak ikut mencari bia.
Kami berjalan perlahan-lahan mengikuti rombongan laki-laki yang sudah mulai menghilang dari pandangan. Kami ditugaskan untuk membawa karung kecil berisi kumpulan popaco dan bia. Popaco ternyata di sepanjang rawa. Jika kita melangkahkan kaki, maka kita akan dapat merasakan cangkang-cangkang popaco di bawah kaki kita, di dasar lumpur. Popaco yang diambil pun yang berukuran besar, dan terkumpul dengan banyaak sekali jumlahnya.
Rombongan laki-laki berlarian ke arah tumbangan dahan pohon. Kata Mas Ibra, di daerah tersebut banyak sekali bia-nya. Ternyata benar saja, sedikit saja tangan merogoh-rogoh kubangan lumpur di sekitar dahan, maka kita akan menemukan kumpulan bia. Bia yang didapat kemudian dikumpulkan dalam satu karung kecil yang kami bawa. Kami dengan susah payah dan perlahan-lahan mengikuti mereka. Kadang kubangan yang kami pijak terlalu dalam, sehingga kami hampir terjatuh. Tapi jatuh terduduk juga bukanlah hal yang buruk kok. Kubangan lumpur itu lumayan menyenangkan kok.
—
Bia sudah banyak terkumpul. Ternyata keseruan kami tidak hanya berhenti samapai disana. Om Udin dengan sigap memanjat pohon kelapa, sambil membawa sebuah parang. Dan tidak sampai hitungan menit, ia sudah ada di atas pohon, kemudian menjatuhkan serombongan kelapa muda. Satu, dua, tiga, dan akhirnya hingga belasan lebih. Nyong dan agus langsung sigap mengambil kelapa tersebut dan mengumpulkannya di tempat yang tauk jauh dari kami. Kami, yang puteri, diminta kembali ke arah pantai untuk mengamankan karung popaco yang sudah cukup penuh. Kami tergopoh-gopoh memilih jalan yang paling mudah dan tidak membuat tergelincir meuju pinggir pantai. Laki-laki menyusul setelahnya, berlarian berlomba siapa yang terlebih dahulu sampai tepi pantai, sambil membawa beberapa kelapa muda di tangan kanan dan kirinya.
Kami yang penuh lumpur langsung berhamburan menceburkan diri ke laut untuk membersihkan diri. Air di tepian pantai langsung berubah keruh kecoklatan karena lumpur. Tidak itu, tetapi popaco dan bia yang sudah didapat juga dicuci kembali, sehingga nantinya dapat langsung diolah.
‘sudah, bersih-bersih dirinya tara usah lama-lama,’ kata Mas Ibra. ‘Nanti saja, bersih-bersihnya sambil mandi air tawar,’
—
Katingting melaju lagi. Arahnya masih berkebalikan dengan tempat desa. Rupanya di pulau sekitar Mamboat, ada aliran air tawar yang langsung terhubung dengan laut.
Ada perbedaan yang signifikan antara air tawar dan air laut. Air laut cenderung lebih hangat, sedangkan air tawar lebih dingin dan lebih segar. Kami melewati beberapa rawa dan banyak sekali pepohonan di kanan dan kiri sungai. Tapi, warga bilang jangan terlalu berisik, karena daerah tersebut terkenal banyak buayanya.
Katingting berhenti di tempat yang kira-kira kami bisa jadikan tempat mandi. Tentu saja mandi disini konteksnya hanya menceburkan diri ke sungai, kemudian membersihkan sisa-sisa lumpur yang ada di baju. Karena air tawar rasanya sangat segar, siapapun yang sampai di sungai tersebut pasti merasa ingin sekali berenang. Tinggi airnya pun hanya setinggi pinggang orang dewasa, sehingga aman untuk tempat berlatih renang.
Anak-anak subunit laki-laki sudah duluan merasa ingin berenang dan bersenang-senang. Aku dan Eli mencari tempat lain, dan akhirnya duduk-duduk di katingting sambil menunggu mereka selesai.
—
Petualangan singkat sore itu meninggalkan rasa senang dan petualangan yang tak tergantikan. Tapi, masih ada hal yang kurang dalam cerita ini. Yap, kita belum merasakan bagaimana rasa popaco sebenarnya.
Kami begitu penasaran dan tidak samar menunggu waktu batal. Kami diantar hingga Desa Bajo, dan kami memastikan mereka bahwa kami akan mampir ke Paisumbaos untuk mencicipi segala hal yang sudah kami ambil tadi. Kami akan mandi secepat kilat dan memastikan kami tidak sedikit pun ketinggalan momen penting saat waktu batal nanti.
—
Aku dan Eli buru-buru berangkat. Sebentar lagi waktu batal tiba.
Dan benar saja, begitu sampai di rumah mama piara di Paisumbaos, hidangan sudah tertata di meja. Es kelapa muda sudah menanti dengan manisnya, begitu pula dengan bia yang digoreng terpampang di depan mata. Ada pula gurita hasil tangkapan Mas Ibra tadi pagi. Om Udin dan Pak Surdi juga menyempatkan diri menikmati batal bersama di rumah mama piara kami.
Eh, tapi dimana popaconya?
Ternyata, kami datang terlalu sore. Bia dan popaco yang begitu banyak tidak bisa semuanya dimasak dan jadi pada hari itu juga. Bia yang lebih mudah diolah akhirnya diolah terlebih dahulu, itupun hanya digoreng karena keterbatasan waktu. Sebenarnya bisa diolah jadi lebih enak lagi, tapi yah, apa boleh buat. Bia yang sudah dihidangkan terasa lezat dan agak kenyal. Es kelapa mudah yang dihidangkan juga, seperti yang sudah dibayangkan, menghilangkan rasa capek dan dahaga selama perjalanan. Hari itu kami cukup puas dan kenyang, tentu saja.
—
Begitulah cerita hari itu berakhir. Tapi lucunya, hingga hari terakhir kami di Paisumbaos, kami akhirnya tidak pernah merasakan nikmatnya popaco bakar itu, hahaha. Popaco bakar akhirnya masih menyisakan misteri tersendiri bagi lidah-lidah kami, yang mungkin suatu saat harus dipecahkan
Oleh Miski Nabila Fasya
Katingting, Popaco, dan Air Tawar
‘Sudah pernah makan popaco?’ tanya dokter Nindya hari itu, ketika aku dan Eli—teman satu subunitku—mengajaknya mengobrol. Kami menggeleng. Namanya saja baru dengar, batin kami.
Kami menatap penasaran.
‘Wah, kalian harus coba makanan yang satu itu. Dibakar, rasanya enak banget. Coba minta buatin sama mama-mama yang disini. Enak lho, kalo ada dokter-dokter datang kesini, dihidangkan itu, mereka pasti pada doyan!’ ujar dokter meyakinkan.
Aku menelan ludah. Duh, jadi ingin. Eh tunggu, namanya apa tadi?

—
KKN di Halmahera Selatan ini memang menceritakan banyak hal-hal menarik yang belum pernah ku ketahui sebelumnya. Mulai dari budaya, adat, logat, bahasa, bahkan hal seperti makanan. Nah, justru hal-hal ini lah yang membuat KKN ini menarik dan menantang. Membuka mata lagi tentang betapa beragamnya Indonesia ini.
Rupanya yang mengatakan popaco ini enak tidak hanya satu orang. Begitu pula kata mama-mama piara, dan mama tetangga yang kami ajak mengobrol. Menarik kan? Ternyata popaco adalah keong yang ada di rawa-rawa. Cangkangnya berbentuk kerucut. Cara memasaknya bermacam-macam, bisa dengan direbus, digoreng, bisa juga dibakar, seperti kata dokter.
—
Siang itu terik. Waktu batal puasa masih lama. Program rutin kami, Pesantren Kilat, baru saja selesai.
‘Kita diajak warga ambil bia nih,’ ujar Wiji—salah satu anggota subunit, tiba-tiba siang itu. ‘Kayaknya kita ngga bisa rapat deh jadinya’
Eli, tiba-tiba tertarik. ‘Eh, eh mau ikut!’ ujarnya. ‘emang berangkatnya pake apa?’
‘ada katingtingnya om udin,’ kata wiji menyebut nama salah seorang warga. ‘nanti kita tinggal nalangin solarnya.’
Aku bergidik. Heh? Ka-ting-ting? Perahu kecil itu? Terbayang olehku berbagai cerita seram ala teman-teman yang sudah pernah naik benda itu sebelumnya. Katanya katingting bergoyang-goyang ke kanan ke kiri, katanya kalau berombak bisa saja terbalik, katanya harus naik menggunakan pelampung….
‘kita juga mau ngambil kelapa muda lho,’ Kata mas hamdy—yang juga salah satu anggota subunit. Kemarin mereka sempat mengambil kelapa muda sebelumnya, dan kami kehabisan karena tidak ikut mengambil di kebun. Padahal, wah, bayangkan betapa segarnya meminum es kelapa muda segar setelah siang penuh panas-panas melaksanakan program.
‘kalau mau ikut, kita berangkat jam tiga ya. Siap-siap!’
Nah, tidak ada lagi kesempatan mengundurkan diri dalam perjalanan ini. Jam tiga hanya tinggal kurang lebih dua puluh menit lagi. Eli juga tampak semangat dengan perjalanan ini.
—
Katingting sudah terparkir manis di pinggiran rumah om udin. Rumah warga di desa ini sebagian berada di atas laut, dengan bentuk panggung. Katingting biasa dengan leluasa di parkir di samping rumah. Katingting merupakan kendaraan paling umum masyarakat sekitar, mungkin kalau di daratan ibarat motor lah.
Mas Ibra sudah duluan naik dan mempersiapkan katingting. ‘Ayo naik!’ ujarnya bersemangat. Ia tertawa-tawa melihat Eli yang agak tegang. Eli sudah pernah naik katingting sebelumnya, saat belanja menuju Labuha. Dan kelihatannya itu sedikit menyisakan trauma baginya, hahaha.

Mas Sahar naik terlebih dahulu. Katingting dirapatkan ke tepi jembatan sebelah rumah agar kami, yang perempuan, bisa naik. Kuputuskan untuk turun dari rumah, dan naik ke atas katingting. Katingting tiba-tiba miring ke kanan ketika kupijakkan kaki di atasnya. Kalau kalian baru pertama naik katingting, pastilah khawatir jika bisa saja benda itu tiba-tiba berbalik. Tapi tenang saja, katingting tidak dibuat untuk tenggelam kok, kata salah seorang warga. Kamu hanya perlu sedikit menyesuaikan keseimbangannya. Tidak semengerikan itu kok, rasanya.
Sekarang giliran Eli menaiki katingting. Eli sudah memijakkan satu kakinya di katingting, sedangkan katingtingnya menjauh dari rumah mengikuti arus. Tampaknya sengaja, tidak ada yang berusaha menarik katingting ke arah rumah sehingga Eli tergelincir jatuh ke laut. Sebagian celananya basah, padahal ia tak berniat sama sekali berbasah-basahan. Eli mengomeli anak-anak yang mengisenginya, sembari kami semua tertawa, hahaha.
—
Katingting melaju ke arah Pulau Mamboat.
Hamparan lautan yang biru ada di sisi kanan dan kiri katingting, kita bisa menjulurkan tangan dan merasakan asinnya air laut langsung. Suara mesin katingting berderu-deru di belakang, menambah seru perjalanan. Nyong, salah satu anak Paisumbaos yang tadinya ngotot ingin ikut akhirnya mendayung sampan berdua dengan temannya, menyusul kami yang mengendarai katingting. Sampan yang tidak menggunakan mesin seperti katingting tentu saja membutuhkan keahlian dan tenaga yang ekstra. Belum lagi sampan lebih rentan terbalik dibanding katingting, kita harus bisa menjamin kita bisa berenang kalau sampannya benar-benar terbalik. Tapi bocah-bocah itu tampak santai dan malah sungguhan mengikuti kami sampai pulau seberang. Luar biasa!

—
Pulau mamboat sudah terlihat jelas. Pasirnya yang putih kekuningan menjadi tempat bersandar katingting, dan kami berhamburan keluar menuju pulau. Ternyata pantainya tidak seberapa besar. Dibaliknya ada semacam rawa besar beserta kubangan lumpurnya. Om Udin dan Pak Surdi segera menceburkan diri ke dalam kubangan lumpur, diikuti oleh laki-laki lainnya. Aku dan Eli hanya termenung. Masa iya kita harus ikut nyemplung? Masalahnya adalah aku memakai rok dan Eli memakai celana jeans.
‘Ayo, sini ikut nyemplung, nyari bia!’ Mas Sahar mencoba mengompori kami untuk ikut mencari bia. Kami hanya nyengir, meskipun yah, ingin juga sih. Mas Ibra juga ikut mengompori kami : ‘ayo kita sudah dapat banyak bia lho!’. Karena bia biasanya berkumpul pada tempat-tempat tertentu, mereka mencari semakin jauh dari pantai dan kami hanya termenung menunggu. Setelah beberapa kali berpikir, aku dan Eli memutuskan untuk menceburkan diri ke kubangan lumpur juga. Sudah sampai pulau ini, sayang sekali kalau kami tidak ikut mencari bia.
Kami berjalan perlahan-lahan mengikuti rombongan laki-laki yang sudah mulai menghilang dari pandangan. Kami ditugaskan untuk membawa karung kecil berisi kumpulan popaco dan bia. Popaco ternyata di sepanjang rawa. Jika kita melangkahkan kaki, maka kita akan dapat merasakan cangkang-cangkang popaco di bawah kaki kita, di dasar lumpur. Popaco yang diambil pun yang berukuran besar, dan terkumpul dengan banyaak sekali jumlahnya.
Rombongan laki-laki berlarian ke arah tumbangan dahan pohon. Kata Mas Ibra, di daerah tersebut banyak sekali bia-nya. Ternyata benar saja, sedikit saja tangan merogoh-rogoh kubangan lumpur di sekitar dahan, maka kita akan menemukan kumpulan bia. Bia yang didapat kemudian dikumpulkan dalam satu karung kecil yang kami bawa. Kami dengan susah payah dan perlahan-lahan mengikuti mereka. Kadang kubangan yang kami pijak terlalu dalam, sehingga kami hampir terjatuh. Tapi jatuh terduduk juga bukanlah hal yang buruk kok. Kubangan lumpur itu lumayan menyenangkan kok.
—
Bia sudah banyak terkumpul. Ternyata keseruan kami tidak hanya berhenti samapai disana. Om Udin dengan sigap memanjat pohon kelapa, sambil membawa sebuah parang. Dan tidak sampai hitungan menit, ia sudah ada di atas pohon, kemudian menjatuhkan serombongan kelapa muda. Satu, dua, tiga, dan akhirnya hingga belasan lebih. Nyong dan agus langsung sigap mengambil kelapa tersebut dan mengumpulkannya di tempat yang tauk jauh dari kami. Kami, yang puteri, diminta kembali ke arah pantai untuk mengamankan karung popaco yang sudah cukup penuh. Kami tergopoh-gopoh memilih jalan yang paling mudah dan tidak membuat tergelincir meuju pinggir pantai. Laki-laki menyusul setelahnya, berlarian berlomba siapa yang terlebih dahulu sampai tepi pantai, sambil membawa beberapa kelapa muda di tangan kanan dan kirinya.
Kami yang penuh lumpur langsung berhamburan menceburkan diri ke laut untuk membersihkan diri. Air di tepian pantai langsung berubah keruh kecoklatan karena lumpur. Tidak itu, tetapi popaco dan bia yang sudah didapat juga dicuci kembali, sehingga nantinya dapat langsung diolah.
‘sudah, bersih-bersih dirinya tara usah lama-lama,’ kata Mas Ibra. ‘Nanti saja, bersih-bersihnya sambil mandi air tawar,’
—
Katingting melaju lagi. Arahnya masih berkebalikan dengan tempat desa. Rupanya di pulau sekitar Mamboat, ada aliran air tawar yang langsung terhubung dengan laut.
Ada perbedaan yang signifikan antara air tawar dan air laut. Air laut cenderung lebih hangat, sedangkan air tawar lebih dingin dan lebih segar. Kami melewati beberapa rawa dan banyak sekali pepohonan di kanan dan kiri sungai. Tapi, warga bilang jangan terlalu berisik, karena daerah tersebut terkenal banyak buayanya.
Katingting berhenti di tempat yang kira-kira kami bisa jadikan tempat mandi. Tentu saja mandi disini konteksnya hanya menceburkan diri ke sungai, kemudian membersihkan sisa-sisa lumpur yang ada di baju. Karena air tawar rasanya sangat segar, siapapun yang sampai di sungai tersebut pasti merasa ingin sekali berenang. Tinggi airnya pun hanya setinggi pinggang orang dewasa, sehingga aman untuk tempat berlatih renang.
Anak-anak subunit laki-laki sudah duluan merasa ingin berenang dan bersenang-senang. Aku dan Eli mencari tempat lain, dan akhirnya duduk-duduk di katingting sambil menunggu mereka selesai.
—
Petualangan singkat sore itu meninggalkan rasa senang dan petualangan yang tak tergantikan. Tapi, masih ada hal yang kurang dalam cerita ini. Yap, kita belum merasakan bagaimana rasa popaco sebenarnya.
Kami begitu penasaran dan tidak samar menunggu waktu batal. Kami diantar hingga Desa Bajo, dan kami memastikan mereka bahwa kami akan mampir ke Paisumbaos untuk mencicipi segala hal yang sudah kami ambil tadi. Kami akan mandi secepat kilat dan memastikan kami tidak sedikit pun ketinggalan momen penting saat waktu batal nanti.
—
Aku dan Eli buru-buru berangkat. Sebentar lagi waktu batal tiba.
Dan benar saja, begitu sampai di rumah mama piara di Paisumbaos, hidangan sudah tertata di meja. Es kelapa muda sudah menanti dengan manisnya, begitu pula dengan bia yang digoreng terpampang di depan mata. Ada pula gurita hasil tangkapan Mas Ibra tadi pagi. Om Udin dan Pak Surdi juga menyempatkan diri menikmati batal bersama di rumah mama piara kami.
Eh, tapi dimana popaconya?
Ternyata, kami datang terlalu sore. Bia dan popaco yang begitu banyak tidak bisa semuanya dimasak dan jadi pada hari itu juga. Bia yang lebih mudah diolah akhirnya diolah terlebih dahulu, itupun hanya digoreng karena keterbatasan waktu. Sebenarnya bisa diolah jadi lebih enak lagi, tapi yah, apa boleh buat. Bia yang sudah dihidangkan terasa lezat dan agak kenyal. Es kelapa mudah yang dihidangkan juga, seperti yang sudah dibayangkan, menghilangkan rasa capek dan dahaga selama perjalanan. Hari itu kami cukup puas dan kenyang, tentu saja.
—
Begitulah cerita hari itu berakhir. Tapi lucunya, hingga hari terakhir kami di Paisumbaos, kami akhirnya tidak pernah merasakan nikmatnya popaco bakar itu, hahaha. Popaco bakar akhirnya masih menyisakan misteri tersendiri bagi lidah-lidah kami, yang mungkin suatu saat harus dipecahkan
Oleh Miski Nabila Fasya


anasabila memberi reputasi
1
2.9K
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan