Jumat, 9 Juni 2017 | 22:09 WIB
Ihsanuddin
Maria Katarina Sumarsih saat diskusi di Setara Intstitute, Jakarta, Jumat (10/2/2017).
JAKARTA, KOMPAS.com- Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan jika pemerintah dan DPR bersikukuh melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menangani terorisme, sebagaimana diajukan dalam revisi Undang-Undang Antiterorisme, ada enam syarat yang harus dipenuhi pemerintah.
Hal ini disampaikan dalam petisi dari Koalisi Masyarakat Sipil saat jumpa pers di kantor Amnesti Internasional Indonesia, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (9/6/2017).
Anggota Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) yang membacakan petisi tersebut, Maria Katarina Sumarsih menyatakan, pelibatan militer itu harus atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara.
Sebenarnya,
menurut koalisi sipil,
pelibatan TNI dalam menangani terorisme sudah diatur dalam Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Mengacu pada pasal itu, sebenarnya Presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sepanjang ada keputusan politik negara," kata Sumarsih.
Sehingga, pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme itu dilakukan jika ancaman terorisme mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial negara.
"Kami memandang alangkah lebih tepat jika pelibatan TNI dalam penanganan terorisme cukup mengacu pada UU TNI," ujar Sumarsih.
Pengaturan pelibatan militer dalam revisi UU Antiterorisme tanpa melalui keputusan politik negara, lanjut Sumarsih, akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antar aktor pertahanan dan keamanan negara.
Selain itu, akan mengancam kehjdupan demokrasi dan HAM, melanggar prinsip supremasi sipil dan dapat menarik militer kembali dalam ranah penegakan hukum sehingga dapat merusak mekanisme criminal justice system.
"Hal itu tentunya juga akan berlawanan dengan arus reformasi yang sudah menghasilkan capaian positif, yaitu meletakkan militer sebagai alat pertahanan negara demi terciptanya tentara yang profesional," ujar Sumarsih.
Poin kedua yakni
pelibatan TNI itu atas permintaan dari kepolisian, pemerintah pusat, atau pemerintah daerah.
Ketiga,
pelibatan TNI harus dilakukan pada saat ancaman terorisme mengancam keamanan dan ketertiban yang tidak dapat ditangani lagi oleh kepolisian.
"Dengan kata lain, pelibatan militer itu merupakan pilihan terakhir yang dapat digunakan Presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya khususnya kepolisian sudah tidak dapat lagi mengatasi aksi terorisme," ujar Sumarsih.
Keempat,
prajurit yang dilibatkan harus di bawah kendali operasi (BKO) kepolisian atau sifatnya perbantuan.
Kelima,
pelibatan militer bersifat proporsional dan dalam jangka waktu tertentu atau sementara.
Keenam,
prajurit yang dilibatkan harus tunduk kepada peradilan umum. Enam syarat ini merupakan syarat yang diajukan jika pemerintah dan DPR bersikukuh memasukan pelibatan TNI dalam revisi UU Antiterorisme.
Namun, dibanding menambahkan pelibatan TNI dalam revisi UU Terorisme, pihaknya menilai alangkah lebih tepat jika pemerintah dan DPR adalah segera membentuk aturan tentang tugas perbantuan militer kepada pemerintah.
Hal tersebut sebagai aturan main lebih lanjut untuk menjabarkan mekanisme seberapa jauh, dan dalam situasi apa militer dapat memberi bantuan kepada Polri dalam mengatasi terorisme. Adapun petisi ini didukung lebih dari seratus tokoh, aktivis, cendekiawan dan lainnya.
Penulis: Robertus Belarminus
Editor: Bayu Galih
inikan cuman sebatas usul saja, yang membahas kan anggota legeslatif...