Merdeka.com- Sulit untuk tidak diakui, kita akan suka untuk menggigit benda imut. Mulai dari bayi, kucing, anjing, bahkan bunga. Mengapa hal ini bahkan terpikirkan? Mengapa melihat benda imut justru membuat kita ingin meletakkannya di mulut kita?

Ternyata hal ini jadi salah satu bahan penelitian ilmuwan. Dikutip dari jurnal Scientific American, hal ini disebabkan oleh 'pelatuk' perasaan senang kita di otak kacau. Dalam banyak sekali kasus, ketika seseorang mencium bau yang identik dengan bau bayi (yang mana mereka imut), otak seseorang tersebut melepas senyawa dopamin di otak, yang juga terpicu ketika kita makan makanan enak. Tentu melihat hal imut akan membuat kita teringat makanan.

Dalam penjelasan ilmiah lain, ternyata hal semacam ini sangat wajar dilakukan oleh mamalia lain. Banyak sekali binatang seperti kucing atau anjing yang suka saling menggigit dan bahkan bergulat namun dalam keadaan bermain dan itu merupakan hal yang wajar dan menyenangkan. Hal ini pun terjadi selalu pada teman, atau saudara dari anjing atau kucing. Jadi kecenderungan menggigit justru merupakan hal yang akan mendekatkan secara sosial.

Merdeka.com - Seringkali ketika kita bercanda, kita tak memfilter topik. Diawali dari bercandaan biasa, lama kelamaan lelucon tentang orang tua, SARA, atau bahkan kematian tiba-tiba muncul dalam bercandaan skala kecil. Mungkin terdengar sangat tidak sopan jika kita melakukan hal semacam ini di depan umum. Namun tak bisa dipungkiri bercanda dalan grup kecil sering terlewat batas.

Hal ini bisa dijelaskan oleh sains. Dilansir dari Psychology Today, hal ini wajar terjadi dan sama sekali bukan pertanda kalau seseorang yang melakukan ini adalah psikopat. Hal ini ternyata merupakan tanda kalau anggota 'tongkrongan' yang melakukan lelucon semacam itu berada pada tingkat stres emosional yang cukup tinggi, dan tertawa adalah salah satu cara untuk menyembuhkannya.

Secara umum, tertawa sendiri memang bukan merupakan respon dari sesuatu yang lucu. Justru tertawa adalah metode ikatan sosial sebagai tanda bahwa seseorang menyukai kita, setuju dengan kita atau dalam satu kelompok.

Merdeka.com - Anda pasti memiliki paling tidak satu orang teman yang sangat suka film yang bergenre thriller, yang bertokohkan psikopat yang membunuh dengan cara tidak lazim. Tak perlu jauh-jauh, jika ada berita di media tentang adanya pembunuh berdarah dingin, berita tersebut akan laris manis. Namun mengapa manusia terobsesi dengan psikopat?

Dilansir dari Forbes, ada berbagai teori tentang hal ini. Teori pertama adalah menonton atau mengetahui berbagai informasi tentang psikopat ternyata menarik bagi manusia. Karena manusia adalah makhluk yang teratur, dan terikat dalam berbagai norma, dan itu kadang menyesakkan. Psikopat adalah orang yang melawan itu semua, dan mengetahui tentang hal tersebut membuat kita merasa 'terwakilkan' untuk jadi orang yang bebas, namun tidak melanggar satu hukum pun.

Selain teori di atas, seorang psikolog bernama J. Reid Meloy justru menyebutkan bahwa ketertarikan kita terhadap psikopat muncul karena insting manusia. Manusia yang sejatinya ada dalam rantai makanan dan merasakan diburu dan berburu, akan merasakan 'ketegangan' serupa ketika melihat psikopat, yang notabene merupakan predator.

Teori lain jauh lebih sederhana: menurut psikiatri Harvard bernama Profesor Ron Schouter, manusia ternyata suka merasa takut. Menonton film horror, menonton film thriller, membaca berita tentang pembunuhan psikopat dan tahu banyak info soal itu, ternyata adalah hal yang memenuhi kebutuhan manusia akan 'rasa takut.' Hal ini dikarenakan ketika seseorang merasa takut, berbagai senyawa seperti dopamin akan dirilis oleh otak, dan hal ini akan membuat kita merasa senang.

Merdeka.com- Di setiap lingkungan, seringkali kita berhadapan dengan orang sok tahu. Ini adalah kelakuan aneh yang cukup membingungkan harus direspon bagaimana. Meski demikian, sains punya jawaban atas pertanyaan mengapa seseorang jadi sok tahu.

Seorang profesor bernama David Dunning telah meneliti hal tersebut, dan mengambil ksimpulan bahwa kebanyakan orang jadi sok tahu karena ingin berada pada posisi nyaman, atau ingin menegaskan kembali identitas mereka. Meski demikian, awalnya sebagian besar orang tak sadar jika mereka sok tahu. Dari sisi biologis, hal ini dikarenakan ketika ada kesempatan untuk membicarakan suatu topik, otak kita mulai berasumsi, membuat penjelasan, dan berusaha mencari kesimpulan tentang berbagai hal. Dengan kata lain, otak kita memang sok tahu karena secara alami otak ingin tetap mencari topik agar pembicaraan tidak turun.

Namun dalam kasus orang sok tahu yang parah, Neurolog bernama Robert A. Burton menyebut bahwa sok tahu sebenarnya adalah buah dari kepribadian. Di masyarakat yang mengapresiasi tinggi pengetahuan setinggi langit, nampak tahu akan segala hal akan membuat orang kecanduan. Penelitian yang dimuat National Post bahkan menyebut bahwa meski sok tahu itu tidak genetik, namun jika Anda sok tahu, anak Anda pun akan sok tahu.

Merdeka.com - Jika membicarakan tingkah aneh manusia, rasanya tak sah jika tak menyebut bergosip. Ketika pria atau wanita-kah yang paling banyak bergosip jadi perdebatan, atau bolehkah kita bergosip lewat akun sosial media anonim, kita lupa apa yang menyebabkan kita bergosip.

Hal ini disebabkan oleh keinginan kita untuk lebih lekat lagi dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Hal ini mengalahkan ikatan moral yang mengungkung kita untuk mengurusi urusan sendiri dan jangan orang lain. Hal ini membentuk hubungan sosial dengan orang-orang di sekitar kita, dengan cara membahas sesuatu dengan dasar rasa saling percaya. Hal ini juga menambah sikap superior dan merasa lebih baik dari orang lain, yang pada dasarnya disukai manusia.

Selain itu, ternyata memang bergosip tentang hal yang tidak baik dari orang lain punya efek yang lebih baik dalam keterikatan ketimbang membicarakan kebaikan orang lain.

Merdeka.com - Jika kita melihat berbagai film yang mendominasi ajang penghargaan, film terbanyak adalah film drama yang punya kisah yang memilukan dan sedih. Banyak dari kita yang sangat memfavoritkan drama sedih sebagai film favorit. Namun hal ini merupakan hal yang wajar.

Dilansir dari penelitian yang dimuat jurnal Research News, menonton film sedih atau menonton tragedi kecil yang terjadi tidak pada kita, justru membuat kita bahagia dalam jangka waktu pendek. Hal inilah yang membuat kita justru menikmati film yang sedih. Para peneliti dari Ohio State University menemukan bahwa menonton film sedih dapat membuat kita memikirkan berbagai hal dalam hidup, dan jadi lebih mengepresiasi hidup.

Menurut ilmuwan bernam,a Dr. Paul Zak, menonton film sedih membuat kita merasakan empati, dan memaksa otak kita merilis hormon oksitosin yang meningkatkan perasaan peduli kita terhadap cerita di film tersebut. Hal ini akan membuat kita merasa senang meski kita menangis ketika menontonnya.