Kaskus

News

q4billAvatar border
TS
q4bill
Tangkal Radikal di Kampus, Pemilihan Rektor Akan Dipilih Presiden
Tangkal Radikal di Kampus, Pemilihan Rektor Akan Dipilih Presiden
Kamis, 1 Juni 2017 - 13:34 wib

Tangkal Radikal di Kampus, Pemilihan Rektor Akan Dipilih Presiden

JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, mengatakan ke depannya pemilihan rektor di perguruan tinggi akan melalui pertimbangan presiden. Bahkan diusulkan pula pelantikan rektor dilangsungkan di Istana Negara.

Tjahjo menjelaskan, alasan utama di balik keputusan ini karena ditemukan kasus calon rektor di sebuah perguruan tinggi merupakan simpatisan ISIS.

"Ada seorang dekan yang sudah mau jadi pimpinan perguruan tinggi. Pada saat mau pelantikan, baru ketahuan bahwa dia adalah penganut ISIS. Itu yang disampaikan oleh Menristekdikti pada saat itu," kata Tjahjo usai memimpin upacara di Kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (1/6/2017).

Selain itu, hal ini ditempuh supaya keputusan apa pun yang menyangkut politik dan pembangunan bersifat utuh dari pusat hingga daerah. Sehingga, tercipta integrasi bangsa di semua lini.

"Supaya utuh sajalah. Saya tidak bisa definisikan, saya kira ada forum konsultasi antara Dikti dan Menko dan presiden sebelum putuskan siapa yang jadi rektor," kata dia.

Diketahui, dalam upacara peringatan hari lahir Pancasila di Kemendagri, Tjahjo mengundang 63 rektor perguruan tinggi negeri dan swasta untuk menandatangani nota kesepahaman tentang kerjasama dalam penguatan ideologi Pancasila, wawasan kebangsaan, bela negara dan revolusi mental. Nota kesepahaman juga melibatkan Komisi Penyiaran lndonesia (KPI) dan Dewan Pers Indonesia.
http://news.okezone.com/read/2017/06...pilih-presiden


Mendagri: Tak Lagi oleh Dikti, Rektor Kini Dipilih Presidennurul
June 1, 2017

Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan penentuan pemimpin di perguruan tinggi negeri atau rektor kini diharuskan dipilih presiden. Menurutnya hal ini dilatarbelakangi oleh tanggung jawab rektor dalam proses penyeragaman.

“Penentuan rektor ya selama ini oleh Dikti, hasil komunikasi kami dengan Mensesneg dengan bapak Presiden, Pak Mendikti, saya kira terakhir (penentuannya) harus dari bapak presiden,” kata Tjahjo di kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2017).

Hal tersebut disampaikan Tjahjo karena kekhawatiran adanya ideologi selain Pancasila yang menyusup dalam perguruan tinggi. Selain itu, dia juga mengatakan pemerintah merangkul semua perguruan tinggi negeri maupun swasta karena mempunyai komitmen sama.

“Salah satunya, lalu gerakan-gerakan aktualisasi kampus ini memang harus dicermati, memang Pak Mendikti (M Nasir, red) sudah menyampaikan rektor harus bertanggung jawab, tapi proses untuk penyeragaman, saya kira harus bapak presiden,” ujarnya.

“Arahnya memang pak Mendikti minta ya, bahwa masalah bantuan, masalah kontribusi, masalah kerjasama, itu jangan dibedakan antara perguruan tinggi negeri dan swasta, karena apapun mereka juga punya program dan punya komitmen yang sama,” imbuh Tjahjo.

Soal mekanisme pemilihan rektor itu, kata Tjahjo, prosesnya sama seperti pemilihan gubernur. Namun dia tidak mau menjelaskan soal mekanisme tersebut secara rinci karena masuk dalam ranah Kemenristek Dikti.

“Silahkan tanya pada pak Mendikti, saya kira mekanisme bakunya sudah ada, tapi sama dengan Sekda, Bupati, wali kota, sama dengan gubernur dengan sepengetahuan bapak Presiden,” ungkapnya.

“Supaya utuh saja lah, saya tidak bisa mendefinisikan, kira-kira ada forum konsultasi antara Pak Mendikti dan bapak Presiden, untuk memutuskan siapa yang jadi Rektor,” lanjut Tjahto.
http://aktual.co.id/2017/06/01/menda...ilih-presiden/


Menristekdikti: radikalisme bisa masuk kampus seiring globalisasi
Jumat, 27 Januari 2017 18:15 WIB

Semarang (ANTARA News) - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir mengingatkan paham radikal dimungkinkan masuk ke dalam kampus seiring dengan globalisasi.

"Kami hanya melihat saja. Tetapi potensi ke depan dimungkinkan radikalisme masuk karena sistem globalisasi. Sebabnya, terjadi globalisasi informasi," katanya di Semarang, Jumat.

Hal tersebut diungkapkannya usai menyampaikan kuliah umum di Auditorium Universitas Negeri Semarang (Unnes) menyambut dies natalis ke-52 universitas berjuluk konservasi itu.

Nasir mengatakan informasi yang bisa diakses sedemikian mudahnya secara global memang memungkinkan paham radikal masuk ke berbagai sistem persendian, termasuk kampus.

"Maka dari itu, saya akan jaga. Kampus harus terhindar dari radikalisme. Kampus harus betul-betul menjadi tempat menempa ilmu pengetahuan dan meningkatkan kemampuan membangun negeri ini," katanya.

Di sisi lain, mantan Rektor terpilih Universitas Diponegoro Semarang (Undip) itu mengharapkan mahasiswa harus memiliki pola pikir yang positif untuk meningkatkan kualitas dan mutu.

"Bagaimana membangun universitas ke depan semakin berkualitas, misalnya Unnes bagaimana ke depan menjadi universitas berkelas dunia. Radikalisme harus ditinggalkan, sudah tidak ada waktunya lagi," katanya.

Secara lebih jauh, kata dia, mahasiswa harus berperan membangun negeri agar mampu bersaing dalam dunia internasional.

"Jangan sampai berpikir untuk kelompok masing-masing. Faksi-faksi ini harus ditinggalkan. Bagaimana membangun negeri, bagaimana bisa bersaing," katanya.

Kemudian, Nasir mengatakan rasa toleransi harus ditumbuhkan di antara sesama agar tidak ada lagi paham-paham semacam radikalisme, apalagi terorisme.

"Harus toleransi apapun agamanya, apapun alirannya, apapun makanannya. Semua adalah satu," pungkas Menristekdikti.
http://www.antaranews.com/berita/609...ng-globalisasi

--------------------------------

Kalau alasannya karena ideologi, kecemasan masuknya paham radikal ke kampus sejak zaman globalisasi ... lhaa yang punya kampus itu bukan hanya Indonesia, tapi seluruh negara di dunia juga punya kampus dengan tensi pengaruh globalisasi yang hampir sama. Mereka kok nggak lebay kayak kita?

Dan lagi, tiap hari di kampus-kampus itu jelas diajarkan mata kuliah berbau radikal, seperti komunisme, sosialisme, khawarij, syiah, kapitalisme, liberalisme ... terutama di fakultas-fakultas ilmu sosial dan ekonomi serta ilmu agama. Karena itu merupakan mata kuliah wajib. Terus, apa itu mata kuliah mau dihapuskan saja agar mahasiswa tidak radikal?

OK-lah alasan ideologi, bahwa ada kecemasan bahwa si Rektor bisa bias akibat keberpihakannya pada satu ideologi non-Pancasila. Tapi kan bisa di 'screening' dulu atau dilakukan 'Fit and Proper Test' sebelum calon rektor itu maju pemilihan Rektor di kampusnya? Dulu cara-cara itu yang ditempuh Orde Baru untuk memastikan seorang pejabat negara tidak tersangkut PKI.

Kalau alasannya karena pemilihan Rektor terindikasi ada korupsi, ada jual beli suara seperti tenggara KPK, yaa suara Menteri yang ikut menentukan kemenangn Rektor itu dihapus saja. kembalikan sepenuhnya ke Senat Universitas yang bersangkutan seperti dlu lagi.

Entahlah kalau alasannya lebih cenderung ke arah politis, apalagi mau Pemilu dan Pilpres 2019 yad, itu soal lain lagi. Sebab, siapa yang bisa menjamin bahwa sang Presiden tidak akan memilih Rektor Universitas /Perguruan Tinggi itu berdasarkan pertimbangan subyektif/politis seperti karena: se suku, se agama, se alumni PT, se alumni KAHMI/GMNI/PMKRI atau se ormas lainnya dengan kepentingan sang Presiden?



emoticon-Takut:
Diubah oleh q4bill 01-06-2017 07:37
0
6.4K
60
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan