Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

habibgoogleAvatar border
TS
habibgoogle
Filterlah Kebenaran-Kebenaran dan Cari yang Sejati
Catatan dari Majelis Ilmu Kenduri Cinta “Takfiri Versus Tamkiry”, Jakarta 15 Mei 2017

Tidak seperti biasanya, Kenduri Cinta edisi Mei 2017 kali ini dilaksanakan pada Hari Senin, diluar tradisi Kenduri Cinta yang selalu dilaksanakan pada hari Jum’at pekan kedua setiap bulan masehi. Karena ada satu dan lain hal, Kenduri Cinta edisi Mei 2017 kali ini dilaksanakan pada Senin, 15 Mei 2017. Alhamdulillah perubahan ini tak berpengaruh sedikit pun pada  intensi Jamaah Maiyah Jakarta Kenduri Cinta. Antusiasme mereka tetap seperti sediakala.




Setelah pembacaan Wirid Ta’ziiz-Tadzlil dan Tahlukah, seperti biasanya sesi Prolog  digawangi oleh beberapa penggiat Kenduri Cinta: Adi Pudjo, Fahmi Agustian, Tri Mulyana, Ali Hasbullah, dan Sigit Hariyanto. Mereka mbeber kloso dan membuka landasan awal diskusi Kenduri Cinta. Tema yang diangkat kali ini: Takfiri Versus Tamkiry. Sebuah tema yang diusulkan Cak Nun berangkat dari situasi saat ini di mana terdapat polarisasi dua golongan yang semakin meruncing di Masyarakat Indonesia. Ada yang sangat gemar mengkafir-kafirkan orang, mensesat-sesatkan, membid’ah-bid’ahkan perilaku orang. Sementara ada lagi satu golongan yang merasa nasionalismenya sangat tinggi, sehingga jika ada pihak yang tidak sejalan dengan pemikirannya akan dianggap sebagai anti NKRI, anti Kebhinnekaan, tidak nasionalisme, dan lain sebagainya. Kedua kelompok ini sebenarnya hanya sama-sama mempertahankan kebenaran yang ia yakini dan memaksakan kebenaran tersebut untuk juga diyakini oleh orang lain.

Secara bergiliran para penggiat Kenduri Cinta perlahan memaparkan pandangannya dalam bingkai tema Kenduri Cinta kali ini. Tidak ketinggalan juga beberapa jama’ah yang sudah hadir sejak awal turut menyampaikan uraian mereka menyikapi pokok soal yang diangkat di Kenduri Cinta kali ini. Suasana diskusi sejak awal terbangun begitu hangat, meskipun langit Jakarta tampak mendung, angin bertiup sepoi-sepoi, sempat ada kekhawatiran bahwa akan turun hujan, tidak mengurangi sedikit pun kesungguhan jama’ah untuk duduk menekun bersama di Kenduri Cinta kali ini.

Setelah sesi Prolog, Kiai Muzammil dan Ustadz Noorshofa Thohir naik ke panggung. Baik Kiai Muzammil Ustadz Noorshofa sudah cukup lama tidak hadir di Kenduri Cinta, dan alhamdulillah malam itu keduanya berkesempatan hadir bersama. Ustadz Noorshofa memiliki gaya dakwah penuh hikmah, diselingi humor-humor ringan namun tetap dengan muatan penuh ilmu. Ustadz Noorshofa mengambil momentum kedatangan bulan Ramadhan yang kurang dari dua minggu lagi. Beliau mengajak jamaah menyambut Bulan Ramadhan ini dengan penuh kesyukuran atas semua nikmat dan anugerah yang sudah diberikan oleh Allah Swt.

Ustadz Noorshofa mengingatkan jamaah bahwa yang paling utama dalam beribadah bukanlah simbol atau atributnya, melainkan niat yang tulus yang selalu terjaga dalam hati kita masing-masing. Jangan kemudian jika baru pulang Umroh atau Haji, lantas merasa menjadi manusia paling alim. Mengutip salah satu hadits Rasulullah Saw bahwa salah satu golongan manusia yang akan mengalami kerugian luar biasa adalah orang yang jika disebut nama Nabi Muhammad Saw ia tidak bersholawat, Ustadz Noorshofa menekankan bahwa salah satu syarat agar kita mendapat rahmat Allah adalah dengan bersholawat kepada Nabi Muhammad Saw. Rahmat Allah inilah yang kita harapkan kelak di hari akhir, karena hanya dengan rahmat Allah inilah kita mendapat garansi untuk masuk surga.




Setelah paparan Ustadz Noorshofa, Kiai Muzammil mengajak jamaah bersholawat bersama dan melantunkan Sholawat Nariyah. Kiai Muzammil lalu menjelaskan istilah Kafir berdasarkan pengertian-pengertian dalam bahasa Arab. Secara perlahan Kiai Muzammil menjelaskan kata Kafir secara bahasa dan istilah, juga melalui ilmu Shorof. Menggarisbawahi fenomena orang-orang yang mengkafir-kafirkan orang lain, Kiai Muzammil menegaskan bahwa sudah sewajarnya kita tidak boleh memberi label, baik kepada diri kita sendiri maupun kepada orang lain.

Kiai Muzammil menjelaskan bahwa Takfir adalah peristiwa mengkafirkan orang lain, sementara Takfiri menurut Kiai Muzammil menjadi kata sifat karena ada huruf “i” di belakangnya. Sehingga, peristiwa mengkafirkan yang dilakukan oleh seseorang menjadi sebuah karakter. Sementara, seharusnya jika kita ingin mengkafirkan seseorang konteksnya bukan hanya soal boleh atau tidak boleh, melainkan bahwa kita memerlukan proses yang panjang hingga akhirnya kita berhak menjustifikasi bahwa seseorang itu kafir atau bukan. Yang terjadi hari-hari ini adalah begitu mudahnya orang mengkafir-kafirkan orang lain, tanpa dilakukan penelitian serius sebelumnya. Hanya karena ada orang yang berbeda pendapat dengan kita, lantas dengan mudah kita memberi label kepada orang lain. Mudahnya, Kiai Muzammil mengambil kesimpulan bahwa Takfiri adalah karakter yang gampang mengakfirkan orang lain dan Tamkiry adalah karakter yang gampang menuduh orang lain berbuat makar.

Mengutip pandangan Imam Ghazali dalam Kitab Faisholu-t-tafriqoh baina-l-islam wa-z-zandaqoh li-l-imam Al Ghazali, Kiai Muzammil menjelaskan fenomena mengkafirkan orang lain sudah ada sejak era Imam Al Ghazali hanya karena perbedaan pandangan dalam bermadzhab. Baik Khawarij, Syi’ah, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Mu’tazilah saat itu merasa bahwa Islam merekalah yang paling benar dari yang lainnya.

Transisi sejenak sebelum masuk diskusi sesi kedua, jamaah diajak menikmati penampilan musik dari Boby. Berbeda dari biasanya kali ini Boby membawa teman-temannya dari Fisip UNJ, Biduan Semberengan, buat tampil bersama. Perpaduan musik modern dengan gendang beralun seirama menghasilkan musik yang khas dan apik. Apalagi ditambah lagu-lagu asik dan ringan menambah nikmat KC malam hari ini. Terlihat jamaah asik berdendang menikmati.

Kini tiba saatnya, Sigit yang memandu diskusi mempersilakan Cak Nun, Jose Rizal, Kiai Muzammil, dan Ustadz Noorshofa naik panggung memulai kembali diskusi. Cak Nun mengajak kita bersyukur memiliki harapan tentang masa depan Jakarta, tapi Beliau juga menerangkan bahwa Beliau tidak mengidolakan siapapun melainkan hanya Allah dan Rosululloh. Al-Haqqu Mirrobbika, semua kebenaran berasal dari Allah, kita menafsirkannya dan tidak ada kebenaran yang datang melainkan hanya dari-Nya. Cak Nun menerangkan Beliau tidak membawa kebenaran bagi jamaah, karena manusia sangat terbatas dalam mengakses kebenaran dari Allah. Sehingga sangat disayangkan banyak orang bertengkar mempertahankan kebenaran masing-masing. Tiga dimensi kebenaran yang meliputi kita diantaranya ialah kebenaran sejati, kebenaran bersama, dan kebenaran sendiri.

Di situlah kemudian Cak Nun mengingatkan bahwa manusia sangat lemah secara software dan hardware untuk menerima kebenaran dari Allah. Akibatnya manusia mengalami kelelahan karena ketidakmampuan mereka mengakses kebenaran dari Allah, yang selanjutnya berakibat pada mereka mengarang kebenaran-kebenaran yang mereka anggap  kebenaran sejati, sementara mereka pada tahap berikutnya aling berbenturan satu sama lain karena mempertahankan kebenaran yang mereka karang sendiri itu.

Di Maiyah kita mengenal ada 3 jenis kebenaran: kebenaran sendiri, Kebenaran orang banyak, dan Kebenaran sejati. Allah menyuruh kita bertakwa. Sebenarnya takwa itu berarti waspada di mana kita mampu menaruh tindakan sesuai dengan kondisi dan keadaan. Begitu pula seharusnya kita mampu waspada dalam menanggapi kebenaran yang banyak ditawarkan toloh-tokoh nasional negeri ini.




Cak Nun menceritakan Beliau sendiri merasa geli dengan kondisi hari-hari ini di mana banyak orang yang begitu mengidolakan manusia, misalnya mengidolakan Ahok atau mengidolakan Habib Riziq. Dari keduanya sayangnya banyak terjadi benturan-benturan. Kebenaran bisa berbenturan, masing-masing Ahok dan Habib Riziq yakin dirinya benar, dan itu membuat kita saling berbenturan.

Saat jamaah  demikian fokus dan penuh konsenterasi, Cak Nun mengajaknya sejenak bersegar ria lewat cerita sederhana yang lucu tentang “Siri-siri”. Derai tawa pun pecah. Tidak hanya cerita si ”siri-siri” ini, Cak Nun juga bercerita tentang markesot yang semakin membuat jamaah terkocok perutnya. Kepiawaian Cak Nun dalam mengelola forum seperti ini merupakan salah satu kelebihannya sebagai seorang public speaker. Cak Nun sangat mampu membawa jamaahh angat serius berpikir, sejenak kemudian dibawa rileks dengan joke-joke ringan yang tidak hilang muatan hikmahnya sedikit pun.

Kembali pada kebenaran. Beliau mengingatkan, kita harus punya presisi tepat untuk mengkonstelasikan kebenaran agar tidak gampang ikut spaneng dengan perdebatan-perdebatan tentang kebenaran akhir-akhir ini.

“Semoga Anda tidak ikut terlibat dalam takfiri dan takmiri ini,” terang beliau. Takfiri dan tamkiry mengklaim kebenaran menurut mereka sendiri dan bertengkar karenanya. Dalam dirimu ada dialektika antara baik dan benar, ditambah indah. Benar dan baik saja kurang bila tidak ada keindahan di dalamnya. Dialektika Kebenaran-Kebaikan-Keindahan ini saling bersinergi satu sama lain, tidak boleh salah satunya sangat dominan, apalagi ditinggalkan.

Anda jangan terjebak oleh kebenaran, Anda harus bisa berpijak diatas kebenaran, tapi bukan kebenaranlah yang engkau bangun, apalagi kebenaran menurut sangkaan duniawi. “Anda harus jadi penyeimbang yang tidak bersandar pada siapapun, termasuk saya,” tegas Cak Nun. Karena seharusnya Anda berharap dan bersandar hanya kepada Allah. Di Maiyah kita belajar melayani dan membahagiakan orang lain, bukan meng-output kebenaran.

“Kebenaran silakan dicari tapi jangan dipaksakan pada orang lain,” tegas Cak Nun. Kebenaran dari Allah itu hakiki, sebagaimana 4 x 4 sama dengan 16. Terserah apapun bekal pemahamanmu tentang kebenaran, tapi jangan lupa menggunakan kebenaran yang kamu pahami untuk menciptakan harmonisasi.




Begitu relatifnya kebenaran di dunia ini. Manusia tidak sanggup menyangga kebenaran dari Allah. Tapi yang terpenting output-nya adalah Anda mampu menggunakan kebenaran untuk membahagiakan, memuliakan, dan menyantuni orang lain.

Selepas menyampaikan poin tentang kebenaran, Cak Nun mempersilakan Kiai Muzammil  menambahkan. Kiai Muzammil mengemukakan hendaknya kita tidak menjadikan kebenaran sebagai output tetapi menjadikan kebenaran sebagai  input. “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka sungguh jangan sampai kamu ragu,” demikian dibacakan sekilas ayat tentang kebenaran.

Jangan bernafsu dengan kebenaran dirimu. Anda tidak harus setuju dengan berbagai hal.Hidup ini penuh hal-hal yang tidak cocok dengan kebenaran kita. Tapi tugas kita ialah menciptakan harmoni dan membahagiakan orang lain, ditambah lagi selalu mendoakan mereka. Tidak penting kebenaran untuk kita keluarkan dari diri kita. Kebenaran kita jadikan bekal input dalam diri kita.

Sungguh suasana keakraban yang terbangun di Kenduri Cinta merupakan sebuah kerinduan yang akan terus berulang, sehingga setiap kali Kenduri Cinta mencapai  titik puncaknya untuk diakhiri, tidak tampak sedikitpun raut wajah jamaah yang lelah setelah sebelumnya diajak oleh Cak Nun berkelana menjelajah ruang-ruang ilmu yang begitu luas. Ukuran 6-8 jam seolah-olah bukanlah ukuran nyata. Sekian jam mereka duduk menekun bersama menyimak ilmu-ilmu yang dipaparkan para narasumber, pada akhirnya justru menambah pupuk kerinduan satu sama lain, seolah-olah mereka tidak ingin segera menyudahi forum ini. Rindu selalu memburu! (Tim Redaksi Kenduri Cinta)
0
3.9K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan