- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Bisakah target tercapai jika Ditjen Pajak berdiri sendiri


TS
BeritagarID
Bisakah target tercapai jika Ditjen Pajak berdiri sendiri

Warga mengantre melaporkan SPT tahunan wajib pajak orang pribadi tahun 2016 di KPP Tanah Abang 2, Jakarta, Jumat (21/4). Pada hari terakhir pelaporan SPT pajak pribadi sejumlah kantor pajak dipenuhi warga yang akan menyelesaikan kewajibannya.
Target penerimaan pajak yang tak pernah tercapai lagi dalam satu dekade terakhir menjadi catatan penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan.
Catatan Ditjen Pajak menunjukkan, terakhir kalinya target pajak terpenuhi adalah pada 2008, dengan pencapaian surplus Rp36,57 triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp534,53 triliun. Sejak saat itu, realisasi pajak tak pernah menembus angka 100 persen dari target yang ditetapkan.
Bahkan sejak 2015, realisasi pajak tidak ada yang berhasil mencapai 90 persen.
Pada 2016 saja, realisasi pajak hanya mencapai 81,54 persen. Pencapaian pada 2016 saja masih terbantu dengan program amnesti pajak, karena jika tidak, kemungkinan realisasi pajak hanya akan sampai pada kisaran 70 persen.
Rasio pajak pun tercatat terus menurun. Pada masa Orde Baru, rasio pajak bisa mencapai 13 persen. Sementara untuk 2012 sampai dengan 2014, hanya sedikit di atas 11 persen, 2015 dan 2016 masing-masing hanya 10,7 persen dan 10,3 persen.
Beban Ditjen Pajak semakin berat ketika Presiden Joko "Jokowi" Widodo menginginkan rasio pajak pada 2019 bisa mencapai 16 persen.
Wacana pemisahan lembaga pemungut pajak ini dari Kementerian Keuangan pun kembali bergulir. Fuad Bawazier, mantan Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) menilai, dengan berdiri sendiri, maka Ditjen Pajak bisa mengatur ulang organisasi seperti yang diharapkan.
Utamanya, sebut Fuad dalam detikcom, dalam hal penambahan pegawai untuk pemeriksaan wajib pajak, berikut dengan penambahan kantor bila diperlukan. Hingga pada akhirnya bisa menyusun berbagai kebijakan yang mampu mendorong penerimaan.
Wacana pelepasan Ditjen Pajak sebenarnya sudah ada sejak 2015. Februari 2015, Menteri Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro dan juga Jokowi disebut telah menandatangani rancangan Peraturan Presiden (Perpres) terkait wacana itu. Rancangan itu pun sudah dikirimkan ke DPR untuk dilakukan pembahasan.
Rencananya, Ditjen Pajak akan menjadi badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ditjen Pajak kemungkinan akan berubah nama menjadi Badan Penerimaan Negara atau Badan Penerimaan Pajak.
Meski begitu, Ditjen Pajak tetap harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. Sebab, penarikan pajak yang merupakan sumber penerimaan negara menjadi siklus dari kebijakan fiskal Kementerian Keuangan.
Dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), lembaga baru tersebut ditargetkan mulai beroperasi paling lambat 1 Januari 2017.
Calon beleid tersebut merupakan amandemen kelima dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP, yang terakhir direvisi oleh UU Nomor 16 Tahun 2009. Dalam draf RUU KUP yang baru, rencana pembentukan lembaga perpajakan baru tersebut dibunyikan pada Bab XXIII, tepatnya pada pasal 124.
Wacana ini bisa jadi tersendat. Terlebih setelah adanya perombakan kabinet (reshuffle) yang menetapkan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan menggantikan Bambang.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu secara pribadi mengaku keberatan dengan wacana pemisahan tersebut. Alasannya, pajak adalah bagian dari kebijakan fiskal yang ada di tangan Kementerian Keuangan.
Menurut Sri Mulyani, posisi Ditjen Pajak pada masa yang akan datang bukan tujuan utama. Karena, yang terpenting adalah membangun institusi pajak yang kuat, kredibel, dan akuntabel. "Yang punya kompetensi, integritas, sehingga di mana pun dia ditempatkan dia bisa berfungsi," jelasnya dalam laporan Sindonews.com, April 2017.
Tetap bisa diawasi
Fuad Bawazier sepertinya memiliki pendapat yang berbeda dengan Sri Mulyani. Mantan Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VII ini menilai, meski Ditjen Pajak berdiri sendiri, lembaga ini masih bisa diawasi oleh Kementerian Keuangan.
"Akan sama saja nantinya prosesnya antara Kemenkeu dengan Bank Indonesia (BI) atau dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kan juga bisa koordinasi," jelasnya.
Dalam konsepnya, Ditjen Pajak akan berada langsung di bawah Presiden namun tetap memiliki garis koordinasi dengan Kemenkeu.
Berbicara mengenai pencapaian target penerimaan pajak, Fuad beranggapan, Dirjen Pajak nantinya bisa melakukan beberapa kebijakan seperti penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang saat ini sebesar 25 persen.
Saat masih menjabat, Fuad pernah melakukan hal serupa dengan menurunkan tarif dari 35 persen menjadi 30 persen. Asumsi awal menyebutkan bahwa penerimaan bisa turun sampai dengan 15 persen, tapi kemudian dilanjutkan dengan perubahan pada skema pengenaan.
Menurut Fuad, ketika Ditjen Pajak masih terikat dengan Kementerian Keuangan, maka lembaga pemungut pajak tadi menjadi tidak fleksibel. Sehingga upaya yang bisa dilakukan menajdi terbatas.
"Misalnya untuk pemeriksaan, rasio petugas dengan wajib pajak begitu lebar, sementara penambahan petugas butuh waktu yang panjang," tegas Fuad.
Kemenkeu juga tidak bisa memfasilitasi dengan optimal, karena persoalan yang ditangani sangat besar. Ada anggaran, kekayaan negara, transfer ke daerah hingga bea cukai."Kalau mau mencapai segala sesuatu itu terlalu susah, karena harus lewat menteri, mau bikin perjanjian dengan BI dan OJK itu harus ada dari menteri. SK dan PMK itu juga dari menteri. Prosesnya sangat lama," terangnya.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...erdiri-sendiri
---
Baca juga dari kategori BERITA :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
903
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan