

TS
metrotvnews.com
Yang Tersimpan dari Mei 1998

Metrotvnews.com, Jakarta: Sore yang mestinya sejuk itu, siapa sangka, tiba-tiba menjelma peristiwa kelam yang tak kunjung terang.
Sudah 19 tahun berlalu. Ingatan tentang moncong bedil yang memuntahkan peluru hingga bersarang di kepala, dada, dan tenggorokan empat mahasiswa itu, tak juga lekang.
Selasa yang nahas, 12 Mei 1998. Hari itu, galibnya bukan saja jadi duka warga Kampus Universitas Trisakti, Jakarta. Tapi luka seluruh rakyat Indonesia.
Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie adalah nama-nama yang paling gampang dihafal. Namun sehari setelahnya, ada ratusan orang tak berdosa yang diberedel hak, bahkan nyawanya.
Tragedi Trisakti, menjadi semacam gerbang; dari serangkaian bencana kemanusiaan bermotif rasial.
Belajar dari sejarah
Menilik laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, kerusuhan di Ibukota dan sekitarnya yang berlangsung pada 13 hingga 15 Mei 1998 itu menelan 152 orang korban kekerasan seksual dan rudapaksaan. Sementara 20 orang di antaranya meninggal dunia.
Warga keturunan Tionghoa, menjadi sasaran.

Kerusuhan Mei 1998, begitulah petaka itu disebut. Nyaris tak lagi ragu, itu digunakan sekelompok orang untuk memukul dan mengotori perjuangan mahasiswa dan rakyat yang mencita-citakan tumbangnya kekuasaan otoritarianisme Orde Baru (Orba).
Selain kejelasan pelaku yang belum juga terungkap, peristiwa pahit itu tampaknya tak banyak dijadikan pelajaran penting. Buktinya, di tengah rasa trauma korban yang belum sepenuhnya pulih, persoalan rasial masih saja menjadi momok yang rawan.
Ada kekhawatiran peristiwa berulang, memang bukan phobia berlebihan. Apa pasal? Tionghoa kerap disasar menjadi kambing hitam dari perstiwa-peristiwa besar.
Ambil misal, pada 1740. Ketika sekelompok buruh Tionghoa di Batavia merencanakan pemberontakan terhadap Belanda, gerakan yang gagal itu malah melahirkan pemberangusan etnis Tionghoa secara besaran-besaran.
Di masa berikutnya, sentimen rasial ini dimanfaatkan Pemerintah Kolonial sebagai senjata politik adu domba. Masyarakat Tionghoa dikesankan sebagai kelompok pemeras di mata masyarakat. Hubungan orang-orang Tionghoa dengan masyarakat yang lain kian tak harmonis. Ibarat kata, menjadi api dalam sekam yang bisa membara kapan saja.
Kerusuhan-kerusuhan pun tak sekali dua meletup. Penindasan rasial di Solo, Jawa Tengah terjadi pada 1912, di Kudus pada 1918, gelombang anti-Cina di Tangerang, Banten dan kerusuhan di Bagansiapiapi, Riau pada 1946, di Palembang pada 1947, hingga pembantaian etnis Tionghoa pasca-peristiwa 1965.

Penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998/MI/DOK-MEDIA[/I]
Alat politik
Pada pengujung 2016, sejarawan Anhar Gonggong menceritakan betapa rentannya keturunan Tionghoa di Indonesia. Akibat wawasan kebinekaan yang lemah dalam masyarakat kerap membuat mereka tersudutkan, lalu jadi korban.
'Masih banyak yang belum paham mengenai Tiongkok sebagai negara dan Tionghoa sebagai salah satu etnis di Indonesia. Sinisme itu dibangun oleh tidak adanya upaya untuk memahami Indonesia,” kata Anhar.
Pun seperti kesaksian Budayawan Tionghoa, Jeremy Huang. Wawasan sejarah turut menentukan seseorang bersikap arif atau tidak. Penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi juga pada akhirnya melulu dijadikan andalan bagi sekelompok orang untuk memperkeruh keadaaan.
“Padahal, sejak abad 17 hubungan Tiongkok-Tionghoa Indonesia sudah putus, tidak ada,” kata Jeremy.
Baca: [Telusur] Tionghoa dan Riwayat Sentimen Etnis di Indonesia
Isu rasial anti-Cina, dalam pengalaman sejarah menempati titik puncak dari serangkaian isu berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Bahkan, bisa jadi tangan-tangan para elite yang tidak bertanggung jawab ikut bermain, demi mengais untung di tengah terpuruknya situasi.
Meski sebenarnya kelompok rasis ini berjumlah sangat sedikit. Seperti data yang diluncurkan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Desember 2016 lalu. Katanya, selama 15 tahun sikap intoleransi terhadap etnis Tionghoa sangat kecil, hanya sekitar 0,8 persen dengan margin error 3 persen.
Dalam penelitian itu, kelompok yang paling dibenci adalah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sisanya merata antara Yahudi, Wahabi, dan etnis Tionghoa.
'Cuma, ada kelompok tertentu yang mencoba memanaskan isu ini secara konstan,' ujar Direktur Ekskutif SMRC Saiful Mujani dalam diskusi 'Ada Apa di Balik Sentimen Anti-Cina?' pada Kamis, 29 Desember 2016, di Jakarta.
Bukan sesuatu yang tak mungkin, jika dalam gonjang-ganjing Pilkada DKI Jakarta kemarin, misalnya, isu rasial turut mewujud seiring maraknya sentimen SARA di jagat maya maupun dunia nyata. Untungnya, kesadaran masyarakat yang makin tinggi menjadikan kepedihan itu tak lagi terulang.
Pemerintah juga mampu bertindak sigap meredam konflik dan segala kemungkinan buruk yang menyertainya.
Penguasa, rupanya sadar. Pendekatan secara represif dalam menangani gejolak bisa menimbulkan kerugian dengan ongkos yang begitu besar.
Kerusuhan Mei 1998 adalah duka masa lalu. Selain jadi PR pemerintah agar lekas diusut tuntas, juga menjadi permenungan bersama agar jangan sampai terulang.
Sumber : http://news.metrotvnews.com/news/ybD...-dari-mei-1998
---
Kumpulan Berita Terkait :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
1.5K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan