- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Masyarakat Adat Dalam Rantai Diskriminasi


TS
dewaagni
Masyarakat Adat Dalam Rantai Diskriminasi
Masyarakat Adat Dalam Rantai Diskriminasi
Oleh : Hiski Darmayana*)
Sebelum menelaah lebih jauh mengenai masyarakat adat dan diskriminasi yang membelitnya, sangat penting untuk diketahui definisi dari masyarakat adat. Istilah masyarakat adat muncul di Indonesia diawal dekade 1990-an setelah diskursus mengenai hak-hak hidup kaum adat mengemuka serta organisasi yang concern akan nasib masyarakat adat banyak bermunculan. Pada bulan Maret 1999, Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) telah menyepakati definisi dari masyarakat adat. Masyarakat adat merujuk pada definisi yang tertuang dalam Keputusan KMAN No.01/1999 adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur dalam wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, ekonomi, politik, budaya, sosial, ideologi serta wilayah sendiri.
Pada level internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberi ‘julukan’ indigenous peoples bagi masyarakat adat, yang secara harfiah berarti “masyarakat asli”. Sementara Konvensi ILO 169 tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka mendefinisikan masyarakat adat sebagai suku-suku bangsa yang berdomisili di Negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat lain. Selain itu ada definisi lainnya yang menarik dari Jose Martinez Cobo, seorang pejuang hak masyarakat adat yang bekerja untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas. Menurut beliau, masyarakat adat atau indigenous peoples merupakan kelompok masyarakat atau suku bangsa yang mempunyai kesinambungan sejarah antara masa sebelum invasi (kolonial) dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka serta memiliki perbedaan dengan kelompok masyarakat lain atau mainstream. Bila merujuk pada pendapat Cobo tersebut, maka dapat diartikan bahwa masyarakat adat telah ada jauh sebelum era kolonial dimulai, bahkan sebelum Negara-negara baru post-colonial berdiri.
Dalam dunia keilmuan Antropologi, istilah masyarakat Sederhana lebih sering digunakan untuk menamakan suatu masyarakat yang masih terikat kuat dengan aturan warisan leluhur atau masyarakat adat. Masyarakat sederhana sendiri memiliki arti sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan atau aturan tertentu yang bentuknya masih sangat sederhana (Redfield, 1980). Biasanya yang termasuk kategori masyarakat sederhana adalah masyarakat yang masih hidup dengan pola berburu dan meramu (Band dan Tribes) serta ladang berpindah (slash and burn). Namun istilah ini masih dalam perdebatan, mengingat tidak semua masyarakat adat masih memiliki pola hidup berburu atau berladang.
Keberadaan atau eksistensi masyarakat adat di negeri ini mengalami berbagai dinamika, terutama ketika era kolonialisme Eropa dimulai serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Beberapa kalangan,termasuk masyarakat adat sendiri, telah menyuarakan adanya diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan yang dialami masyarakat adat sejak era kolonial hingga kini.
Diskriminasi yang tiada usai
Berawal dari doktrin Terra Nullius yang menyatakan bahwa wilayah-wilayah yang didatangi bangsa Eropa pada awal masa Merkantilis merupakan daerah tak bertuan, maka para petualang Eropa pun berusaha menaklukkan dan menguasai daerah-daerah tak bertuan yang pada umumnya terletak di benua Asia, Afrika dan Amerika. Bila ada manusia di tempat-tempat tak bertuan itu, maka mereka bukanlah manusia karena belum beradab atau beragama (menurut pandangan orang Eropa). Para kolonialis Eropa menganggap masyarakat asli atau indigenous peoples adalah orang-orang yang perlu ‘diperadabkan’ dan ‘diagamakan’ (dalam hal ini agama yang banyak dianut orang Eropa yakni Kristen atau Katolik). Menurut orang Eropa, agama mereka (masyarakat asli) adalah agama primitif yang sesat. Meskipun tidak semua bangsa kolonialis dari Eropa mengemban misi penyebaran agama karena adapula yang hanya mencari keuntungan ekonomi maupun politik belaka.
Pasca Indonesia merdeka, politik diskriminasi terhadap masyarakat adat tidak berhenti. Diskriminasi dalam berbagai aspek, khususnya dalam hal agama, terhadap masyarakat adat tetap berlansung. Diskriminasi terhadap agama yang dianut masyarakat adat berakar dari diberlakukannya UU No.1 PNPS/1965 beserta regulasi turunannya seperti TAP MPR No.IV/1978 dan Instruksi Mentri Agama No.4 /1978 yang membatasi agama resmi yang diakui pemerintah hanya 6 yakni, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Huchu. Agama yang dianut oleh masyarakat adat yang biasa disebut dengan agama asli nusantara atau agama adat direduksi menjadi aliran kepercayaan. Dampak dari diberlakukannya serangkaian peraturan hukum tersebut adalah timbulnya diskriminasi terhadap pemeluk agama adat atau penghayat, terutama diskriminasi dalam akses hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Berikut beberapa kasus diskriminasi yang masih berlangsung hingga detik ini :
1.) Diterbitkannya SK Pelarangan dan Pembubaran organisasi kepercayaan Aliran Kebatinan “Perjalanan” dengan No. SK-23/ PAKEM/1967 tanggal 23 Mei 1967, oleh Bakor “PAKEM” Kejaksaan Negeri Kabupaten Sumedang, namun Organisasi yang bersangkutan tidak menerima SK tersebut. Pengurus organisasi kepercayaan terasebut telah mengajukan sanggahan dan penolakan atas pembubaran tersebut, serta memohon untuk pencairan kembali keberadaan organisasi tersebut, namun pada bulan Juni 1993 pihak Kejaksaan Negeri Sumedang telah memberi jawaban dan menyatakan bahwa Aliran Kebatinan Perjalanan Kabupaten Sumedang tetap dilarang, dengan alasan “bahwa Aliraan Kebatinan Perjalanan Kabupaten Sumedang merupakan penjelmaan dari partai PERMAI yang menurutnya telah dilarang Pemerintah, serta pengikutnya berasal dari pemeluk agama Islam yang telah keluar dari Islam.
Sebagai catatan, aliran Perjalanan merupakan ajaran Mei Kartawinata, seorang tokoh Marhaenis Bandung yang berbasiskan tiga inti ajaran, yakni spiritualitas berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berdasar persamaan, serta kebangsaan berdasarkan pembangunan karakter bangsa. Ajaran Mei Kartawinata merupakan bagian dari ajaran Sunda Buhun atau Sunda Wiwitan.
2.) Tanggal 29 April 1974, keluar larangan kegiatan dan pembubaran organisasi kepercayaan Aliran Kebatinan “Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Subang oleh Bakor PAKEM Kejaksaan Negeri Subang tanpa proses peradilan, dengan alasan :
a.)tidak didukung masyarakat Kota Subang,
b.)ajarannya bertentangan dengan/dapat mengacaukan ajaran Islam dan menimbulkan/dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Warga penghayat kepercayaan “Perjalanan” melalui Perwakilan Departemen Agama dan Majelis Ulama Kabupaten Subang dibina (digiring) untuk memeluk agama Islam.
3.) Keputusan Jaksa Agung no Kep-006/B/ 2/7/1976 tentang Pelarangan terhadap Aliran Kepercayaan Manunggal. Kepercayaan Manunggal adalah bagian dari ajaran Kejawen yang berintikan kearifan hidup orang Jawa dan menitik beratkan pada harmonisasi manusia dengan alam dan sesamanya.
4.)Keputusan Kejaksaan Tinggi Jateng no. Skep 002/ K.3/2/1979 tentang Larangan Kegiatan Ajaran Agama Jowo Sanyoto (Kejawen).
5.)Keputusan Kejaksaan Tinggi Jabar No. Kep 15/ K.23/2/12/1979 tentang larangan Aliran Kepribadian (Kejawen),
6.)SK Kejati Jabar No. Kep-44/K.2.3/8/1982 tanggal 25 Agustus 1985 yang membubarkan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). PACKU merupakan organisasi para pengikut ajaran Pangeran Madrais yang didirikan oleh cucu Madrais, Pangeran Djatikusuma pada tanggal 11 Juli 1981. Ajaran Madrais pun bagian dari rumpun agama Sunda Buhun.
7.)Antara bulan Februari-April 1989 sebanyak 42 orang warga penghayat kepercayaan di Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur dibawa ke Koramil untuk diinterogasi, serta mendapat perlakuan yang tidak manusiawi (disiksa, diancam dan sebagian ditahan), dengan tuduhan menganut aliran sesat dan punya kaitan dengan PKI.
Mereka diharuskan membuat pernyataan masuk Islam dan melaksanakan syariatnya, serta kepatuhan dalam pelaksanaannya dipantau oleh aparat desa dan masyarakat lainnya.
8.)Pada 15 Nopember 1992 Direktorat Sospol Depdagri menerima SK Nomor: 02/Kep/PAKEM/1970, yang berisikan tentang larangan dan pembubaran Aliran Kebatinan “Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Majalengka dengan alasan tidak jelas, namun Kejaksaan Negeri Kabupaten Majalengka sendiri sangat terkejut dengan laporan adanya SK tersebut di atas, karena di dalam catatan arsip/file tersebut tidak terdapat surat keputusan tersebut.
9.)Maret 2001 di Desa Cimulya, Kecamatan Lur Agung Kabupaten Kuningan, sepasang calon pengantin warga penghayat PACKU berkonsultasi kepada Kepala desa untuk mengajukan perkimpoian, namun berdampak sebanyak 30 KK warga penghayat kepercayaan dipanggil ke Balai Desa dan diinterograsi oleh aparat desa, ustadz dan warga desa selama 3 malam berturut-turut, dan selanjutnya keluar keputusan kepala desa yang mengatasnamakan seluruh warga desa Cimulya (keputusan tertulis tidak diberikan), yaitu Desa bersedia melaksanakan perkimpoian kedua calon pengantin, dengan ketentuan :
mereka (30 orang yang dipanggil) bersama keluarganya harus bersedia menandatangani surat pernyataan keluar dari organisasi penghayat tersebutmereka diwajibkan menyatakan masuk Islam, serta akan tunduk dan taat melaksanakan syariat Islam.Di Desa Cimulya tidak boleh ada lagi kegiatan/kehidupan masyarakat Kepercayaan terhadap Tuhan YME termasuk organisasinya.
10.) Sardi, seorang warga penghayat Kecamatan Bantar Gebang-Bekasi yang sejak kecil bercita-cita menjadi tentara. Terpaksa harus membuang jauh cita-citanya, karena ketika lulus SMA dan bermaksud untuk melamar jadi calon Tantama, ketika mengurus surat-surat yang diperlukan ke kantor Polisi, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan karena identitasnya sebagai penghayat kepercayaan.
11.) Sejak tanggal 2 Mei 2005 sampai saat ini warga Penghayat Parmalim di Kelurahan Binjai Kota Medan, tidak dapat melanjutkan pembangunan Ruma Parsaktian Parmalim (tempat saresehan/ritual). Warga penganut Parmalim pun sering mendapatkan kesulitan dalam mengakses hak-hak sipil seperti pembuatan KTP dan KK. Parmalim adalah agama asli Batak warisan dinasti Sisingamangaraja.
12.) Tanggal 19 Mei 2006, sebanyak 12 orang warga penghayat di Kelurahan Wanareja Kecamatan Cibogo Kabupaten Subang diundang (dipanggil untuk diintrograsi) oleh kepala desa yang juga dihadiri oleh Ketua MUI , Camat, Kapolsek serta Danramil Kecamatan Cibogo. Ke-12 warga penghayat tersebut kegiatannya dianggap telah meresahkan masyarakat, karena suka mengadakan pertemuan/kliwonan dan yang hadir pakai ikat kepala (iket Sunda), ucapan salamnya menggunakan kata-kata Sampurasun dan Rahayu, serta metik kecapi.
13.)Sepanjang periode tahun 1984 – 2006, di seluruh wilayah Republik Indonesia perkimpoian warga penghayat kepercayaan tidak dapat dicatatkan perkimpoiannya oleh Negara, dan dianggap perkimpoian tidak sah, kecuali mereka memeluk salah satu agama yang “diakui” oleh Negara sesuai UU No.1 PNPS tahun 1965.
14.) Dewi Kanti, putri Pangeran Djatikusuma dari PACKU gagal mendapatkan akta nikah karena birokrasi catatan sipil tidak bersedia mencatatnya. Penyebabnya adalah pernikahan Dewi Kanti yang menggunakan tata cara adat Sunda Wiwitan tidak diakui oleh catatan sipil maupun KUA. Selain itu, tokoh adat PACKU, Kento Subarman juga tidak dapat mencatatkan pernikahannya di Catatan Sipil karena konsistensinya dalam menggunakan tata cara perkimpoian Sunda Wiwitan.
“Anak-anak kami yang lahir dari pernikahan adat, dianggap sebagai anak haramkarena pernikahan orang tuanya tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil,” ujar Kento Subarman.
15.) Warga penganut Sunda Wiwitan di kampung Cirendeu, Cimahi sulit memperoleh hak-hak sipilnya seperti KTP, KK dan urusan perkimpoian hingga kini.[1]
Bukan hanya diskriminasi yang dilakukan Negara, para penghayat kepercayaan atau penganut agama asli nusantara juga kerap mendapatkan stigmatisasi, terror bahkan tindak kekerasan dari sekelompok masyarakat. Kasus-kasus berikut menjadi gambaran nasib masyarakat adat :
Penyerangan dan pembakaran Paseban milik warga PACKU di Cigugur Kuningan oleh gerombolan Darul Islam (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo pada tahun 1950-an,Pembantaian warga penganut ajaran Perjalanan oleh gerombolan DI/TII di Ciparay, Bandung tahun 1954,Pembantaian para Bissu (pemuka adat Bugis) oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar tahun 1960-an,Stigmatisasi terhadap komunitas adat Sedulur Sikep di Jawa Tengah sebagai orang-orang yang tidak tahu aturan dan tidak bertata krama. Komunitas Sedulur Sikep merupakan para pengikut Samin Surosentiko yang menganut kearifan lokal Jawa,Stigmatisasi terhadap komunitas Watu Telu Sasak (Lombok) yang sering dicemooh sebagai warga Islam yang “tidak penuh”.Fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap komunitas adat Dayak Losarang Indramayu. Komunitas Dayak Losarang adalah penganut ajaran ngaji rasa alam semesta yang sama sekali tidak mengklaim diri sebagai penganut Islam. Penyerangan terhadap aliran Kejawen Sapta Darma yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) pada tahun 2007 di Yogyakarta,
Dari berbagai fakta tersebut, terlihat bahwa diskriminasi maupun stigmatisasi (bahkan tindak kekerasan) masih tetap membayangi masyarakat adat penganut agama asli nusantara. Padahal agama mereka sudah “diturunkan derajatnya” oleh Negara menjadi aliran kepercayaan. Namun bukannya dijamin hak-hak dasarnya sebagai warga Negara, mereka tetap saja menjadi tumbal diskriminasi Negara dan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pemerintahan Indonesia merdeka ternyata tak ubahnya pemerintah kolonial yang memiliki anggapan bahwa masyarakat adat nusantara menganut “agama primitif” dan harus “diberagamakan” dengan agama yang benar menurut ukuran penguasa. Maka masihkah kita meragukan fakta-fakta tersebut yang menjadikan kita memiliki “cacat” dalam kehidupan berbangsa dan benegara?!
Politik diskriminasi yang tiada usai itu menunjukkan pengingkaran terhadap Pancasila, UUD 1945 dan Kebhinekaan bangsa oleh otoritas Negara. Diskriminasi yang sejatinya telah menyalahi keberagaman sebagai suatu keniscayaan bangsa ini selama berabad-abad. Maka dibutuhkan perjuangan bersama dari semua pihak, baik kalangan civil society maupun kekuatan politik tertentu, yang concern akan pembebasan kaum adat yang tertindas dari kebijakan negara yang menganak tirikan kaum adat. Perjuangan atau perlawanan yang mutlak dilakukan guna memutus mata rantai diskriminasi yang membelenggu masyarakat adat selama puluhan tahun.
MERDEKA !!!
Penulis adalah alumni Antropologi Unpad dan Kader GMNI Cabang Sumedang*)
[1] Data ini diperoleh dari Catatan Perlakuan/Tindakan Diskriminasi yang Dialami Penghayat Kepercayaan Sebagai Dampak Keberadaan UU 1 PNPS 1965. Catatan ini merupakan lampiran dari makalah kaum penghayat yang membeberkan latar belakang dan dampak pemberlakuan UU 1 PNPS 1965.

Iklan
https://gmnisumedang.wordpress.com/2...-diskriminasi/
Miris sekali
Oleh : Hiski Darmayana*)
Sebelum menelaah lebih jauh mengenai masyarakat adat dan diskriminasi yang membelitnya, sangat penting untuk diketahui definisi dari masyarakat adat. Istilah masyarakat adat muncul di Indonesia diawal dekade 1990-an setelah diskursus mengenai hak-hak hidup kaum adat mengemuka serta organisasi yang concern akan nasib masyarakat adat banyak bermunculan. Pada bulan Maret 1999, Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) telah menyepakati definisi dari masyarakat adat. Masyarakat adat merujuk pada definisi yang tertuang dalam Keputusan KMAN No.01/1999 adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur dalam wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, ekonomi, politik, budaya, sosial, ideologi serta wilayah sendiri.
Pada level internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberi ‘julukan’ indigenous peoples bagi masyarakat adat, yang secara harfiah berarti “masyarakat asli”. Sementara Konvensi ILO 169 tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka mendefinisikan masyarakat adat sebagai suku-suku bangsa yang berdomisili di Negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat lain. Selain itu ada definisi lainnya yang menarik dari Jose Martinez Cobo, seorang pejuang hak masyarakat adat yang bekerja untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas. Menurut beliau, masyarakat adat atau indigenous peoples merupakan kelompok masyarakat atau suku bangsa yang mempunyai kesinambungan sejarah antara masa sebelum invasi (kolonial) dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka serta memiliki perbedaan dengan kelompok masyarakat lain atau mainstream. Bila merujuk pada pendapat Cobo tersebut, maka dapat diartikan bahwa masyarakat adat telah ada jauh sebelum era kolonial dimulai, bahkan sebelum Negara-negara baru post-colonial berdiri.
Dalam dunia keilmuan Antropologi, istilah masyarakat Sederhana lebih sering digunakan untuk menamakan suatu masyarakat yang masih terikat kuat dengan aturan warisan leluhur atau masyarakat adat. Masyarakat sederhana sendiri memiliki arti sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan atau aturan tertentu yang bentuknya masih sangat sederhana (Redfield, 1980). Biasanya yang termasuk kategori masyarakat sederhana adalah masyarakat yang masih hidup dengan pola berburu dan meramu (Band dan Tribes) serta ladang berpindah (slash and burn). Namun istilah ini masih dalam perdebatan, mengingat tidak semua masyarakat adat masih memiliki pola hidup berburu atau berladang.
Keberadaan atau eksistensi masyarakat adat di negeri ini mengalami berbagai dinamika, terutama ketika era kolonialisme Eropa dimulai serta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Beberapa kalangan,termasuk masyarakat adat sendiri, telah menyuarakan adanya diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan yang dialami masyarakat adat sejak era kolonial hingga kini.
Diskriminasi yang tiada usai
Berawal dari doktrin Terra Nullius yang menyatakan bahwa wilayah-wilayah yang didatangi bangsa Eropa pada awal masa Merkantilis merupakan daerah tak bertuan, maka para petualang Eropa pun berusaha menaklukkan dan menguasai daerah-daerah tak bertuan yang pada umumnya terletak di benua Asia, Afrika dan Amerika. Bila ada manusia di tempat-tempat tak bertuan itu, maka mereka bukanlah manusia karena belum beradab atau beragama (menurut pandangan orang Eropa). Para kolonialis Eropa menganggap masyarakat asli atau indigenous peoples adalah orang-orang yang perlu ‘diperadabkan’ dan ‘diagamakan’ (dalam hal ini agama yang banyak dianut orang Eropa yakni Kristen atau Katolik). Menurut orang Eropa, agama mereka (masyarakat asli) adalah agama primitif yang sesat. Meskipun tidak semua bangsa kolonialis dari Eropa mengemban misi penyebaran agama karena adapula yang hanya mencari keuntungan ekonomi maupun politik belaka.
Pasca Indonesia merdeka, politik diskriminasi terhadap masyarakat adat tidak berhenti. Diskriminasi dalam berbagai aspek, khususnya dalam hal agama, terhadap masyarakat adat tetap berlansung. Diskriminasi terhadap agama yang dianut masyarakat adat berakar dari diberlakukannya UU No.1 PNPS/1965 beserta regulasi turunannya seperti TAP MPR No.IV/1978 dan Instruksi Mentri Agama No.4 /1978 yang membatasi agama resmi yang diakui pemerintah hanya 6 yakni, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Huchu. Agama yang dianut oleh masyarakat adat yang biasa disebut dengan agama asli nusantara atau agama adat direduksi menjadi aliran kepercayaan. Dampak dari diberlakukannya serangkaian peraturan hukum tersebut adalah timbulnya diskriminasi terhadap pemeluk agama adat atau penghayat, terutama diskriminasi dalam akses hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Berikut beberapa kasus diskriminasi yang masih berlangsung hingga detik ini :
1.) Diterbitkannya SK Pelarangan dan Pembubaran organisasi kepercayaan Aliran Kebatinan “Perjalanan” dengan No. SK-23/ PAKEM/1967 tanggal 23 Mei 1967, oleh Bakor “PAKEM” Kejaksaan Negeri Kabupaten Sumedang, namun Organisasi yang bersangkutan tidak menerima SK tersebut. Pengurus organisasi kepercayaan terasebut telah mengajukan sanggahan dan penolakan atas pembubaran tersebut, serta memohon untuk pencairan kembali keberadaan organisasi tersebut, namun pada bulan Juni 1993 pihak Kejaksaan Negeri Sumedang telah memberi jawaban dan menyatakan bahwa Aliran Kebatinan Perjalanan Kabupaten Sumedang tetap dilarang, dengan alasan “bahwa Aliraan Kebatinan Perjalanan Kabupaten Sumedang merupakan penjelmaan dari partai PERMAI yang menurutnya telah dilarang Pemerintah, serta pengikutnya berasal dari pemeluk agama Islam yang telah keluar dari Islam.
Sebagai catatan, aliran Perjalanan merupakan ajaran Mei Kartawinata, seorang tokoh Marhaenis Bandung yang berbasiskan tiga inti ajaran, yakni spiritualitas berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berdasar persamaan, serta kebangsaan berdasarkan pembangunan karakter bangsa. Ajaran Mei Kartawinata merupakan bagian dari ajaran Sunda Buhun atau Sunda Wiwitan.
2.) Tanggal 29 April 1974, keluar larangan kegiatan dan pembubaran organisasi kepercayaan Aliran Kebatinan “Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Subang oleh Bakor PAKEM Kejaksaan Negeri Subang tanpa proses peradilan, dengan alasan :
a.)tidak didukung masyarakat Kota Subang,
b.)ajarannya bertentangan dengan/dapat mengacaukan ajaran Islam dan menimbulkan/dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Warga penghayat kepercayaan “Perjalanan” melalui Perwakilan Departemen Agama dan Majelis Ulama Kabupaten Subang dibina (digiring) untuk memeluk agama Islam.
3.) Keputusan Jaksa Agung no Kep-006/B/ 2/7/1976 tentang Pelarangan terhadap Aliran Kepercayaan Manunggal. Kepercayaan Manunggal adalah bagian dari ajaran Kejawen yang berintikan kearifan hidup orang Jawa dan menitik beratkan pada harmonisasi manusia dengan alam dan sesamanya.
4.)Keputusan Kejaksaan Tinggi Jateng no. Skep 002/ K.3/2/1979 tentang Larangan Kegiatan Ajaran Agama Jowo Sanyoto (Kejawen).
5.)Keputusan Kejaksaan Tinggi Jabar No. Kep 15/ K.23/2/12/1979 tentang larangan Aliran Kepribadian (Kejawen),
6.)SK Kejati Jabar No. Kep-44/K.2.3/8/1982 tanggal 25 Agustus 1985 yang membubarkan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). PACKU merupakan organisasi para pengikut ajaran Pangeran Madrais yang didirikan oleh cucu Madrais, Pangeran Djatikusuma pada tanggal 11 Juli 1981. Ajaran Madrais pun bagian dari rumpun agama Sunda Buhun.
7.)Antara bulan Februari-April 1989 sebanyak 42 orang warga penghayat kepercayaan di Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur dibawa ke Koramil untuk diinterogasi, serta mendapat perlakuan yang tidak manusiawi (disiksa, diancam dan sebagian ditahan), dengan tuduhan menganut aliran sesat dan punya kaitan dengan PKI.
Mereka diharuskan membuat pernyataan masuk Islam dan melaksanakan syariatnya, serta kepatuhan dalam pelaksanaannya dipantau oleh aparat desa dan masyarakat lainnya.
8.)Pada 15 Nopember 1992 Direktorat Sospol Depdagri menerima SK Nomor: 02/Kep/PAKEM/1970, yang berisikan tentang larangan dan pembubaran Aliran Kebatinan “Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Majalengka dengan alasan tidak jelas, namun Kejaksaan Negeri Kabupaten Majalengka sendiri sangat terkejut dengan laporan adanya SK tersebut di atas, karena di dalam catatan arsip/file tersebut tidak terdapat surat keputusan tersebut.
9.)Maret 2001 di Desa Cimulya, Kecamatan Lur Agung Kabupaten Kuningan, sepasang calon pengantin warga penghayat PACKU berkonsultasi kepada Kepala desa untuk mengajukan perkimpoian, namun berdampak sebanyak 30 KK warga penghayat kepercayaan dipanggil ke Balai Desa dan diinterograsi oleh aparat desa, ustadz dan warga desa selama 3 malam berturut-turut, dan selanjutnya keluar keputusan kepala desa yang mengatasnamakan seluruh warga desa Cimulya (keputusan tertulis tidak diberikan), yaitu Desa bersedia melaksanakan perkimpoian kedua calon pengantin, dengan ketentuan :
mereka (30 orang yang dipanggil) bersama keluarganya harus bersedia menandatangani surat pernyataan keluar dari organisasi penghayat tersebutmereka diwajibkan menyatakan masuk Islam, serta akan tunduk dan taat melaksanakan syariat Islam.Di Desa Cimulya tidak boleh ada lagi kegiatan/kehidupan masyarakat Kepercayaan terhadap Tuhan YME termasuk organisasinya.
10.) Sardi, seorang warga penghayat Kecamatan Bantar Gebang-Bekasi yang sejak kecil bercita-cita menjadi tentara. Terpaksa harus membuang jauh cita-citanya, karena ketika lulus SMA dan bermaksud untuk melamar jadi calon Tantama, ketika mengurus surat-surat yang diperlukan ke kantor Polisi, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan karena identitasnya sebagai penghayat kepercayaan.
11.) Sejak tanggal 2 Mei 2005 sampai saat ini warga Penghayat Parmalim di Kelurahan Binjai Kota Medan, tidak dapat melanjutkan pembangunan Ruma Parsaktian Parmalim (tempat saresehan/ritual). Warga penganut Parmalim pun sering mendapatkan kesulitan dalam mengakses hak-hak sipil seperti pembuatan KTP dan KK. Parmalim adalah agama asli Batak warisan dinasti Sisingamangaraja.
12.) Tanggal 19 Mei 2006, sebanyak 12 orang warga penghayat di Kelurahan Wanareja Kecamatan Cibogo Kabupaten Subang diundang (dipanggil untuk diintrograsi) oleh kepala desa yang juga dihadiri oleh Ketua MUI , Camat, Kapolsek serta Danramil Kecamatan Cibogo. Ke-12 warga penghayat tersebut kegiatannya dianggap telah meresahkan masyarakat, karena suka mengadakan pertemuan/kliwonan dan yang hadir pakai ikat kepala (iket Sunda), ucapan salamnya menggunakan kata-kata Sampurasun dan Rahayu, serta metik kecapi.
13.)Sepanjang periode tahun 1984 – 2006, di seluruh wilayah Republik Indonesia perkimpoian warga penghayat kepercayaan tidak dapat dicatatkan perkimpoiannya oleh Negara, dan dianggap perkimpoian tidak sah, kecuali mereka memeluk salah satu agama yang “diakui” oleh Negara sesuai UU No.1 PNPS tahun 1965.
14.) Dewi Kanti, putri Pangeran Djatikusuma dari PACKU gagal mendapatkan akta nikah karena birokrasi catatan sipil tidak bersedia mencatatnya. Penyebabnya adalah pernikahan Dewi Kanti yang menggunakan tata cara adat Sunda Wiwitan tidak diakui oleh catatan sipil maupun KUA. Selain itu, tokoh adat PACKU, Kento Subarman juga tidak dapat mencatatkan pernikahannya di Catatan Sipil karena konsistensinya dalam menggunakan tata cara perkimpoian Sunda Wiwitan.
“Anak-anak kami yang lahir dari pernikahan adat, dianggap sebagai anak haramkarena pernikahan orang tuanya tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil,” ujar Kento Subarman.
15.) Warga penganut Sunda Wiwitan di kampung Cirendeu, Cimahi sulit memperoleh hak-hak sipilnya seperti KTP, KK dan urusan perkimpoian hingga kini.[1]
Bukan hanya diskriminasi yang dilakukan Negara, para penghayat kepercayaan atau penganut agama asli nusantara juga kerap mendapatkan stigmatisasi, terror bahkan tindak kekerasan dari sekelompok masyarakat. Kasus-kasus berikut menjadi gambaran nasib masyarakat adat :
Penyerangan dan pembakaran Paseban milik warga PACKU di Cigugur Kuningan oleh gerombolan Darul Islam (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo pada tahun 1950-an,Pembantaian warga penganut ajaran Perjalanan oleh gerombolan DI/TII di Ciparay, Bandung tahun 1954,Pembantaian para Bissu (pemuka adat Bugis) oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar tahun 1960-an,Stigmatisasi terhadap komunitas adat Sedulur Sikep di Jawa Tengah sebagai orang-orang yang tidak tahu aturan dan tidak bertata krama. Komunitas Sedulur Sikep merupakan para pengikut Samin Surosentiko yang menganut kearifan lokal Jawa,Stigmatisasi terhadap komunitas Watu Telu Sasak (Lombok) yang sering dicemooh sebagai warga Islam yang “tidak penuh”.Fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap komunitas adat Dayak Losarang Indramayu. Komunitas Dayak Losarang adalah penganut ajaran ngaji rasa alam semesta yang sama sekali tidak mengklaim diri sebagai penganut Islam. Penyerangan terhadap aliran Kejawen Sapta Darma yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) pada tahun 2007 di Yogyakarta,
Dari berbagai fakta tersebut, terlihat bahwa diskriminasi maupun stigmatisasi (bahkan tindak kekerasan) masih tetap membayangi masyarakat adat penganut agama asli nusantara. Padahal agama mereka sudah “diturunkan derajatnya” oleh Negara menjadi aliran kepercayaan. Namun bukannya dijamin hak-hak dasarnya sebagai warga Negara, mereka tetap saja menjadi tumbal diskriminasi Negara dan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pemerintahan Indonesia merdeka ternyata tak ubahnya pemerintah kolonial yang memiliki anggapan bahwa masyarakat adat nusantara menganut “agama primitif” dan harus “diberagamakan” dengan agama yang benar menurut ukuran penguasa. Maka masihkah kita meragukan fakta-fakta tersebut yang menjadikan kita memiliki “cacat” dalam kehidupan berbangsa dan benegara?!
Politik diskriminasi yang tiada usai itu menunjukkan pengingkaran terhadap Pancasila, UUD 1945 dan Kebhinekaan bangsa oleh otoritas Negara. Diskriminasi yang sejatinya telah menyalahi keberagaman sebagai suatu keniscayaan bangsa ini selama berabad-abad. Maka dibutuhkan perjuangan bersama dari semua pihak, baik kalangan civil society maupun kekuatan politik tertentu, yang concern akan pembebasan kaum adat yang tertindas dari kebijakan negara yang menganak tirikan kaum adat. Perjuangan atau perlawanan yang mutlak dilakukan guna memutus mata rantai diskriminasi yang membelenggu masyarakat adat selama puluhan tahun.
MERDEKA !!!
Penulis adalah alumni Antropologi Unpad dan Kader GMNI Cabang Sumedang*)
[1] Data ini diperoleh dari Catatan Perlakuan/Tindakan Diskriminasi yang Dialami Penghayat Kepercayaan Sebagai Dampak Keberadaan UU 1 PNPS 1965. Catatan ini merupakan lampiran dari makalah kaum penghayat yang membeberkan latar belakang dan dampak pemberlakuan UU 1 PNPS 1965.

Iklan
https://gmnisumedang.wordpress.com/2...-diskriminasi/
Miris sekali
0
7.2K
70


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan