- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tumbal dan Ketidakadilan dalam Penataan Ruang Ibukota


TS
penggugatmk
Tumbal dan Ketidakadilan dalam Penataan Ruang Ibukota
Disclaimer: artikel panjang dan dipenuhi data dan peraturan pemerintah. Yg otaknya ga kuat baca semua, dilarang komentar.
Jakarta, Aktual.com – Pada tahun 2010, Koalisi Warga Jakarta 2030 melakukan survey dari berbagai saluran dengan jumlah responden 3000 di 5 kotamadya dan 1 kabupaten DKI Jakarta. Survey tersebut disebarkan sebagai bagian dari upaya advokasi untuk memperjuangkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dalam menyusun Rencana Tata Ruang dan Wilayah Jakarta 2030.
Dari survey itu, 95% responden mengaku bahwa Pemda Jakarta tidak pernah menanyakan aspirasi terkait dengan penyusunan RTRW Jakarta 2030. Survey yang sama pun menyoroti 3 masalah utama yang ditemui di Jakarta. Bahkan, ada responden yang menjawab beberapa hal terkait transportasi dalam pertanyaan yang sama, sehingga hasil survey menunjukkan bahwa transportasi dianggap sebagai masalah utama, diikuti dengan masalah lingkungan (90%) termasuk air bersih, sanitasi, drainase, banjir, polusi dan sampah. Masalah lain termasuk persoalan ekonomi, sosial dan keamanan (28%) dan Ruang Terbuka Hijau, ruang publik, pedestrian, fasilitas sepeda dan penghijauan (19%).
Masalah utama yang ditemui berdasarkan pendapat warga Jakarta merupakan masalah yang muncul akibat produk penataan ruang yang buruk. Dalam proses penyusunan produk penataan ruang, pemerintah bahkan harus melibatkan warga dalam pengumpulan data primer, merumuskan konsep tata ruang, mensosialisasikannya bahkan saat masih dalam rupa draft, raperda, hingga sesudah disahkan, melalui berbagai metode. Tentu saja produk sosialisasinya harus dalam bahasa informatif yang mudah dimengerti.
Namun, terlepas dari buruknya proses partisipasi masyarakat, Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 pun akhirnya disahkan menjadi Peraturan Daerah 1/2012. Dalam penyusunan produk penataan ruang, baik RTRW maupun Rencana Detil Tata Ruang, pemerintah wajib melibatkan masyarakat dan mensosialisasikan proses penyusunan tersebut kepada pemerintah, seperti yang tercantum dalam Pasal 65 Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah 68/2010 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Agar Rencana Tata Ruang WIlayah 2030 itu dapat diimplementasikan berdasarkan Undang Undang 26/tahun 2007, Pemerintah Provinsi wajib menyusun Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTRPZ). Namun, proses penyusunannya pun senyap dengan praktek partisipasi masyarakat yang buruk. Akhirnya, produk tersebut disahkan menjadi Peraturan Daerah 1/2014 tentang Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Sementara untuk implementasi, Dinas Penataan Kota (sekarang Dinas Cipta Karya).
Ternyata, pasca pemberlakukan RTRW 2030 dan RDTRPZ tidak diikuti dengan sosialisasi maksimal. 80% warga tidak pernah melihat RDTRPZ. Bahkan 7 dari 10 responden menyatakan tidak pernah mendapatkan sosialisasi produk tata ruang dari kelurahan maupun kecamatannya. Sebagai contoh, warga Muara Angke yang terkena dampak reklamasi Pulau G, merasa sejauh ini tidak ada sosialisasi kepada warga terkait reklamasi yang tercantum dalam RTRW maupun aturan zonasi yang tercantum dalam RDTRPZ.
Produk hukum penataan ruang tidak hanya sangat mengatur ruang hidup warga seperti tata guna lahan tempat hidupnya, namun menentukan juga seperti apa jadinya kota Jakarta di masa depan, hingga tahun 2030. Termasuk didalamnya pun diatur struktur kota, tata guna lahan, hingga integrasinya dengan transportasi, air, persampahan, bahkan mitigasi terhadap banjir. Karena itu, proses penyusunan produk penataan ruang yang sangat minim partisipasi masyarakat yang berkualitas, tentu saja hanya akan menyimpan masalah di kemudian hari.
Kegagalan Memahami Kota dan Keseharian Warga Swadaya
Kelemahan perangkat penataan ruang di Indonesia saat ini adalah ketika perangkat tersebut tidak berhasil menangkap keseharian dan keberagaman kota, hingga apa yang terjadi di lapangan. Contoh yang paling nyata adalah ketika RTRW dan RDTRPZ tidak mempedulikan permukiman swadaya warga yang sudah ada jauh sebelum negara ini berdiri.
Perlakuan berbeda diberikan kepada lingkungan-lingkungan formal, seperti Mal Taman Anggrrek, Kemang, Kawasan Senayan, hingga Pantai Indah Kapuk. Sementara di saat bersamaan komposisi rumah swadaya berbanding perumahan formal di Indonesia adalah 80:20.
Upaya pemerintah untuk menangkap keberagaman justru berakibat pada makin rumitnya perangkat penataan ruang, dengan makin banyaknya warna-warna, garis-garis, angka, rumus, yang justru makin menjauhkan perangkat yang sangat teknokratis dan keseharian yang subyektif dan majemuk.
Konsep penataan ruang pun sangat erat dengan kepemilikan lahan dan formalitas, sehingga yang mendapatkan akses dan manfaat adalah yang formal. Ruang hanya erat dengan konsep warga, yang memiliki identitas KTP dan berdomisili di Jakarta, namun gagal menangkap konsep kesementaraan, yaitu manusia sebagai penghuni kota. Kegagalan akan konsep waktu itu berakibat pada gagalnya integrasi antara ruang dan pergerakan manusia.
http://www.aktual.com/tumbal-dan-ket...ruang-ibukota/
Artikel lengkap ini menyoroti ketimpangan dan ketidakadilan tataruang maupun penegakan aturannya di dki jakarta.
Bahkan RPTRA Kalijodo pun ternyata tidak sesuai zonasi hijau yg diamanatkan di PP.
Jakarta, Aktual.com – Pada tahun 2010, Koalisi Warga Jakarta 2030 melakukan survey dari berbagai saluran dengan jumlah responden 3000 di 5 kotamadya dan 1 kabupaten DKI Jakarta. Survey tersebut disebarkan sebagai bagian dari upaya advokasi untuk memperjuangkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dalam menyusun Rencana Tata Ruang dan Wilayah Jakarta 2030.
Dari survey itu, 95% responden mengaku bahwa Pemda Jakarta tidak pernah menanyakan aspirasi terkait dengan penyusunan RTRW Jakarta 2030. Survey yang sama pun menyoroti 3 masalah utama yang ditemui di Jakarta. Bahkan, ada responden yang menjawab beberapa hal terkait transportasi dalam pertanyaan yang sama, sehingga hasil survey menunjukkan bahwa transportasi dianggap sebagai masalah utama, diikuti dengan masalah lingkungan (90%) termasuk air bersih, sanitasi, drainase, banjir, polusi dan sampah. Masalah lain termasuk persoalan ekonomi, sosial dan keamanan (28%) dan Ruang Terbuka Hijau, ruang publik, pedestrian, fasilitas sepeda dan penghijauan (19%).
Masalah utama yang ditemui berdasarkan pendapat warga Jakarta merupakan masalah yang muncul akibat produk penataan ruang yang buruk. Dalam proses penyusunan produk penataan ruang, pemerintah bahkan harus melibatkan warga dalam pengumpulan data primer, merumuskan konsep tata ruang, mensosialisasikannya bahkan saat masih dalam rupa draft, raperda, hingga sesudah disahkan, melalui berbagai metode. Tentu saja produk sosialisasinya harus dalam bahasa informatif yang mudah dimengerti.
Namun, terlepas dari buruknya proses partisipasi masyarakat, Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 pun akhirnya disahkan menjadi Peraturan Daerah 1/2012. Dalam penyusunan produk penataan ruang, baik RTRW maupun Rencana Detil Tata Ruang, pemerintah wajib melibatkan masyarakat dan mensosialisasikan proses penyusunan tersebut kepada pemerintah, seperti yang tercantum dalam Pasal 65 Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah 68/2010 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Agar Rencana Tata Ruang WIlayah 2030 itu dapat diimplementasikan berdasarkan Undang Undang 26/tahun 2007, Pemerintah Provinsi wajib menyusun Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTRPZ). Namun, proses penyusunannya pun senyap dengan praktek partisipasi masyarakat yang buruk. Akhirnya, produk tersebut disahkan menjadi Peraturan Daerah 1/2014 tentang Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Sementara untuk implementasi, Dinas Penataan Kota (sekarang Dinas Cipta Karya).
Ternyata, pasca pemberlakukan RTRW 2030 dan RDTRPZ tidak diikuti dengan sosialisasi maksimal. 80% warga tidak pernah melihat RDTRPZ. Bahkan 7 dari 10 responden menyatakan tidak pernah mendapatkan sosialisasi produk tata ruang dari kelurahan maupun kecamatannya. Sebagai contoh, warga Muara Angke yang terkena dampak reklamasi Pulau G, merasa sejauh ini tidak ada sosialisasi kepada warga terkait reklamasi yang tercantum dalam RTRW maupun aturan zonasi yang tercantum dalam RDTRPZ.
Produk hukum penataan ruang tidak hanya sangat mengatur ruang hidup warga seperti tata guna lahan tempat hidupnya, namun menentukan juga seperti apa jadinya kota Jakarta di masa depan, hingga tahun 2030. Termasuk didalamnya pun diatur struktur kota, tata guna lahan, hingga integrasinya dengan transportasi, air, persampahan, bahkan mitigasi terhadap banjir. Karena itu, proses penyusunan produk penataan ruang yang sangat minim partisipasi masyarakat yang berkualitas, tentu saja hanya akan menyimpan masalah di kemudian hari.
Kegagalan Memahami Kota dan Keseharian Warga Swadaya
Kelemahan perangkat penataan ruang di Indonesia saat ini adalah ketika perangkat tersebut tidak berhasil menangkap keseharian dan keberagaman kota, hingga apa yang terjadi di lapangan. Contoh yang paling nyata adalah ketika RTRW dan RDTRPZ tidak mempedulikan permukiman swadaya warga yang sudah ada jauh sebelum negara ini berdiri.
Perlakuan berbeda diberikan kepada lingkungan-lingkungan formal, seperti Mal Taman Anggrrek, Kemang, Kawasan Senayan, hingga Pantai Indah Kapuk. Sementara di saat bersamaan komposisi rumah swadaya berbanding perumahan formal di Indonesia adalah 80:20.
Upaya pemerintah untuk menangkap keberagaman justru berakibat pada makin rumitnya perangkat penataan ruang, dengan makin banyaknya warna-warna, garis-garis, angka, rumus, yang justru makin menjauhkan perangkat yang sangat teknokratis dan keseharian yang subyektif dan majemuk.
Konsep penataan ruang pun sangat erat dengan kepemilikan lahan dan formalitas, sehingga yang mendapatkan akses dan manfaat adalah yang formal. Ruang hanya erat dengan konsep warga, yang memiliki identitas KTP dan berdomisili di Jakarta, namun gagal menangkap konsep kesementaraan, yaitu manusia sebagai penghuni kota. Kegagalan akan konsep waktu itu berakibat pada gagalnya integrasi antara ruang dan pergerakan manusia.
http://www.aktual.com/tumbal-dan-ket...ruang-ibukota/
Artikel lengkap ini menyoroti ketimpangan dan ketidakadilan tataruang maupun penegakan aturannya di dki jakarta.
Bahkan RPTRA Kalijodo pun ternyata tidak sesuai zonasi hijau yg diamanatkan di PP.
Diubah oleh penggugatmk 27-04-2017 15:16
0
2.8K
20


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan