- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Pelangi Sebelum Hujan


TS
8313090
Pelangi Sebelum Hujan
Quote:
Original Posted By PROLOGSejuk angin menghilir di teras rumah, seorang anak berusia lima tahun tengah mengambar di atas buku gambarnya. Ibunya sedang duduk di kursi mengawasi anaknya ditemani secangkir teh yang masih menyisakan kehangatan.
Tangan anak itu lincah menggoreskan krayonnya, seperti pelukis-pelukis terkenal dunia dengan mantap tanpa ragu warna-warna itu membentuk sebuah gambar. Gambar sekelas anak TK yang mungkin bisa dibilang bagus untuk seusianya.
“Bu, liat gambar ku,” ucap anak tersebut sambil menunjukan gambar di buku gambarnya. Wajahnya tersenyum, senyuman tulus seorang anak.
Ibu itu tersenyum haru sambil menyimpan kembali gelas teh yang baru saja dia minum. “Bagus, anak ibu sekarang udah pintar gambar, ya.”
Senyum anak itu semakin melengkung membuat matanya semakin sipit. Anak itu menyimpan kerayon yang masih digenggamnya, meletakan gambar di dadanya seperti akan menjelaskan apa yang telah dia gambar.
“Bu, ini Ibu, terus ini aku,” ucapnya sambil menunjuk gambarnya. Gambarnya yang berbentuk garis-garis lurus membentuk tubuh manusia yang sedang bergandengan dan wajahnya yang dihiasi dua titik dan satu buah lengkungan yang mewaliki mata dan bibir.
Ibu itu senang karena anaknya sudah bisa menggambar. Namun, dia melihat satu gambar lagi yang wajahnya belum diberi mata dan bibir dengan jarak yang sedikit renggang. “Terus itu siapa?” tanya ibu itu seperti ingin tahu.
Sang anak sedikit melirik gambar yang ditunjuk ibunya, “Ini ayah, Bu,” jawab anak itu membuat sang ibu harus menahan air matanya.
“Tadi waktu di sekolah, aku ditanya sama bu guru...,” jelas anak itu polos. “‘Andri, nama ayah kamu siapa?’” ucap anak itu menirukan gaya bicara gurunya dengan ciri khas anak kecil yang masih melekat.
“Terus kamu jawab gimana?” tanya sang ibu yang masih menahan air matanya.
“Aku jawab aku enggak tahu, terus aku nanya ayah itu apa, terus dijelasin ‘ayah itu temen ibu yang selalu ada dirumah’ ... aku bilang lagi kalau dirumah aku cuma ada aku sama Ibu aja, terus bu guru cuma senyum aja ke aku sambil ngelus-ngelus kepala.” Senyum anak itu pun menutup penjelasannya.
Sang ibu pun tak kuasa lagi dan akhirnya menumpahkan semua air matanya, dirinya langsung memeluk anaknya.
“Ibu kenapa nangis?” tanya polos anak itu.
“Ibu bangga sama kamu, kamu harus jadi orang yang kuat, yang pinter, yang baik biar hidup kamu bahagia,” jelas Ibu itu.
“Terus sekarang ayah ada dimana, Bu?” tanya anak itu. Sang ibu sedikit bingung menjelaskan hal yang mungkin anak tersebut belum mengerti dengan kehidupan ini.
Ibu itu melepaskan pelukannya, mengusap air matanya dan menatap anaknya dengan penuh yakin. “Nanti kamu akan jadi seorang ayah juga, punya temen yang tinggal serumah sama punya anak kaya kamu sekarang... mungkin nanti kamu juga akan pergi dari keluarga kamu untuk kerja mencari nafkah atau membuat keluarga kamu bahagia, Dik.”
“Jadi nanti aku bakal jadi ayah, terus punya anak juga ya, Bu,” ucapnya polos, “kalau aku nanti punya anak, aku mau kasih nama pelangi,” lanjutnya sedikit menghayal.
“Kenapa namanya pelangi?” tanya ibunya sedikit tersenyum.
“Biar selalu ada pelangi di hidup aku, mau sebelum hujan atau sesudah hujan atau selagi hujan bakal ada pelangi, Bu,” ucapnya senang.
Sang ibu pun tersenyum bahagia melihat anaknya yang mempunyai semangat untuk masa depannya. “Ibu juga mau lihat pelangi sebelum hujan.”
Tangan anak itu lincah menggoreskan krayonnya, seperti pelukis-pelukis terkenal dunia dengan mantap tanpa ragu warna-warna itu membentuk sebuah gambar. Gambar sekelas anak TK yang mungkin bisa dibilang bagus untuk seusianya.
“Bu, liat gambar ku,” ucap anak tersebut sambil menunjukan gambar di buku gambarnya. Wajahnya tersenyum, senyuman tulus seorang anak.
Ibu itu tersenyum haru sambil menyimpan kembali gelas teh yang baru saja dia minum. “Bagus, anak ibu sekarang udah pintar gambar, ya.”
Senyum anak itu semakin melengkung membuat matanya semakin sipit. Anak itu menyimpan kerayon yang masih digenggamnya, meletakan gambar di dadanya seperti akan menjelaskan apa yang telah dia gambar.
“Bu, ini Ibu, terus ini aku,” ucapnya sambil menunjuk gambarnya. Gambarnya yang berbentuk garis-garis lurus membentuk tubuh manusia yang sedang bergandengan dan wajahnya yang dihiasi dua titik dan satu buah lengkungan yang mewaliki mata dan bibir.
Ibu itu senang karena anaknya sudah bisa menggambar. Namun, dia melihat satu gambar lagi yang wajahnya belum diberi mata dan bibir dengan jarak yang sedikit renggang. “Terus itu siapa?” tanya ibu itu seperti ingin tahu.
Sang anak sedikit melirik gambar yang ditunjuk ibunya, “Ini ayah, Bu,” jawab anak itu membuat sang ibu harus menahan air matanya.
“Tadi waktu di sekolah, aku ditanya sama bu guru...,” jelas anak itu polos. “‘Andri, nama ayah kamu siapa?’” ucap anak itu menirukan gaya bicara gurunya dengan ciri khas anak kecil yang masih melekat.
“Terus kamu jawab gimana?” tanya sang ibu yang masih menahan air matanya.
“Aku jawab aku enggak tahu, terus aku nanya ayah itu apa, terus dijelasin ‘ayah itu temen ibu yang selalu ada dirumah’ ... aku bilang lagi kalau dirumah aku cuma ada aku sama Ibu aja, terus bu guru cuma senyum aja ke aku sambil ngelus-ngelus kepala.” Senyum anak itu pun menutup penjelasannya.
Sang ibu pun tak kuasa lagi dan akhirnya menumpahkan semua air matanya, dirinya langsung memeluk anaknya.
“Ibu kenapa nangis?” tanya polos anak itu.
“Ibu bangga sama kamu, kamu harus jadi orang yang kuat, yang pinter, yang baik biar hidup kamu bahagia,” jelas Ibu itu.
“Terus sekarang ayah ada dimana, Bu?” tanya anak itu. Sang ibu sedikit bingung menjelaskan hal yang mungkin anak tersebut belum mengerti dengan kehidupan ini.
Ibu itu melepaskan pelukannya, mengusap air matanya dan menatap anaknya dengan penuh yakin. “Nanti kamu akan jadi seorang ayah juga, punya temen yang tinggal serumah sama punya anak kaya kamu sekarang... mungkin nanti kamu juga akan pergi dari keluarga kamu untuk kerja mencari nafkah atau membuat keluarga kamu bahagia, Dik.”
“Jadi nanti aku bakal jadi ayah, terus punya anak juga ya, Bu,” ucapnya polos, “kalau aku nanti punya anak, aku mau kasih nama pelangi,” lanjutnya sedikit menghayal.
“Kenapa namanya pelangi?” tanya ibunya sedikit tersenyum.
“Biar selalu ada pelangi di hidup aku, mau sebelum hujan atau sesudah hujan atau selagi hujan bakal ada pelangi, Bu,” ucapnya senang.
Sang ibu pun tersenyum bahagia melihat anaknya yang mempunyai semangat untuk masa depannya. “Ibu juga mau lihat pelangi sebelum hujan.”
Quote:
Diubah oleh 8313090 15-05-2017 09:43


anasabila memberi reputasi
1
6.1K
Kutip
45
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan