Senin 17 Apr 2017, 19:23 WIB
Akun FB Ini Dipolisikan Aktivis Perempuan karena Singgung Gender
Mei Amelia R - detikNews

Ilustrasi (Irna Prihandini/detikINET)
Jakarta - Aktivis Perempuan Antikekerasan melaporkan akun Facebook Dwi Ardika ke Polda Metro Jaya. Alasannya, status Facebook Dwi yang menyinggung gender dinilai mengancam keamanan kaum perempuan.
"Kita tidak melapor secara individu ya, tetapi kita melaporkan sebuah teror ujaran yang kita dapatkan dari medsos (media sosial), khususnya Facebook. Ada beberapa, salah satunya kita dapat dari Saudara Dwi Ardika yang mengatakan,
'Intinya, yang dukung Ahok itu bodoh dan nggak bermoral, halal darahnya dibunuh dan halal juga kalau wanita dirudapaksa rame-rame'," kata koordinator Perempuan Indonesia Antikekerasan Ita Fadia Nadya kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (17/4/2017).
Laporan yang diwakili oleh Ratna Bataramurni ini diterima polisi dengan nomor laporan LP/1905/IV/2017/PMJ/Ditreskrimum dengan tuduhan Pasal 156 KUHP.
Status tersebut di-posting pada tanggal 14 Maret 2017 dan sudah tersebar viral di media sosial. Ita mengatakan status tersebut telah menimbulkan kekhawatiran dengan alasan sebagian kaum perempuan merasa terancam keamanannya dan khawatir tragedi Mei 1998 terulang kembali.
"Ada ibu yang mendengarkan sendiri. Ibu ini (teringat kembali) tahun 98 seperti itu. Ibu ini mengalami proses 98, mengalami soal-soal seperti itu, ada teror. Ketika anaknya memberitahukan soal di Facebook, dia merasa 'saya kok seperti 98', dia merasa sangat takut, jadi dia ikut melapor," terang Ita.
Aktivis lainnya, Helga Worotitjan, mengatakan posting Dwi tersebut mengandung unsur ujaran kebencian (hate speech) dan penghasutan.
"Posting Dwi Ardika ini yang mengobjekkan tubuh perempuan dan secara prinsip telah memenuhi ujaran kebencian, tindakan usaha menghasut berdasarkan golongan, identitas, suku, ras dan gender yang bertujuan memunculkan kebencian yang berdampak pada diskriminasi kaum perempuan," papar Helga.
Selain itu, Helga menyebut posting itu merendahkan martabat kaum perempuan. Helga juga memprotes posting itu menjadikan perempuan sebagai alat politik.
"Kami tidak ingin, sebelum atau pascapilkada ini, tidak ingin tubuh ataupun seksualitas perempuan dijadikan sebagai objek politik," ucapnya.
(dhn/try)