Kaskus

News

kasparov161Avatar border
TS
kasparov161
BERLAKU ADIL TERHADAP PAK BASUKI
Setelah agak lama tertunda, beberapa waktu lalu saya akhirnya mengambil cuti untuk mengurus PBB rumah saya. Pagi-pagi, berangkatlah saya ke notaris untuk meminta fotokopian beberapa dokumen legal seperti SHM dan AJB. Siangnya, setelah shalat Jumat dan makan siang, saya pergi ke Dispenda untuk mengurus pendaftaran NOP rumah saya.

Saya tiba di kantor Dispenda kira-kira jam 2 siang. Saya cukup kaget juga ketika masuk ruangan pelayanan publiknya ternyata sudah seperti ruang tunggu di bank-bank swasta. Bersih, nyaman, dan yang paling penting tertib. Begitu masuk, di sebelah kanan pintu ada mesin antrian dengan layar sentuh yang berisi pilihan jenis layanan yang tersedia. Saya tanya satpam, “Pak, kalau mau ngurus PBB pilih yang mana ya?” dan langsung diberitahu untuk memilih menu yang sesuai dan kemudian mesin antrian mengeluarkan nomor antrian saya.

Setelah duduk menunggu sebentar, nomor saya dipanggil. Saya bergegas ke meja petugas. Kepada petugas, saya jelaskan bahwa saya ingin mengurus PBB rumah saya. Petugas Dispenda menerangkan dengan ringkas formulir apa saja yang harus saya isi serta dokumen apa saja yang harus saya lampirkan sebagai kelengkapan formulir. Juga dijelaskan bahwa kalau formulir dan kelengkapan lainnya saya serahkan kembali ke Dispenda, NOP akan langsung diproses dan bisa diambil dalam waktu dua minggu. Singkat, jelas, padat.

Total percakapan saya dengan petugas Dispenda tersebut tidak sampai 5 menit. Ditambah mengantri sebentar, total saya di Dispenda tidak sampai 10 menit rasanya. Agak iseng sedikit, saya tanya, “udah nih Pak, ini aja?” barangkali dia minta sumbangan ‘seikhlasnya’. Jawabannya lugas, “iya, itu aja Pak”. Oke, saya harus akui, reformasi birokrasi di Dispenda ini berhasil.

Rekam Jejak

Salah satu faktor yang sering disebutkan sebagai alasan kawan-kawan yang mendukung dan memilih Pak Basuki pada Pilkada DKI kali ini adalah rekam jejaknya yang dianggap sudah teruji. Reformasi birokrasi adalah salah satu hal yang biasanya disebut-sebut sebagai contoh keberhasilan Pak Basuki.

Sebagai seorang yang di lingkaran pergaulannya dikenal sebagai hater Pak Basuki (meski saya tidak merasa benci pada Pak Basuki sebagai person), saya seringkali diminta untuk berlaku adil terhadap Pak Basuki. Apalagi saya juga dikenal sebagai pendukung Pak Anies. Biasanya ditambah juga dengan komentar, “emangnya kaya junjungan lo, bisanya ngomong doang, ga bisa kerja!”

Nah, cerita saya mengurus PBB di atas sepertinya mengkonfirmasi prestasi Pak Basuki ya? Sayangnya, cerita tadi bukan prestasi Pak Basuki. Cerita tadi merupakan prestasi Pemkot Bekasi, kota tempat saya tinggal (meski KTP saya masih KTP DKI).

Lantas buat apa saya menceritakan reformasi birokrasi di Pemkot Bekasi ketika membahas rekam jejak Pak Basuki? Pengalaman saya dengan Dispenda Bekasi tadi menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan sebuah hal yang niscaya dan sedang terjadi di berbagai tempat di Indonesia ini, bahkan di Kota Bekasi yang sampai sekarang saya tidak tahu siapa nama walikotanya.

Tak jarang saya melihat di media sosial para pendukung Pak Basuki bercerita mengenai reformasi birokrasi sambil berujar, “lihat nih udah maju gini, kalau ga ada Ahok mau jadi berantakan lagi?” Seolah-olah reformasi birokrasi hanya bisa dilakukan oleh Pak Basuki seorang.

Bukan berarti saya menganggap Pak Basuki tidak berhasil melakukan reformasi birokrasi. Hanya saja, yang saya lihat di media sosial, cerita-cerita prestasi reformasi birokrasi di Pemprov DKI seringkali berupa cerita-cerita yang sifatnya anekdotal. Mirip dengan cerita saya mengurus PBB di atas. Tidak berarti ceritanya bohong. Tapi cerita pengalaman orang per orang seperti itu belum tentu memperlihatkan gambaran besarnya.

Sedangkan kalau kita lihat parameter-parameter objektif berdasarkan evaluasi dari pihak-pihak yang memang bertugas untuk menilai kinerja pejabat publik, kinerja Pemprov DKI ternyata tidak sehebat cerita-cerita anekdotal yang banyak bertebaran di media sosial. Misalnya saja pada beberapa penilaian berikut:


0123


Bisa dilihat dari parameter-parameter di atas, ternyata ketika dibandingkan dengan parameter-parameter yang comparable, kinerja Pak Basuki di Pemprov DKI ternyata tidak lebih baik dari kinerja Pak Anies di Kemendikbud. Dalam soal pelayanan publik yang secara umum dievaluasi oleh Ombudsman (gambar keempat pada galeri di atas), misalnya, nilai Pemprov DKI ternyata masih di zona kuning dan menempati peringkat 17 dari 33 provinsi.

Sementara berdasarkan penilaian yang sama, Pak Anies menurut Ombudsman justru telah berhasil ngebut melakukan perbaikan di Kemendikbud sebelum beliau di-reshuffle. Komisioner Ombudsman, Adrianus Meliala, dalam wawancaranya dengan Metro TV bahkan menyatakan,

“Tahun 2015 Bapenas menargetkan Kemendikbud agar lebih baik, kemudian menteri waktu itu ngebut, sehingga naik peringkat. Data 2016 memang belum kami upload secara penuh,” ujar dia.

Kinerja Anies saat menjabat Menteri dianggap sukses. Akan tetapi, belum sempat menerima penghargaan, Anies di-reshuffle.

“Pak Anies kemudian diganti dan yang menerima penghargaan adalah Pak Muhajir Effendy (Menteri Pendidikan saat ini),” kata Adrianus.
Tapi kan kawan-kawan pendukung Pak Basuki biasanya kemudian lari ke argumen dangkal seperti, “kalau kinerjanya bagus kenapa Anies di-reshuffle?” Padahal kita sama-sama tahu bahwa kinerja dan reshuffle tidak berhubungan. Kalau berhubungan, lantas bagaimana kita menjelaskan Pak Jonan yang sempat dicopot dari jabatan Menteri Perhubungan dan lantas kemudian diangkat menjadi Menteri ESDM?

Kalau kita sama-sama jujur, tentu kita akan mengakui bahwa menteri adalah jabatan politik. Oleh karena itu, diangkat atau diberhentikannya seorang menteri lebih besar karena pertimbangan politik ketimbang kinerja.

Jika hanya mengacu kepada kinerja objektif, Pak Anies toh terbukti memiliki raport yang baik, paling tidak berdasarkan laporan dari lembaga-lembaga yang saya kutip di galeri di atas tadi. Bahkan yang agak lucu, dalam survey kinerja menteri terbaik menurut masyarakat yang dirilis Indo Barometer pada akhir Maret 2017 lalu, Pak Anies masih masuk tiga besar menteri dengan kinerja terbaik menurut masyarakat. Padahal Pak Anies sendiri sudah tidak menjadi menteri ketika survey tersebut dilakukan.

Saya ingin menggaris bawahi lagi, saya tidak bilang Pak Basuki tidak memiliki prestasi. Tentu ada pencapaian Pak Basuki yang baik, saya tidak akan menafikan itu. Poin saya adalah, berkaca dari data-data objektif yang ada, ketika kawan-kawan pendukung Pak Basuki mengatakan “cuma Ahok yang bisa kerja” dan “Anies cuma bisa ngomong doang”, sudahkah kawan-kawan berlaku adil terhadap Pak Basuki?

Program

Demikian juga ketika berbicara mengenai berbagai program dan janji yang ditawarkan selama masa kampanye. Tidak hanya satu dua kali saya mendapat komentar, “programnya Ahok jelas dan sudah terbukti, program Anies ga jelas dan mengawang-awang”.

Membahas kontroversi program tentu tak lengkap tanpa membahas mengenai program DP 0. Program OK OCE, lengkap dengan gestur tiga jari Pak Sandi Uno, boleh jadi merupakan program yang paling trending selama masa kampanye Pilkada DKI kali ini. Tapi pemuncak klasemen untuk program yang paling banyak diperdebatkan selama pilkada rasanya masih dipegang oleh program DP 0.

Mulai dari disebut melanggar hukum hingga disebut membodoh-bodohi rakyat, semua cibiran rasanya pernah dialamatkan ke program ini. Berbagai serangan terhadap program ini tidak mengherankan karena program ini merupakan program yang menurut saya paling relatable bagi generasi milenial Jakarta. Bahkan mungkin tidak hanya bagi generasi milenial kalau kita melihat statistik BPS di bawah ini.

Kepemilikan Rumah
Why Jakarta badly needs an innovative housing program in one picture
Sekeras apa pun usaha para buzzer mendiskreditkan program DP 0 tidak akan bisa menghapus fakta di lapangan: 49% warga DKI belum memiliki rumah sendiri. Tim Pak Basuki akhirnya menyerah juga. Di awal putaran kedua, Pak Basuki akhirnya merilis program perumahannya yang dirinci dalam beberapa skema sebagai berikut.



012


Nah, di sini kelucuan dimulai. Program DP 0 diserang karena dianggap akan menghabiskan APBD DKI. Padahal dengan target total 250 ribu penerima program selama 5 tahun, per tahunnya program ini hanya akan mengambil 2,7 triliun dari APBD DKI (sebagai perbandingan, APBD DKI 2017 sebesar 70,19 triliun).

Sementara, program Pak Basuki bahkan tidak pernah ditanyakan detilnya oleh para pendukungnya. Saya sudah mencoba berlaku adil dengan mencoba memahami program ini. Nyatanya sampai sekarang belum ada pendukung atau bahkan tim sukses Pak Basuki yang bisa menjelaskan dengan komprehensif hal-hal berikut:

Pada skema 1, berapa sebenarnya subsidi yang didapat oleh penerima? Kalau dikatakan 80%, maka berdasarkan perhitungan saya subsidi yang sebenarnya diterima adalah sebesar 1,2 juta (untuk yang membayar 300 ribu) hingga 1,8 juta (untuk yang membayar 450 ribu).
Pada skema 2, apakah angka 1,5-2 juta yang tertera adalah besar subsidi yang diterima atau besar biaya yang harus dibayar oleh penerima program? Karena jika angka ini adalah subsidi yang diterima, maka apakah adil ketika warga yang lebih mampu justru mendapat subsidi yang lebih besar dari yang kurang mampu? Jika angka ini adalah biaya sewa yang harus dibayar penerima program, apa tidak terlalu mahal untuk ukuran biaya sewa rusunawa? Apalagi jika dibandingkan dengan biaya sewa apartemen di pasaran (bisa kawan-kawan lihat perbandingannya dengan sewa apartemen di situs Rumah123 yang sudah saya filter di tautan ini).
Pada skema 3, berapa tepatnya subsidi yang didapat oleh penerima program? Dan yang lebih penting, kenapa justru bagi kalangan yang berpenghasilan di atas 10 juta rupiah justru malah diberi subsidi untuk memiliki rumah sedangkan yang kurang mampu hanya diberi subsidi untuk sewa yang masa kontraknya hanya berlaku per dua tahun?
Terakhir, berapa target penerima program pada masing-masing skema? Berapa besarnya APBD yang dibutuhkan untuk membiayai seluruh skema yang ditawarkan?
Saya bisa memahami kalau kawan-kawan pendukung petahana kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Jangankan kawan-kawan, Bu Emmy Hafild yang juru bicara Pak Basuki saja sampai tidak tahu soal skema 3 dan akhirnya menjadi olok-olok seperti di video berikut.

Video Player


Sementara, hampir semua pertanyaan mengenai program DP 0 rasanya tidak ada yang saya sebagai pendukung (bukan bagian dari tim sukses atau tim relawan) tidak bisa jawab. Juga sudah beberapa kali di berbagai tulisan baik dari tim resmi, juru bicara, maupun pendukung dibahas mengenai program DP 0. Favorit saya adalah skema yang diulas oleh Bu Sidrotun Naim dengan nama Rumah 003 yang memungkinkan cicilan hingga hanya 900 ribu rupiah per bulan untuk rumah dengan plafon maksimal 350 juta rupiah.

Jadi ketika kawan-kawan pendukung Pak Basuki mengatakan “program Ahok jelas dan sudah terbukti, program Anies ga jelas dan mengawang-ngawang”, sudahkah kawan-kawan berlaku adil terhadap Pak Basuki?

Keberpihakan

Kalau kita cermati skema-skema pada program perumahan Pak Basuki tadi, tentu kita jadi bertanya-tanya, sebenarnya Pak Basuki berpihak pada siapa? Warga yang penghasilannya di bawah UMR dan dari UMR hingga 7 juta, hanya disubsidi untuk terus menerus mengontrak seumur hidup. Sementara warga yang penghasilannya di atas 10 juta malah disubsidi untuk memiliki hunian sendiri.

Begitu juga ketika kita berbicara di level kebijakan. Rakyat kecil digusur, sementara pengembang besar dibela habis-habisan melakukan reklamasi. Menurut laporan terbaru dari LBH Jakarta, selama 2 tahun menjadi gubernur, Pak Basuki telah mencetak rekor dengan menggusur lebih dari 25 ribu warga Jakarta dari tempat tinggalnya dengan melangkahi hukum dalam prosesnya. Sementara produk-produk regulasi yang dikeluarkan Pak Basuki untuk mengizinkan reklamasi pulau F, I, dan K terbukti cacat secara hukum oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Sekali lagi, sebenarnya Pak Basuki berpihak pada siapa?

Hal yang menarik soal isu keberpihakan ini adalah framing yang dilakukan oleh para buzzer pendukung Pak Basuki. Berkali-kali para buzzer pendukung Pak Basuki berusaha memposisikan Pilkada DKI ini seolah-olah sebagai pertarungan antara kelompok kebhinekaan di satu pihak dan kelompok intoleran di pihak lain. Ini jelas narasi yang tak hanya keliru tapi juga jahat.

Karena mendatangi markas FPI, misalnya, Pak Anies lantas dianggap sebagai bagian dari kelompok intoleran. Bagi saya pribadi yang notabene mengidentifikasi diri sebagai seorang yang berpandangan liberal dalam politik, saya tidak melihat ada yang salah dari kedatangan Pak Anies ke FPI.

Saya pribadi tidak setuju dengan banyak retorika dan metode FPI. Tapi FPI adalah bagian dari warga DKI yang perlu dirangkul. Ketika Pak Anies menjadi gubernur nanti, dia harus menjadi gubernur bagi semua warga DKI. Ketika Pak Anies menjadi gubernur nanti, dia harus bisa berdiskusi dan berinteraksi dengan baik dengan semua spektrum yang ada, dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.

Bahkan saya berani berargumen bahwa interaksi Pak Anies dengan FPI justru membawa FPI lebih ke tengah alih-alih membawa Pak Anies lebih ke kanan. Ingat insiden jenazah Nenek Hindun yang dikabarkan tidak disholatkan itu? Meski kemudian terbukti bahwa berita tersebut ternyata tidak benar, tapi sikap FPI saat itu justru menarik untuk disimak.

Seperti dilansir oleh Liputan6.com, juru bicara FPI Slamet Maaruf justru menyatakan, “ada kewajiban sesama Muslim untuk mengurus jenazah sesamanya, dari mulai mengkafani, memandikan, mensalatkan. Kalau satu kampung tidak mengurusi jenazah sesama Muslim, maka satu kampung berdosa semua”. Bagi saya sikap FPI tersebut menjadi validasi bagi pendekatan Anies yang berusaha berdialong dan merangkul semua pihak.

Sekarang kita bandingkan dengan sikap Pak Basuki. Dalam acara Mata Najwa episode Debat Jakarta, Pak Basuki menyatakan bahwa dirinya tidak bisa merangkul semua pihak. Koruptor dan orang yang ga bener, kata Pak Basuki, tidak bisa ia rangkul. Simak penuturannya di klip berikut.

Video Player
00:0000:08


Tapi apa benar begitu? Bagaimana dengan Pak Setya Novanto yang saat ini sudah dicekal KPK terkait dengan kasus korupsi e-ktp? Bukan hanya sekedar berangkulan, Pak Basuki bahkan juga menerima dana dari Pak Setya Novanto.

Bagaimana dengan Miryam S. Haryani yang sudah menjadi tersangka terkait kesaksian palsu pada kasus e-ktp? Bukan hanya sekedar berangkulan, Miryam ternyata merupakan koordinator Gadis Ahok yang merupakan simpul relawan resmi dari tim pemengangan Basuki-Djarot.

Jika kawan-kawan pendukung Pak Basuki kemudian mengecam Pak Anies dengan alasan karena Pak Anies didukung oleh kelompok intoleran (meski label intoleran ini sesungguhnya juga belum tentu benar), bagaimana dengan Pak Basuki yang didukung nama-nama yang tersangkut kasus e-ktp tadi? Saya belum pernah melihat kawan-kawan pendukung Pak Basuki mengecam orang-orang ini atau mengecam Pak Basuki karena menerima dukungan orang-orang ini.

Jika kawan-kawan pendukung Pak Basuki kemudian menggunakan framing bahwa yang berdiri bersama Pak Anies artinya berdiri bersama kelompok intoleran, bolehkah jika kemudian saya mengatakan bahwa yang berdiri bersama Pak Basuki artinya berdiri bersama para koruptor?

Jadi soal keberpihakan ini pun, sekali lagi saya bertanya, sudahkah kawan-kawan berlaku adil terhadap Pak Basuki?

Di akhir debat resmi terakhir pada hari Rabu malam lalu, Pak Anies memberikan pernyataan penutup dengan mengutip Al Maidah ayat 8 yang terjemahannya berbunyi, “dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil”. Barangkali dalam konteks kawan-kawan pendukung petahana, nasehat yang lebih tepat adalah janganlah kecintaan terhadap Pak Basuki membuat kawan-kawan tidak berlaku adil.

http://www.iqbalfarabi.me/

Framing mahok adalah super hero sementara lawannya adalah anti hero atau villain sudah di galakkan sama barisan bani serbet jauh-jauh hari..

Dan dengan tulisan ini, mudah- mudahan bisa mencerahkan emoticon-Jempol
Diubah oleh kasparov161 17-04-2017 07:50
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
2.5K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan