ahmad.jufrieAvatar border
TS
ahmad.jufrie
Tamasya Al Maidah dan Kelompok Curang yang Tak Mau Diawasi


Oleh: Ahmad Jufrie

Tak lama setelah kegiatan Tamasya Al Maidah dinyatakan tetap digelar, berbagai reaksi pun bermunculan. Ragam reaksi itu bisa dilihat dari perbincangan jagad maya melalui kata kunci “Tamasya Al Maidah” atau tagar #TamasyaAlmaidah. Bisa juga, dengan mengikuti pemberitaan media online khususnya dalam tiga hari terakhir.
Apa yang menarik dari reaksi itu selain sekadar pro dan kontra? Tentu saja adalah basis argumentasi yang dijadikan pijakan kelompok yang menolak kegiatan tersebut. Di sini akan dikemukakan dua contoh yang menggambarkan bagaimana mereka berdiri (dengan argumen) melakukan penolakan. Dua contoh ini diambil karena dianggap mewakili warna meraka.

Pertama, sikap dan argumen Ketua Setara institute Hendardi. Ia menuduh Tamasya Al Maidah adalah teror dan intimidasi politikyang pasti memengaruhi pilihan warga. Ia juga menilai kegiatan tersebut sebagai pelanggaran Pilkada serta tindak pidana pemilu. Karenanya, ia meminta Polri dan Bawaslu melarang kegiatan tersebut.
Sebagai aktivis yang menjunjungtinggi kesamaan hak individu, argumen Hendardi terasa aneh dan keluar dari paradigma biasanya. Padahal ia sendiri menyadari bahwa partisipasi pengawasan atas pelaksanaan Pilkada dijamin undang-undang. Ia juga mafhum bahwa Pilkada sebagai bentuk serta proses lahirnya kebijakan publik, maka menjadi hak publik untuk terlibat di dalamnya.

Apa yang salah dengan kegiatan jalan-jalan ke TPS, bertamasya melihat dan meyaksikan proses pemungutan dan penghitungan suara? Apalagi setelah didapat kepastian panitia mengemas acara ini dengan santai, rileks, menyenangkan, jauh dari kata teror dan intimidasi. Bukankah salah satu prinsip atau asas pemungutan dan penghitungan suara itu “keterbukaan”? (lihat PKPU NO 10 Tahun 2015).

Tuduhan Palsu
Jika Hendardi secara jujur mau serius membedah sejumlah perangkat peraturan Pilkada, maka segera akan ia dapatkan bahwa pemilih atau masyarakat berhak mengetahui proses pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Bahkan salah satu tugas Ketua KPPS saat penghitungan suara sebagaimana dalam PKPU No 14 Tahun 2016 Pasal 47 ayat (4) poin a disebutkan:

“Ketua KPPS bertugas memeriksa tanda coblos pada surat suara dan menunjukkan pada saksi, PPL/Pengawas TPS, Anggota KPPS atau pemilih/masyarakat yang hadir dengan ketentuan 1 (satu) surat suara dihitung (satu) suara dan dinyatakan sah atau tidak sah”

Penyebutan secara eksplisit “pemilih/masyarakat yang hadir” saat penghitungan suara jadi salah satu petunjuk: siapa pun boleh datang ke TPS. Siapa pun boleh dan BERHAK mengunjungi, ikut melihat dan mengawasi Pilkada. Selama kegiatan tersebut dilakukan berjarak di luar TPS, maka tidak ada alasan menolaknya.
Yang tidak boleh dalam aturan PKPU itu ialah jika menyaksikan dan mengawasi proses Pilkada dari dalam lokasi TPS. Siapapun yang datang untuk berpartisipasi menyaksikan pemungutan dan penghitungan suara dari dalam TPS, selain penyelenggara (KPPS,saksi dan PPL/Pengawas), jelas tidak boleh. Termasuk lembaga pemantau resmi dalam dan luar negeri sekalipun.

Sekarang, jika mengetahui atau menyaksikan jalannya pemungutan dan penghitungan suara di TPS merupakan hak dari masyarakat, kenapa Hendardi minta kegiatan Tamasya Al Maidah dilarang? Adakah sesuatu yang membenarkan bentuk penghilangan hak orang lain? Adakah sesuatu yang membenarkan bentuk perlakuan tidak sama di muka hukum? Begitu tegakah ia hingga meminta Polri dan Bawaslu melanggar aturan perundang-undangan?

Setelah dicari-cari cukup lama, ternyata hanya satu alasan kenapa Hendardi minta Polri dan Bawaslu melarang kegiatan tersebut. Ini semua terkait tuduhannya bahwa Tamasya Al Maidah adalah teror dan intimidasi politik yang pasti memengaruhi pilihan warga. Ingat, ini hanya tuduhan! Tapi atas tuduhan itu ia kemudian membangun argumennya.
Mungkin dalam bayangan Hendardi, Tamasya Al Maidah adalah kegiatan sekelompok manusia berjubah, bersorban, berjenggot, lengkap dengan senjata pedang di tangannya. Mereka datang ke TPS DKI (tiap TPS 100 pasukan) menakut-nakuti tiap orang yang ingin memberikan hak suaranya. TPS pun mencekam, menakutkan penuh dengan teror.

Padahal berkali-kali sudah diwarta-beritakan: kegiatan Tamasya Almaidah jauh dari teror dan intimidasi. Justru, kehadiran mereka untuk menyaksikan sekaligus menjaga dengan senang hati di bawah semangat persatuan dan kesatuan agar pilkada berjalan damai, jurdil, demokratis dan berintegritas. Walaupun seandainya yang menang nanti adalah gubernur non-Muslim, mereka akan terima jika semua proses dilakukan dengan fair dan demokratis.
Apakah pernyataan sikap yang terang benderang demikian dianggap main-main dan bukan jaminan? Silakan Bung Hendardi bandingkan sendiri dengan pernyataan Iwan Bopeng yang mengamuk di TPS sampai ingin potong-potong TNI dan jadi viral di media sosial. Mana yang lebih mengancam hak pemilih dan berpotensi menggagalkan Pilkada, Bung? Hal seperti itukah yang anda inginkan terjadi pada saudara-saudaramu yang Muslim, Bung?

Kelompok Curang
Kedua, sikap dan argumen Rustam Ade yang mengaku Ketua Pemuda Islam Kebangsaan. Ia melaporkan Ketua Panitia Tamasya Al-Maidah ustaz Ansufri ID Sambo ke Bawaslu DKI. Argumen yang dia ajukan tidak begitu jelas. Ia hanya ingin penyelenggara Pilkada memastikan Pilkada berlangsung jurdil, luber dan setiap warga DKI bebas menggunakan hak pilihnya dengan aman.

Rustam sama dengan kelompok yang menolak kegiatan itu: membangun argumen di atas khayalan sendiri seolah-olah Umat Islam itu teroris, fundamentalis, suka kekerasan, perusak NKRI dan keberagaman. Padahal sudah dibuktikan, umat Islam selama ini tidak pernah menebar teror. Massa umat Islam paling tertib dan teratur sebagaimana ditunjukkan dalam aksi-aksi sebelumnya. Justru, provokasi dan teror datang dari Cagub Non-Muslim dengan video kampanye yang sangat menakutkan.

Kuat dugaan,mereka yang menolak Tamasya Al Maidah adalah kelompok yang ingin berbuat curang karena panik dengan konstalasi politik mutakhir. Pasalnya, hasil potret sejumlah lembaga survei terkait peta kekuatan/dukungan terhadap kandidat sudah terpampang nyata siapa yang bakal menangi Pilkada.

Kelompok ini sedang melakukan segala cara mengejar ketertinggalan dukungan untuk menang. Salah satunya: mengintruksikan seluruh kader daerah ke JKT untuk memenangkan jagoannya, membuat video agitasi & propaganda untuk membangun image Umat Muslim brutal dan anti-kebhinnekaan, melancarkan money politik dengan bagi-bagi sembako, termasuk peluang berbuat curang pada hari pelaksanaan pemungutan dan pengitungan suara 19 April nanti.

Yang mereka kehendaki, sebisa mungkin pada hari pelaksanaan aksi mereka bebas dari pengawasan, kecuali oleh pihak/elemen yang sudah dikondisikan. Apa iya semua elemen sudah dikondisikan? Di sini tidak boleh dan tidak perlu berprasangka buruk. Yang jelas salah satu kaidah pokok Pilkada ialah: jangan pernah percaya sama siapa pun kecuali pada pengamatan/kesaksian sendiri.

Ini rumus yang tak bisa ditawar.Orang yang sudah jungkir balik pengalaman di Pemilu/Pilkada pasti paham soal ini.
Terakhir, ketimbang mencurigai, menuduh dan menyalahkan masyarakat yang menggunakan haknya yang dijamin undang-undang, mari lebih baik bergandengan tangan menyaksikan proses Pilkada. Tak perlu menuduh yang aneh-aneh, toh semua punya hak yang sama untuk datang ke TPS.
0
4.4K
47
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan