- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Hujan Bersama Mu


TS
ommoeza
Hujan Bersama Mu
Air yang turun dari langit membasahi bumi, semua karena tuhan yang selalu memberikan nikmatnya kepada setiap umatnya. Untuk kedua kalinya aku berdiri berteduh di halte bersama seorang wanita. Kakak kelas ku yang sudah ku kenal lama. Hujan pun sangat deras. Suara ombrolan kami pun tidak bisa terdengar lagi, karena hujan. Tapi hujan juga membuat kita bisa bersama untuk lebih lama.
“Kamu kedinginan?” ujarku sambil memeluknya.
“ehh... kenapa kamu memelukku?” dia bertanya kepada ku.
“aku takut jika perempuan yang aku cintai itu jatuh sakit. Karena kamu yang telah memberitahu ku apa arti cinta sebenarnya” membalas pertanyaanya dengan lembut.
Satu menit. Sepuluh menit. Tigapuluh menit. Hujan pun enggan reda. Semakin erat pelukkan ku untuk menghangatkan tubuhnya, agar dia tidak jatuh sakit.
Satu jam kemudian, hujan mulai melemahkan airnya dan perlahan berhenti. Kamu yang terlanjur tertidur dibahuku, enggan aku untuk membangunkan mu. Aku pun percaya bahwa ada bidadari yang diberikan oleh tuhan itu tanpa sayap. Tidak bisa terbang, anggun, lemah lembut,... selebihnya keindahannya susah untuk diucapkan.
Perlahan-lahan kau mengetahui bahwa hujan itu sudah berhenti, kemudian kau bernjak bangun dari bahuku. Tidak ku sangka sudah terlalut malam kita berdua di halte ini.
“Hujannya sudah reda?” dia bertanya kepada ku.
“iya, sudah reda. Aku menunggu mu bangun, tidak enak rasanya kalau aku mengganggu mimpi di dalam tidur mu” jawab ku seraya beranjak dari bangku dan menyalakan motor.
“Maaf, aku ketiduran.” ujarnya kepada ku.
Ku segerakan membawanya pulang dan meminta maaf dan memberikan penjelasan kepada orang tuanya jika tadi turun hujan, hujan yang sangat deras.
Ke esokan hari, tubuh ku melemah. Mungkin karena semalam. Ku paksakan untuk pergi bersekolah.
“Sini sarapan dulu.” mamah yang menyuruhku sarapan pagi.
“iya mah” jawabku sambil berjalan ke meja makan.
Ku paksakan untuk menghabiskan sarapan pagi ku, walau terasa tidak enak di lidahku.
Bunyi bel, menandakan masuk kelas. Pagi ini adalah pelajarannya Bu Dewi, guru matematika disekolahku. Tiga puluh menit berlalu, tubuhku mulai lemah, aku tidak bisa menahan tubuhku lebih lama lagi, akupun terjatuh pingsan.
Bu Dewi menyuruh teman laki-laki untuk mengangkat dan membawa tubuh ke UKS, satu jam, dua jam berlalu aku tak kunjung sadar. Sehingga Bu Dewi menelpon ambulan untuk segera membawa ku ke rumah sakit. Dan segera dibawa ke ruangan ICU.
Orang tua ku kaget mendengar berita kalau aku masuk ke ruangan ICU. Tubuh ku terbaring lemah, mata ku tidak bisa kubuka, hanya telinga yang masih bisa mendengar suara orang disekitar. Karena riwayat penyakit jantung yang ku alami. Orang tua ku berdo’a dan terus berdo’a untuk kesembuhanku.
Keesokan harinya, seorang bidadari yang waktu itu tertidur dibahu ku datang untuk menjengukku. Aku tidak bisa menatap wajahnya lagi, hanya suara dia yang masih bisa ku dengar. Kemudian dia mengatakan sesuatu di telinga kananku.
“Kamu cepat sembuh ya, kalau kamu sakit siapa lagi yang bisa menghiburku jikalau aku sedih, siapa lagi yang memberikan ku kehangatan jikalau aku sakit.” ujarnya seraya meneteskan hujan yang dia jatuhkan ke atas pipi ku.
Hanya hatiku yang bisa menjawab semua pertanyaan itu. Aku tahu kalau hati tidak bisa mengeluarkan suara, tapi hati bisa memberitahu sesuatu ke seseorang yang dicintainya. Tidak seperti mulut yang suka berbohong, tapi hati tidak bisa berbohong, karena hati tahu kalau membohongi seseorang yang dicintainya sama saja menghianatinya.
Satu hari. Dua hari. Tiga hari. Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu berlalu, keadaan ku semakin memburuk, hampir semua anggota tubuhku tidak bisa digerakkan dan tidak bisa merasakan sesuatu. Pendengaranku semakin pudar. Bidadari itu selalu datang menjengukku. Dan selalu membisikkan kata-kata yang sama di telinga kanan ku. Tidak bisa ku membalas ucapannya, padahal aku ingin membalasnya.
Satu bulan berlalu, keadaan ku semakin memburuk. Sudah ku rasakan, tidak mungkin aku untuk kembali, bangun saja tidak bisa, apalagi berdiri tegak dan berjalan seperti sedia kala. Hembusan nafasku semakin pelan mengiringi suara EKG yang semakin pelan, kurasakan hawa dingin ditubuhku, hingga nafasku tidak berhembus lagi. Doker pun memberitahu keluargaku kalau aku sudah tiada.
Masih kudengar suara tangisan diruangan itu, dan tangisan bidadari semakin kencang dan mengarah ketelingaku.
“Kamu, iya kamu, aku mencintaimu. Walaupun kita belum jadian, tapi hatiku tidak bisa ku bohongi bahwa aku benar-benar mencintai mu. Aku percaya bahwa kau akan selalu melihatku dari atas sana. Tenang dan jangan nakal disana ya.”
Hujan pun turun sangat deras dan mulai membasahi pipiku, teringat waktu itu aku dengannya, walaupun kita belum pernah jadian. Mungkin ini hujan terakhir bagi ku. Mengundur kembali itu tidak mungkin. Melihat kedepan itu tidak mungkin. Hanya terdiam disini yang mungkin. Setelah itu pergi. Kembali menatap kelangit. Pergi jauh itu sangat sulit. Kembali pun tidak bisa. Dilakukan kembali pun tidak bisa. Kenangan yang mungkin akan diingat. Atau kenangan yang mungkin akan dilupakan. Hilang dimakan waktu atau pergi bersama tahun.
“Kamu kedinginan?” ujarku sambil memeluknya.
“ehh... kenapa kamu memelukku?” dia bertanya kepada ku.
“aku takut jika perempuan yang aku cintai itu jatuh sakit. Karena kamu yang telah memberitahu ku apa arti cinta sebenarnya” membalas pertanyaanya dengan lembut.
Satu menit. Sepuluh menit. Tigapuluh menit. Hujan pun enggan reda. Semakin erat pelukkan ku untuk menghangatkan tubuhnya, agar dia tidak jatuh sakit.
Satu jam kemudian, hujan mulai melemahkan airnya dan perlahan berhenti. Kamu yang terlanjur tertidur dibahuku, enggan aku untuk membangunkan mu. Aku pun percaya bahwa ada bidadari yang diberikan oleh tuhan itu tanpa sayap. Tidak bisa terbang, anggun, lemah lembut,... selebihnya keindahannya susah untuk diucapkan.
Perlahan-lahan kau mengetahui bahwa hujan itu sudah berhenti, kemudian kau bernjak bangun dari bahuku. Tidak ku sangka sudah terlalut malam kita berdua di halte ini.
“Hujannya sudah reda?” dia bertanya kepada ku.
“iya, sudah reda. Aku menunggu mu bangun, tidak enak rasanya kalau aku mengganggu mimpi di dalam tidur mu” jawab ku seraya beranjak dari bangku dan menyalakan motor.
“Maaf, aku ketiduran.” ujarnya kepada ku.
Ku segerakan membawanya pulang dan meminta maaf dan memberikan penjelasan kepada orang tuanya jika tadi turun hujan, hujan yang sangat deras.
Ke esokan hari, tubuh ku melemah. Mungkin karena semalam. Ku paksakan untuk pergi bersekolah.
“Sini sarapan dulu.” mamah yang menyuruhku sarapan pagi.
“iya mah” jawabku sambil berjalan ke meja makan.
Ku paksakan untuk menghabiskan sarapan pagi ku, walau terasa tidak enak di lidahku.
Bunyi bel, menandakan masuk kelas. Pagi ini adalah pelajarannya Bu Dewi, guru matematika disekolahku. Tiga puluh menit berlalu, tubuhku mulai lemah, aku tidak bisa menahan tubuhku lebih lama lagi, akupun terjatuh pingsan.
Bu Dewi menyuruh teman laki-laki untuk mengangkat dan membawa tubuh ke UKS, satu jam, dua jam berlalu aku tak kunjung sadar. Sehingga Bu Dewi menelpon ambulan untuk segera membawa ku ke rumah sakit. Dan segera dibawa ke ruangan ICU.
Orang tua ku kaget mendengar berita kalau aku masuk ke ruangan ICU. Tubuh ku terbaring lemah, mata ku tidak bisa kubuka, hanya telinga yang masih bisa mendengar suara orang disekitar. Karena riwayat penyakit jantung yang ku alami. Orang tua ku berdo’a dan terus berdo’a untuk kesembuhanku.
Keesokan harinya, seorang bidadari yang waktu itu tertidur dibahu ku datang untuk menjengukku. Aku tidak bisa menatap wajahnya lagi, hanya suara dia yang masih bisa ku dengar. Kemudian dia mengatakan sesuatu di telinga kananku.
“Kamu cepat sembuh ya, kalau kamu sakit siapa lagi yang bisa menghiburku jikalau aku sedih, siapa lagi yang memberikan ku kehangatan jikalau aku sakit.” ujarnya seraya meneteskan hujan yang dia jatuhkan ke atas pipi ku.
Hanya hatiku yang bisa menjawab semua pertanyaan itu. Aku tahu kalau hati tidak bisa mengeluarkan suara, tapi hati bisa memberitahu sesuatu ke seseorang yang dicintainya. Tidak seperti mulut yang suka berbohong, tapi hati tidak bisa berbohong, karena hati tahu kalau membohongi seseorang yang dicintainya sama saja menghianatinya.
Satu hari. Dua hari. Tiga hari. Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu berlalu, keadaan ku semakin memburuk, hampir semua anggota tubuhku tidak bisa digerakkan dan tidak bisa merasakan sesuatu. Pendengaranku semakin pudar. Bidadari itu selalu datang menjengukku. Dan selalu membisikkan kata-kata yang sama di telinga kanan ku. Tidak bisa ku membalas ucapannya, padahal aku ingin membalasnya.
Satu bulan berlalu, keadaan ku semakin memburuk. Sudah ku rasakan, tidak mungkin aku untuk kembali, bangun saja tidak bisa, apalagi berdiri tegak dan berjalan seperti sedia kala. Hembusan nafasku semakin pelan mengiringi suara EKG yang semakin pelan, kurasakan hawa dingin ditubuhku, hingga nafasku tidak berhembus lagi. Doker pun memberitahu keluargaku kalau aku sudah tiada.
Masih kudengar suara tangisan diruangan itu, dan tangisan bidadari semakin kencang dan mengarah ketelingaku.
“Kamu, iya kamu, aku mencintaimu. Walaupun kita belum jadian, tapi hatiku tidak bisa ku bohongi bahwa aku benar-benar mencintai mu. Aku percaya bahwa kau akan selalu melihatku dari atas sana. Tenang dan jangan nakal disana ya.”
Hujan pun turun sangat deras dan mulai membasahi pipiku, teringat waktu itu aku dengannya, walaupun kita belum pernah jadian. Mungkin ini hujan terakhir bagi ku. Mengundur kembali itu tidak mungkin. Melihat kedepan itu tidak mungkin. Hanya terdiam disini yang mungkin. Setelah itu pergi. Kembali menatap kelangit. Pergi jauh itu sangat sulit. Kembali pun tidak bisa. Dilakukan kembali pun tidak bisa. Kenangan yang mungkin akan diingat. Atau kenangan yang mungkin akan dilupakan. Hilang dimakan waktu atau pergi bersama tahun.
Quote:






ninjacucipiring dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.3K
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan