

TS
nellairfan
THEY -
Quote:
COVER


Quote:
PENDAHULUAN
"They" novel bercerita tentang keruwetan gugatan perdata berlatar belakang hukum para pelaku Lembaga Jasa Keuangan. Akan saya update setiap minggunya. Mohon bantuannya ya dan mohon maaf atas segala kekurangan.
Untuk kritik dan saran:
Instragram: @nellairfan
Gmail : nellairfan@gmail.com
Quote:
SPESIFIKASI KARYA
Judul Karya : THEY
Genre Karya : Romance, Thriller, Misteri
Diilhami oleh kisah nyata
Spoiler for Prolog:
PROLOG
Langit mulai meredup,
cahaya bersemburat jingga dari ufuk barat merambat hangat dalam hembusan angin Desa Jambu Kedung Paso, salah satu desa di Jawa tengah. Selayang pandang ada sesemakan, hamparan padi yang luas, gubuk-gubuk para petani dan warung-warung yang kecil dibangun seadanya dan goyah. Ditanah yang becek nan subur itu membeliak deretan mata makhluk-makhluk kecil yang menyeruak alam. Tatkala manusia melintasi melalui pematang sawah, sebagian dari makhluk kecil itu lari terbirit-birit lalu bersembunyi di balik batu, ada juga yang berhenti bersuara seolah kehadirannya tidak pernah ada. Begitu manusia-manusia itu hilang dari pandangan, semua dari mereka menyumbul kembali: kadal-kadal melompat dari balik batu, kepik muncul dari balik dedaunan, ketam mengambang kembali kepermukaan, jangkrik dan kodok-kodok sawah suaranya kembali menggetarkan udara.
“Sudah hampir 4 hari kita mengelilingi desa ini?” Kata Dewa. “Kuharap ini hari terakhir.”
“Ya.. Ya. Kuharap ini hari terakhir..” Kata Komandan Jo mengulangi, ia kemudian menghirup nafas dalam-dalam, “agar perjalanan dinasmu tidak sia-sia.”
Dewa sadar bahwa meski ucapannya di dengar namun segenap jiwa dan raga Komandan Jo terkosenstrasi pada sebuah foto yang dia pegang sejak menginjakkan kaki di Desa Jambu Kedung Paso, empat hari yang lalu. Foto itu memperlihatkan wanita berusia sekitar 45 tahun, dengan kelopak mata yang mengembung, mengernyit sipit ketika otot pipinya mendorong daging lingkaran matanya. Tatkala memori wajah wanita itu tersimpan, Komandan Jo bergerak berjalan masuk menuju kedai kopi yang dibangun di atas ruko, Dewa mengikuti.
Kedai Kopi itu kosong. Tidak lama setelah duduk, entah si empunya Kedai Kopi atau si pelayan itu muncul. Namun kemunculan wanita itu memperlihatkan wajah penuh syak wasangka dan kecurigaan ketika matanya bertumbuk pandang dengan dua pria tersebut. Wanita itu memilih untuk menunduk.
Seketika Dewa tertampar oleh kenyataan yang dia lihat: “ini bukan pepesan kosong.” Bisiknya kepada Komandan Jo.
“Sore sore ngombe kopi karo mangan gedang goreng koyone enak.” (Sore-sore bersama kopi hitam dan pisang goreng enak rasanya). Kata Komandan Jo Keras-keras. “Njaluk tulung cepakno, bu Dian?” (Bisa kamu siapkan itu, Ibu Dian?)
Nama Desa Jambu Kedung Paso berawal dari kemarahan seorang ulama bernama Ki Agung Alim. Diceritakan Ki Agung Alim memerintahkan kepada seluruh santri menyiapkan segala kebutuhan syukuran dengan memerintahkan para santrinya. Termasuk menyiapkan ikan dalam satu malam. Karena tidak bisa dipenuhi oleh para santrinya Ki Agung Alim sangat kecewa dan marah. Seketika itu, tiba-tiba datanglah angin yang sangat besar sehingga semua peralatan dapur yang digunakan memasak kebutuhan tumpengpun kocar-kacir. Peralatan dapur yang lainnya tersebar dimana-mana di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Desa Jambu. Dandangnya jatuh di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jambu Sedandang. Piringnya jatuh di daerah yang sekarang menjadi Jambu Ujung Piring. Kekepnya jatuh di daerah yang sekarang bernama Jambu Sekekep. Lampingnya jatuh di daerah yang sekarang bernama Jambu Kedung Lamping dan pasonya jatuh di daerah yang sekarang bernama Jambu Kedung Paso, tempat yang saat ini Dewa kunjungi bersama Komandan Jo. Nasi tumpengnyapun berubah menjadi gunung yang sekarang di kenal dengan gunung tumpeng: “Cerito bab Ki Agung Alim lan santri-santrine kui bener onone, Bu Dian?” (Cerita tentang Ki Agung Alim dan santri-santrinya itu benar, Bu Dian?) Tanya pria itu kembali.
Tubuhnya pendek dengan kulit putihnya masih kencang terawat, tidak seperti warga asli jawa tengah yang mayoritas berwarna sawo matang, gosong karena setiap hari harus pergi ke sawah. Sejak Dewa dan Komandan Jo datang, seolah matanya mengisrayatkan dirinya tidak lagi bisa mengelak, tidak kuasa lagi jika mengumpat - semua sudah terlambat, semua harus dia hadapi dengan sekuat tenaga agar tetap tenang – seolah tidak terjadi apa-apa. Namun semakin dia berusaha sekuat tenaga agar tenang, semakin aneh pula gelagatnya. “Kenapa wanita ini diam saja? Apa karena takut?” Pikir Dewa dalam hatinya.
Wanita itu berjalan ke meja pelanggannya, membawa dua cangkir yang masih mengepul, tercium aroma kopi sachet yang sering Dewa cium di kantor. Wanita itu menaruh di depan pelanggannya.
“Pie, Bu Dian? Koe ngerti ceritane Ki Agung Alim ian santri-santrine?” (Gimana, Bu Dian? Kamu tahukan cerita Ki Agung Alim dan santri-santrinya itu?) Ulang Komandan Jo.
“Tidak tahu.” gumam wanita itu pada akhirnya angkat bicara, “lagi pula namaku bukan Dian. Bapak salah orang mungkin.”
“Tuhanku.” Kata Komandan Jo, sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. “Kupikir ibu orang yang sedang aku cari di sini. Bayangkan Bu. Kami datang jauh-jauh dari Jakarta ke Semarang menghabiskan biaya tiket pesawat lebih dari satu juta. Dari Semarang ke Jepara sudah kami tempuh dua jam perjalanan menggunakan travel, setelah itu kami harus menumpang mobil bak sayur yang lewat untuk datang ke Desa Jambu Kedung Paso, di Desa ini tidak ada angkutan umum sekalipun, jadi dengan sangat amat terpaksa kami harus melambai-lambaikan tangan untuk mendapat tumpangan. Dan selama empat hari disini, kami selalu kehujanan di malam hari dan kepanasan di siang hari membuat kepala kami pusing. Setelah kami tahu bahwa Ibu bukanlah Ibu Dian Asyura yang kami maksud, maka semua perjalanan yang saya sebutkan satu persatu tadi itu terasa sia-sia.” Kata Komandan Jo kemudian diam sambil menunggu reaksi wanita itu.
Hening dan tidak ada jawaban. Dewa yakin ucapan Komandan Jo cukup didengar oleh wanita itu, pertanyaan Komandan Jo yang tidak mendapat sambutan membuat Dewa merasa tidak nyaman. Ia berdehem.
“Jadi ibu bukan Ibu Dian Asyura?” Polisi itu mempertegas.
Dari cara wanita itu memandangi mereka, tidak satupun banyolan Komandan Jo yang dia telan. Wanita itu hanya melihat mereka berdua dengan muka gugup. Segugup ucapannya: “Apakah gorengannya bisa saya lanjutkan tuan?”
Komandan Jo mengangkat kedua tanggannya tinggi-tinggi seolah semua ocehannya tidak berarti apa-apa. Toh wanita itu tetap menggoreng pisangnya hingga menimbulkan suara, “Cess.”
Komandan Jo mengambil cangkir dan menyeruputnya hingga menimbilkan suara berisik, kemudian ia mulai bicara ketika cangkirnya kembali ke posisi semula: “aku pernah membaca sebuah novel semi-klasik, judulnya The Chameleon ditulis dengan bahasa inggris setebal tiga ratus halaman lebih. Pernah baca atau tidak? Atau setidaknya pernah kamu tau itu, Wa?”
“Oh.. tidak pernah saya tahu itu Komandan.” Kata Dewa tergagap, karena tidak siap dengan trik-trik yang akan dimainkan oleh Komandan Polisi itu. “Bagaimana ceritanya?” katanya menambahkan.
“Tokoh utamanya seperti bunglon karena dia bisa mengubah kepribadian dan fisiknya secara cepat untuk membaur ke tempat dimana dia berada. Jika berada di tengah musisi jazz berkulit hitam, dia akan berubah menjadi negro yang jago bermain saksofon. Jika berada di tengah sekumpulan Yahudi bertubuh tambun, dia akan segera berubah menjadi rabbi obesitas.”
“Ah.. Apakah tokohnya seperti Mistique dalam film X-Men, Komandan?” Tanya Dewa spontan.
“Ya. Namun tidak se-epic Mistique itu. Novel ini dinilai sebagai sebuah karya fiksi – ilmiah, karena cerita dilihat dari sudut pandang dokter yang tertarik meneliti si manusia bunglon, sehinga penjabarannya menggunakan teknik-teknik psikoanalisa dalam psikoterapinya, melibatkan: alam bawah sadar, hipnotis, asosiasi bebas, dan lain-lain. Itu seperti buku psikologi namun dalam bentuk novel. Bahkan pertamakali saya membaca, saya menilai buku itu sangat mungkin terjadi. Namun ternyata itu hanya sebuah karangan fiksi yang tidak pernah dialami oleh siapapun dimanapun.”
“Oh..” gumam Dewa sambil berpikir keras “Siapa penulisnya?” Tanya Dewa untuk mengurangi ketegangan.
Komandan Jo setengah berfikir: “Basil Constant. Orang inggris. Saya menilai ini sebuah karya kontemporer, karena tokoh utamanya tidak memiliki identitas. Bayangkan jika kamu mengikuti sebuah cerita, setiap lembar karaternya berubah-ubah… Tentu akan terasa sangat membingungkan bukan? Nah… dicerita ini justru setiap kejadian tokoh utamanya selalu berubah dan beradaptasi dengan lingkungan barunya.”
Kini Komandan Jo bicara soal novel postmoderenis yang katanya bagus berjudul The Invisible Man, cerita tentang aseorang pria kulit hitam yang tidak kasat mata bagi orang kulit putih. Tokohnya sangat sulit dilihat dan diindentifikasi. Bahkan beberapakali dia tidak ingin difoto. Sekalinya ada yang mencoba untuk memfotonya, dia berkemuflase dan menyerupai dengan latar belakangnya, sehingga tokoh ini seperti tidak pernah ada. Dewa merasa ngantuk, seakan dia baru saja dijejali mata kuliah sastra oleh sahabatnya sendiri. Agar tidak salah tingkah Dewa mencoba meraba kopi hitamnya, untuk dia minum, namun enggan setelah tahu bahwa kopinya masih panas. Kini dia merasa sial, seolah-olah Komandan Jo sudah lupa alasan mengapa mereka datang ke Desa Jambu Kedung Paso ini. Sejak tadi dia bicara soal Manusia Bunglon, Manusia Tak Kasat Mata (Invisble Man) dan segala tetek bengek karya postmodern yang membuat Dewa jengah, bicaranya pun keras-keras pula, sementara wanita pemilik kedai ini menyimak pembicaraan kedua pria itu dengan penuh perhatian. “Apakah dia menunggu?” Dewa membatin.
“Komandan,” bisik pria muda itu pelan-pelan, ia merasa merasa gelisah dan inilah puncak kegelisahannya. “Apakah kisah Manusia Bunglon dan Invisible Man itu memberikan kita petunjuk tentang kasus ini?”
“Tentu saja itu memberikan kita petunjuk,” Kata Komandan dengan mata membelalak. “Kita memang tidak bicara soal manusia Bunglon yang dikarang-karang itu karena penyakit aneh,” mendadak ucapan Komandan Jo berhenti.
Dewa melihat mata Komandan Jo terang benderang dan kemudian membatin: “Ini saatnya!”
Wanita itu berjalan mendekat kearah pelanggan, membawa piring yang penuh gorengan, tatkala tangan pelayan wanita itu menaruh piringnya didepan meja, dengan cepat tangan kasar Komandan Jo menagkapnya, matanya melihat wanita itu dengan tatapan yang menusuk: “Kita bicara soal orang yang menjadi Bunglon karena UANG!!”
- Lanjut ke BAGIAN I - THEY di Index -
>>>
INDEX
Diubah oleh nellairfan 19-09-2017 23:07


anasabila memberi reputasi
1
1.9K
Kutip
11
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan