- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
OBET DAN BUKIT DARAH NAGA


TS
dini.hari
OBET DAN BUKIT DARAH NAGA
PART I
[Ilustrasi foto: dokumentasi pribadi]
PEMANDANGAN di sekeliling sungai Aurora menampakkan gradasi dari hijau muda ke tua. Bukan cuma padang rerumput nan subur terbentang layaknya permadani, tapi seluruh sudut juga dipenuhi pepohonan rindang.
Sungai Aurora terletak di selatan Bukit Agnosia. Untuk mencapainya, dari balik bukit kau harus jalan ke arah selatan sekitar 500 meter. Nanti akan kau temui turunan curam berkemiringan 90 derajat. Jalan terdekat menuju sungai dengan cara menyusuri turunan ini. Tapi jangan gegabah langsung menginjak turunan itu jika tak mau terperosok sebab tanahnya terlalu gembur sehingga sulit dipijak.
Jika sudah sampai di turunan tersebut coba kau tengok ke kanan dan berjalanlah 20 meter ke depan. Kau akan menemui pohon beringin raksasa. Akarnya menghujam dan ada bagian yang menyembul ke atas tanah secara teratur sampai ke bawah turunan tadi. Pijaklah setiap undakan akar Beringin itu hingga kau sampai ke bawah.
Tunggu dulu, walau sudah tiba di bawah kau belum langsung menemui Aurora. Sebab, sungai ini tersembunyi di balik jajaran pinus yang menjulang lebih dari 20 meter di atas lahan sehektar. Terabaslah hutan pinus itu.
Dan inilah… sungai Aurora yang kerap diceritakan kakek. Walau lumayan jauh dari rumah tapi, katanya, dia hampir tak pernah absen untuk singgah dan bermain dengan riak-riaknya. Aku paham apa alasannya, apa istimewanya sungai ini sehingga kakek keranjingan main kemari.
Nafasku lumayan tersengal setelah berjalan untuk mencapai bantaran sungai yang berpagar tebing-tebing rimbun dedaunan.
Baiklah, aku tak sabar merasai air di bawah sana. Kacamata air, lampu dahi, pipa untuk membantu bernapas, celana pendek, dan kaos yang ketat di tubuh sudah melekat dengan baik di tempatnya masing-masing. Kurapikan jeda nafas sembari melongok sekali lagi ke permukaan sungai delapan meter di bawahku. Berancang-ancang untuk lompat.
Satu… dua… tiga… byurrr!
*****
Begitulah Obet akhirnya menunaikan penasaran untuk mencicip dinginnya air sungai sedalam sekitar 10 meter itu. Kakeknya kerap menceritakan sensai loncat dari tebing setinggi 8 meter di sekeliling sungai dengan mendahulukan ubun-ubun menembus permukaannya. Dan akhirnya merasakan sesumbar si Kakek.
Pocus (sebutan benda serupa kacamata renang) dan lampu dahi membantu Obet melihat dengan jelas suasana di bawah permukaan. Ratusan ikan berkeliaran dalam berbagai warna, bentuk, ukuran, jenis. Ada yang berkelompok ada pula yang menyendiri. Ada yang seketika kabur mendapati sosok asing muncul, tapi ada juga justru tak segan mendekat.
Bebatuan sungai bergeming memecah arus sembari terselimuti lumut. Obet menarik napas dalam-dalam untuk menyelam lebih mendasar. Kini dia tahu, dasar sungai Aurora yang nampak dari atas sekedar bening menembus bebatuan dan karang, ternyata di dalamnya jauh lebih menarik.
“Wooww…” gumam bocah berumur tujuh tahun itu dalam hati.
Obet meloloskan sedikit oksigen yang tertampung di rongga mulut sehingga memunculkan gelembung udara. Ia menatap lebih seksama beberapa meter ke bawah sana. Wah, ada sosok bertelanjang dada tanpa pocus maupun lampu dahi. “Hebatnya!” batin Obet.
Dia coba mendekati sosok yang semakin dalam menyelam itu. Sayangnya, napas Obet mulai tersengal, pandangan semakin remang, dan lampu dahi kian terang. Penyelam di depan sana sadar ada Obet di atasnya dan mereka saling berlambai tangan.
Pria bertelanjang dada itu semakin turun ke bawah, Obet hendak mengikuti tapi napasnya tak mengizinkan. Dia memutuskan kembali ke permukaan.
Obet berusaha memperbaiki ritme jeda napasnya sembari memanjat tebing terendah yang mampu tergapai. Sekitar lima menit kemudian sosok penyelam tak berperalatan tadi menyusul. Mereka duduk berdampingan sembari cengar-cengir dengan tatapan bingung satu sama lain.
“Kak, kakak hebat sekali!,” akhirnya Obet memecah momen saling tatap itu. “Untuk sampai separuh dalamnya sungai itu, saya harus pakai beberapa perlengkapan. Tapi kakak tidak menggunakan apa-apa. Hebat sekali? Luar biasa. Bagaimana caranya kak?”.
Sosok yang dipanggil “kakak” itu menggeser pantatnya lebih dekat. Kini, Obet bisa merasakan orang tersebut masih terus-menerus berusaha mengatur napasnya, dadanya naik turun, napasnya dibantu rongga mulut.
Si Kakak memegang bahu lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Obet. Sekuat tenaga dia berteriak tapi yang terdengar hanya lirih, “Saya tenggelam dek!”
[bersambung]


Polling
Poll ini sudah ditutup. - 3 suara
Menurut Agan, apakah cerita ini menarik untuk dilanjutgan?
Ya
100%
Tidak
0%
Diubah oleh dini.hari 09-04-2017 22:58


anasabila memberi reputasi
1
2.1K
19


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan