BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Aung San Suu Kyi sangkal tudingan pembersihan etnis Rohingya

Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, 71 tahun.
Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, dengan gigih menyangkal bahwa pemerintahannya telah melakukan aksi pembersihan etnis terhadap minoritas Muslim Rohingya.

Keteguhannya itu bertentangan dengan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang justru menunjukkan hal sebaliknya.

Dalam hematnya, lansir The Guardian, Rabu (5/4), frasa pembersihan etnis terlalu berlebihan untuk melukiskan kondisi di Provinsi Rakhine, wilayah tempat orang-orang Rohingya berdiam.

"Saya rasa tak ada aksi pembersihan etnis yang tengah berlangsung," ujarnya. "Agaknya istilah pembersihan etnis terlalu kuat dipakai untuk menggambarkan apa yang terjadi (di Rakhine)".

Banyak pihak sebenarnya telah mendesak perempuan berusia 71 tahun itu untuk bersuara ihwal penderitaan masyarakat Rohingya.

Namun, ia justru mengatakan bahwa "permintaan semacam itu telah diajukan sejak 2013 ketika konflik kembali merebak di Rakhine...Saya tak membuat pernyataan (tentang derita Rohingya)--hal yang orang pikir mesti saya buat--berisi kutukan atas suatu masyarakat atau hal lain".

Rohingya adalah golongan masyarakat yang tidak diakui oleh warga negara oleh pemerintah Myanmar. Selama berpuluh-puluh tahun tinggal di Provinsi Rakhine, minoritas yang jumlahnya berkisar 1,1 juta orang itu senantiasa mengalami perlakuan buruk.

Lebih dari 120 ribu orang Rohingya terpaksa kehilangan rumah akibat kekerasan fatal yang bermula pada 2012. Sebagian besar dari mereka masih hidup di lokasi-lokasi pengungsian dengan kondisi buruk tanpa layanan kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan hak-hak dasar.

Pada 9 Oktober 2016, militer Myanmar meluncurkan serangan di Provinsi Rakhine bagian utara setelah sejumlah terduga anggota kelompok Islam garis keras menyerbu pos perbatasan dan menewaskan delapan polisi.

Siegfried O. Wolf, seorang peneliti dari South Asia Democratic Forum (SADF) di Brussels, Belgia, mengatakan masalah orang Rohingya bukan cuma bersumber dari pemerintah.

Menurutnya, Rohingya dianggap sebagai saingan tambahan bagi komunitas warga Rakhine--yang merasa didiskriminasi secara budaya, tereksploitasi secara ekonomi, dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat--sekaligus ancaman bagi identitas mereka sendiri.

"Kelompok Rakhine merasa dikhianati secara politis, karena warga Rohingnya tidak memberikan suara bagi partai politik mereka. Ini menyebabkan tambah runcingnya ketegangan. Sementara itu, pemerintah tidak mendorong rekonsiliasi, melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber alam tersebut," ujar Wolf dikutip Deutsche Welle.

Dalam hematnya, derita Rohingya tidak hanya bersumber dari urusan agama belaka, tapi juga bersinggungan dengan aspek politik dan ekonomi.

"Rakhine adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin," ujarnya. "Jadi, warga Rohingya dianggap beban ekonomi tambahan jika mereka bersaing untuk mendapat pekerjaan dan kesempatan untuk berbisnis".

Sementara, sebagian besar lahan pekerjaan dan bisnis di Rakhine dikuasai kelompok elite Myanmar.

Human Rights Watch (HRW) pada 2016 melaporkan bahwa 820 bangunan di lima desa Rohingya dihancurkan pada 10 - 18 November.

Laporan itu bersandar kepada tangkapan citra satelit terbaru, dan pada gilirannya menambah jumlah bangunan yang telah dihancurkan menjadi 1.250 unit.

"Sejumlah citra satelit itu menegaskan bahwa penghancuran desa-desa Rohingya jauh lebih besar dan luas ketimbang pengakuan pemerintah," ujar Brad Adams, direktur Human Rights Watch wilayah Asia.

Menurutnya, pemerintah Myanmar harus menggelar penyelidikan dan menjatuhkan hukuman bagi pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab melakukan kejahatan tersebut.

Dalam laporan HRW, pemerintah menyebut pelaku penumpasan adalah teroris.

Laporan mengenai kehancuran desa-desa itu berbarengan dengan upaya ratusan orang Rohingya menyeberang ke Bangladesh demi menghindar kejaran militer.

Suu Kyi, seorang peraih Hadiah Nobel Perdamaian, banyak dicela karena menutup mulut atas problem Rohingya.

"Saya cuma politikus," katanya. "Saya memang tak banyak mirip Margaret Thatcher. Tapi, di sisi lain, saya bukan pula Bunda Teresa," ujarnya dikutip Time.com menyebut mantan Perdana Menteri Inggris dan pejuang kemanusiaan India.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...etnis-rohingya

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Memberi keterangan palsu, Miryam menjadi tersangka

- Singgung unjuk rasa, Pepsi dan Kendall Jenner banjir kritik

- Kesaksian Novanto dan Anas Urbaningrum di sidang e-KTP

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
27.3K
229
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan