Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dos12Avatar border
TS
dos12
Agama Awal Manusia Adalah Monoteisme
Oleh: Zenith Harris Merrill
© 1997-2002
(Sumber: www.bloomington.in.us)


Bukti ilmiah berikut, bahwa pengetahuan dan keyakinan terawal manusia kepada satu Tuhan Pencipta merupakan agama awal bumi ini, berasal dari The A.B.C. of Biblical Archeology, berkenaan dengan bukti monoteisme di zaman kuno, karangan Dr. Clifford Wilson MA, BD, MREd, PhD, mantan Direktur Australian Institute of Archeology.

Monoteisme dikenal di masa yang sangat awal. The Egyptian Book of the Dead menunjukkan bahwa bangsa Mesir mulanya meyakini satu Tuhan agung dan bukan banyak tuhan. Seiring berjalannya waktu, masing-masing atribut Tuhan sejati itu dipersonifikasikan sebagai dewa baru dan tersendiri – dan begitulah politeisme berkembang.

Pandangan tersebut didokumentasikan dengan baik oleh Egyptolog ternama, Sir Wallis Budge, dalam buku paling terkenalnya, The Book of the Dead. Berikut adalah pernyataan-pernyataan dari The Book of the Dead mengenai atribut-atribut Tuhan sejati, dipilih dari The Papyrus of Ani: “Himne untuk Amen-Ra…kepala semua dewa…Raja langit…Raja Kebenaran…pencipta manusia; pencipta makhluk…Ra, yang perkataan-Nya adalah kebenaran, Pengatur dunia, Tuhan keberanian yang kuasa, ketua yang menjadikan dunia sebagaimana Dia menjadikan diri-Nya sendiri. Wujud-Nya lebih banyak daripada wujud dewa manapun… Segala puji bagi-Mu, wahai Pencipta Dewa-dewa, yang telah membentangkan langit dan mendirikan bumi!… Raja kekekalan, pencipta keabadian…pencipta cahaya…

Dia mendengar doa orang yang tertindas, Dia baik kepadanya yang telah memohon pada-Nya, Dia membebaskan orang yang ketakutan itu dari penindas… Dia adalah Raja pengetahuan, dan Kebijaksanaan adalah ucapan mulut-Nya. Dia menjadikan tanaman hijau [sehingga] ternak hidup, dan [menjadikan] bahan pokok kehidupan [sehingga] manusia hidup. Dia menjadikan ikan hidup di sungai-sungai, dan [menjadikan] burung di langit. Dia memberi kehidupan kepada mereka yang berada dalam telur… Segala penghormatan bagi-Mu, wahai Engkau pencipta semua ini, Engkau SATU-SATUNYA. Dalam kekuasaan-Nya, Dia mengambil banyak wujud.”

Wallis Budge menyatakan: “Setelah membaca sari di atas, mustahil kita tidak menyimpulkan bahwa ide bangsa Mesir kuno mengenai Tuhan adalah ide mengenai karakter yang amat mulia, dan jelas bahwa mereka membedakan secara tajam antara Tuhan dan “dewa-dewa”… Jadi di sini kita punya Satu Tuhan yang self-created (terwujud dengan sendirinya), self-existent (eksis dengan sendirinya), dan Maha Kuasa, yang menciptakan alam semesta.”

Wallis Budge memandang monotesime sebagai keyakinan asli Mesir yang terkorupsi menjadi politeisme. Dia berargumen secara meyakinkan bahwa berbagai atribut satu Tuhan agung diubah menjadi dewa-dewa lain yang lebih rendah. Budge menyatakan: “Faktanya bagi saya adalah bahwa agama Mesir tak pernah sama sekali kehilangan unsur monoteistis yang pernah dimilikinya.” Dia menyatakan kemiripan dengan monoteisme bangsa Hebrew. Politeisme kasar berkembang dalam sejarah Mesir, dengan peningkatan jumlah dewa. Ini merupakan konfirmasi tak langsung atas adanya permulaan dengan monoteisme – bukan “banyak dewa”.

Para cendekiawan lain mendukung argumen Sir Wallis Budge, dan dia sendiri mengutip ahli lainnya. Satu contoh: “Sebagai hasil dari studi mereka atas teks-teks Mesir, banyak Egyptolog terdahulu, semisal Champollion-Figeac, de Rouge, Pierret, dan Brugsch tiba pada kesimpulan bahwa penghuni di Lembah Nil, sejak masa terawal, meyakini eksistensi satu Tuhan, yang tak bernama, tak dapat dimengerti, dan kekal.” (hal. 105)

Sir Flinders Petrie, Egyptolog ternama terdahulu, berbagi kesimpulan yang sama ini. Dalam The religion of Ancient Egypt, diterbitkan oleh Constable, London, 1908, dia menulis: “Dalam agama-agama dan teologi-teologi kuno terdapat golongan-golongan dewa yang sangat berlainan. Beberapa ras, sebagaimana Hindu modern, bersukaria dengan keberlimpahan dewa dan dewi yang terus-menerus bertambah, dan betul-betul berjumlah jutaan. Yang lain…tidak berupaya menyembah dewa-dewa agung, tapi berurusan dengan sekumpulan besar roh animistis, setan, atau apapun kita menyebutnya… Tapi semua pengetahuan kita tentang kedudukan dan sifat awal dewa-dewa agung itu menunjukkan bahwa mereka berdiri di atas pijakan yang sama sekali berbeda dengan bermacam-macam roh ini.

Seandainya konsepsi satu tuhan hanyalah evolusi dari penyembahan roh, semestinya kita menemukan penyembahan banyak tuhan yang mendahului penyembahan satu Tuhan… Apa yang kita temukan adalah sebaliknya, monoteisme merupakan taraf pertama yang tertelusuri dalam teologi…

Ke manapun kita menelusuri politeisme sampai taraf terawalnya, kita menemukan bahwa itu dihasilkan dari kombinasi monoteisme. Di Mesir, bahkan Osiris, Isis, dan Horus, yang begitu familiar sebagai tiga serangkai, mulanya didapati sebagai unit terpisah dalam kedudukan berlainan: Isis sebagai dewi perawan, dan Horus sebagai Tuhan yang eksis dengan sendirinya.

Tiap-tiap kota kelihatannya memiliki satu dewa, dan kemudian [dewa-dewa] lainnya ditambahkan. Demikian halnya, kota-kota Babilonia masing-masing memiliki dewa tertinggi, dan kombinasi ini serta transformasi mereka menjadi kelompok-kelompok saat kampung halaman mereka menyatu secara politik menunjukkan bagaimana pada dasarnya mereka mulanya adalah dewa-dewa tersendiri.”

Bangsa Lain Juga Monoteis

Bangsa lain juga awalnya monoteis, mengenal satu Tuhan sejati saja. Almarhum Dr. Arthur C. Custance menulis sebuah seri berjudul The Doorway Papers (Brockville, Ontario, Canada). Dalam Paper 34, dia memberi bukti untuk menunjukkan bahwa ini terjadi pada banyak bangsa semacam itu, bertentangan dengan pandangan banyak cendekiawan.

Banyak dari cendekiawan ini berpegang pada politeisme, bukan monotesime, sebab mereka percaya bahwa manusia berevolusi naik [menuju lebih baik] dalam bidang-bidang seperti perkembangan fisik, hubungan sosial, kapasitas intelektual, dan pemahaman spiritual.

Faktanya, manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, awalnya sempurna (sebelum kejatuhannya), dan memiliki pemahaman sangat jernih akan sifat Tuhan, Yang sebetulnya merupakan Temannya. Tak ada evolusi agama – yang ada justru devolusi agama, dan pembelotan dari hubungan yang pernah dinikmati manusia.

Dr. Arthur Custance menguraikan argumen, dan dia menjelaskan bahwa mulanya cendekiawan yang memeriksa riwayat bangsa-bangsa kuno: “…mendapati diri berurusan dengan dahsyatnya jumlah dewa dan dewi dan kekuatan spiritual lain yang lebih rendah yang tampaknya selalu saling berperang dan, kebanyakan, amat destruktif.”

Dia lebih jauh menyatakan: “Namun, begitu lembaran-lembaran yang lebih purba digali dan diterangkan, dan ketrampilan dalam menguraikannya meningkat, gambaran pertama politeisme kasar mulai diganti oleh sesuatu yang lebih hampir mendekati hirarki makhluk-makhluk halus yang tersusun ke dalam semacam pengadilan dengan satu Entitas Tertinggi di atas mereka semua.” (hal. 3)

Monoteisme Mendahului Politeisme
Dr. Custance juga mengutip cendekiawan lain. Contoh, dia mengutip Stephen Langdon dari Oxford yang menulis pada 1931, dalam Semitic Mythology. Stephen Langdon juga tahu penuh bahwa kesimpulannya akan tidak dapat diterima oleh “penguasa”.

Stephen Langdon percaya bahwa monoteisme mendahului politeisme. Dia mengemukakan pendiriannya dengan sangat jelas: “Menurut pendapat saya, sejarah peradaban tertua manusia adalah kemerosotan pesat dari monoteisme menuju politeisme ekstrim dan keyakinan pada roh jahat. Ini sejatinya adalah sejarah kejatuhan manusia.” Stephen Langdon masih terus memegang pandangan tersebut, lima tahun kemudian, dalam The Scotsman, 18 November 1936:

“Sejarah agama Sumeria, yang merupakan pengaruh budaya paling kuat di dunia kuno, bisa ditelusuri lewat prasasti fotografis hingga konsep keagamaan terawal manusia. Bukti-bukti tak salah lagi menunjuk pada sebuah monoteisme awal, prasasti dan peninggalan sastra bangsa-bangsa Semit tertua juga mengindikasikan monoteisme primitif, dan asal-usul patung agama Hebrew dan agama-agama Semit lainnya kini sama sekali tak dapat dipercaya.”

Tuhan Yang Maha Esa Disembah
Tidak semua cendekiawan menerima pendekatan tersebut – itu bertentangan dengan pandangan penguasa mengenai evolusi agama. Namun, meski terdapat argumen yang menentang, Dr. Custance menunjukkan bahwa penggalian berikutnya di Tell Asmar (Eshnunna), beberapa mil di selatan Baghdad modern, telah mengkonfirmasi pandangan Langdon.

Sekali lagi, Dr. Custance mengutip cendekiawan lain. Yaitu Dr. Henry Frankfort, dalam laporan pendahuluan ketiganya tentang penggalian itu: Selain hasil yang lebih nyata, penggalian kami telah membuktikan sebuah fakta baru, yang akan harus dipertimbangkan oleh peneliti agama-agama Babilonia. Kami telah memperoleh, untuk pertama kalinya sepanjang pengetahuan kami, material keagamaan yang utuh dalam suasana sosialnya.

“Kami memiliki banyak sekali bukti koheren, diperoleh dalam jumlah yang sama dari sebuah kuil dan dari rumah-rumah yang dihuni oleh orang-orang yang melakukan penyembahan di kuil tersebut. Jadi kami sanggup menarik kesimpulan, yang tak dimungkinkan oleh temuan itu sendiri.

Contoh, kami menemukan bahwa gambar-gambar pada sumbat silinder (cylinder seal), yang biasanya terkait dengan beragam dewa, semuanya bisa dicocokkan menjadi gambaran konsisten di mana satu tuhan yang disembah di kuil ini merupakan figur sentral. Tampaknya pada periode awal ini berbagai aspek-Nya tidak dianggap sebagai dewa-dewa terpisah di kuil Sumeria-Akkadia.”

Argumen mengenai monoteisme awal ini juga berlaku untuk kebudayaan lain. Dr. Custance mengutip dari Max Muller, cendekiawan Jerman yang merupakan “salah satu ahli paling dikenal di bidang ini”. Dia menulis dalam Lecture on the Science of Language (Scribner, New York, 1875): “Mitologi, yang merupakan kutukan dunia kuno, sesungguhnya adalah penyakit bahasa. Sebuah mitos artinya sebuah kata, tapi kata yang, dari sebagai nama atau atribut, telah diperkenankan memangku eksistensi yang lebih substansial. Kebanyakan dewa-dewa Yunani, Romawi, India, dan bangsa penyembah berhala lainnya tak lain adalah nama-nama puitis belaka, yang lambat-laun diperkenankan memangku kepribadian ilahi yang tak pernah terpikirkan oleh penemu aslinya.

Eos adalah nama pertama sebelum dia menjadi dewi, isteri Tithonos, atau ‘hari yang hampir lenyap’. Fatum, atau Fate, mulanya berarti ‘yang telah diucapkan’, dan sebelum Fate menjadi sebuah kekuatan, bahkan lebih besar dari Yupiter, ia berarti ‘yang pernah diucapkan oleh Yupiter’, dan tak pernah bisa diubah – bahkan oleh Yupiter sendiri.

Zeus mulanya berarti ‘surga yang terang’, dalam Sanskrit Dyaus; dan banyak kisah menunjukkan dia sebagai dewa tertinggi, hanya memiliki arti sebagai ‘surga yang terang’, yang sinarnya, layaknya hujan emas, turun ke pangkuan bumi, Danae lampau, yang ditahan oleh ayahnya itu di penjara gelap musim dingin.

Tak ada yang ragu bahwa Luna sebetulnya adalah nama bulan; begitu pula dengan Lucina, keduanya berasal dari kata lucere, artinya bersinar. Hecate juga merupakan nama lama untuk bulan, feminin untuk Hekatos dan Hekatebolos, matahari yang bersinar jauh; dan Pyrrha, Hawa-nya bangsa Yunani, tak lain adalah nama tanah merah, dan khususnya Thessaly. Penyakit mitologi ini, meski kurang mematikan dalam bahasa modern, sama sekali belum punah.”

Dr. Custance menyatakan (hal. 10), “Betapapun sedikit Muller membagi pandangan Kristen tentang sejarah spiritual manusia, dia mengakui: ‘Terdapat monoteisme yang mendahului politeisme Weda; dan bahkan dalam pemanggilan tak terkira banyaknya dewa, ingatan tentang Tuhan, yang maha esa dan maha kuasa, menerobos kabut fraseologi musyrik layaknya langit biru yang tersembunyi oleh awan yang melintas.” (Dikutip dari History of Sanskrit Literature)

[[Bersambung...]]
Diubah oleh dos12 05-04-2017 01:38
0
13.1K
121
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan