- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Merindu Langit (Sebuah kebencian dan dendam, kepada langit)


TS
archanium
Merindu Langit (Sebuah kebencian dan dendam, kepada langit)
Halo semua
Lagi belajar nulis nih, karya pertama yang saya publish di kaskus
Cerita ini ada di wattpad saya juga,
ini linknya
--------------------------------------------------------
Peristiwa itu terjadi sudah lama, tak ada lagi orang hidup yang tahu persis bagaimana mulanya batu itu tiba. Semua hanya desas-desus, mitos, gosip, atau bahkan dongeng yang diceritakan dari mulut ke mulut. Banyak yang bilang, batu itu adalah bintang jatuh, meteorit, pecahan bulan merah, yang terlempar dari langit dan ditakdirkan menjaga desa kecil kami. Sebuah desa kecil nan subur, dengan bukit berpunuk-punuk tersebar di sekeliling desa, serta hutan pinus yang kian hari kian menipis, dan tak lupa, Sungai Ulo, sumber kehidupan kami, berkah untuk pertanian kami.
Batu itu bernama Watu Langit, berwarna hitam, tak sepekat obsidian, tapi lebih gelap jika dibanding dengan granit. Besarnya sebesar kepala pria dewasa, dengan boncelan lubang disana-sini. Tetua desa meletakkannya di puncak bukit Watu, dibungkus kain putih, di dalam kotak kayu jati cokelat berukiran tiga anak gajah dan seorang bocah laki-laki berpakaian ningrat. Sebuah bangunan kecil dibangun diatas bukit, batu-batu kali yang besar-besar sebagai pondasinya, dengan dinding bata sebagai bangunan utamanya. Bangunan ini selalu terkunci rapat, satu-satunya yang bisa membukanya adalah kepala desa kami, pak Tejo. Beliau mewarisi kuncinya dari bapaknya, yang dulunya juga kepada desa.
Aku masih berumur sebelas ketika semuanya bermula. Seseorang mengetuk pintu rumah kami dengan tak sabar menjelang tengah malam. Ketukannya terdengar jelas di rumah kami yang sempit, menggema di setiap dinding bambu rumah kami. Aku terbangun paling akhir, karena kulihat bapak sudah bergegas menuju pintu, sementara Emak mengekor di belakang, tampak cemas dan lelah.
Kuputuskan untuk turun dari ranjangku, yang selalu berderit setiap kali aku naik atau turun darinya. Ini tak biasa. Belum pernah aku melihat ada tamu yang datang selarut ini, dan dari keributan yang sampai menembus dinding kamarku, ku duga pasti mereka lebih dari sepuluh orang.
Ku dengar suara emak berteriak marah, diikuti dengan suara saling sahut, lalu cacian, bentakan. Semakin bingung, aku melompat keluar dari kamarku yang hanya diterangi cahaya muram dari lampu minyak di atas meja reyot. Aku melihat seorang bertubuh besar dan tinggi, dengan gigi menggemeretak, dimana tangan kanannya yang kekar mencengkeram leher bapak sekuat tenaga. Emak histeris dan memukul-mukul lengan pria yang mencekik bapak.
"Demi tuhan, suamiku tak pernah menyentuh batu itu. Kami menghormati batu itu sama besarnya seperti kalian, tak pernah terbersit di pikiran kami untuk mencurinya."
Ya tuhan. Watu Langit dicuri. Dan bapak dituduh telah mencurinya. Dari balik tubuh pria itu, samar-samar kulihat banyak pria lain, sebagian aku yakin mengenalnya, sebagian lagi aku tak begitu ingat. Mereka membawa obor, dan bilah-bilah kayu, menggeram marah, meneriaki bapak yang tampak sesak dan kesakitan.
"Lepaskan suamiku!" Emak kembali menegang, kerutan diwajahnya kian nampak, matanya berkilat karena marah dan airmata.
Akhirnya cengkeraman di leher bapak dilepas, pandangan pria itu menusuk tajam kepada Emak. Tapi kelihatannya Emak tak gentar, balas menatap sama tajamnya, serta bibir gemetar penuh kemarahan. Sementara bapak terbatuk-batuk memegangi lehernya, wajahnya memucat, hampir sepucat rambut berubannya.
Aku tak tega, tapi aku benar-benar takut. Emak melihatku beringsut-ingsut di balik tiang bambu penyangga rumah kami. "Banyu, masuk!" perintahnya segera. Aku bergeming, hingga kudengar pria yang tadi mencekik bapakku berbicara dengan suaranya yang berat dan kasar.
"Kami punya saksi. dan kami yakin Bagya lah yang mengambilnya. Tak salah lagi."
Itu nama bapakku, dan beliau sekarang menggeleng tak percaya. "Kalian pasti salah, karena aku sejak pagi berada di ladang, tanyakan saja pada Banyu, dia membantuku seharian."
Aku ingat, dan bapak memang benar. Tak mungkin bapakku yang selama ini selalu mengajariku nilai kejujuran akan berbohong. Pula, lebih tak masuk akal lagi kalau sampai bapak mencuri batu yang dikeramatkan oleh desa ini.
"Be-benar, a-aku bersama bapak sejak pagi." Entah keberanian dari mana, tahu-tahu suaraku sudah menggema di ruangan, meski terpatah-patah.
Emak masih memelototiku tajam, aku menunduk menghindari pandangannya dan pria berbadan besar yang tampaknya juga teralihkan tatapannya kepadaku.
Pria itu berdeham, lalu memberi isyarat agar para rombongannya diam sejenak, lalu memerintah dengan ayunan sebelah lengannya sembari berseru, "Geledah! Geledah rumah ini! Jangan lewatkan barang sejengkal pun"
Usaha emak dan bapak untuk menghentikan pria-pria kasar itu sia-sia, kami harus pasrah melihat meja dan kursi rumah kami ditengkurapkan, hingga beberapa kaki meja patah, belum lagi rak piring yang diobrak-abrik, dan tentu saja, lemari baju yang jumlahnya hanya ada dua pun tak luput dari mereka.
Aku ingin menangis saat Emak dan Bapak datang memelukku erat, aku juga dapat merasakan gemetar di lengan mereka, ketakutan yang bercampur dengan kemarahan.
"Ketemu!"
Salah seorang dari mereka berseru dengan sumringah, semua mata tertuju kepadanya, tak membuang waktu, Ia meraih ke bawah kolong ranjang Bapak dan menarik sebuah batu gelap bopeng yang sangat kami kenali.
Emang menatap bapak tak percaya. Begitu pula aku.
Bapak menggeleng, bibirnya gemetar, dan matanya berkaca-kaca. "Seseorang mencoba memfitnahku! Ini fitnah keji!"
Pembelaannya tak berarti apa-apa, toh akhirnya bapak tetap diseret para gerombolan itu, kedua tangannya diikat dipunggung, sementara aku dan Emak terpaku di sudut ruangan, melihat bapak yang perlahan menghilang dari hadapan kami.
Mereka pergi, samar-samar kudengar teriakan, "Bakar! Bakar! Bakar!"
Kenapa Emak diam saja? Kenapa dia membisu? Kalau begini siapa yang akan menolong bapak dari fitnah yang amat kejam ini?
"Mak, lebih baik kita mengadu ke kepala desa. Kasihan Bapak, kita harus menolong Bapak."
Emak menggeleng putus asa, airmatanya tak terbendung, yang dilakukannya hanya memelukku semakin erat. "Bapakmu sudah mati. Sudah terlambat, tidak ada yang bisa menolongnya, tak satupun."
"Tapi, mak, kalau kita pergi ke rumah Pak Tejo sekarang, kita pasti sempat..."
"Percuma, Banyu, Percuma. Asal kau tahu, ini tidak lain adalah rencana kepala desa biadab itu." Emak membuang muka, napasnya memburu, lalu melanjutkan lagi, "Kau tahu kenapa tidak pernah ada kisah pemberontak di desa kita ini? Kau tahu kenapa tak pernah ada yang tak setuju dengan kepala desa kita? tak peduli seberapa tak masuk akalnya keputusannya. Kau tahu, Banyu?"
Aku menggeleng, tak mengerti.
"Watu Langit itu omong kosong! Watu Langit tak pernah memberikan apa-apa kepada kita, Ia hanya benda mati yang dijadikan alat kekuasaan untuk Pak Tejo. Semua cerita tentang batu yang menentukan siapa yang layak menjadi pemimipin desa ini adalah kebohongan! Watu langit? Dia tak punya kekuatan untuk membawa bencana meski kita tak lagi memnyembahnya, dia akan selamanya menjadi batu. Batu yang bisu, tuli, dan tak berakal. Selamanya begitu."
Semuanya berubah menjadi jelas sekarang. Sejernih air sungai Ulo yang setiap sore kuseberangi demi pergi ke ladang peninggalan kakek.
"Kalau saja ayahmu tidak lancang berniat menggantikan Pak Tejo menjadi kepala desa, kalau saja..." Emak tak kuasa lagi melanjutkan kata-katanya.
Kubiarkan dia menangis. Bukannya tak peduli, tapi aku ingin Emak menguras seluruh kepedihannya sekarang, hingga nanti yang tersisa hanya semangat perjuangan untuk hidup. Dalam diam aku berjanji, bahwa bapak tidak akan meninggal dalam kesia-siaan, tangisan Emak tak akan terbuang hampa, aku bersumpah, akan kugunakan setiap tetes keringat, darah, dan asa, demi membalas dan mengungkap perbuatan keji yang terjadi di depan mataku ini.
Itulah mulanya, bagaimana kebencianku terhadap desa ini terlahir dan terpupuk subur setiap harinya. Setiap hari aku memikirkan tentang pembalasan, keadilan, dan hukuman. Bapak boleh jadi telah mati, tapi sejatinya Ia terlahir kembali, dalam diriku, dan jauh lebih kuat.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua feedback sangat dihargai
Kritik dan saran ditunggu ya, baik dari segi kepenulisan atau tata setting thread.
terima kasih.
Lagi belajar nulis nih, karya pertama yang saya publish di kaskus
Cerita ini ada di wattpad saya juga,
ini linknya
Spoiler for Link Wattpad:
--------------------------------------------------------
Satu
Watu langit
Watu langit
Peristiwa itu terjadi sudah lama, tak ada lagi orang hidup yang tahu persis bagaimana mulanya batu itu tiba. Semua hanya desas-desus, mitos, gosip, atau bahkan dongeng yang diceritakan dari mulut ke mulut. Banyak yang bilang, batu itu adalah bintang jatuh, meteorit, pecahan bulan merah, yang terlempar dari langit dan ditakdirkan menjaga desa kecil kami. Sebuah desa kecil nan subur, dengan bukit berpunuk-punuk tersebar di sekeliling desa, serta hutan pinus yang kian hari kian menipis, dan tak lupa, Sungai Ulo, sumber kehidupan kami, berkah untuk pertanian kami.
Batu itu bernama Watu Langit, berwarna hitam, tak sepekat obsidian, tapi lebih gelap jika dibanding dengan granit. Besarnya sebesar kepala pria dewasa, dengan boncelan lubang disana-sini. Tetua desa meletakkannya di puncak bukit Watu, dibungkus kain putih, di dalam kotak kayu jati cokelat berukiran tiga anak gajah dan seorang bocah laki-laki berpakaian ningrat. Sebuah bangunan kecil dibangun diatas bukit, batu-batu kali yang besar-besar sebagai pondasinya, dengan dinding bata sebagai bangunan utamanya. Bangunan ini selalu terkunci rapat, satu-satunya yang bisa membukanya adalah kepala desa kami, pak Tejo. Beliau mewarisi kuncinya dari bapaknya, yang dulunya juga kepada desa.
Aku masih berumur sebelas ketika semuanya bermula. Seseorang mengetuk pintu rumah kami dengan tak sabar menjelang tengah malam. Ketukannya terdengar jelas di rumah kami yang sempit, menggema di setiap dinding bambu rumah kami. Aku terbangun paling akhir, karena kulihat bapak sudah bergegas menuju pintu, sementara Emak mengekor di belakang, tampak cemas dan lelah.
Kuputuskan untuk turun dari ranjangku, yang selalu berderit setiap kali aku naik atau turun darinya. Ini tak biasa. Belum pernah aku melihat ada tamu yang datang selarut ini, dan dari keributan yang sampai menembus dinding kamarku, ku duga pasti mereka lebih dari sepuluh orang.
Ku dengar suara emak berteriak marah, diikuti dengan suara saling sahut, lalu cacian, bentakan. Semakin bingung, aku melompat keluar dari kamarku yang hanya diterangi cahaya muram dari lampu minyak di atas meja reyot. Aku melihat seorang bertubuh besar dan tinggi, dengan gigi menggemeretak, dimana tangan kanannya yang kekar mencengkeram leher bapak sekuat tenaga. Emak histeris dan memukul-mukul lengan pria yang mencekik bapak.
"Demi tuhan, suamiku tak pernah menyentuh batu itu. Kami menghormati batu itu sama besarnya seperti kalian, tak pernah terbersit di pikiran kami untuk mencurinya."
Ya tuhan. Watu Langit dicuri. Dan bapak dituduh telah mencurinya. Dari balik tubuh pria itu, samar-samar kulihat banyak pria lain, sebagian aku yakin mengenalnya, sebagian lagi aku tak begitu ingat. Mereka membawa obor, dan bilah-bilah kayu, menggeram marah, meneriaki bapak yang tampak sesak dan kesakitan.
"Lepaskan suamiku!" Emak kembali menegang, kerutan diwajahnya kian nampak, matanya berkilat karena marah dan airmata.
Akhirnya cengkeraman di leher bapak dilepas, pandangan pria itu menusuk tajam kepada Emak. Tapi kelihatannya Emak tak gentar, balas menatap sama tajamnya, serta bibir gemetar penuh kemarahan. Sementara bapak terbatuk-batuk memegangi lehernya, wajahnya memucat, hampir sepucat rambut berubannya.
Aku tak tega, tapi aku benar-benar takut. Emak melihatku beringsut-ingsut di balik tiang bambu penyangga rumah kami. "Banyu, masuk!" perintahnya segera. Aku bergeming, hingga kudengar pria yang tadi mencekik bapakku berbicara dengan suaranya yang berat dan kasar.
"Kami punya saksi. dan kami yakin Bagya lah yang mengambilnya. Tak salah lagi."
Itu nama bapakku, dan beliau sekarang menggeleng tak percaya. "Kalian pasti salah, karena aku sejak pagi berada di ladang, tanyakan saja pada Banyu, dia membantuku seharian."
Aku ingat, dan bapak memang benar. Tak mungkin bapakku yang selama ini selalu mengajariku nilai kejujuran akan berbohong. Pula, lebih tak masuk akal lagi kalau sampai bapak mencuri batu yang dikeramatkan oleh desa ini.
"Be-benar, a-aku bersama bapak sejak pagi." Entah keberanian dari mana, tahu-tahu suaraku sudah menggema di ruangan, meski terpatah-patah.
Emak masih memelototiku tajam, aku menunduk menghindari pandangannya dan pria berbadan besar yang tampaknya juga teralihkan tatapannya kepadaku.
Pria itu berdeham, lalu memberi isyarat agar para rombongannya diam sejenak, lalu memerintah dengan ayunan sebelah lengannya sembari berseru, "Geledah! Geledah rumah ini! Jangan lewatkan barang sejengkal pun"
Usaha emak dan bapak untuk menghentikan pria-pria kasar itu sia-sia, kami harus pasrah melihat meja dan kursi rumah kami ditengkurapkan, hingga beberapa kaki meja patah, belum lagi rak piring yang diobrak-abrik, dan tentu saja, lemari baju yang jumlahnya hanya ada dua pun tak luput dari mereka.
Aku ingin menangis saat Emak dan Bapak datang memelukku erat, aku juga dapat merasakan gemetar di lengan mereka, ketakutan yang bercampur dengan kemarahan.
"Ketemu!"
Salah seorang dari mereka berseru dengan sumringah, semua mata tertuju kepadanya, tak membuang waktu, Ia meraih ke bawah kolong ranjang Bapak dan menarik sebuah batu gelap bopeng yang sangat kami kenali.
Emang menatap bapak tak percaya. Begitu pula aku.
Bapak menggeleng, bibirnya gemetar, dan matanya berkaca-kaca. "Seseorang mencoba memfitnahku! Ini fitnah keji!"
Pembelaannya tak berarti apa-apa, toh akhirnya bapak tetap diseret para gerombolan itu, kedua tangannya diikat dipunggung, sementara aku dan Emak terpaku di sudut ruangan, melihat bapak yang perlahan menghilang dari hadapan kami.
Mereka pergi, samar-samar kudengar teriakan, "Bakar! Bakar! Bakar!"
Kenapa Emak diam saja? Kenapa dia membisu? Kalau begini siapa yang akan menolong bapak dari fitnah yang amat kejam ini?
"Mak, lebih baik kita mengadu ke kepala desa. Kasihan Bapak, kita harus menolong Bapak."
Emak menggeleng putus asa, airmatanya tak terbendung, yang dilakukannya hanya memelukku semakin erat. "Bapakmu sudah mati. Sudah terlambat, tidak ada yang bisa menolongnya, tak satupun."
"Tapi, mak, kalau kita pergi ke rumah Pak Tejo sekarang, kita pasti sempat..."
"Percuma, Banyu, Percuma. Asal kau tahu, ini tidak lain adalah rencana kepala desa biadab itu." Emak membuang muka, napasnya memburu, lalu melanjutkan lagi, "Kau tahu kenapa tidak pernah ada kisah pemberontak di desa kita ini? Kau tahu kenapa tak pernah ada yang tak setuju dengan kepala desa kita? tak peduli seberapa tak masuk akalnya keputusannya. Kau tahu, Banyu?"
Aku menggeleng, tak mengerti.
"Watu Langit itu omong kosong! Watu Langit tak pernah memberikan apa-apa kepada kita, Ia hanya benda mati yang dijadikan alat kekuasaan untuk Pak Tejo. Semua cerita tentang batu yang menentukan siapa yang layak menjadi pemimipin desa ini adalah kebohongan! Watu langit? Dia tak punya kekuatan untuk membawa bencana meski kita tak lagi memnyembahnya, dia akan selamanya menjadi batu. Batu yang bisu, tuli, dan tak berakal. Selamanya begitu."
Semuanya berubah menjadi jelas sekarang. Sejernih air sungai Ulo yang setiap sore kuseberangi demi pergi ke ladang peninggalan kakek.
"Kalau saja ayahmu tidak lancang berniat menggantikan Pak Tejo menjadi kepala desa, kalau saja..." Emak tak kuasa lagi melanjutkan kata-katanya.
Kubiarkan dia menangis. Bukannya tak peduli, tapi aku ingin Emak menguras seluruh kepedihannya sekarang, hingga nanti yang tersisa hanya semangat perjuangan untuk hidup. Dalam diam aku berjanji, bahwa bapak tidak akan meninggal dalam kesia-siaan, tangisan Emak tak akan terbuang hampa, aku bersumpah, akan kugunakan setiap tetes keringat, darah, dan asa, demi membalas dan mengungkap perbuatan keji yang terjadi di depan mataku ini.
Itulah mulanya, bagaimana kebencianku terhadap desa ini terlahir dan terpupuk subur setiap harinya. Setiap hari aku memikirkan tentang pembalasan, keadilan, dan hukuman. Bapak boleh jadi telah mati, tapi sejatinya Ia terlahir kembali, dalam diriku, dan jauh lebih kuat.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua feedback sangat dihargai

Kritik dan saran ditunggu ya, baik dari segi kepenulisan atau tata setting thread.
terima kasih.




nona212 dan anasabila memberi reputasi
2
4K
30


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan