- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ahli analisis pidato Ahok, Ini kata yang paling banyak disebut


TS
mufidfathul
Ahli analisis pidato Ahok, Ini kata yang paling banyak disebut
Quote:
Jakarta - Guru besar linguistik Unika Atma Jaya Bambang Kaswanti Purwo menganalisis pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Bambang menyebut pidato Ahok berisi pernyataan soal program dan pengalaman.
Total durasi 26 menit video pidato Ahok yang dianalisis. Dia mencatat ada 2.897 kata yang diucapkan Ahok selama pidato pada 27 September 2016. Kata yang paling banyak muncul terkait dengan pemilihan.
"(Penyebutan) Al-Maidah 1 kali, dibohongin 1 kali, program, ikan, laut, banyak sekali, jadi itulah intinya," kata Bambang memberikan pandangan sebagai ahli yang dihadirkan pihak Ahok dalam persidangan di auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Jalan RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Saat ditanya majelis hakim, Bambang mengatakan pernyataan Ahok soal 'jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51' terkait dengan program, bukan dalam konteks pilkada.
"Tidak pilih saya kan konteksnya pilkada. Pilkada hanya muncul 1 kali. Kata 'pilih', 'pilkada' muncul 1 kali, 'pemilihan' 14 kali, di antara itu ada 'jangan pilih saya'. Di antaranya, 'kalau tidak pilih saya, program jalan terus'. Jadi kalau ada pilih itu bahas program. Program itu tetap jalan terus," katanya.
"Bisa nggak dimaknai lain bahwa topiknya ini kok kemudian pidato justru bahas ini," tanya majelis hakim.
"Kekhawatiran, dia khawatir sudah mulai program dan disambut warga setempat. Makanya dia berkali-kali memilih 'pokoknya program saya jalan terus'. Intinya," ucap Bambang.
Menurutnya, penyebutan Al-Maidah merupakan pengalaman yang diceritakan Ahok.
"Al-Maidah itu dia cerita pengalaman, mengapa ada kemungkinan saya tidak dipilih. Terus dia cerita berdasarkan pengalaman dalam perjalanan kariernya dia," katanya.
Dia juga menegaskan pernyataan dalam komunikasi tidak bisa dilepaskan dengan konteks. Dia juga menyebut ucapan Ahok spontan.
"Kalau lisan spontan dan saat itu waktu dia berbicara soal program dan gara-gara pilkada itu keluar letupan omong, pindah, itu letupan yang terbawa di pikirannya. Makanya tidak ada satu menit, spontan, berapi-api berbicara mengenai program. Saya bisa membuktikan itu anak kalimat rendah sekali kadar keinformatifan," ucapnya.
"Pilihan yang tiba-tiba muncul meluapkan kekhawatirannya tadi," ucap Bambang.
Ahli: Ahok Bicara Pengalaman
Bambang Kaswanti Purwo menyebut tidak ada maksud kampanye dalam pidato Ahok tentang Surat Al-Maidah ayat 51. Menurutnya, Ahok juga tidak bermaksud menodai agama.
"Tidak ada (unsur kampanye). Saya tadi sudah menyebutkan bahwa dia katakan 'tidak pilih saya', ada 14 kali soal 'tidak memilih saya', 'jangan memilih saya', tidak ada kampanye di sana," ujar Bambang.
"Al-Maidah sumber kebohongan itu pendapat, bukan fakta. Dari sisi semantik. makna kata yang namanya kitab suci itu adalah diapakan oleh siapa pun tetap saja suci sempurna, begitu pula agama," kata dia.
Menurutnya, jika terjadi pemaknaan negatif, itu karena ada orang yang memanfaatkan.
"Kalau sampai ada pemaknaan negatif, yang terjadi adalah orang memanfaatkan jadi negatif. Untuk keperluan, tapi bukan alat itu sendiri," ujarnya.
Dia juga menekankan penekanan Ahok dalam kalimat pidatonya. Sebelum menyebut 'Al-Maidah', Ahok mengawali pidatonya dengan bilang 'saya ingin cerita'. Menurutnya, saat itu Ahok bercerita pengalamannya.
"Diawali dengan 'jadi saya mau cerita', itu dia menceritakan pengalamannya," ujar Bambang.
Karena itu, pidato Ahok tidak bisa dilihat sepotong-sepotong. Menurutnya, hal itu akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda.
"Ya tentu beda karena itu diarahkan ke satu pemaknaan tertentu. Pada saat seseorang bicara tapi tidak ada ruang hampa dalam pikirannya, pasti ada sesuatu dalam pikirannya. Kalau itu dibuat secara tertulis, akan lebih lengkap lagi," tuturnya.
sumber
sumber
Quote:
Apa saja pembelaan yang mengejutkan itu?
Pertama, Ahli hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Noor Aziz Said menjelaskan bahwa tidak ada unsur kesengajaan untuk menodai agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurut Noor, ada yang tidak logis dengan penggunaan pasal 156a KUHP dalam kasus Ahok.
“ Dalam kasus ini, unsur di muka umum (adalah) tempat pelelangan ikan, unsur membenci atau menghina dalam kasus ini (adalah) mengharapkan sekali agar umat Islam untuk memberi suara kepadanya dalam Pilkada, maka tidak logis kalau Ahok bermaksud memusuhi atau membenci umat Islam”, kata Noor dalam BAP yang dibacakan oleh pengacara Ahok.
Saya tertarik esensi dan substansi pembelaan Noor Aziz ini. Ia langsung mencerahkan nalar saya. Selama ini ada tuduhan masif, sistematis dan terstruktur kepada Ahok yang memusuhi atau membenci umat Islam. Jika dilihat tujuan pidatonya yang menyerempet surat Al-Maidah ayat 51 itu, maka tujuan Ahok sangat kental sekali yakni ia sangat mengharapkan agar umat Islam memberi suara kepadanya dalam Pilkada.
Jadi bagaimana mungkin Ahok membenci Islam sementara ia sendiri sangat mengharapkan umat Islam untuk memilihnya? Jadi tidak logis jika Ahok dikatakan membenci umat Islam. Inilah penjelasan mengejutkan dari ahli saksi Noor Aziz itu.
Kedua, Rais Syuriah Nahdatul Ulama (NU) KH Masdar Fardis Mas’udi mengatakan bahwa Surat Al-Maidah ayat 51 tidak bisa dipisahkan dari Surat Al-Mumtahanah ayat 8. Kedua ayat ini harus dilihat secara holistic atau keseluruhan terkait criteria pemimpin nonmuslim yang tidak boleh dipilih.
“(Surat Al-Mumtahanah ayat 8) bahwa yang tak boleh dipilih sebagai aulia adalah orang nonmuslim yang memerangi kamu dan mengusir kamu dari negeri kamu. Kalau sekedar beda agama nggak masalah”,kata Masdar ketika menyampaikan pendapatnya.
Lagi-lagi saya tercerahkan penjelasan Masdar ini. Ternyata ada ayat lain yang harus dipegang ketika menyebut Surat Al-Maidah ayat 51 itu. Nah ini mengejutkan. Menurut Masdar, kalau hanya memegang Al-Maidah 51 dan tidak memegang ayat lainnya itu berarti mempercayai yang satu dan mengikari yang lain.
Ketika Surat Al-Maidah ayat 51 dipahami, maka umat Islam wajib menunjukkan Islam yang rahmatan lil alamin. Artinya umat Islam tidak boleh mendiskriminasi orang berdasarkan SARA. Jadi harus ada Surat lain yang harus dipegang saat menyebut Surat Al-Maidah. Inilah pembelaan yang menurut saya mengejutkan.
Ketiga, Ahli hukum pidana dari Universitas Udayana Bali, I Gusti Ketut Ariawan, mengatakan bahwa sangkaan penodaan agama yang disematkan kepada Ahok seharusnya diselesaikan dengan Undang-undang PNPS nomor 1 tahun 1965, bukan padal 156a KUHP. Mengapa? Karena latar belakang munculnya PNPS 1965 itu adalah berkaitan dengan kondisi di Indonesia dimana ada semacam penindasan terhadap kaum minoritas.
Dari penjelasan Gusti, saya menjadi tercerahkan. Ahok yang ditindas karena double minoritas dan tersangkut pada kalimat “Jangan dibohongi pakai Surat Al-Maidah ayat 51” itu, cukup diselesaikan dengan Undang-Undang PNPS karena kaum minoritas di negeri ini juga dilindungi dalam undang-undang itu. Ahok terpaksa menyebut Surat Al-Maidah ayat 51 itu karena ia selama ini dijegal dengan memakai ayat itu.
Namun pada kenyataannya, dalam kasus Ahok itu, pasal 156a KUHP yang digunakan. Padahal penggunaan pasal itu sangat represif dan tidak melindungi kaum minoritas. Jadi hal yang mengejutkan di sini adalah penegasan Gusti bahwa penggunaan pasal 156a KUHP untuk menjerat Ahok sangat tidak tepat.
Keempat, Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hamka Haq langsung menyalahkan MUI yang langsung mengeluarkan sikap keagamaan tanpa lebih dahulu melakukan konfirmasi atau tabayun. “Dalam Islam itu, ada praduga tidak bersalah. Nah, seseorang kalau melakukan sesuatu, tidak hanya diukur dari kesengajaannya, tetapi diukur juga dari mengapa dia lakukan itu, tidak bisa dijawab oleh video”, kata Hamka.
Hamka juga menyentil MUI bahwa sikap keagamaan yang mereka keluarkan adalah karena adanya tekanan. Dengan tidak adanya tabayun, maka bisa disimpulkan bahwa sikap keagamaan yang dikeluarkan MUI itu karena adanya tekanan. Menurut Hamka, sebagai lembaga terhormat, MUI tidak boleh kalah dengan tekanan-tekanan. MUI seharusnya harus mandiri, dan bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Lalu mengapa pembelaan Hamka ini mengejutkan? Karena selain Hamka menasehati para pengambil keputusan di lembaga MUI dan menegaskan bahwa fatwa tidak berlaku dalam tata hukum di Indonesia, tetapi juga ucapan Hamka yang mengatakan bahwa ucapan Ahok yang menyebut jangan dibohongi pakai suatu ayat, itu bukan penistaan agama.
Quote:
Ahli psikologi Jelaskan soal pidatoAhok dan mekanisme Bertahan
Jakarta - Ahli psikologi sosial Risa Permana Deli menjelaskan tentang pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyinggung tentang surat Al-Maidah ayat 51. Menurut Risa, penyampaian tentang surat itu merupakan mekanisme bertahan Ahok menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Anda menerangkan bahwa ini hal yang wajar atau mekanisme bertahan setiap individu. Ketika seseorang gagal dalam satu momen yang sama lalu dia ikut lagi di momen yang sama, apakah cukup dengan bertahan," tanya jaksa dalam sidang lanjutan perkara dugaan penistaan agama di auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Jalan RM Harsono, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Risa--yang hadir sebagai ahli dari pihak Ahok--menyebut keputusan Ahok untuk maju kembali dalam kontestasi pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta tentunya dengan mengurangi hal-hal yang bisa membuatnya kalah. Risa menyebut Ahok belajar dari kegagalannya dengan menceritakan apa yang terjadi tanpa menuduh siapa yang membuatnya gagal.
"Pak Basuki gagal dan dijegal dengan pembenaran agama, kemudian maju lagi dan dijegal lagi. Yang saya lihat justru bukan masalah dia sedang mengeliminasi kegagalan, justru dia menertawakan kegagalannya sendiri," ucap Risa.
"Kalau Anda lihat BAP saya, Anda lihat konteksnya bahkan saya yakin kalau kita menonton lagi videonya, itu diucapkan dengan cara yang sangat rileks. Dia maju lalu dia dijegal dan bilang 'aduh'. Dalam konteks ini dia tidak mempersoalkan siapa yang menjegal, tapi dia menceritakan lagi peristiwa bagaimana dia belajar meng-'aduh'," sambung Risa.
Kemudian, Risa memaparkan tentang pidato Ahok yang sebenarnya tidak menyinggung soal agama tetapi soal iklim politik ketika pilkada. Menurut Risa, Ahok mencoba menjelaskan bila momen pilkada sering dijadikan ajang-ajang politik dengan tujuan tertentu.
"Padahal kalau melihat seluruh konteks kalimat diucapkan reaksi dari masyarakat ketika mendengarkan kalimat tersebut bukan masalah tentang agama, tentang pilkada, tapi dia mempersoalkan iklim politik dari pilkada yang membuat masyarakat terbodohkan. Jadi saudara terdakwa mengutip Al-Maidah tidak melakukan desakralisasi agama. Iklim pilkada yang membodohkan masyarakat dan pembodohan itu selalu membawa agama," urai Risa.
"Tuduhan bahwa ini tidak valid atau mengatakan bahwa kalimat yang diambil polisi kepada saya, menurut saya terlalu sumir untuk memberi kepastian bahwa dengan mengatakan Pak Basuki menista agama," sambung Risa yang berprofesi sebagai Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial dan Laboratorium Psikologi Sosial Eropa.
Video Buni Yani Hilangkan Konteks Pidato Ahok
Risa menyinggung tentang video pidato Ahok yang diunggah oleh Buni Yani. Risa menyebut tata bahasa yang disusun Buni Yani untuk memaparkan pidato Ahok menghilangkan konteks.
"Masalah tata bahasa ini dimuat di YouTube, kalau nggak salah saya nggak lihat video yang ditulis oleh Buni Yani tapi semua orang merujuk penjelasan dia dan rujukan tersebut sepenuhnya menghilangkan konteks," kata Risa.
"Menurut ahli, fenomena masyarakat itu benar atau salah?" tanya jaksa penuntut umum.
"Saya kira bukan masalah benar atau salah. Fenomena itu ada masalah fenomena asal yang mudah menggerakkan orang dengan informasi palsu," jawab Risa.
Kemudian, Risa menyoroti Indonesia belum memiliki sistem filter informasi. Selain itu masyarakat Indonesia memiliki tipe konformitas (kesesuaian sikap dan perilaku dengan nilai dan kaidah yang berlaku) tinggi.
"Dengan teknologi ada kita tidak mempunyaifiltering sistem sebagai pembenaran sebuah informasi. Kita sendiri tidak memiliki kultur politik yang matang di mana kita bertindak berdasar pertimbangan," kata dia.
"Biasa di tempat kita tetangga ikut saya ikut. Karena kita masyarakat tipe memiliki konformitas tinggi. Konformitas mengikut masyarakat. Ada alasan pemicu utama ucapan tersebut, ucapan seperti yang dikutip Buni Yani," sambung Risa.
Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena menyebut dan mengaitkan Surat Al-Maidah 51 dengan Pilkada DKI. Penyebutan Surat Al-Maidah 51 ini disampaikan Ahok saat bertemu dengan warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Ahok didakwa dengan Pasal 156 a huruf a dan/atau Pasal 156 KUHP.
sumber


Lain banget saksi Ahli yang beneran vs saksi ahli abal-abal...



Diubah oleh mufidfathul 29-03-2017 16:55
0
2.3K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan