- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
The Whisperer [ Kisah tentang seorang yang dapat melihat kematian]


TS
ep95
The Whisperer [ Kisah tentang seorang yang dapat melihat kematian]
Halo agan dan sista yang udah mau mampir ke thread ane. Ane masih newbie harap di maklumin....
Oh ya, ane mahasiswi kok hahahaha.
UN B.Indo ane jelek jadi ya maaf saja kalau banyak typos dan kata yang kurang pas.
Agan-sista yang belum baca part I silahkan di klik di mari :
Part I
Baiklah, agan sista.. mari saya lanjutkan kisah ini di part II, silahkan nenda, tinggalin sendal, bakar kayu buat api unggun, sediakan mi instan lalu nyanyikan lagu sendu. Kisah ini masih sambungan dari part I, jadi kalau belum baca silahkan dibaca. So, Let me tell you my story...
Terimakasih yang sudah membaca cerita ini. Cerita ini akan berlanjut hingga pengalaman terakhir saya pada Desember 2016, pengalaman yang mungkin kurang bisa saya lupakan. Bersabarlah agan-sista. Saya akan berusaha menyelesaikan cerita ini. Jika perlu, saya akan cari waktu luang untuk menulis kisah ini hingga tamat. Jadi sekali lagi, terimakasih
Oh ya, ane mahasiswi kok hahahaha.

Agan-sista yang belum baca part I silahkan di klik di mari :

Part I
Quote:
Sebelum itu ada rules yang kudu agan-sista cermati:
1. Nama tempat dan nama orang yang ada disini sengaja saya ganti agar menjaga privasi mereka
2. Jangan berkomentar SARA atau yang menyinggung perasaan para agan-sista
3. Jangan menggunakan kata-kata yang tidak pantas
4. Jika ingin bertanya bisa PM saya.
5. Enjoy the stories, jadilah pembaca yang baik, dan
terimakasih banyak
1. Nama tempat dan nama orang yang ada disini sengaja saya ganti agar menjaga privasi mereka
2. Jangan berkomentar SARA atau yang menyinggung perasaan para agan-sista
3. Jangan menggunakan kata-kata yang tidak pantas
4. Jika ingin bertanya bisa PM saya.
5. Enjoy the stories, jadilah pembaca yang baik, dan
terimakasih banyak

Baiklah, agan sista.. mari saya lanjutkan kisah ini di part II, silahkan nenda, tinggalin sendal, bakar kayu buat api unggun, sediakan mi instan lalu nyanyikan lagu sendu. Kisah ini masih sambungan dari part I, jadi kalau belum baca silahkan dibaca. So, Let me tell you my story...
**********
Quote:
Terkadang, sebuah perpisahan itu memang sangat menyakitkan, bukan karena kita merasa kehilangan, terkadang karena ketidaksiapan kit adalam menghadapinya, itulah yang membuat perpisahan semakin menyakitkan. Namun, bagiku... melihat siapa yang menjemput atau kondisi terakhir mereka sebelum pulang ke haribaan Tuhan, memberi luka dan trauma tersendiri. Hai, panggil saja aku Puput, Mahasiswi yang masih berkutat dengan kerasnya semester tua, namun kisah yang kuceritakan ini, benar terjadi padaku. Aku seorang yang bisa melihat kematian. Hal yang seharusnya tak boleh ku lihat, harus kulihat, tanpa bisa ku sampaikan. Membicarakan tentang kematian seseorang bukanlah hal yang mudah, dan bukanlah hal yang diinginkan oleh semua orang. Namun aku, harus mengatakan yang sejujurnya...
Hari senin siang, selepas sekolah, kami bergegas ke rumah Nisa untuk takziah. Banyak orang yang datang melayat dan dua mobil terparkir di depan gang rumahnya, sebuah ambulance telah siap untuk membawa jenazah almarhumah nenek Nisa ke peristirahatan terakhirnya. Aku melihat Nisa yang bermata sembab melayani para pelayat yang datang, senyum rapuhnya terpatri jelas di wajahnya, dia masih terpukul dengan keadaan neneknya.
"Nis..." panggilku, dia kemudian menghampiriku. Dia tersenyum padaku dan ketiga temanku yang mengekspresikan wajah sedihnya,namun Nisa... dia menutupinya.
"makasih udah dateng ya... makasih banget..." ujarnya sambil menyalami kami satu persatu. aku masih diam ditempat, bukan karena aku takut melihat jenazah neneknya, namun karena aku tak bisa berkata jujur kala itu di rumah sakit dan hanya menutup kembali mulutku.
"Nis... boleh aku jujur sama kamu?" Belum sempat Nisa menjawab, Ibunya telah memanggilnya. Nisa menghampiri ibunya dan kemudian setelah beberapa menit berbicara dengan ibunya ia kembali.
"Aku pamit dulu ya, rek. Sudah waktunya di kebumikan..." Kami hanya mengiyakan apa yang dia katakan, namun jauh didasar hatiku,aku harus bilang soal yang dirumah sakit itu, mengapa aku diam. Mengapa aku hanya bisa terbata saat itu. Namun... kali ini, kusimpan saja dulu. Nisa masuk kedalam mobil, ia duduk diapit oleh ibu dan tantenya, dia duduk ditengah saat itu, aku ingat. Ia menarik ujung kerudungnya dan kemudian menutup sebagian mukanya dengan kerudung hitamnya. runtuh sudah dinding yang ia buat. Ia menangis. Aku mengerti, saat itu ia tak sempat minta maaf pada neneknya, semua cekcok itu, dan semua gerutunya, ia belum sempat minta maaf.Mobil itu berjalan seiringan dengan perginya ambulance dan mobil pertama menuju pemakaman. Aku terdiam melihat mereka pergi. Seakan semua suara di bisukan, ku tolehkan kepalaku kearah gerbang rumah Nisa. Nenek...
Dia tersenyum padaku, sesekali melambaikan tangannya, aku mendekat, namun kemudian, hilang. Suara kembali ramai.
"Put, kenapa kamu nangis?! Put!" Ucap Yuwa dengan melihat mataku yang sudah dibanjiri air mata. Aku memegang pipiku dan kemudian naik ke mata kananku.
"Huh? Aneh... kenapa aku menangis? Ken---" Aku kembali terdiam, kini yang kulihat adalah nenek dengan senyumnya lagi. Kemudian menghilang. Aku mengerti, aku akan sampaikan pesan terakhir pada Nisa ketika dia masuk sekolah nanti.
Setelah 3 hari daro hari itu, Nisa kembali kesekolah, wajahnya cukup ceria dan menunjukan bahwa dia telah mengikhlaskan neneknya. Pemandangan baru untukku adalah satu hal yang belum berubah. Matanya masih sembab. Ku berjalan kearahnya saat pelajaran Matematika selesai dan memasuki jam Istirahat.
"Nisa... duduk dulu..." ujarku. Nisa kemudian duduk. Ia menatapku dengan senyuman yang selalu ia gunakan. Ah dia sungguh baik pada temannya.
"Iya?" Aku menelan ludah, kemudian tanpa basa-basi, aku mulai mengutarakan maksudku.
"Nis... aku boleh jujur sama kamu?"
"Jujur kenapa,Put?"
"Soal Nenekmu...." ia terdiam sejenak, kemudian menangguk, aku melanjutkan kata-kataku,
"Nisa... saat nenekmu koma hari itu, waktu itu kita nggak bisa ketemu beliau karena gorden hijau itu belum dibuka kan?" Ia kembali mengangguk...
"Aku... um... apa nenekmu pakai baju hijau rumah sakit? terus sudah dipasang alat, ada alat bantu nafas, sama pendeteksi jantung?" Nisa diam. Aku diam. Kumainkan jemariku dengan grogi.
"Darimana.... kamu.... tahu?" ucapnya terputus menjadi tiga kata. Aku menatapnya dalam. Ku beranikan diriku untuk mengatakan hal selanjutnya.
"Nis... hari itu, dirumah sakit, aku melihat nenekmu meninggal. Aku lihat suster ngebuka gordennya dan aku lihat nenek mu... alat pendeteksi detak jantungnya.... garis..." tak sampai kata-kataku selesai, Nisa menamparku. Aku melihatnya heran.
"Kenapa... Kenapa? Kenapa,Put? Kenapa kamu baru ngomong sekarang?! KENAPA?!" teriakannya mengundang seluruh mata di kelasku pada kami berdua. Aku diam. Aku pantas mendapatkan ini.
"Karena, jika hari itu aku bilang padamu, aku pasti juga akan mendapat tamparan darimu dan mungkin... saudaramu yang ada disitu juga. Karena mungkin aku akan dikatai mendoakan yang negatif, itu sebabnya, kenapa aku diam..." ujarku. Nisa kemudian menangis di pundakku. Aku berusaha menenangkannya. Namun sepertinya aku gagal sebagai temannya.
"Kalau begitu... kenapa? Kenapa baru saat aku menyesal untuk minta maaf padanya, dia malah..." dia tak meneruskan kata-katanya, dia menangis, kata-katanya tenggelam dalam tangisannya. Hal yang sebenarnya tak ingin kudengar darinya setelah ia kembali ceria. Namun...
"Nenekmu... memaafkanmu...." Ia kemudian mengarahkan pandangannya yang sembab kearahku, aku mencoba tersenyum namun...sakit. aku tak bisa tersenyum kala itu.
"Maksudmu?"
"Nenekmu berpamitan padaku, walau hanya sekejap ia tersenyum, namun aku tau dia memaafkanmu. Entah mengapa..." kali ini Nisa mencubit pipiku. Ah apes....
"Kamu... makasih,Put.... makasih" Ia tersenyum menunjukan deretan gigi putihnya, aku merasa lega, namun disatu sisi, hal ini memberiku trauma. Namun sudahlah, yang terpenting aku telah jujur pada Nisa. Senyuman terakhir nenek... Senyuman yang mungkin hanya akan aku lihat hari itu saja... Senyuman terakhirnya sebelum menghilang...
Klining, Klining. Suara bel dari dalam bangunan berbunyi. Kulangkahkan kakiku mantab, melihat ruangan yang cukup ramai, namun kondusif.
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Ujar seorang lelaki berumur tak lebih dari 25 tahunan saat itu. Ku pegang rambutku yang panjangnya sudah melebihi bahu. Aku tersenyum dan menatap pria itu mantab[.
"Mas... potong rambut ya...." Ujarku seraya meletakan tasku dan menunggu.
"Baik mbak.. ditunggu" Ujar pria itu tersenyum. Ku anggukan kepalaku dan kemudian menatap langit biru dari jendela salon, ku tersenyum.
"Nenek sudah tenang kan?"
Klining... bel pintu itu berbunyi tanpa ada yang membuka pintu. Ku tersenyum. Ku anggap itu jawaban nenek. Nek, selamat jalan. Kali ini, semua yang kau titipkan padaku, telah ku sampaikan, Nisa dan semua yang menenalmu menyayangimu, Nek...
Ku pejamkan mataku sesaat. Kemudia kulihat langit itu sekali lagi. Cerah. Ku berjalan menuju pria yang memanggilku, giliranku untuk memangkas rambutku sudah tiba ternyata. Mungkin, ini akan menjadi rutinitasku... rutinitas yang mungkin akan sedikit berbeda dari kebanyakan. Ya... begitulah.
Untukmu Nenek dari temanku,Nisa, Beristirahatlah Nek. Nisa menyayangimu, dan kau tahu itu.
Dari, seorang yang kau titipkan pesan, Puput.
Surabaya, 2009
The Last Smile and The Honest Words
Hari senin siang, selepas sekolah, kami bergegas ke rumah Nisa untuk takziah. Banyak orang yang datang melayat dan dua mobil terparkir di depan gang rumahnya, sebuah ambulance telah siap untuk membawa jenazah almarhumah nenek Nisa ke peristirahatan terakhirnya. Aku melihat Nisa yang bermata sembab melayani para pelayat yang datang, senyum rapuhnya terpatri jelas di wajahnya, dia masih terpukul dengan keadaan neneknya.
"Nis..." panggilku, dia kemudian menghampiriku. Dia tersenyum padaku dan ketiga temanku yang mengekspresikan wajah sedihnya,namun Nisa... dia menutupinya.
"makasih udah dateng ya... makasih banget..." ujarnya sambil menyalami kami satu persatu. aku masih diam ditempat, bukan karena aku takut melihat jenazah neneknya, namun karena aku tak bisa berkata jujur kala itu di rumah sakit dan hanya menutup kembali mulutku.
"Nis... boleh aku jujur sama kamu?" Belum sempat Nisa menjawab, Ibunya telah memanggilnya. Nisa menghampiri ibunya dan kemudian setelah beberapa menit berbicara dengan ibunya ia kembali.
"Aku pamit dulu ya, rek. Sudah waktunya di kebumikan..." Kami hanya mengiyakan apa yang dia katakan, namun jauh didasar hatiku,aku harus bilang soal yang dirumah sakit itu, mengapa aku diam. Mengapa aku hanya bisa terbata saat itu. Namun... kali ini, kusimpan saja dulu. Nisa masuk kedalam mobil, ia duduk diapit oleh ibu dan tantenya, dia duduk ditengah saat itu, aku ingat. Ia menarik ujung kerudungnya dan kemudian menutup sebagian mukanya dengan kerudung hitamnya. runtuh sudah dinding yang ia buat. Ia menangis. Aku mengerti, saat itu ia tak sempat minta maaf pada neneknya, semua cekcok itu, dan semua gerutunya, ia belum sempat minta maaf.Mobil itu berjalan seiringan dengan perginya ambulance dan mobil pertama menuju pemakaman. Aku terdiam melihat mereka pergi. Seakan semua suara di bisukan, ku tolehkan kepalaku kearah gerbang rumah Nisa. Nenek...
Dia tersenyum padaku, sesekali melambaikan tangannya, aku mendekat, namun kemudian, hilang. Suara kembali ramai.
"Put, kenapa kamu nangis?! Put!" Ucap Yuwa dengan melihat mataku yang sudah dibanjiri air mata. Aku memegang pipiku dan kemudian naik ke mata kananku.
"Huh? Aneh... kenapa aku menangis? Ken---" Aku kembali terdiam, kini yang kulihat adalah nenek dengan senyumnya lagi. Kemudian menghilang. Aku mengerti, aku akan sampaikan pesan terakhir pada Nisa ketika dia masuk sekolah nanti.
*****
Setelah 3 hari daro hari itu, Nisa kembali kesekolah, wajahnya cukup ceria dan menunjukan bahwa dia telah mengikhlaskan neneknya. Pemandangan baru untukku adalah satu hal yang belum berubah. Matanya masih sembab. Ku berjalan kearahnya saat pelajaran Matematika selesai dan memasuki jam Istirahat.
"Nisa... duduk dulu..." ujarku. Nisa kemudian duduk. Ia menatapku dengan senyuman yang selalu ia gunakan. Ah dia sungguh baik pada temannya.
"Iya?" Aku menelan ludah, kemudian tanpa basa-basi, aku mulai mengutarakan maksudku.
"Nis... aku boleh jujur sama kamu?"
"Jujur kenapa,Put?"
"Soal Nenekmu...." ia terdiam sejenak, kemudian menangguk, aku melanjutkan kata-kataku,
"Nisa... saat nenekmu koma hari itu, waktu itu kita nggak bisa ketemu beliau karena gorden hijau itu belum dibuka kan?" Ia kembali mengangguk...
"Aku... um... apa nenekmu pakai baju hijau rumah sakit? terus sudah dipasang alat, ada alat bantu nafas, sama pendeteksi jantung?" Nisa diam. Aku diam. Kumainkan jemariku dengan grogi.
"Darimana.... kamu.... tahu?" ucapnya terputus menjadi tiga kata. Aku menatapnya dalam. Ku beranikan diriku untuk mengatakan hal selanjutnya.
"Nis... hari itu, dirumah sakit, aku melihat nenekmu meninggal. Aku lihat suster ngebuka gordennya dan aku lihat nenek mu... alat pendeteksi detak jantungnya.... garis..." tak sampai kata-kataku selesai, Nisa menamparku. Aku melihatnya heran.
"Kenapa... Kenapa? Kenapa,Put? Kenapa kamu baru ngomong sekarang?! KENAPA?!" teriakannya mengundang seluruh mata di kelasku pada kami berdua. Aku diam. Aku pantas mendapatkan ini.
"Karena, jika hari itu aku bilang padamu, aku pasti juga akan mendapat tamparan darimu dan mungkin... saudaramu yang ada disitu juga. Karena mungkin aku akan dikatai mendoakan yang negatif, itu sebabnya, kenapa aku diam..." ujarku. Nisa kemudian menangis di pundakku. Aku berusaha menenangkannya. Namun sepertinya aku gagal sebagai temannya.
"Kalau begitu... kenapa? Kenapa baru saat aku menyesal untuk minta maaf padanya, dia malah..." dia tak meneruskan kata-katanya, dia menangis, kata-katanya tenggelam dalam tangisannya. Hal yang sebenarnya tak ingin kudengar darinya setelah ia kembali ceria. Namun...
"Nenekmu... memaafkanmu...." Ia kemudian mengarahkan pandangannya yang sembab kearahku, aku mencoba tersenyum namun...sakit. aku tak bisa tersenyum kala itu.
"Maksudmu?"
"Nenekmu berpamitan padaku, walau hanya sekejap ia tersenyum, namun aku tau dia memaafkanmu. Entah mengapa..." kali ini Nisa mencubit pipiku. Ah apes....
"Kamu... makasih,Put.... makasih" Ia tersenyum menunjukan deretan gigi putihnya, aku merasa lega, namun disatu sisi, hal ini memberiku trauma. Namun sudahlah, yang terpenting aku telah jujur pada Nisa. Senyuman terakhir nenek... Senyuman yang mungkin hanya akan aku lihat hari itu saja... Senyuman terakhirnya sebelum menghilang...
******
Klining, Klining. Suara bel dari dalam bangunan berbunyi. Kulangkahkan kakiku mantab, melihat ruangan yang cukup ramai, namun kondusif.
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Ujar seorang lelaki berumur tak lebih dari 25 tahunan saat itu. Ku pegang rambutku yang panjangnya sudah melebihi bahu. Aku tersenyum dan menatap pria itu mantab[.
"Mas... potong rambut ya...." Ujarku seraya meletakan tasku dan menunggu.
"Baik mbak.. ditunggu" Ujar pria itu tersenyum. Ku anggukan kepalaku dan kemudian menatap langit biru dari jendela salon, ku tersenyum.
"Nenek sudah tenang kan?"
Klining... bel pintu itu berbunyi tanpa ada yang membuka pintu. Ku tersenyum. Ku anggap itu jawaban nenek. Nek, selamat jalan. Kali ini, semua yang kau titipkan padaku, telah ku sampaikan, Nisa dan semua yang menenalmu menyayangimu, Nek...
Ku pejamkan mataku sesaat. Kemudia kulihat langit itu sekali lagi. Cerah. Ku berjalan menuju pria yang memanggilku, giliranku untuk memangkas rambutku sudah tiba ternyata. Mungkin, ini akan menjadi rutinitasku... rutinitas yang mungkin akan sedikit berbeda dari kebanyakan. Ya... begitulah.
Untukmu Nenek dari temanku,Nisa, Beristirahatlah Nek. Nisa menyayangimu, dan kau tahu itu.
Dari, seorang yang kau titipkan pesan, Puput.
Surabaya, 2009
Terimakasih yang sudah membaca cerita ini. Cerita ini akan berlanjut hingga pengalaman terakhir saya pada Desember 2016, pengalaman yang mungkin kurang bisa saya lupakan. Bersabarlah agan-sista. Saya akan berusaha menyelesaikan cerita ini. Jika perlu, saya akan cari waktu luang untuk menulis kisah ini hingga tamat. Jadi sekali lagi, terimakasih





tien212700 dan anasabila memberi reputasi
2
3K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan