Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

adhoed22Avatar border
TS
adhoed22
BAHASA DAERAH TERANCAM PUNAH.MENGAPA???
Modernitas yang sarat akan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah mengubah jalan hidup banyak orang dan cara mereka berkomunikasi. Bahasa daerah kian lama, semakin ditinggalkan dalamkomunikasi, dicampakan karena cenderung dianggap kuno, terbelakang, "kampungan". Setidaknya itulah fenomena yang nyata di kalangan masyarakat modern saat ini. Masyarakat yang katanya maju dan beradab itu lebih bangga melisankan bahasa Indonesia yang dicampur bahasa asing dalam keseharian. Hal itu membuat tutur bahasa daerah mereka tak lagi tertata dalam budaya yang sehat. Bagi kalangan generasi muda di perkotaan maupun pedesaan, mereka cenderung lebih menyukai penggunaan term-term "modern" yang mereka sebut "gaul" untuk berkomunikasi sehari-hari. Padahal, term-term tersebut tak lebih daripada pepesan kosong yang tak bernilai. Generasi muda, generasi saya saat ini, penerus bangsa saat ini telah mencabut akar budaya bangsanya sendiri. Mereka rela bahasa daerahnya sebagai warisan budaya luhur nan agung itu, layu dan mati tergilas oleh roda modernitas. Media cetak, media elektronik, media sosial, media-media yang menjadi arena berinteraksi banyak orang itu hanya semakin mengikis penggunaan bahasa daerah. Memang banyak manfaat positif yang dapat diambil dengan menggunakan media itu, tetapi bahasa daerah tak lebih sebagai "serpihan debu" di lapang yang dipenuhi dominasi budaya asing atas kultur lokal bangsa ini. Sejatinya, bahasa daerah adalah bahasa yang terkait akan latarbelakang etnis, suku, budaya, yang begitu kaya di Indonesia. Bahasa daerah mencerminkan identitas bangsa ini, cermin kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan bahasa. Betapa tidak, bangsa Indonesia memiliki sekitar 700 lebih bahasa daerah, tetapi yang tercatat oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hanya sekitar 450 saja. Kemana sisanya? Sebagian sudah musnah, dan beberapa terancam punah. Bahasa-bahasa yang telah dan terancam punah itu kebanyakan berada di luar pulau Jawa, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dsb. Bahkan bahasa Sunda yang notabene berada di pulau Jawa pun kini terancam puncah. Miris memang, tapi inilah faktanya. Secara sosiologis, pudarnya bahasa daerah tersebut tak lepas dari determinasi faktor internal yang berasal dari masyarakat Indonesia sendiri, dan faktor eksternal yang berasal dari luar masyarakat. Setidaknya, di antara faktor-faktor internal ialah :
1. Melemahnya Sosialisasi dalam Keluarga Orang tua merupakan agen utama dalam menjembatani anak terhadap etnis, budaya, serta bahasa daerahnya. Namun kebanyakan orang tua saat ini tidak lagi menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa primer ketika berkomunikasi di rumah. Para orang tua cenderung menggunakan bahasa Indonesia saat berbincang bersama anak-anak mereka. Padahal peran mereka sangat vital dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya daerah, khususnya mensosialisasikan bahasa daerah sebagai alat komunikasi sehari-hari. Kurangnya sosialisasi orang tua mengakibatkan anak tidak lagi menjadikan bahasa daerah sebagai sense of belonging. Bahkan sebagian anak bangsa tak mengenal sama sekali bahasa daerahnya.
2. Disorientasi Kurikulum Pendidikan Kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih memprioritaskan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa daerah. Bahkan bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jerman, dan Jepang dinilai lebih berharga ketimbang bahasa daerah. Memang di beberapa sekolah di tingkat kabupaten masih menyertakan bahasa daerah dalam kurikulumnya, namun itu tak lebih dari sekedar muatan lokal (mulok) saja yang diajarkan tak lebih dari dua jam mata pelajaran dalam seminggu.Ketimpangan ini didorong oleh hasrat untuk dapat berkontestasi di era modern. Orientasi pendidikan yang berusaha menjunjung bahasa nasional dan internasional telah mengkebiri urgensi bahasa daerah menjadi bahasa marjinal.
3. Kurangnya Kesadaran Generasi Muda Generasi muda lebih suka melestarikan bahasa gaul dan bahasa asing ketimbang bahasa daerahnya sendiri. Budaya dan nilai-nilai yang berlaku di anak muda saat ini telah mengenyampingkan bahasa daerah. Mereka ter-"hipnotis" akan kemewahan semata dari bahasa gaul yang berkembang dalam keseharian. Tak lagi ada kesadaran bahwa bahasa daerah adalah warisan budaya luhur yang harus dilestarikan. Mereka tal lagi sadar bahwa mereka telah "membunuh" khazanah budayanya sendiri. Ketiga faktor internal tersebut telah menguliti bahasa daerah secara perlahan hari demi hari. Dinamika masyarakat modern saat ini mematikan perkembangan bahasa daerah, bahkan membunuhnnya pelan-pelan. Selain faktor internal itu, kita pun perlu melihat faktor eksternal yang bertanggung jawab atas pudarnya bahasa daerah ini :
1. Modernisasi dan Globalisasi Kemajuan peradaban yang canggih dan modern telah menciptakan proses globalisasi telah membuat dunia bagai kampung/desa raksasa yang terhubung oleh media komunikasi yang terus menglami perkembangan. Kemudahan akses komunikasi dan informasi yang dirasakan sebagai implikasi dari kemajuan tersebut tak lebih dari benalu yang menggerogoti kesuburan bahasa daerah. Media tersebut tak lebih daripada "makelar budaya" asing, termasuk bahasa asing, yang menginternalisasikan bahasa asing kepada masyarakat sehingga terbuailah mereka akan kelestarian bahasa daerahnya, bahasa bangsanya.
2. Eksistensi Bahasa Asing di Indonesia Bahasa asing yang telah ada di tanah air ini sejak masa kolonial kian eksis dan lestari. Modernisasi telah menuntut masyarakat untuk menguasai bahasa asing agar dapat berkonstestasi di dunia internasional, baik dalam aspek pendidikan, bisnis, ataupun politis. Memang hal ini baik jika dapat mengharumkan nama bangsa kelak, namun tanpa disadari semakin kita berhasrat dan pandai berbahasa asing, semakin bodoh pula kita untuk mengacuhkan bahasa daerah sebagai harta bangsa ini.
3. Dominasi Kultural Globalisasi telah menyemai benih-benih budaya barat ke berbagai belahan dunia sehingga terjadi pertautan antara budaya lokal dan budaya global. Demikian pula bahasa, bahasa asing yang telah mendominasi kehidupan masyarakat modern telah mengikis kebutuhan masyarakat akan bahasa daerah. Bahasa daerah dipandang lebih rendah derajatnya dibandingkan bahasa asing (bahasa Inggris, Mandarin, Jerman, Prancis, bahkan bahasa Arab termasuk di dalam hal ini). Mental inlander (pribumi) yang tercipta sejak masa kolonial telah mendoktrin masyarakat untuk memandang renah bahasa daerahnya sendiri, identitasnya sendiri. Pengaruh dominan kultur global, khususnya kultur bahasa asing yang terus disemai ke segala penjuru oleh negara-negara maju telah mencekik aliran nafas bahasa daerah. Baik faktor internal maupun eksternal, keduanya berdampak fatal bagi kelestarian bahasa daerah. Semakin sedikit masyarakat yang menggunakan bahasa daerah saat ini, maka jangan harap anak-cucu kita akan dapat bersapa dengan bahasa luhur daerahnya di masa kelak. Bukankan bahasa daerah adalah identitas bangsa Indonesia? Warisan leluruh bangsa? Kekayaan bangsa kita? Maka, sepatutnya masyarakat Indonesia harus membuka mata, membuka hati, dan kembali menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari. Kalau bukan bangsa ini sendiri yang tergerak melestarikan, tak akan ada bangsa lain yang sudi melestarikannya. Tentu tak cukup hanya berbekal tangan masyarakat saja untuk melestarikan bahasa daerah. Kontribusi pemerintah, terutama kemendikbud patut rasanya untuk ambil peran. Diharapkan pemerintah dapat mengubah orientasi kurikulum pendidikan untuk menyelaraskan antara modernitas dan tradisionalitas, antara bahasa global dan bahasa lokal, antara pendidikan dan kebudayaan. Pihak media baik yang berskala lokal maupun nasional juga dapat turut berpartisipasi dalam rangka resosialisasi bahasa daerah. Media-media dapat memberitakan isu-isu terkait pelestarian bahasa daerah, dan kembali menyertakan bahasa daerah dalam program-program unggulannya. Peran media sangat penting dalam mengubah cara pandang masyarakat untuk tidak terlalu xenosentris terhadap bahasa asing. Diharapkan pula para sastrawan juga dapat ikut berpartisipasi dalam menghidupkan bahasa daerah melalui karya-karyanya agar dapat dinikmati sekaligus memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk peduli terhadap bahasa daerahnya. Dengan dukungan dan koorperasi dari berbagai pihak yang merasa "masih" mencintai bahasa daerah, diharapkan harta karun bangsa ini dapat terus lestari. Marilah lestarikan bahasa daerah untuk kembali membumi, kembali lestari, terus abadi di tanah bumi pertiwi.

"Kembalikan titah bahasa daerah, bahasa ibumu, warisan bangsamu ke harkat singgasana yang luhur"
0
7K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan