VIVA.co.id – Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Raden Prabowo Argo Yuwono mengaku telah mendengar tentang program "Tamasya Al Maidah". Program itu mengajak umat Islam di luar Jakarta untuk menjaga tempat pemungutan suara (TPS) pada Pilkada DKI putaran kedua, 19 April 2017 nanti.
Seharusnya, Argo menegaskan, hal itu tidak usah dilakukan. Sebab saat hari pencoblosan, sudah ada pengamanan dari polisi maupun Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
"Pencoblosan sudah ada pengamanannya dan pengawasnya dan ada panitia KPPS. Masyarakat tinggal nyoblos sesuai hati nurani. Tidak perlu mengerahkan massa," kata Argo ketika dihubungi, Kamis, 16 Maret 2017.
Untuk mencegah pengerahan massa ini terjadi, mantan Kabid Humas Polda Jawa Timur ini berencana akan berkoordinasi dengan KPU DKI Jakarta. "Antisipasinya kami koordinasi dengan KPU DKI untuk sosialisasi," ujar Argo.
Beredar di media sosial dan aplikasi percakapan, poster dari Gerakan Kemenangan Jakarta (Gema Jakarta) yang mengajak umat Islam di luar Jakarta berjaga di TPS saat pencoblosan nanti. Hal itu dalam rangka mengawal penegakan surat Al-Maidah ayat 51.
Para peserta yang mau ikut dalam program ini dapat mendaftar melalui aplikasi Tamasya Al Maidah di Google Play Store.
Para peserta pria yang berpartisipasi diminta mengenakan kemeja putih dan songkok hitam. Sedangkan peserta perempuan mengenakan gamis dan jilbab berwarna gelap.
http://metro.news.viva.co.id/news/re...gamanan-di-tps
Quote:
Cerita tentang al-Maidah sepertinya terus akan berlanjut, terus akan digoreng. Terus akan dimain-mainkan hingga pelaksanaan Pilkada Jakarta putaran ke-2, pada tanggal 19 April 2017 nanti.
Beredar di media social suatu program yang diberi judul “Tamasya al-Maidah”. Dikatakan bahwa program ini pada dasarnya adalah AKSI BELA ISLAM. Isinya, seruan untuk ummat Islam di luar Jakarta agar datang ke TPS-TPS Pilkada DKI untuk PENEGAKKAN QS al-Maidah: 51.
Sekedar mengingat kembali: Ahok diperkarakan gara-gara dianggap menista QS. Al-Maidah: 51. Bunyi dari ayat ini adalah sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Maidah: 51)
Kata awliya di dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya. Merujuk pada Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama edisi revisi 1998 – 2002, pada QS. Ali Imran/3: 28, QS. Al-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata awliya diterjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia. Pada QS. Al-Taubah/9: 23 dimaknai dengan ‘pelindung’, dan pada QS. Al-Nisa/4: 89 diterjemahkan dengan ‘teman-teman’.
Banyaknya penerjemahan kata “awliya” menunjukkan bahwa secara penafsiran, QS. Al-Maidah ayat 51 tidak memiliki tafsir tunggal. Dengan kata lain, para ahli tafsir berbeda-beda dalam menafsirkan ayat ini. Pertanyaan besar kenapa tafsirnya berbeda, ialah merujuk pada hal ini: Apakah yang dimaksud “awliya” itu dalam urusan-urusan agama saja, atau mencakup semua urusan termasuk politik? Dari pertanyaan ini, ada dua jawaban yang berbeda:
Pertama, sebagian menyatakan bahwa yang dimaksud ‘awliya’ dalam ayat tersebut merujuk pada soal-soal atau urusan agama. Yang dimaksud urusan agama adalah akidah, ibadah, dan muamalah. Dalam tiga urusan ini, seorang muslim harus menjadikan seorang muslim pula sebagai “awliya”, dan tidak boleh menjadikan non muslim sebagai “awliya”.
Kedua, sebagian menyatakan bahwa yang dimaksud “awliya” dalam ayat tersebut merujuk pada semua urusan, termasuk urusan politik (siyasah). Bagi yang berpendapat demikian ini, pemimpin (apa pun) harus seorang muslim. Tak ada pembedaan apakah pemimpin di sini ini pemimpin partai, pemimpin perusahaan, pemimpin sosial, atau pemimpin birokrasi. Semua harus muslim. Tak boleh kafir. Tak boleh non muslim.
Nah, dalam konteks apa yang terjadi dan berkembang di Jakarta, seluruh rakyat Indonesia—tak hanya warga Jakarta—dipaksa oleh kalangan SCBD untuk menerima tafsir yang kedua di atas. Mereka tak hanya memaksa untuk menerima, tetapi juga MEMAKSAKAN KEHENDAK BAHWA TAFSIR SATU-SATUNYA AYAT TERSEBUT ADALAH HARAM MEMILIH PEMIMPIN NON MUSLIM.
Seakan-akan, ayat tersebut tak boleh dan tak bisa ditafsirkan dengan cara lain seperti yang telah saya kemukakan di atas. Tiap hari tiap saat, para “ulama”, tokoh islam, pentolan-pentolan SCBD di Jakarta dan sekitarnya menjejalkan pikiran ke otak kaum muslim untuk tidak memilih pemimpin non muslim, sebab ini perkara yang diharamkan, hingga melanggar perkara yang diharamkan akan berdosa besar.
Dari pemaksaan pikiran yang demikian itulah segala hal berkembang menjadi-jadi. Umpatan-umpatan kafir, munafik, neraka, dosa besar hingga olok-olok terhadap warga yang ketahuan memilih Ahok berkembang. Semua ini sesungguhnya berawal dari pemaksaan tafsir tunggal terhadap QS. Al-Maidah ayat 51 yang dilakukan oleh pentolan-pentolan SCBD. Termasuk urusan mayat yang dizalimi. Orang yang sudah mati saja masih disakiti, sungguh biadab.
Nyata sudah bahwa semua penyimpangan tersebut ditujukan hanya satu: Menjegal Ahok. Targetnya agar Ahok tak terpilih menjadi gubernur DKI. Masalahnya kemudian: Ketika Pilkada DKI selesai, apakah masalah pemaksaan penafsiran tunggal QS. Al-Maidah: 51 ini juga selesai?
Saya melihat, apakah Ahok terpilih menjadi gubernur ataukah justru Anies yang akan terpilih, problem keberagamaan Islam di Jakarta tidak otomatis selesai. Keadaan yang berkembang justru akan menjadi-jadi. Kaum SCBD akan terus bergerak secara massif dan sistematis memaksakan kehendak dan cara keberagamaannya yang kaku, radikal, intoleran, dan ekstrim. Ummat Islam di negeri ini akan terus-menerus dipaksa dan dicecoki cara keberagamaan yang demikian itu, sebab media-media mainstream—dengan berbagai alasan—ikut memproduksi dan mengembangkan isu-isu intoleransi.
Dan dari sisi nalar sehat, program yang disebut “Tamasya al-Maidah” ini adalah bukti kesekian kalinya bagaimana agama Islam justru sebenarnya dinistakan, dicabik-cabik, diseret-seret, sekaligus dipakai kedok untuk kepentingan nafsu dan politik orang-orang gendeng di Jakarta.
Tamasya mah ke dufan, ke puncak, ke taman mini... sumbu pendek tamasya koq ke TPS. bodoh koq keterlaluan

