Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

n4z1.v8Avatar border
TS
n4z1.v8
Amuk Sukarno pada Soeharto
Amuk Sukarno pada Soeharto



REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting, Wartawan Republika
Pagi hari, 12 Maret 1966, dari Istana Bogor, Presiden Soekarno naik helikopter menuju Istana Negara di Jakarta. Ia akan membuka rapat pimpinan ABRI di Istana Negara. Rapat itu dihadiri lengkap oleh semua unsur petinggi TNI dan Polri, kecuali Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto.

Suasana hari itu sangat berbeda dengan sehari sebelumnya ketika Bung Karno terpaksa harus lari dari sidang kabinet menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Saat itu, istana dikepung pasukan bersenjata, namun tanpa identitas kesatuannya.

Pada rapat pimpinan ABRI itu, Bung Karno akan membacakan surat perintah yang malamnya sudah dia berikan kepada Letjen Soeharto. Surat perintah itu tertanggal 11 Maret 1966. Belakangan disebut sebagai Supersemar.

Presiden Soekarno merasa heran karena orang yang dia berikan perintah, yakni Letjen Soeharto, malah tidak hadir. Padahal, panglima angkatan laut, angkatan udara, dan kepolisian hadir semua.


Soekarno pun mencari tahu mengapa dalam keadaan sangat penting, Letjen Soeharto selalu tidak hadir. Pertama, sidang kabinet, 11 Maret 1966, saat istana dikepung pasukan liar yang diduga dari angkatan darat. Di situ, Letjen Soeharto tidak hadir. Kedua, saat Rapim ABRI 12 Maret itu, lagi-lagi Soeharto pun tidak hadir. Ada sesuatu yang janggal, panglima angkatan darat tidak hadir dalam Rapim ABRI.

Bung Karno semakin terkejut ketika diberitahu bahwa Men/Pangad Letjen Soeharto telah membuat Surat Keputusan (SK) Presiden/PANGTI ABRI/Mandataris MPRS/ PBR No 1/3/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).

Bung Karno marah. Ia menilai, tindakan Soeharto ngawur dan bertentangan dengan isi serta jiwa Supersemar. Maka, Bung Karno memerintahkan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II J Leimena untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto sebagai pemegang Supersemar.

Trio jenderal, yakni Brigjen M Jusuf, Mayjen Basoeki Rahmat, Brigjen Amir Machmud, dipanggil ke Istana Bogor. Di sana, Presiden menumpahkan amarahnya. “Kamu nyeleweng! Kamu bikin laporan salah kepada Soeharto!” Kesaksian itu dikemukakan M Hanafi, mantan dubes di Kuba, dalam buku biografinya. Ia mengaku, berada di Istana Bogor saat peristiwa itu terjadi.

Menurut Soekarno, sebagaimana dikatakan oleh Amirmachmud, pembubaran partai adalah wewenang presiden. Tapi, menurut Amirmachmud, apa yang dilakukan Letjen Soeharto sudah sesuai dengan Surat Perintah 11 Maret, yaitu demi keselamatan bangsa dan negara, serta demi keselamatan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Mengapa Presiden Soekarno memanggil trio jenderal ke Istana Bogor? Karena, melalui ketiga jenderal ini pula, Letjen Soeharto memberikan pesan kepada Presiden Soekarno. Ketiganya meminta Bung Karno memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengatasi masalah keamanan setelah istana dikepung pasukan liar.

Soekarno pun mengeluarkan Surat Perintah (SP) 13 Maret 1966 yang intinya mencabut kembali Supersemar. Presiden Soekarno mengutus Leimena dan Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut merangkap Komandan Korps Komando AL Mayjen KKO Hartono untuk menyerahkan SP 13 Maret 1966 kepada Soeharto di rumahnya.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Soeharto tak menggubris perintah kedua ini. “Sampaikan kepada Presiden, segala tindakan yang saya ambil adalah tanggung jawab saya sendiri!” ujar Soeharto.

Bagaimana isi Surat Perintah 13 Maret 1966? SP 13 Maret terdiri atas tiga hal. Pertama, mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/ administratif, tidak politik. Semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS.

Kedua, Letjen Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan tindakan yang melampaui bidang politik sebab bidang politik adalah wewenang langsung Presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak Presiden semata-mata. Ketiga, Letjen Soeharto diminta datang menghadap Presiden di istana untuk memberikan laporannya.

Menurut Slamet Sutrisno, dosen sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden. Ia juga tidak melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret.

Sementara itu, mantan Waperdam I Soebandrio menyatakan, dalam naskah asli SP 11 Maret sebenarnya tertera poin, setelah keadaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno. Hal ini dikuatkan oleh Letjen Kemal Idris, “Itu biasanya kalau ada surat perintah untuk melaksanakan tugas dan kalau sudah selesai, ya harus lapor.”

Namun hal itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan kekuasaannya sendiri.” Maka, tak mengherankan jika sampai ini, Arsip Nasional Republik In donesia (ANRI) tidak memiliki naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 dan Surat Perintah 13 Maret 1966. Hanya Soeharto, sebagai penerima dua surat itu, yang mengetahui di mana kedua surat saksi sejarah bangsa. Semua pelaku dan saksi kedua surat penting itu kini telah tiada. Itulah sisi kelam sejarah bangsa pada masa peralihan dari Soekarno kepada Soeharto.

http://www.republika.co.id/berita/se...-pada-soeharto
==================

Supersemar Asli Tanyakan pada Keluarga M Jusuf atau Soeharto


Jakarta - Naskah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) beredar di Internet. Namun di mana naskah Supersemar asli, masih misterius. Naskah asli itu bisa ditanyakan pada keluarga M Jusuf dan Soeharto.

M Jusuf adalah satu di antara tiga jenderal (Basuki Rachmat, Amir Mahmud, dan M Jusuf) yang menghadap Soekarno di Istana Bogor pada 11 Maret 1966, menyerahkan surat itu.

Sejarahwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan draf asli diperlukan untuk membuktikan naskah di internet itu asli atau tidak.

"Lebih baik ditanyakan lagi kepada istri Jenderal Jusuf, Eli Jusuf," ujar Asvi saat dihubungi detikcom, Minggu (30\/11\/2008).

Sedangkan sejarahwan Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong menyatakan, naskah tersebut sangat sukar untuk dinyatakan asli. Anhar malah tetap berkeyakinan bahwa naskah asli berada di tangan Soeharto.

"Dari dulu saya berkeyakinan naskah asli ada di Soeharto," jelas dosen sejarah dari UI ini kepada detikcom lewat telepon, Minggu (30\/11\/2008).

Anhar berpendapat, Soeharto sebagai penerima mandat dipastikan lebih mengetahui keberadaan naskah tersebut.

"Saya yakin beliau (Soeharto), yang paling tahu keberadaannya. Tapi kini sudah meninggal, mungkin bisa kita tanya ke keluarga Pak Harto," imbuhnya.

M Jusuf sempat diharapkan publik mengungkap tabir suksesi politik dari Presiden Soekarno ke Soeharto. Namun di saat misteri Supersemar belum terungkap, M Jusuf keburu wafat 8 September 2004 pada usia 76 tahun di Makassar. Buku biografinya yang diharapkan mengungkap misteri Supersemar juga tidak sesuai yang diharapkan publik.
(nwk/nrl)

http://news.detik.com/berita/1045588...-atau-soeharto
=============

Supersemar, Surat Sakti Penuh Misteri

Meski sudah berusia 50 tahun, Supersemar masih menuai kontroversi. Surat perintah bertanggal sebelas maret yang mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan di Republik Indonesia itu menyimpan segudang misteri.

Dari sisi sejarah Supersemar adalah surat yang mengawali peralihan kepemimpinan nasional dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru. Ia juga merupakan surat sakti yang menentukan kelahiran dan keabsahan pemerintahan Soeharto, sekaligus "penyingkiran" Soekarno.

Namun, pengungkapan misteri seputar Supersemar bisa dibilang menemui jalan buntu karena surat aslinya tidak diketahui keberadaannya. Ia hilang secara misterius. Bersama dengan raibnya surat maha penting itu, berbagai spekulasi pun muncul.

Orang bertanya tentang siapa yang menyimpan surat itu, siapa sebenarnya yang membuatnya, seperti apa isinya, hingga apa tujuan dibuat dan bagaimana perintah itu kemudian dilaksanakan.

Dalam artikel berjudul “Arsip Supersemar 1966” yang diterbitkan Kompas 10 Maret 2015, ditulis:

Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu.

Namun hingga saat ini setidaknya ada tiga versi naskah Supersemar yang beredar di masyarakat. Pertanyaannya: Mengapa ada tiga? Mana yang asli? Apakah ada bagian yang ditutupi?

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini menyimpan tiga Supersemar. Namun, ketiganya memiliki versi masing-masing.

Pertama, Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama "Sukarno".

Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama. Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu.

Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama "Sukarno", pada versi kedua tertulis nama "Soekarno".

Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.

"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi Warman Adam, peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016).

Selain yang disimpan ANRI, ada pihak-pihak lain yang mengaku memiliki naskah aslinya (buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, halaman 80).


Beberapa sumber menyebutkan bahwa naskah asli Supersemar disimpan di sebuah bank di luar negeri, sedangkan sumber lain menyebut yang asli sebenarnya sudah tidak ada karena dibakar dengan tujuan tertentu.

Dalam wawancara oleh Majalah Forum edisi 13, 14 Oktober 1993, mantan Pangdam Jaya sekaligus mantan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengatakan bahwa naskah asli Supersemar diserahkan oleh Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan dirinya kepada Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.

Namun kemudian Pak Harto menyerahkan surat itu pada Soedharmono untuk keperluan pembubaran PKI. Setelah itu surat tersebut “menghilang.” Apakah dikembalikan pada Soeharto karena Soedharmono mengaku tidak menyimpannya, atau disimpan orang lain?

Menurut Amirmachmud naskah asli Supersemar terdiri dari dua lembaran. Itu sebabnya buku “30 Tahun Indonesia Merdeka” ditarik dari peredaran karena di dalamnya memuat naskah Supersemar yang palsu, hanya satu lembar.

Penugasan atau Pemaksaan?

Nah, selain soal keaslian, cerita mengenai proses kelahiran Supersemar juga kontroversial. Dalam buku “Kontroversi Sejarah Indonesia” (Syamdani halaman 189), diceritakan ada mantan anggota Tjakrabirawa , Letnan Dua Soekardjo Wilardjito yang menyaksikan bahwa Bung Karno menandatangani Supersemar pada 11 Maret 1966 dibawah todongan pistol FN kaliber 46.

Dikatakan Wilardjito, saat itu Mayjen Nasoeki Rachmat (saat itu Pangkostrad), Mayjen Maraden Panggabean (Wakasad) Mayjen M Yusuf dan Mayjen Amirmachmud mendatangi Soekarno di istana Bogor dengan membawa map merah muda.

M Yusuf kemudian menyodorkan sebuah surat yang harus ditandatangani. Sempat terjadi dialog dengan Bung Karno. Wilardjito mengaku, dari jarak tiga meter di belakang Soekarno, dia melihat Basoeki Rachmat dan M Panggabean menodongkan pistol. Bila itu yang terjadi, maka orang bisa menyimpulkan bahwa sedang terjadi kudeta.

Namun begitu, keterangan Wilardjito dibantah M Yusuf dan Amirmachmud. Dalam buku “Kontroversi Sejarah Indonesia” halaman 186 Amirmachmud hanya menyebutkan sempat ada rencana membawa senjata ke Bogor.

“Adalah Pak Jusuf yang mengusulkan supaya kita bawa bren, bawa sten, dan segala macam. Saya bilang, di sana ada dua batalyon Cakra (Tjakrabirawa), kita mau apa di sana?” katanya.

Cerita lain,menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.

Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.

"Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi, Kamis.


Kontroversi selanjutnya adalah soal isinya. Bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya. Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority.

Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan. Dengan interpretasi seperti itulah, Soeharto kemudian naik ke tampuk kekuasaan.

Mengungkap Kebenaran

Kini, setelah 50 tahun berlalu, belum ada jawaban terang soal pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal. Namun ada harapan bahwa kegelapan itu terungkap.

Salah satu titik berangkatnya adalah konsistensi Arsip Nasional Republik Indonesia dalam mencari dokumen asli Supersemar.

Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.

UU kearsipan itu berisi aturan tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu, Daftar Pencarian Arsip (DPA) juga disinggung.

Sejarawan Asvi Warman Adam berharap ANRI mendorong keluarnya peraturan pemerintah atas UU Kearsipan.

Apabila pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang lebih untuk mencari naskah asli itu.

Bisa jadi, kewenangan itu termasuk menggeledah pihak-pihak yang mungkin menyimpan naskah otentik Supersemar tersebut.

Bila itu yang terjadi, maka ada harapan terjadi pelurusan sejarah. Bila dahulu sejarah selalu disesuaikan oleh kepentingan penguasa, kini sejarah juga memasukkan pandangan dan temuan dari banyak orang.

Adagium “Sejarah ditulis oleh para pemenang” tidak lagi jadi sesuatu yang mutlak.

Walau Soeharto tak lagi berkuasa, dan tak ada dampak langsung secara politik, pengungkapan misteri Supersemar tetap memiliki arti bagi bangsa Indonesia. Setidaknya sebagai bangsa, sejarah kita dengan gamblang bisa diceritakan.

Pengungkapan Supersemar juga menjadi peringatan bagi para penguasa agar tidak membelokkan sejarah untuk kepentingannya. Karena mereka bisa saja menuliskan sejarah menurut kemauannya, namun tidak bisa menghapuskan kebenaran.

http://nasional.kompas.com/read/2016....Penuh.Misteri
=================

Ketika sebuah sejarah disembunyikan, sementara hasil dari sejarah itu selalu dijadikan alat untuk tujuan politik sesaat dan dijadikan alat untuk memfitnah seseorang atau sekelompok orang, entah dengan tuduhan2 tendensius dan vulgar, atau hanya dengan kata2 bersayap, pada dasarnya siapapun yang membanggakan sebuah sejarah ini adalah manusia2 munafik. Kenapa demikian? Sebab bagaimana mungkin meyakini kebenaran sementara kebenaran yang mereka yakini itu ada 3 versi? Bagaimana mungkin meyakini kebenaran sementara saksi2 sejarah tersebut saling menyangkal satu sama lain? Padahal yang namanya sebuah kebenaran itu adalah sesuatu yang haq, bukan ini benar itu benar atau ini salah itu salah. Jadi alangkah bodohnya jika ada seseorang atau sekelompok orang yang memuji-muji sebuah kebenaran dalam tanda kutip itu untuk jualan politik di Pilkada DKI Jakarta, sementara dia sendiri dipastikan tidak mengetahui apakah sejarah itu benar atau salah!

Suharto dipuji Rizieq karena berhasil menumpas PKI katanya. Apakah Rizieq juga mau memuji pembantaian era Suharto terhadap ummat muslim pada kasus Tanjung Priok???? Banjir darah yang tergenang digang sempit dan dijalanan, pembunuhan brutal dengan senapan mesin tanpa memandang tua muda? Lupakah Rizieq? Ataukah dia hanya punya jualan isu PKI? Silakan jadi Ulama, jadi Kyai, jadi Ustadz, jadi pemuka agama apapun juga. Tapi tetaplah LURUS!!!! Sekali ikut berkutat dengan politik, maka sesungguhnya hati seseorang itu patut dipertanyakan. Tahukah mereka, para laskar2 calon penghuni surga itu (katanya) dengan sepak terjang Suharto? Ataukah mereka hanya tahu dari sebelah sisi saja, hanya masalah PKI PKI dan PKI saja. 3 huruf yang sampai detik ini masih sangat ampuh buat mendiskreditkan seseorang atau sebuah partai besar sekalipun! 3 huruf yang bisa merubah hidup seseorang hanya dengan fitnahan. 3 huruf yang sangat menakutkan sehingga orangpun bisa menyerah dan tunduk dengan kemauan sekelompok manusia jahat demi ambisi politik. 3 huruf yang selalu jadi bahan jualan paling menggiurkan dan bernilai tinggi.

Coba tanya sama mereka, dimanakah keberadaan Supersemar? Paling mereka planga plongo!

emoticon-Cool
0
3.3K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan