- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Kisah Mak Hindun dan spanduk tolak jenazah pemilih penista agama


TS
BeritagarID
Kisah Mak Hindun dan spanduk tolak jenazah pemilih penista agama

Ilustrasi masjid.
Spanduk penolakan menyalatkan jenazah pemilih penista agama yang dipasang di sejumlah masjid/musala di Jakarta kembali menimbulkan perdebatan.
Perdebatan menghangat setelah jenazah Mak Hindun (78), meninggal pada Selasa (7/3/2017), disebut keluarga ditolak disalatkan oleh musala dekat rumahnya di Jl. Karet Raya, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Neneng, putri bungsu Mak Hindun, bercerita pada Liputan6.com perihal jenazah sang ibunda yang menurut pengakuannya tak hanya ditolak, melainkan turut ditelantarkan oleh warga sekitar.
Awalnya, Neneng dan keluarganya ingin agar jenazah Hindun disalatkan di musala. Namun, ditolak oleh pengurus musala Al Mukminum, Ustaz Ahmad Syafii, yang beralasan bahwa saat itu tidak ada orang yang hadir untuk menyalatkan. Selain itu, tidak ada orang yang menggotong jenazah Hindun ke musala.
Ustaz Syafii pun memutuskan untuk datang ke rumah Hindun dan menyalatkannya di situ. Dan pada saat disalatkan, warga lain yang turut hadir hanyalah empat orang.
Hindun memiliki empat orang anak yang seluruhnya--termasuk Neneng--sudah menjanda. Hindun sendiri meninggal karena penyakit tua yang telah dideritanya sejak lama.
Neneng menduga, keengganan warga untuk menyalatkan disebabkan karena sang ibunda ketahuan memilih pasangan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, Februari kemarin.
Saat pencoblosan, empat petugas KPPS mendatangi rumah mereka untuk meminta Hindun menggunakan hak pilihnya.
"Ya namanya orang tua sudah nggak tahu apa-apa, nyoblos asal saja. Kebetulan yang dicoblos nomor dua dan dilihat sama empat orang petugas itu," cerita Neneng.
Sejak saat itu, beraneka macam tudingan hinggap pada keluarganya yang disebut warga sebagai pendukung penista agama.
"Keluarga kami dituduh kafirlah, mereka anggap kami semua milih Ahok, padahal itu kan Mak nggak tahu apa-apa, asal nyoblos saja," sambung Neneng.
Meski begitu, pernyataan yang berbeda muncul dari Ustaz Ahmad Syafii yang diwawancarai oleh Tribunnews.
Syafii menjelaskan, pilihan untuk menyalati jenazah Hindun di rumahnya disebabkan karena tidak adanya laki-laki yang bisa mengangkat jenazahnya ke musala.
Terlebih, saat mau disalatkan, penggali kubur sudah menghubungi dirinya agar jenazah cepat diantarkan untuk dikuburkan.
"Mau disalatin gimana? Orang nggak ada, terus tukang gali kubur minta cepat terus," tegasnya.
Syafii pun menyayangkan kesalahpahaman yang terjadi karena spanduk dan gunjingan warga yang semakin membuat keruh suasana.
"Ini banyak yang nggak paham. Sekali pun saya cuma sendirian yang menyalatkan, itu berarti mewakili 40 keluarga di sini, begitu ajaran Islam," terang Syafii.
Ihwal serupa juga terjadi pada keluarga Yoyo Sudaryo (56), warga RT 05/02 Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama.
Yoyo mengaku terpaksa menandatangani surat pernyataan untuk memilih paslon Anies Baswedan-Sandiaga Uno agar jenazah mertuanya, Siti Rohbaniah (80), disalatkan oleh pengurus salah satu masjid di Pondok Pinang.
Dilansir Wartakota, Yoyo bercerita, satu hari setelah sang mertua wafat karena sakit, Rabu (8/3/2017), keluarga kesulitan untuk menyalatkan jenazah karena pengurus masjid tidak mau mengurusnya.
Jenazah baru disalatkan Kamis (9/3/2017) siang setelah Yoyo terpaksa menandatangani surat pernyataan yang disodorkan Ketua RT setempat. Itu pun setelah jenazah terbengkalai sekitar satu jam.
Akar masalahnya adalah, Yoyo dan keluarga dituding oleh warga sekitarnya sebagai pendukung pasangan cagub-cawagub nomor dua.
Menangapi soal penolakan ini, cagub DKI Anies Baswedan mengaku menyayangkan adanya ancaman terhadap masyarakat yang mendukung pemilih non-Muslim.
"Aksi mengancam bisa menghasilkan reaksi mengancam pula. Walau atas inisiatif pribadi, bisa membuat suasana makin tidak sehat," kata Anies dalam siaran tertulisnya, Sabtu (11/3/2017).
Kekecewaan muncul dari Djarot. Pasangan dari Ahok dalam Pilkada DKI ini mengaku tindakan penolakan ini primitif dan tidak terpuji, bahkan jauh dari nilai-nilai Islam.
"Tolonglah jangan campur adukkan persoalan pilkada dengan agama. Mengurus saudara kita yang meninggal sesama muslim hukumnya fardu kifayah," sebut Djarot dalam Jawa Pos.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) pun turut berkomentar. Melalui siaran persnya, Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) menilai perlu untuk meluruskan dan mengingatkan soal penolakan tersebut.
"Mensalatkan janazah saudara sesama muslim adalah kewajiban syar'i bagi yang hidup dan hak syar'i bagi jenazsah untuk disalatkan. Jika kewajiban syar'i ini dengan sengaja ditinggalkan, berdosalah seluruh umat dalam lingkungan masyarakat/kampung itu," kata Sekjen PP DMI, Imam Addaruqutni, Minggu (12/3/2017).
Sebagai catatan, spanduk yang sebelumnya terpasang di musala Setiabudi telah diturunkan setelah kejadian meninggalnya Mak Hindun.
Ketua RT setempat, Abdul Rachman menyebut, spanduk itu sebelumnya dipasang oleh warga Muslim sekitar sebagai bentuk ungkapan atas dukungan terhadap Islam.
"Spanduk ada, ya itu jemaahnya atas persetujuan jemaah yang massa Islam mungkin. Jadi cuma ungkapan umat Islam di sekitar musala saja," beber Abdul.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...-penista-agama
---
Baca juga dari kategori BERITA :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
1.1K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan