budimansiaAvatar border
TS
budimansia
Jurang Orang Kaya & Miskin Makin Melebar. Bank Dunia Cemaskan Konflik Sosial
JENDERAL TITO: JURANG ANTARA ORANG KAYA DAN MISKIN SEMAKIN MELEBAR
SENIN, 18 JULI 2016 , 19:08:00 WIB

RMOL. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui misi Muhammadiyah menyelesaikan berbagai persoalan sosial di masyarakat khususnya terkait masalah kemiskinan, melalui pendekatan pendidikan dan dakwah.Menurutnya, hal itu sejalan dengan tugas dan fungsi Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban nasional (Kamtibnas).

Pasalnya Tito menjelaskan, tingginya angka kriminalitas di Indonesia sedikit banyak disebabkan masalah kemiskinan di masyarakat. Masyarakat Indonesia saat ini masih didominasi kelas bawah dengan standar hidup di bawah garis kemiskin.

Dia berpandangan, angka kriminalitas bisa ditekan apabila tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. Dia berharap Muhammadiyah bisa bekerja sama dengan Polri sesuai dengan perannya masing-masing dalam menyejahterakan masyarakat.

Mantan Kapolda Metro ini juga menambahkan bahwa jarak antara orang kaya dan orang miskin saat ini semakin lebar. Ada perbedaan signifikan yang kasat mata terkait taraf hidup di masyarakat.

Menurut Tito, saat ini kemampuan daya beli masyarakat semakin rendah sedangkan harga kebutuhan pokok semakin mahal.

"Gap antara the have dan the have not semakin lebar. Ini adalah tanggung jawab bersama untuk memperkecil gap. Kerja sama harus dibangun antara Muhammadiyah di bidang pendidikan dan pihak kepolisian," demikian mantan Kapolda Metro Jaya itu.
http://www.rmol.co/read/2016/07/18/2...makin-Melebar-


Laju Ketimpangan Orang Kaya-Miskin Indonesia Tercepat di Asia
Koefisien Gini terus meningkat dari 30 poin pada 2000 menjadi 41 pada 2014, yang merupakan rekor tertinggi. Ketimpangan Indonesia sekarang sama seperti Uganda dan Pantai Gading.
Kamis, 10 Desember 2015 | 17:56 WIB



Bank Dunia mencatat, tingkat ketimpangan kesejahteraan hidup orang Indonesia semakin tinggi dalam 15 tahun terakhir. Laju tingkat ketimpangannya pun paling cepat di antara negara-negara di kawasan Asia Timur. Kondisi ini bisa menimbulkan dampak negatif berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi dan potensi konflik sosial.

Menurut Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo A. Chaves, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 15 tahun terakhir relatif stabil. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita tumbuh rata-rata 5,4 persen per tahun antara 2000 sampai 2014. Pencapaian ini membantu pengurangan angka kemiskinan dan menciptakan kelas menengah yang terus tumbuh.

Jika angka kemiskinan sebelum krisis ekonomi 1997/1998 mencapai 24 persen dari total penduduk, pada 2014 sudah turun menjadi 11 persen. Adapun jumlah kelas menengah bertambah menjadi 45 juta orang atau 18 persen dari total penduduk. Kelas menengah ini mengacu pada pengeluaran belanja bulanan minimal Rp 1 juta per orang.



Namun, kondisi tersebut cuma menguntungkan 10-20 persen orang kaya di Indonesia. Konsumsi per orang kelompok 10 persen orang kaya Indonesia meningkat 6 persen per tahun selama kurun 2003-2010. Sedangkan konsumsi kelompok 40 persen orang miskin cuma tumbuh kurang 2 persen per tahun. Alhasil, jumlah orang miskin sejak tahun 2002 hingga tahun lalu cuma berkurang 2 persen. Kelompok miskin ini yang belanja bulanannya di bawah Rp 300 ribu per orang.

“Kalangan mampu meningkat lebih cepat dari mayoritas masyarakat Indonesia,” kata Rodrigo saat memaparkan hasil kajian Bank Dunia bertajuk “Akhiri Ketimpangan untuk Indonesia” di Jakarta, Selasa lalu (8/12). Ketimpangan kesejahteraan yang semakin melebar tersebut terlihat dari terus naiknya Koefisien Gini masyarakat Indonesia. Ini adalah alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan atau kekayaan masyarakat. Angka 0 Koefisien Gini menunjukkan kesejahteraan sepenuhnya dan angka 100 sangat timpang.

Setelah krisis ekonomi 1997-1998, jumlah orang miskin meningkat sehingga Koefisien Gini juga naik karena setiap orang terkena dampak krisis. Namun, orang kaya yang paling terpukul keras oleh krisis tersebut.


Perbandingan Rasio Gini


Meski krisis sudah berlalu, Koefisien Gini terus meningkat dari 30 poin pada 2000 menjadi 41 pada 2014, yang merupakan rekor tertinggi. Koefisien Gini Indonesia sekarang sama seperti Uganda dan Pantai Gading, serta lebih buruk dari India,” imbuh Rodrigo. Bahkan, tingkat ketimpangan Indonesia melaju paling cepat di antara negara-negara tetangganya di Asia Timur. Padahal, beberapa negara jiran, seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand mencatatkan penurunan angka Koefisien Gini.

Melebarnya ketimpangan kesejahteraan tecermin juga dari terpusatnya akumulasi kekayaan pada minoritas penduduk Indonesia. Mengacu data Credit Suisse, Bank Dunia mencatat kelompok 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menghimpun separuh total aset negara ini.

Rasio tersebut setara dengan Thailand, yang menempati posisi kedua dari 38 negara yang didata Credit Suisse. Peringkat pertama adalah Rusia, dimana 1 persen orang terkayanya menguasai 66,2 persen dari total aset negara tersebut.

Bank Dunia menyimpulkan empat penyebab meningkatnya tingkat kesenjangan kesejahteraan atau pendapatan masyarakat Indonesia. Pertama, kesempatan atau peluang mendapat hidup layak tidak setara. Lead Economist Bank Dunia Vivi Alatas menyebut, ketimpangan dimulai sejak anak-anak lahir, terutama di pelosok daerah. “Ketika lahir, anak-anak kehilangan kesempatan mendapatkan akses sanitasi, kesehatan, dan pendidikan,” katanya.

Kedua, ketidaksetaraan pekerjaan. Pekerja yang punya keahlian tinggi menerima kenaikan gaji namun pekerja kasar tidak memiliki peluang untuk meningkatkan keahliannya. Alhasil, mereka terjebak dalam produktivitas rendah, sektor informal dan gaji rendah. Ketiga, terpusatnya kekayaan pada segelintir orang yang kemudian diturunkan ke generasi berikutnya.

Keempat, rentan terhadap goncangan perubahan ekonomi. Sekitar 28 juta orang Indonesia saat ini tergolong miskin dan 68 juta orang termasuk rentan miskin. Kelompok inilah yang bisa terporosok bila ada guncangan ekonomi.

Berdasarkan survei Bank Dunia, 47 persen responden menganggap isu ketimpangan kesejahteraan ini sangat penting untuk ditangani pemerintah dan 41 persen menganggap cukup penting. “Berdasarkan survei nasional, ketika diminta memilih antara mendorong pertumbuhan ekonomi atau ketimpangan, lebih 50 persen memilih mengurangi ketimpangan,” kata Rodrigo.

Melebarnya jurang ketimpangan kesejahteraan juga dapat menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan risiko konflik sosial. Berdasarkan riset, saat total pendapatan kelompok 20 persen orang kaya naik 5 persen, pertumbuhan ekonomi malah melambat 0,4 persen. Sebaliknya, ketika pendapatan kelompok 20 persen orang miskin naik 5 persen maka ekonomi tumbuh 1,9 persen.

Sedangkan negara dengan tingkat ketimpangan kesejahteraan yang tinggi berpotensi mengalami konflik 1,6 kali lebih besar. Sebab, adanya perbedaan pendapatan dan pelayanan antara satu daerah dengan daerah lain. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut juga akan menggerus perekonomian.

Agar risiko tersebut tidak terjadi, Bank Dunia merekomendasikan empat langkah mengatasi ketimpangan kesejahteraan. Pertama, memperbaiki pelayanan publik di daerah. Khususnya untuk mengurangi ketimpangan kesejahteraan sejak lahir.

Kedua, menciptakan lapangan kerja dan peluang melatih keterampilan bagi tenaga kerja. Ketiga, memastikan perlindungan sosial dari guncangan ekonomi. Keempat, menggunakan pajak dan anggaran belanja pemerintah untuk mengurangi ketimpangan saat ini dan di masa depan.



Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo menyatakan, pemerintah berupaya mengurangi ketimpangan dari sisi ketenagakerjaan. Caranya dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk meningktkan kompetensi, keterampilan dan sertifikasi tenaga kerja. “Kalau pendidikan penting, tapi hasilnya baru bisa diperoleh 5-10 tahun ke depan,” katanya.

Selain itu, pemerintah berusaha menekan pengangguran di usia muda dan meningkatkan upah minimum kaum buruh. Upah tersebut harus adil, baik bagi buruh maupun pengusaha, penghitungannya sederhana, dan bisa diprediksikan setiap tahun. Karena itulah, pemerintah mulai tahun depan memberlakukan formula baru penghitungan upah berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi saban tahun.
http://katadata.co.id/telaah/2015/12...rcepat-di-asia


Faisal Basri:
Masalah Ketimpangan Memang Sudah Parah
August 18, 2015

Pada hari proklamasi kemerdekan ke-70, saya menulis di blog ini dengan judul “Kemiskinan dan Ketimpangan Setelah 70 Tahun Merdeka” (http://wp.me/p1CsPE-1bl).Indeks Gini atau Koefisien Gini meningkat terus setelah krisis 1998. Koefisien Gini mengukur tingkat kesenjangan pendapatan. Angka Koefisien Gini berkisar antara nol (ektrem tidak timpang atau ekstrem merata) sampai satu (ketimpangan ekstrem atau paling timpang). Angka di bawah 0,4 masuk dalam kategori baik, angka antara 0,3 sampai 0,4 masuk kategori sedang, dan angka di atas 0,4 tergolong kategori buruk.

Koefisien Gini yang tercantum di tulisan sebelumnya itu sebetulnya tidak mencerminkan ketimpangan pendapatan karena sampai sekarang kita tidak memiliki data tentang pendapatan rumah tangga. Data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik (BPS) adalah data pengeluaran yang menjadi proksi pendapatan.

Sudah barang tentu Koefisien Gini berdasarkan data pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan yang lebih baik atau lebih rendah ketimbang data pendapatan. Perbedaannya bisa mencapai 0,2.

Perbedaan kaya-miskin dalam hal pengeluaran atau belanja jauh lebih kecil (konvergen) dibandingkan perbedaan kaya-miskin berdasarkan pendapatan. Sekaya-kayanya seseorang, makanan yang masuk ke dalam perutnya sangatlah terbatas. Kenikmatan yang mereka dapatkan terkendala dengan waktu. Orang kaya yang sakit-sakitan tidak bisa menikmati kekayaannya secara maksimal.

Jika Koefisien Gini berdasarkan data pengeluaran menghasilkan angka 0,41 (ketimpangan sedang) selama tiga tahun terakhir, maka kalau ditambah 0,2 menjadi 0,61 (ketimpangan buruk).

Indikator apa lagi yang bisa kita gunakan untuk memperkuat konstatasi bahwa kondisi ketimpangan di Indonesia sudah masuk kategori buruk?

Pertama, kajian Thomas Piketty (buku karanganya Capital in the Twenty-First Century)yang mengunakan proksi yang lebih dekat dengan pendapatan menunjukkan pola perkembangan ketimpangan Indonesia serupa dengan pola negara-negara maju yang mengalami pemburukan ketimpangan, termasuk Amerika Serikat yang paling buruk itu. ketimpangan di Indonesia lebih buruk dari China dan India.



Kedua, struktur kepemilikan simpanan di bank. Ternyata simpanan senilai 100 juta atau kurang sangat dominan, mencapai 97,78 persen rekening. Jumlah rekening dengan nominal Rp 100 juta sampai Rp 300 juta atau kurang hanya 1,01 persen. Selebihnya hanya “nol koma” dan yang di atas Rp 5 miliar hanya 0,04 persen.



Ketiga, financial inclusion index Indonesia relatif sangat rendah, hanya 36,1 persen. Artinya hanya 36,1 persen penduduk usia dewasa yang memiliki akun di bank, lembaga keuangan lainnya, dan mobile account. Mayoritas orang miskin sudah barang tentu tak pernah menyentuh jasa keuangan formal.



Keempat, masih di sektor keuangan, jumlah investor saham berdasarkan jumlah sub-rekening efek di C-BEST belum sampai setengah juta atau persisnya 448.248 sub-rekening (per Mei 2015).

Kelima, pemilikan obligasi pemerintah maupun korporasi tampaknya juga hampir 100 persen dikuasai orang-orang kaya dan kondisinya lebih buruk ketimbang ketimpangan dalam pemilikan simpanan di bank dan obligasi (surat utang).



Keenam, ketimpangan dalam pemilikan lahan sebagaimana terlihat dari Koefisien Gini untuk pemilikan tanah sangat tinggi, menembus angka 0,7. Data Sensus Petanian terbaru (2013) menunjukkan perbaikan (kembali ke 0,6) walaupun masih saja dalam kategori buruk.
https://faisalbasri.com/2015/08/18/m...g-sudah-parah/


Ketimpangan Melebar Bank Dunia Waspadai Konflik Sosial di RI
Selasa, 08/12/2015 18:33 WIB


Ketimpangan Melebar Bank Dunia Waspadai Konflik Sosial di RI Dua anak mandi di kolong Tol Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (11/5). (Antara Foto/Reno Esnir)

Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia menyimpulkan ketimpangan pendapatan yang melebar di Indonesia dalam 15 tahun terakhir sudah mengkhawatirkan dan berisiko menimbulkan ketegangan sosial.

Hal itu tercermin dari rasio Gini yang diukur Bank Dunia berdasarkan hasil survei di Indonesia, yang meningkat dari dari 30 poin pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2013 hingga saat ini.

Dalam survei yang dilakukan pada 2014, mayoritas responden menilai distribusi pendapatan di Indonesia tidak merata dan mendesak pemerintah untuk bertindak mengatasi ketimpangan.

Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo Chaves mengatakan meskipun ekonomi tumbuh dan kemiskinan berkurang di Indonesia, tetapi pemerataan pertumbuhan sulit tercapai sampai saat ini.

“Kalangan mampu maju jauh lebih cepat dari mayoritas masyarakat. Indonesia berisiko mengalami pertumbuhan yang lebih lambat serta konflik sosial apabila terlalu banyak masyarakat Indonesia tertinggal. Potensi mereka yang hilang juga merupakan hilangnya potensi Indonesia,” jelas Chaves dalam keterangan resmi Bank Dunia, Selasa (8/12).

Dalam laporannya bertajuk “Indonesia Rising Divide”, Bank Dunia menilai ketimpangan berisiko menghalangi potensi pertumbuhan ekonomi dan bisa memicu ketegangan sosial,.

“Kekhawatiran mengenai implikasi jangka panjang ketimpangan turut mempengaruhi 60 persen responden survei, sehingga mereka mengatakan rela jika pertumbuhan ekonomi lebih rendah asalkan ketimpangan juga berkurang,” kata Rodrigo.

Ia menjelaskan, sebenarnya responden tidak harus memilih antara pertumbuhan atau ketimpangan yang mengecil, karena riset terbaru menunjukkan bahwa Rasio Gini yang lebih tinggi akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dan kurang stabil.

Rodrigo menambahkan, kisah sukses Brazil bisa menjadi contoh kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat berperan dalam mengurangi ketimpangan. Khususnya kebijakan yang terkait dengan upaya untuk mengatasi penyebab utama ketimpangan seperti ketimpangan peluang, ketimpangan pasar tenaga kerja, konsentrasi kekayaan, dan ketimpangan ketahanan terhadap guncangan.

Langkah Perbaikan

Lead Economist Bank Dunia di Jakarta, Vivi Alatas mengatakan Indonesia dapat memperbaiki infrastruktur di tingkat provinsi agar anak-anak di pelosok provinsi memiliki kesempatan yang sama dalam menerima layanan kesehatan dan pendidikan. Kedua itu dinilainya ikut menentukan peluang mereka di masa mendatang.

“Ketika anak-anak tersebut mulai bekerja, Indonesia dapat menyediakan pelatihan keterampilan bagi pekerja informal, agar mereka tidak terperangkap dalam pekerjaan upah rendah tanpa peluang mobilitas,” jelasnya.

Menurut Vivi, banyak pilihan kebijakan fiskal yang bisa dilakukan pemerintah yakni dengan meningkatkan pendapatan yang dapat dibelanjakan pada program-program yang akan berdampak langsung pada masyarakat miskin, seperti program perlindungan sosial seperti bantuan tunai bersyarat, beasiswa pendidikan, serta pelatihan keterampilan kerja informal.

Dia menambahkan, meningkatnya pendapatan negara dapat membantu menjembatani kesenjangan ekonomi. Bank DUnia menyarankan agar sumber pungutan pajak diperluas guna menambahkan dana yang diperlukan untuk meningkatkan belanja infrastruktur, pelayanan kesehatan, program bantuan sosial dan program jaminan sosial.

Ekonom Senior Bank Dunia bidang Kemiskinan, Matthew Wai-Poi mengatakan kebijakan pemerintah bisa mengurangi frekuensi dan besarnya goncangan, serta memastikan agar setiap rumah tangga dapat menikmati perlindungan yang layak ketika terjadi gejolak. .“Ini adalah investasi jangka panjang yang diperlukan bagi Indonesia,” katanya.

Ia mengatakan terdapat beberapa pilihan kebijakan lain bagi pemerintah, antara lain meningkatkan layanan umum pada tingkat lokal. “Kunci perbaikan ketimpangan bagi generasi berikutnya terletak pada peningkatan pelayanan umum di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten karena hal ini dapat memperbaiki kesehatan, pendidikan dan peluang keluarga berencana secara merata,” katanya.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...-sosial-di-ri/

---------------------------------

Ini bukan perkara mau menakut-nakuti. Tapi para pakar dan bahkan Bank Dunia sudah setahun lalu (2015) pernah mencemaskan akan terjadi konflik sosial di Indonesia akibat ketimpangan kekayaan yang semakin buruk, terutama sejak zaman SBY berkuasa selama 10 tahun terakhir itu.

Kini ketika ekonomi Indonesia memasuki masa sulit akibat resesi ekonomi sejak 2012 lalu, dimana harga pangan semakin mahal dan PHK terjadi dimana-mana, kesabaran rakyat kalangan bawah yang merasa di-marginal-kan selama masa pasca reformasi lalu, bisa saja meledak setiap saat. Itulah yang banyak dicemaskan banyak kalangan yang paham kondisi sosial ekonomi di tanah air belakangan ini. Termasuk tentunya Kapolri Jenderal Tito itu. Hanya beliau saja nggak mau ngomong vulgar dan apa adanya tentang kondisi masyarakat kita saat ini. Mudah-mudahan semua elit kita segera sadar, dan cepat mengantisipasi semua kemungkinan terburuk.

Saran saya, cobalah rezim Jokowi nggak usah malu-malu untuk belajar dari kebijakan ekonomi dan sosial yang pernah dilakukan BJ Habibie selagi beliau menjadi Presiden di masa sulit krismon 1998 dan pasca reformasi lalu. Beliau melakukan kebijakan politik anggaran yang ketat dan penghematan besar-besaran. Untuk kalangan miskin dan korban PHK, beliau melakukan 'social safety net' berbentuk penjualan beras murah untuk kalangan miskin (raskin), dan memberikan lapangan kerja padat karya untuk kalangan perkerja kasar berupa program padat karya. Untuk dunia usaha rakyat kecil (UMKM), beliau menggelontorkan dana pinjaman tanpa jaminan via koperasi kepada pengusaha kalangan kecil dan menenengah. Hasilnya? Kurang dari setahun, ekonomi membaik, gejolak sosial bisa diredam, dan kurs rupiah bisa turun dari Rp17.000 menjadi Rp7.000perdollar.
Diubah oleh budimansia 18-07-2016 13:47
0
8K
44
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan