muhamadbayu11Avatar border
TS
muhamadbayu11
SAUDI BANGKRUT! Kerajaan Kini Sibuk Cari Utang
Menengok ambruknya ekonomi Arab Saudi, utang sana-sini



Merdeka.com - Ekonomi Arab Saudi saat ini dilanda masalah besar. Setelah bertahun-tahun menggali minyak dan menjualnya dengan harga tinggi, Arab saudi kini terjepit karena harga minyak dunia yang merosot tajam.

Negara seperkasa Arab Saudi akhirnya terpaksa mencari utang untuk menutupi belanja negaranya. Mereka telah meminjam uang atau menambah utang sebesar USD 4 miliar melalui penerbitan obligasi pada tahun lalu. Ini adalah untuk pertama kalinya dalam 8 tahun terakhir.

Tidak berhenti di situ, krisis keuangan memaksa Arab saudi kembali mengambil dana investasi luar negeri mereka yang disimpan lembaga pengelola aset global, BlackRock. Kebijakan ini diambil karena cadangan devisa mereka telah terkuras hampir USD 73 miliar untuk mempertahankan ekonomi dan mendanai kampanye militer di Yaman.

"Bank sentral Saudi telah menghabiskan USD 50 miliar hingga USD 70 miliar lebih selama enam bulan terakhir," ucap CEO Insigh Discovery, Nigel Sillitoe seperti dilansir CNN, Jumat (10/1).

Analis Stratfor Timur Tengah dan Asia Selatan, Michael Nayebi-Oskoui mengatakan, Arab Saudi merasa nyaman membawa kembali likuiditas mereka saat krisis. Arab Saudi disebut lebih suka menyimpan uang tunai di tangan.

CNN Money menjelaskan betapa sulitnya perekonomian Arab Saudi. Berikut faktanya:

1. Defisit anggaran parah


Anjloknya harga minyak dunia melukai perekonomian Arab Saudi. Bagaimana tidak, pendapatan negara ini sangat tergantung dari penjualan minyak mentah, sama seperti Brasil, Qatar, dan Rusia.

Rendahnya harga minyak dunia menyulitkan Arab Saudi untuk menyeimbangkan pengeluaran dengan pendapatan negaranya.

Capital Economics memperkirakan defisit transaksi berjalan Arab Saudi bisa meroket hingga 7,5 persen dari PDB di tahun ini. Padahal, dalam beberapa dekade terakhir, Arab Saudi selalu merasakan surplus anggaran hingga 20 persen dari PDB.

Selain itu, investor di seluruh dunia diperkirakan akan menarik uang mereka dari Timur Tengah. Akibatnya, Arab Saudi harus berjuang keras melawan arus modal keluar yang jumlahnya tidak sedikit.

2. Cadangan devisa terkuras



Data terbaru menyebutkan, Arab Saudi telah menghabiskan USD 77 miliar cadangan devisa untuk menutupi pengeluaran negara.

Cadangan devisa di Bank sentral Arab saudi telah jatuh dari puncaknya yaitu USD 746 miliar di pertengahan 2014 menjadi hanya uSD 669 miliar pada akhir Juli lalu.

"Ini adalah realitas baru ekonomi Arab saudi," ucap ekonom Capital Economics, Jason Tuvey dalam laporannya pekan ini.

3. Pengelola keuangan menderita banyak arus keluar

Perusahaan pengelola keuangan juga harus merasakan kesakitan ekonomi Arab Saudi. Selama ini, perusahaan telah menikmati dan mengelola uang yang sangat banyak dari Negara Teluk.

Perusahaan yang menjadi favorit negara Timur Tengah dalam mengelola dana investasi luar negeri adalah BlackRock dan Franklin Templeton.

BlackRock mengaku telah menderita karena banyaknya arus modal keluar di Eropa, Timur Tengah dan Afrika selama kuartal II-2015. Nilainya disebut mencapai USD 24 miliar.

"Banyak yang menarik uang tunai karena kebutuhan. Ini juga didorong isu sentimen negatif," kata CEO BlackRock, Larry Fink. Namun, dia tidak menyebut nama negara yang menarik uang itu.


4. Belanja Arab Saudi boros

Belanja negara Arab Saudi tergolong boros. Mereka bertindak seolah harga minyak dunia masih di atas USD 100 per barel.

Ketika Raja Salman bin Abdulazis mengambil alih kekuasaan awal tahun lalu, dia mengalokasikan USD 30 miliar belanja negara. Ini termasuk untuk pembayaran besar untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Tak hanya itu, Stratfor memperkirakan, Arab Saudi telah menghabiskan USD 5 miliar hingga USD 8 miliar untuk biaya militer di Yaman. Berperang melawan pemberontak Houthi, Arab Saudi juga memberikan bantuan keuangan miliaran dolar ke Mesir.

http://m.merdeka.com/uang/menengok-a...ran-parah.html

-------
Sumber Barat :

Saudi Arabia Preparing To Fuel Its $100 Billion Oil War With Debt


Saudi Arabia has probably spent around $100 billion of its foreign reserves by now to prosecute its war against American shale and other low-cost oil producers. The oil kingdom’s decision one year ago not to cut production to support oil prices has driven the price of both Brent crude and West Texas Intermediate down below $50 a barrel, but Saudi Arabia will have to spend a lot more to win the battle.

Now, there are signs that Saudi Arabia is preparing to double down on its strategy with debt. The Financial Times reports that Saudi Arabia is getting ready to borrow funds in the international bond market to further finance its big effort to protect its market share in the oil world and make life impossible for U.S. shale. Saudi Arabia needs the money to keep its expensive social contract going in the face of rising budget deficits that are the result of its fast diminishing oil revenues. The oil kingdom is under further financial stress because of its costly military intervention in Yemen.

In a way, Saudi Arabia is taking a page out of the playbook of the U.S. shale producers, which have become the most powerful force in the global oil market—the swing producer—financing their huge expansion with cheap debt. Russia’s Igor Sechin, president of oil giant Rosneft, recently said that U.S. shale oil has steam rolled into control of the world oil market backed by $150 billion of debt.


So far Saudi Arabia only has some small victories to show for its big oil war against U.S. shale. Rigs in operation in the U.S. have fallen to 771 from peak levels of 1,925, according to data from Baker Hughes. There have been maybe 20 corporate oil bankruptcies, but most of them have been tiny. The biggest bankruptcy involved oil driller Samson Resources, which was the subject of a huge $7.2 billion leveraged buyout led by KKR in 2011. Shares of some big publicly-traded shale oil companies like Continental Resources are down 35% in the last year, but others like Pioneer Natural Resources have only seen a 15% drop in the 12 months since Saudi Arabia announced its new policy.

U.S. oil production has fallen by about 500,000 barrels a day from its peak, but America is still producing an enormous 9.1 million barrels a day. To put that in perspective, the U.S. was producing 6.8 million barrels a day three years ago.

The U.S. shale oil machine has proven to be pretty resilient. U.S. shale oil producers have cut costs and learned to be more efficient. Companies like Anadarko Petroleum have reduced drilling times and costs—and created a so-called fracklog by not fully completing wells and essentially storing oil in the ground until prices rebound. The break-even point for U.S. shale oil seems to have come down substantially.

On the surface, it seems like it’s going to be lower for longer when it comes to oil. Saudi Arabia is pumping more oil per day than ever and is taking its battle to non-OPEC producers like Russia, exporting ever lower-priced product to refineries in countries like Poland. Russia’s economy has been hit but it’s still pumping 10.78 million barrels per day, more oil than at any time since the days of the Soviet Union. And Iran is set to dump even more oil on international markets in the coming year.

Saudi oil minister Ali al-Naimi and new King Salman are indicating they are not backing down. The Financial Times reports Saudi Arabia could increase debt levels as high as 50% of gross domestic product within five years, up from extremely low levels today. The stakes are always higher when debt is involved. For U.S. shale, the corporate debt markets have remained robust and U.S. corporate bankruptcy law means that even those companies that fail might only be scooped up by distressed investors waiting on the sidelines with boatloads of cash and ready to turn things on again if oil prices rise. Saudi Arabia will have to prove that it can be equally nimble carrying a large debt load on its back


FORBES : http://www.forbes.com/sites/nathanva.../#39fcf5946344



-------
AS Kurangi Import Hingga 50% , Arab Saudi Bangkrut Sungguhan


Meski keberadaan shale telah dideteksi sejak puluhan tahun silam baru satu dekade terakhir upaya penambangannya membuahkan hasil Adalah Amerika Serikat yang sukses mengekstrak minyak dan gas dari shale ini
Reporter: Redaksi

KATADATA – Eksplorasi bahan bakar merupakan kegiatan yang yang menjanjikan keuntungan besar, tapi juga menguras modal tidak sedikit. Tak jarang, pengeboran berujung buntu karena faktor teknis dan medan, atau deposit bahan bakar yang ditemukan tak sesuai harapan.

Sejumlah mineral memang tersimpan di lokasi yang sulit ditebus mesin bor. Salah satu mineral itu adalah minyak dan gas shale (serpihan), dinamai demikian karena letaknnya berada di bebatuan dan sulit dijangkau.

Meski keberadaan shale telah dideteksi sejak puluhan tahun silam, baru satu dekade terakhir upaya penambangannya membuahkan hasil. Adalah Amerika Serikat yang sukses mengekstrak minyak dan gas dari shale ini.

Keberhasilan ini bahkan disebut sebagai revolusi energi dunia, dan menjadi alternatif sumber energi baru. AS pun muncul sebagai negara baru pengekspor bahan bakar. Bahkan untuk gas, mengalahkan Rusia sebagai penyuplai terbesar.

Advertisement
Tak pelak, kondisi tersebut menekan harga gas dunia dan membuat sejumlah negara eksportir tradisional di Asia mulai mencari pasar baru. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa, shale membalikkan jalur lalulintas perdagangan bahan bakar yang sebelumnya dari dari Timur ke Barat.

Berkat penambangan shale di AS, impor bahan bakar negara ini menurun hingga separuhnya dalam lima tahun terakhir. Ini sekaligus merupakan berita baik bagi Asia, yang mengalami peningkatan kebutuhan bahan bakar untuk menopang laju pertumbuhan ekonominya selama beberapa dekade ke depan. Ketergantungan terhadap bahan bakar dari Timur Tengah juga menurun sehingga harga tak lagi bergejolak manakala terjadi krisis di negara-negara Arab.


http://katadata.co.id/public/media/o...ale-gasWEB.jpg
------


Arab Saudi Bangkrut , Cari Pinjaman 100 Milyar US Dollar



RIYADH, ARRAHMAHNEWS.COM – Arab Saudi dilaporkan mencari pinjaman senilai 10 miliar dolar dari pemberi pinjaman internasional. Ini adalah pinjaman luar negeri paling signifikan yang diminta monarki tersebur dalam satu dekade.

The Independent pada Kamis (03/03) kemarin melaporkan bahwa pemerintah Arab Saudi dikatakan telah mengirim undangan kepada bank-bank dunia demi membahas pinjaman dalam bentuk dolar AS. (Baca juga: Saudi Bangkrut! Hibah Senjata ke Libanon Dialihkan Untuk Biayai Perang di Yaman)

Meski dalam undangan tidak disebutkan jumlah dana, sumber mengatakan pinjaman yang akan diminta tersebut bernilai 10 miliar dolar, atau lebih.

Monarki yang mengobarkan agresi ke negara tetangganya Yaman itu sebelumnya telah menaikkan harga bensin dalam negeri hingga 40 persen sebagai bagian dari tindakan untuk mengatasi rekor defisit anggaran sebesar 100 miliar dolar pada tahun 2015. (Baca juga: MEMANAS! Sengketa Arab Saudi dan UEA Meningkat di Yaman)

Subsidi untuk air, listrik dan bensin diperkirakan akan dikurangi dalam lima tahun ke depan. Selama ini kerajaan menetapkan harga murah bagi penduduk untuk membeli dukungan rakyat atas nama kesejahteraan sosial. Perubahan PPN dan peningkatan pajak pada minuman ringan dan tembakau juga direncanakan.

Sebelum harga minyak mulai jatuh pada pertengahan 2014, Arab Saudi, seperti banyak negara-negara Teluk lainnya bergantung pada minyak untuk membayar utang Pemerintah dan hanya meminjam sedikit dari bank internasional. (Baca juga: Kedok Hubungan Mesra Israel-Saudi Terbongkar, Pangeran Saudi Tegaskan Tak Peduli Palestina)

Banyak negara Teluk lain diperkirakan akan meningkatkan pinjaman mereka dengan tajam saat mereka mencapai batas kemampuan untuk dapat membiayai belanja negara.

Qatar telah meminjam sebanyak 5,5 milyar di bulan Januari, sekitar waktu yang sama pemerintah Oman juga meminjam 1 miliar dolar melalui pinjaman internasional. (ARN)


Spoiler for Sumur:


-------

Sebelumnya. . . . .

Defisit Membengkak, Arab Naikkan Harga Bensin hingga 67 Persen

RIYADH, KOMPAS.com - Arab Saudi awal pekan ini menaikkan harga bensin hingga leibh dari 50 persen. Kenaikan karena pemotongan subsidi seiring dengan melonjak defisitnya anggaran negara itu.

Biaya listrik, air, solar, dan minyak tanah juga akan naik namun besarannya belum diumumkan, demikian keputusan dewan menteri yang dipimpin oleh Raja Salman. Demikian dilaporkan kantor berita resmi Arab, SPA, Senin (28/12/2015).

Arab menaikkan harga bensin tanpa timbal menjadi 0,90 riyal sekitar Rp 3.300) dari 0,60 riyal per liter alias naik 50 persen. Sedangkan untuk bensin dengan kualitas yang lebih rendah naik 67 persen menjadi 0,75 riyal (sekitar Rp 2.750) dari 0,45 riyal.

Meski demikian, harga BBM di Saudi masih yang termurah di kawasan Teluk. Harga BBM itu dinaikkan seiring pemotongan subsidi menyusul anggaran belanja Saudi yang memecahkan rekor defisit. (baca: Harga Minyak Jatuh, Defisit Anggaran Arab Saudi Membengkak)

Kabinet mengatakan kenaikan itu seiring dengan harga energi internasional.

Arab Saudi mengikuti jejak dari tetangganya Uni Emirat Arab, yang menjadi negara Teluk pertama yang meliberalisasi harga BBM awal tahun ini.

Kuwait juga mencabut subsidi solar dan minyak tanah pada awal tahun 2015 dan berencana melakukan pemotongan lainnya awal tahun depan, terutama pada listrik dan bensin.

Negara-negara Teluk lainnya sedang mempertimbangkan langkah-langkah serupa.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan biaya langsung subsidi energi di negara-negara Teluk mencapai 60 miliar dollar AS. Jika biaya tidak langsung seperti beban lingkungan dan lalu lintas jalan dihitung, biaya naik menjadi 175 miliar dollar AS.

IMF menyatakan, jika Arab Saudi menaikkan harga BBM-nya ke tingkat Teluk, itu akan menghemat sekitar 17 miliar dollar AS per tahun.
Editor : Erlangga Djumena
Sumber : Antara

------

Diubah oleh muhamadbayu11 07-03-2016 07:43
sebelahblog
anasabila
anasabila dan sebelahblog memberi reputasi
2
9.8K
54
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan