Kaskus

Story

merchagaAvatar border
TS
merchaga
Sekolah merry ( true life always the hard game)
SMP MARRY

Inilah jamannya, waktu saya masih SMP. Orang yang dianggap cantik oleh si Bondan, waktu saya kelas tiga SMP, kayaknya cuma si Merry deh. Teman sekelas saya. Jangan bergerak, sekarang saya mau cerita tentang si Merry.

Selain keturunan Tionghoa, si Merry juga keturunan nabi Adam. Dia juga suka turun dari mobil yang mengantarnya ke sekolah. Kupingnya dua, hidungnya satu. Pokoknya cocoklah untuk menjadi penghuni bumi. Kakinya dua. Tangannya dua.

Saya pernah tidur di temani oleh si Merry, yaitu waktu sedang belajar di kelas. Maksudnya, tidak cuma ditemani oleh si Merry, tapi juga oleh teman-teman sekelas. Terus dilempar kapur oleh pak Thalib, guru biologi. Itu membuat saya jadi bangun dan disuruh cuci muka.

Berbeda dengan pembantunya si Merry, saya tidak pernah bertemu ayahnya Merry. Eh, pernah sih ketemu, tapi lebih tepat dikatakan melihat, yaitu setiap ketika ayahnya mengantar si Merry ke sekolah.
“Ayahmu ganteng, Mer”
“Oh, iya dong”
“Sayang, pintu mobilnya suka ditutup”
“Kenapa gitu?”
“Aku jadi gak bisa lihat”
“Ih!”

Banyak hal yang bisa saya ingat dari si Merry. Pertama, dia perempuan. Kedua, kalau ke sekolah seragamnya sama dengan yang lain. Ketiga, waktu jam istirahat, saya melihat dia lagi duduk bersama temannya. Namanya Yuli. Kelas tiga juga, tapi dari kelas yang lain, dan kurus. Kurus banget, cocok untuk tinggal di Ethiopia, tapi dia gak mau. Sebelum pergi ke kantin saya dan teman-teman mendatangi Merry dulu:
“Boleh nanya, Mer?”
“Nanya apa?”
“Siapa yang paling kamu cintai di dunia ini?”
“Pengen tahu aja!”
“Iya pengen tahu. Siapa, Mer?”
“Kedua orangtuaku lah”, jawab si Merry sambil senyum dan memandang temannya.
“Selain kedua orangtuamu? Ada gak?”
“Siapa? Gak ada! Udah ah!”
“Ada laaah pasti”, saya bilang begitu.

Mungkin Merry langsung curiga bahwa saya sudah mendengar gosip Merry pacaran sama si Adnan, anak kelas lain. Dan Merry merasa saya sedang ingin mendesaknya untuk dia menjawab: Adnan.
“Siapa ya? Siapa, Yul?”. Merry nanya ke Yuli. Yuli ngangkat bahunya.
“Siapa?”, saya tanya lagi.
“Tuhan”. Dia memandang saya dan menjawabnya sambil senyum.
“Tuhan?”
“Iya. Kenapa gitu?”
“Ah” saya memandang teman-teman: ”Kalau Tuhan sih...sainganku berat nih!”
Merry ketawa, Yuli juga, kawan-kawan saya juga.
“Kirain si Adnan!”, kata saya lagi seraya pergi keluar bersama teman yang ketawa.

Mau gimana lagi, itulah merry. Entah di mana dia sekarang. Mudah-mudahan masih ada di bumi. Kalau dia baca ini, mudah-mudahan dia nanti akan bilang:”Kok waktu kamu dulu ngirim surat ke aku, enggak diceritain sih?”

Oh iya. Saya pernah ngirim surat ke dia. Surat itu di dalam amplop tertutup. Saya nulisnya di dalam kelas, waktu jam istirahat. Terus nyuruh si Afud untuk dikasihin ke si Merry yang lagi ngobrol di luar bersama teman-temannya.
“Kalau udah dikasihin, kamu jangan pergi dulu, Fud”
“Kenapa?”
“Tunggu dia bikin surat jawabannya”
“Oh. Iya. Siap”
“Beneran, Fud. Tungguin”
“Iya!”

Dari jendela kelas, saya bisa lihat si Afud sedang nunggu si Merry membaca surat itu bersama teman-temannya. Kalau mereka ketawa mungkin karena isi suratnya adalah ini:

Kepada
Merry yang cantik
Jangan tahu, ya, siapa yang nulis surat ini. Gak penting, yang jelas bukan Afud. Ini surat pemberitahuan saja bahwa yang bernama di bawah ini:
Nama: Afud, atau Mahfud.
Kelas: 3 D. Teman sekelasmu.
suka sama kamu. Suka ngomongin kamu dari senin sampai minggu. Katanya kamu cantik, seperti Enny Beatrix. Afud ingin jadi pacar kamu, tapi malu mau bilang. Ini Afudnya yang nganterin surat. Jangan sampai Afud tahu isi surat ini ya.
Dadah!

Penulis Rahasia

Teman-teman si Merry nunjukin surat itu kepada si Afud untuk dibaca. Si Afud bukannya marah, saya lihat dia ketawa. Si Afud pasti langsung bilang saya penulisnya.

Afud tentu saja adalah dia, kawan saya yang baik dan selalu riang gembira. Saya pikir harusnya dia merasa terjebak dalam persahabatan yang tak terhindarkan dengan saya. Dan Merry, siapa pun dirinya, sama sekali saya tidak ada rasa ingin menjadi pacarnya, dari dulu hingga sekarang. Bahwa apa yang sudah saya lakukan kepadanya, saya melakukannya juga kepada yang lain. Kepada si Lela, kepada si Rena, kepada si Erni dan kepada siapa saja. Saya tidak pernah punya pacar selama hidup di SMP. Tidak pernah ingin. Hidup saya seolah-olah dikhususkan hanya untuk bermain.

Bagi saya, ketika mengingat semua itu, mudah-mudahan tidak pernah akan berpikir untuk ingin kembali ke masa lalu, karena saya tahu hal itu sudah gak mungkin. Ada tempat di dunia saya yang sekarang, yang cukup baik untuk gembira mengenangnya, sambil makan sosis yang dicelup ke dalam saos malam ini. Dan apa rasanya membayangkan bagaimana malaikat mencatat semua itu, mudah-mudahan sambil tersenyum.
Mesjid Rolling Stones (Bagian I)
Waktu itu saya masih SMP. Seperti biasa, menjelang magrib, pergi ke mesjid, berkumpul di tengah mesjid, agak deket dengan mimbar, mengerumuni microfon untuk mengumandangkan puja-puji kepada Allah. Ada si Piyan, ada si Entis, ada si Wildan dan lain-lain sebagainya.
“Allah pasti bilang: Berisik!”
“Kenapa?”
“Kan Allah Maha Mendengar, ditambah pake speaker”
“Iya sih”
Tapi dengan speaker, rasanya seperti keren. Suara kami tidak cuma didenger oleh Allah, tapi juga oleh semua mahluk yang ada di dunia! Termasuk oleh Ibu. Termasuk oleh Ayah. Termasuk oleh orang yang sedang sakit gigi.
“Ibu denger aku enggak? Tadi, di speaker mesjid?”
“Denger. Iya, harus begitu”
“He he he. Bukan!”
“Denger apa?”
“Tadi aku teriak: “Bi Ruah minta uang!”. Denger enggak?”
“Kamu ini!”
Bi Ruah itu pembantu di rumah saya. Nanti deh saya cerita tentang bi Ruah. Sekarang saya mau cerita tentang mas Oki dulu mumpung sudah ngantuk.
Jaman itu, mas Oki masih muda, tapi usianya jauh lebih tua dari kami. Sudah tamat SMA tapi tidak kuliah dan rambutnya ikal. Suka ada di mesjid kalau sedang tidak ikut bapaknya jualan beras di pasar.

Di mesjid, dia suka mukul bedug sebelum adzan. Juga suka ngejemur karpet mesjid setiap hari kamis. Dia itu apa ya? Dia itu manusia dan anggota DKM, Dewan Kebersihan Mesjid, tapi dulu istilahnya bukan DKM, entah apa.

Pokoknya saya suka menyebut si mas Oki itu dengan sebutan Ikan mas Oki. Keren kan? Kedenger jadi seperti Ikan Mas Koki. Saya ngomongnya cuma ke teman, mas Oki jangan sampai tahu, nanti dia marah.

Suatu hari dia marah karena ada yang nempelin stiker Rolling Stones di podium mesjid. Mas Oki curiga, pelakunya pasti ada diantara anak-anak yang nanti akan ngaji setiap habis shalat magrib.

Bener aja, mas Oki datang. Minta izin ke Mang Auf, guru ngaji kami, untuk mau nanya siapa yang berani nempel stiker:
“Siapa yang nempelin stiker Rolling Syaiton ini!?”. Dia ngacungin stikernya. Kami semua pada diam. Tidak ada yang ngaku.

Anak-anak bingung dan takut kalau-kalau Mas Oki akan menuduhnya, karena memang tidak. Saya lihat mata Mas Oki memandang saya, sebentar sih, habis itu dia bicara:
“Sekarang kalian boleh gak ngaku. Tapi Allah pasti Maha Tahu, siapa yang nempel stiker ini di rumah-Nya. Nanti pasti akan disiksa di neraka!”
“Ngaku aja. Siapa?” Mang Auf ikut nanya. Tapi tetap tak ada yang ngaku.
“Ya sudah kalau begitu. Tanggungjawab sendiri di akhirat. Makasih Kang Auf”

Di rumah, sebelum tidur, saya senyum, inget Mas Oki bilang Rolling Syaiton. Dan langsung kepikiran juga dengan ancamannya bahwa nanti harus tanggungjawab di akhirat. Saya langsung bingung, apa yang harus saya jawab kalau ditanya malaikat:
”Pidi, kenapa kamu nempelin stiker Rolling Stones di podium mesjid Al-Muhazirin?”.
”Itu stiker punya kakakku”, dan langsung minta maaf. Minta dimaklum karena dulu saya masih anak kecil, masih belum mengerti bahwa stiker Rolling Stones tidak cocok ditempel di mesjid dan itu dosa.
“Terus, kenapa, waktu di bumi, kamu ngunci toilet dari luar padahal ada Mang Muston di dalamnya?”
“Kapan?”
“Waktu dia kencing di toilet mesjid?”
“Kok jadi nanya itu?”
“Kenapa? Jawab”
“Mang Muston itu gak asik!”
“Kenapa?”
“Kami lagi muji-muji Allah, microfonnya diambil”
“Terus?”
“Dia maunya sendirian. Kami gak boleh! Kataya berisik”
“Terus?”
“Kenapa dulu harus ada Mang Muston, bersama kami?”
“Kenapa memang?”
“Harusnya dia di Mars. Anak-anak Alien juga pasti gak akan suka?”
“Tapi kalau kalian yang megang microfon, kalian gak cuma muji Allah, kalian juga suka ngejek orang”
“Ngejek apa?”
”Halo, halo. Pengumuman, si Umang gak pernah mandi!”
“Bukan aku ih! Itu si Nandan”
“Kamu juga. Tapi nama yang diejeknya beda!”
“Si Bakri?”
“Iya, ke si Bakri, ke Mang Oman juga, kamu pernah. Ke si Entis. Ke si Dadi. Kamu itu, banyak”
Habis itu saya tidur, sebelum dia bertanya lagi di dalam kepala saya
Diubah oleh merchaga 23-02-2017 21:49
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
777
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan