Donald Trump, 70 tahun, calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, berhasil menang dalam Pemilihan Umum Presiden 2016 yang digelar pada Selasa pagi (8/11) waktu setempat, kantor berita
Associated Press(AP) melaporkan.
Padahal, pelbagai jajak pendapat yang disuguhkan sebelum hari pemilihan lebih condong kepada kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton, 69 tahun.
Trump menggaet kemenangan di sejumlah negara bagian penting yang memiliki pendukung Demokrat dan Republik berimbang.
Negara bagian termaksud--dikenal sebagai swing states--adalah Florida, Ohio, Iowa, dan North Carolina.
Dan sebagaimana ditaksir, Trump menang di kantong-kantong Republik seperti Utah, Alabama, Kentucky, South Carolina, Nebraska, Indiana, West Virginia, Mississippi, Tennessee, Oklahoma, dan Texas.
Pun, yang pula mempercayakan suara kepadanya mencakup Georgia, Missouri, Montana, Louisiana, Arkansas, Kansas, North Dakota, South Dakota, Idaho, dan Wyoming.
Keseluruhan wilayah disebut adalah kawasan yang dikenal memiliki pendukung konservatif kuat.
Trump, lama masyhur sebagai taipan properti, menyempurnakan keunggulan setelah menjaring 10 suara elektoral (electoral vote) di Wisconsin. Tangkapan itu menggenapkan ambang 270 suara elektoral cukup bagi seorang calon untuk terpilih sebagai presiden.
AS agaknya tak menyediakan ruang bagi seorang perempuan menjadi presidennya ke-45. Delapan tahun lalu, negeri ini membuka peluang bagi Barack Obama, seorang keturunan Afrika-Amerika, terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama negara adidaya dunia.
Trump, yang pernah meragukan AS sebagai tanah tumpah darah Obama, kini menduduki kursi yang ditinggalkan lulusan sekolah dasar di Menteng, Jakarta Pusat, di Gedung Putih.
Sosok itu bahkan tidak beroleh kepercayaan dari mantan presiden dari kubu Republik, George W. Bush, dengan memilih abstain di bilik suara, begitu tulis USA Today.
Sosok yang disebut bakal mengancam pelbagai warisan kebijakan pendahulunya; sosok yang, dalam pidato kemenangan di hadapan pendukungnya, menyatakan "saya cinta negeri ini".
Dalam pidato yang sama, sosok itu berujar, "kini tiba saatnya warga Amerika untuk menjahit luka perpecahan. Ini waktu bagi kita untuk bisa bersama sebagai satu kesatuan".
"Saya berjanji kepada tiap warga negeri ini," katanya, "bahwa saya akan menjadi presiden bagi seluruh penduduk Amerika".
Kata-kata beda nada dari ketika masa kampanye saat ia begitu tebal berprinsip mengenai pentingnya membentengi AS dari para pendatang.
Baginya, prioritas pertama adalah warga Amerika.
Di luar ihwal kemenangan Trump yang tidak disangka-sangka itu, keunikan sistem pemilihan presiden AS patut dibicarakan.
Kekhususan itu bernama, seperti telah disebut di tulisan ini, suara elektoral.
Dengan suara elektoral, pemilih tidak bisa secara langsung memilih calon presiden mereka.
Dengan sistem itu pula, seorang calon presiden dengan dukungan kuat di satu wilayah secara matematis muskil menguasai suara.
Meski warga setempat mencoblos Hillary atau Trump, tapi yang mereka tunjuk sebenarnya anggota Electoral College, lembaga pemilih presiden, yang memiliki suara elektoral dan tersebar di 50 negara bagian plus Washington, D.C.
Demi dapat berjaya dalam Pemilu, seorang calon presiden mesti menjangkau sedikit-dikitnya 270 dari 538 electoral votes.
Masing-masing negara bagian punya jatah berbeda yang banyaknya ditentukan oleh alokasi kursi Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tiap negara bagian.
Alokasi kursi Senat dan DPR sendiri bergantung kepada jumlah penduduk.
Negara bagian dengan jumlah suara elektoral besar lantas menjadi incaran para calon presiden. Florida, tempat Trump unggul, salah satunya.
Kasus yang mencuat dari sistem ini pernah dialami Al Gore, calon Demokrat pada Pemilu 2000.
Ia menang lebih dari 500 ribu suara (popular votes) atas George W. Bush. Namun, nama disebut terakhir justru terpilih sebagai presiden karena sukses menggayung 271 suara elektoral.
Al Gore terpaut tipis di bawahnya dengan 266 electoral votes.
Meski kemungkinan Trump juga menang popular votes, tetap saja keberhasilannya seolah menciptakan gempa. Soalnya, seperti tertulis diThe Washington Post, "(Trump) menempuh jalan sempit menuju kemenangan".
"Kita semua salah," demikian lanjutan berita itu. "Jajak pendapat salah. Kita pada dasarnya tak memahami Pemilu ini. Kita kira Hillary Clinton bisa unggul di wilayah (pendukung Republik). Tapi, Donald Trump (justru) menang di wilayah (pendukung Demokrat)".