- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
The Left Eye 2 (I Love You Ghost)
TS
rafa.alfurqan
The Left Eye 2 (I Love You Ghost)
CHAPTER 1
INILAH KISAHKU
INILAH KISAHKU
Namaku Lia, begitulah sehari-harinya aku dipanggil. Tahun ini aku akan berumur 26 tahun tepat pada tanggal 11 Maret nanti. Aku keturunan asli Jawa Tengah, dan aku dilahirkan di kota Wonosobo.
Hidupku sama seperti kalian, tidak ada yang “aneh”. Secara fisik, aku kategori orang yang sehat. Bahkan secara akademik, aku juga termasuk kategori orang yang cukup berprestasi. Dan tidak ada sesuatu yang membuat kehidupanku menjadi berbeda, mungkin sampai menjelang umurku ke-26 nanti.
Semenjak aku masuk SMA (Sekolah Menengah Atas) sampai dengan PT (Perguruan Tinggi), aku sudah belajar hidup mandiri. Karena itu aku sudah terbiasa hidup berjauhan dengan kedua orang tuaku dan adikku.
Meskipun aku adalah seorang perempuan, nyatanya niat dan semangatku untuk berjuang untuk kehidupan yang lebih baik kelak tidak kalah dengan anak laki-laki. Dan aku beruntung karena hal itu didukung penuh oleh keluargaku. Mereka menaruh kepercayaan mereka terhadapku kalau aku akan bisa menjaga harga diriku, martabatku dan nama baik keluarga kami dimanapun aku berada.
Dan aku menghargainya.
Kepercayaan mereka terhadapku aku bayar dengan prestasi-prestasi akademikku, sampai dengan mudahnya aku mendapatkan pekerjaan setelah aku lulus kuliah.
Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta terkenal di bidang mining di Jakarta. Awal masuk kerja, aku ditempatkan di salah satu site mereka yang berada di Kalimantan. Dan setelah bekerja disana selama kurang lebih 4 tahun, aku dipindah tugaskan ke pusat yang berada di Jakarta.
Disinilah aku mulai merasakan ada keanehan yang terjadi di hidupku.
Sebelum aku mulai dengan kisah ini, aku ingin bertanya dulu pada kalian.
Apa kalian percaya dengan hal gaib?
Dalam agamaku, mempercayai adanya hal gaib itu merupakan salah satu bentuk rukun iman. Karena yang di dalam rukun iman ada yang namanya beriman kepada Allah, dan juga ada yang namanya beriman kepada malaikat. Jujur saja, aku juga bukan orang yang benar-benar agamis. Tapi setidaknya aku tahu dasar ajaran dari agama yang aku anut.
Inilah kisahku yang akan aku kisahkan kepada kalian. Kisah nyata yang pernah aku alami sendiri. Kisah yang mengubah rencana hidupku yang telah kurencanakan sebelumnya.
Hal gaib itu nyata adanya. Mereka ada disekitar kita, melihat kita atau bahkan mungkin mentertawakan kita.
-0o0-
Semua itu dimulai ketika aku memutuskan untuk tinggal di rumah itu, sebuah rumah yang aku beli di kawasan Jakarta Timur.
“Lia, ini mau di taruh dimana?” ucap rian. Rian adalah salah satu teman kantorku. Saat itu rian, andi, dini dan reva sedang membantuku membersihkan rumah yang minggu kemarin baru aku beli.
“Ehhm, taruh di kamar itu dulu aja ian.” jawabku. Kemudian rian pun melakukan yang aku minta.
“Pada mau pizza gak?” tanyaku. Aku tahu mereka sudah cukup capek, setidaknya ini yang harus aku lakukan untuk membalas jasa mereka.
“Maaauuuuu” ucap mereka berbarengan. Dan aku pun mulai mengorder pizza sesuai dengan pesanan mereka.
“Yuk ah, istirahat dulu” ucap dini.
…
“Hoki banget sih lu lia bisa dapet rumah harga segini” ucap andi.
“Nah lu juga harusnya nyadar kalau mau punya rumah mesti nabung, ini gaji dua minggu masih nyisa aja udah sukur” ucap dini.
“Ya tapi harga rumah segini itu apalagi di kawasan ini ya, udah termasuk murah banget” balas andi membela diri.
“Iya emang” ucap rian sambil meminum sirup yang baru saja dibuat reva.
Ting tong ting tong…
“Eh tu kayanya pesanan pizza nya deh” ucap andi.
“Ya udah biar aku yang liat” ucapku dan langsung bergegas ke pintu masuk.
Sebelum aku lanjutkan cerita ini, aku ingin menceritakan keempat sahabatku ini. Mereka adalah teman-teman seangkatanku sedari kami mulai masuk di perusahaan tempatku bekerja.
Dini, dia orang yang supel. Kupikir dia lah yang membuat kami semakin akrab, meskipun kami sempat terpisah setelah beberapa dari kami ditugaskan di site-site yang cukup jauh dari Jakarta, pada akhirnya dia juga lah yang membuat hubungan kami berempat kembali akrab.
Reva, berbeda dengan dini yang supel, reva tipe orang yang pendiam. Tapi dia selalu bisa diandalkan ketika aku butuh masukan baik itu masalah pekerjaan ataupun masalah pribadi. Mungkin itulah sisi terbaik dari orang pendiam, mereka bisa dipercaya untuk menjaga rahasia kalian.
Andi, dia hobi makan. Karena itulah tubuhnya lebih gemuk dibandingkan rian. Dia orang Jakarta asli, sehingga apapun yang kami butuhkan dan kemanapun tempat yang ingin kami kunjungi, andi adalah solusi bagi kami.
Dan yang terakhir, Rian. Rian adalah orang yang bisa kami percaya untuk melindungi kami. Mungkin memang karena badannya yang cukup kekar, tinggi dan tegap. Pernah dia berantem dengan cowok yang sudah membuat dini menangis karenanya. Bukan karena dia suka pada rini, tapi bagi dia menyakiti temannya sama saja menyakiti dirinya.
“Aku gak peduli siapa aja yang aku lawan, aku gak peduli kalaupun aku dihadang! Kalau mereka berani menyakiti kawanku, aku bakar mereka!” ucap rian penuh emosi di kantor polisi saat itu.
Kupikir saat itu dia keren, he he he.
Malam harinya, sesuai dengan kepercayaan yang sudah turun temurun dilakukan di keluargaku. Aku mengundang beberapa tetangga dan para orang tua yang dikenal sebagai para imam di mesjid komplek untuk melakukan acara “selametan” rumah yang baru akan ditinggali.
Acara selametan itu menurutku acara yang tujuannya berupa rasa terima kasih atas rezeki yang telah diberikan oleh Allah dan memohon perlindungan dari-NYA agar yang menghuni rumah bisa dijaga dari segala hal. Segala hal tersebut, secara kepercayaan agar dijaga dari hal yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata.
Acara tersebut diisi dengan membaca ayat-ayat suci Al Quran dan diakhiri dengan makan bersama.
“Wah jadi neng lia ya yang bakal ninggalin ini rumah?” tanya salah satu warga.
“Hebat ya, umur masih muda sudah bisa beli rumah sendiri” ucap salah satu warga lain.
“Iya pak, alhamdulillah” jawabku.
“Pak, dulu yang ninggalin rumah ini siapa ya?” tanya dini.
Sempat terjadi keheningan sebelum bapak Ardhy membuka jawaban atas pertanyaan dini, bapak ardhy adalah orang yang memimpin acara selametan di rumahku.
“Kalau setahu bapak sih, dulu rumah ini dihuni satu keluarga. Kalau gak salah namanya, Pak Budi, beliau seorang pengusaha” jawab pak ardhy.
“Ah iya, kata agen properti kemaren sih bilangnya dulu yang ninggalin ini rumah pengusaha.”
“Tapi gak lama, dia sama keluarganya pergi. Katanya gak betah.” ucapku.
“Ya kurang lebih seperti itulah ceritanya, memang kita-kita juga tidak terlalu paham dengan beliau”
“Mungkin karena profesi beliau yang seorang pengusaha makanya jarang ikut ngumpul di acara komplek” sambung pak ardhy.
“Iya, mereka sekeluaga memang jarang ikut ngumpul-ngumpul kalau ada acara komplek. Lebih sukanya bepergian keluar kota setiap weekendnya.” ucap salah seorang warga.
“Iya betul” jawab beberapa warga lain ikut mengamini.
Setelah cukup lama kami mengobrol, mereka akhirnya pulang. Dan yang tersisa hanya kami berlima. Karena sudah cukup malam, andi mengajak yang lain pulang. Pada awalnya rian agak berat meninggalkanku sendirian malam itu, karena dia pikir kebanyakan orang biasanya akan mengalami “paranoid” jika menginap bahkan tinggal di tempat yang asing bagi mereka.
“Ah, lu sotoy ah ian! Jaman udah canggih begini masih aja percaya yang aneh-aneh!” gerutu andi.
“Lagian kan lu macam gak tau gimana lia aja, dia itu lebih berani dibanding gua.” mendengar ucapan andi, aku otomatis tertawa. Memang andi orangnya lebih penakut dibandingkan diriku.
“Bukan gitu di, ini perempuan soalnya. Kalau elu mah gua juga bodo amat mah.” Jawab rian.
“Oh jadi elu gitu sekarang ian!? Arti kawan lu sekarang lebih condong ke gender nih!?” tanya andi cemburu.
“Bukan gitu juga sih, ah lu kenapa sih!?”
“Udah, udah. Gak papa kok kalian pada pulang” ucapku.
“Lagian besok kita ada monday briefing kan di kantor, jadi kalian mending pulang dulu terus istirahat”
“Beneran lu gak papa lia sendirian?” tanya rian padaku
“Iya rian, aku gak papa kok. Kamu tenang aja, besok kita ketemu lagi di kantor.” jawabku.
“Kalau gitu biar aku sama reva aja deh yang malam ini tidur disini” ucap dini.
“Ah, aku juga?” tanya reva kaget.
“Iya, sama kamu juga va. Kenapa? Kamu mau pulang? Ada yang mau dikerjain di rumah?”
“Gak ada sih, tapi besok ke kantor gimana?” tanya reva lagi.
“Udah tenang aja, kan kalau baju kita bisa pinjem punya lia dulu” jawab dini.
“Tapi emang gak papa?” tanya reva lagi yang kali ini sambil melirikku.
“Ya kalau mau gitu, ya gak papa”
“Asal kamu mau aja pake bajuku” ucapku sembari tersenyum.
“Ya udah, kalau gitu kita pulang ian.”
“Atau lu mau nginep disini juga trus besok ngantor pinjem baju lia gitu?” tanya andi ke rian.
“Muke lu bekibar!” balas rian.
“Lu kira muka gua bendera!?” jawab andi lagi.
“Ha ha ha, udah udah…”
-0o0-
“Sampai sekarang gua masih belum ngerti deh jalan pikiran lu lia” tanya dini padaku.
“Gak ngerti apaan?” tanyaku lagi bingung.
“Iya kenapa lu mutusin pindah dari kontrakan lu sama reva?”
“Daripada lu beli rumah, kan lu bisa investyang lain” ucap dini.
“Karena kamu pikir beli rumah itu gak mesti kita-kita yang cewek ini yang beli? Toh nanti ada suami kita? Gitu maksudmu?”
“Beli rumah itu bukan sekedar invest, punya rumah bikin aku tuh merasa lebih nyaman. Keluargaku juga bisa datang kapan aja tanpa harus takut ngeganggu orang lain”
“Hidup itu seperti roller coaster. Kadang kita berada di bawah, kadang kita berada di atas.” belum kelar aku bicara dini langsung memotong omonganku.
“Iya iya, jadi jangan gantungkan hidupmu pada siapapun termasuk itu pada cowokmu atau suamimu!?”
“Iya deh, masih hapal gua kata-kata lu” ucap dini, dan aku tersenyum mendengarnya.
…
“Eh tadi yang terakhir di kamar mandi siapa?”
“Itu air lupa dimatiin ya?” tanyaku.
“Perasaan tadi udah gua matiin deh” ucap dini yang kemudian beranjak dari kasur menuju ke kamar mandi.
Ting tong ting tong…
“Eh tu sapa? Perasaan ini udah jam 10 malam, siapa yang mau bertamu jam segini!?” ucap dini yang langkahnya terhenti setelah mendengar bunyi bel rumahku.
“Tadi emang anak-anak ada ngubungin kalian mau kesini lagi?” tanya dini lagi pada aku dan reva.
“Gak ada” ucapku dan reva juga menggelengkan kepalanya.
“Ya udah biar aku liat” kata reva.
“Gak usah va, kamu disini aja.”
“Biar aku yang liat” ucapku.
Setelah andi dan rian pulang, kami bertiga berkumpul di kamarku. Dan sekarang waktu juga sudah menunjukkan pukul 10 malam. Rasanya aneh saja ada orang yang bertamu jam segini apalagi di rumah yang baru dihuni oleh orang baru. Andi dan rian juga gak mungkin karena mereka gak memberi kabar kalau mau datang lagi.
“Keanehan” itu sudah terjadi semenjak malam pertama aku menempati tempat ini.
“Siapa ya?” teriakku.
Namun tak ada yang menjawab. Penasaran aku kemudian membuka sedikit gorden jendela di samping pintuku. Mencoba memastikan sebelum aku membukakan pintu untuk orang yang tidak aku kenal.
Tapi di depan pintuku itu tidak ada siapa-siapa!
“Ah, siapa yang iseng nih jam segini!” ucapku kesal.
Aku kemudian membuka pintu untuk benar-benar memastikan kalau tidak ada orang. Ceroboh memang sebenarnya yang kulakukan, tapi karena andi biasanya sering mengerjai kami seperti itu makanya aku spontan melakukannya. Terlebih lagi aku bakal kesal kalau benar andi yang melakukannya di saat-saat aku sudah capek seperti ini.
“Andi, jangan becanda ya!” ucapku agak keras.
Tapi apa yang terjadi!? Benar-benar tidak ada siapa-siapa disana.
Tidak lama pintu kubuka, listrik di rumah tiba-tiba padam. Kemudian terdengar teriakan dini dari dalam kamar.
“Dini!?” ucapku. Aku pun langsung kembali menutup pintu rumah dan menguncinya, sambil berlari ke arah kamar sebisaku dalam keadaan gelap gulita.
“Aaarrggh!” aku terjatuh karena tersandung sesuatu saat berlari menuju kamar.
“Liaaaaaaa, revaaaa!!!!” teriak dini lagi.
“Diniiiiiiiiiii!!!”
Bersambung...
bonita71 dan 13 lainnya memberi reputasi
12
28.5K
327
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan