- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ketika Antasari di Bawah Ketiak Rezim


TS
goahraesa
Ketika Antasari di Bawah Ketiak Rezim
15 February 2017
http://politiktoday.com/ketika-antas...-ketiak-rezim/
Quote:
Semalam, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru menggelar konferensi pers. Pesannya gamblang. SBY tidak pernah menggunakan kuasa presiden-nya waktu itu untuk mencampuri penegak hukum. Dia tidak pernah mengintervensi penyidik kepolisian, jaksa, maupun majelis hakim, termasuk dalam kasus Antasari. Malahan, SBY lantas meminta penegak hukum membuka lagi kasus Antasari Azhar hingga terang-benderang. Bahkan SBY menempuh langkah hukum terhadap Antasari karena merasa nama baiknya dicemarkan.
Apa yang disampaikan SBY ini ibarat pukulan telak bagi lawan politiknya. Mereka yang mengira SBY akan diam saja akhirnya tergigit lidah. Rumor bahwa Antasari memegang kartu truf SBY, patah sudah. Fitnah Antasari bawah SBY adalah insiator dari kasus hukumnya. seolah-olah dia tidak bersalah dan dirinya hanya menjadi korban dibantah dengan tegas. Malahan SBY menantang Antasari untuk membuka semua bukti dan fakta terkait kasus ini.
Manuver politik Antasari mustahil terbit jika tidak ada restu dari penguasa. Antasari pasti paham bahwa manuvernya ini menyangkut harkat dan martabat Presiden ke-6 RI. Manuvernya akan memicu reaksi keras, baik secara politis bahkan hukum. Karenanya, Antasari hanya dapat berlindung pada dua hal:
Pertama, pengakuan Antasari dapat menjadi fakta hukum bila sudah dilabeli dua alat bukti. Dalam konteks ini adalah kesaksian Hary Tanoesudibjo dan rekaman pembicaraan mereka. Tetapi, jika benar bukti ini ada, mengapa dulu tidak dimajukan dalam persidangan? Ingat kasus peradilan Antasari berlangsung bertahun-tahun. Mulai dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan akhirnya Mahkamah Agung. Proses peradilan ini amat menarik, karena berupa kasus pembunuhan yang melibatkan kisah cinta segitiga dari seorang Ketua KPK; simbol pemberantasan korupsi di negeri ini. Hampir dikatakan nyaris tidak ada yang luput dari perhatian publik.
Jika benar perbincangan itu terjadi, ini merupakan bukti kuat untuk mengubah persepsi hakim. Vonis Antasari bisa berubah. Lantas, mengapa hal ini disimpan lama? Mengapa baru dipecahkan pada jam-jam terakhir menjelang pencoblosan Pilkada DKI Jakarta? Apa karena Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang kebetulan putera SBY terjun dalam kontestasi politik tersebut?
Kedua, jangan-jangan bukti ini tidak pernah ada. Jangan-jangan, ini cuma manuver politik. Antasari hanya pion dalam permainan kekuasan yang lebih besar. Dan untuk itu, Antasari sudah dijamin oleh kekuatan besar dari reaksi SBY dan pendukungnya. Pertanyaan, siapa yang mampu melindungi Antasari dari jerat hukum jika bukan pihak penguasa?
Keterlibatan istana dalam hal ini kental. Ini semua ibarat aksi main kayu untuk menggolkan paslon jagoan istana dalam kontestasi transisi kekuasaan di Jakarta. Begitu cara rezim preman ini berlaku. Segala yang berbeda dianggap musuh. Wajib dihabisi bahkan dengan cara-cara tak bermoral dan melanggar peraturan perundang-undangan. Rezim preman ini cuma punya satu aturan : atas nama perang dan cinta, segala halal dilakukan.
Geliat rezim preman ini sudah terang. Sebelum kasus Antasari naik ke permukaan, sudah terang dukungan tangan tangan-tangan tak terlihat (invisible hand) dalam membela terdakwa penista agama Ahok. Kendati sempat dipatahkan protes jutaan umat Islam, misi penyelamatan Ahok terus berlanjut.
Bahkan, ketika Ahok tersandung pelecehan Kyai Ma’ruf Amin, Luhut Binsar Padjaitan bersama Kapolda dan Pangdam Jaya menyambangi kediaman Ketua MUI. Publik bertanya, apa urusan Menko Kemaritimin dengan gejolak sosial-politik? Sekarang, Mendagri mencari-cari alasan agar Ahok tak perlu dinonaktifkan selepas masa cuti kampanyenya selesai. Padahal sekelas mantan Ketua MK Hamdan Zoelva menyebut seharusnya Ahok sudah dinonaktifkan sejak menyandang status terdakwa.
Jika SBY bertanya apakah AHY tidak boleh maju sebagai cagub DKI Jakarta sehingga sekeji ini fitnah dan serangan yang ditujukan kepada SBY dan keluarganya, maka itu benar adanya. Sudah nasib AHY berkompetisi di bawah era rezim ugal ugalan ini. Dan para pentolan rezim ini telah menilai AHY bak buldoser yang akan merusak skenario politik mereka di masa depan. Syndrom paranoid rezim ini kian meruyak demi menyaksikan fenomena rising star-nya AHY. Sepak-terjang AHY sebagai pemain baru yang sukses membuat Ahok keteteran, membuat mereka panik tak terkira.
Ada dua orientasi rezim terhadap pilkada DKI Jakarta. Pertama, sebagai basis PDIP, kursi pemimpin Jakarta tak boleh jatuh ke tangan parpol lain. Kedua, karir politik AHY harus dibunuh selekas mungkin. Pasalnya, AHY telah mengingatkan elit rezim preman akan fenomena kemunculan Jokowi di panggung politik nasional. Penegaskan AHY untuk mengabdi di Jakarta gagal menggerus syndrom paranoid yang menjangkiti mereka. Di luar kuasa AHY, dirinya sudah mereka petakan sebagai sosok capres penantang Jokowi pada Pilpres 2019. Ini pikiran yang amat kelewatan. Tapi syndrom paranoid punya banyak pembenaran atas kecurigaan yang kabur.
Apapun keresahan yang ada di benak elit rezim ini, publik berharap Presiden tidak tersangkut-paut. Publik meminta segalanya berlangsung demokratis. Presiden boleh kuatir, boleh paranoid, tetapi kebijakan pemerintah tetap harus konstitusional, tetap berada pada koridor hukum dan perundang-undangan, juga moral politik. Presiden dituntut netral dan tidak melakukan diskriminasi, apalagi main kayu. Presiden harus paham, Indonesia adalah negara hukum bukan republik semau gue. Ketentuan ini tidak bisa digeser sekalipun oleh Presiden. Apalagi dilakukan demi kepentingan penyelamatan seorang yang diakui publik sebagai sejawat presiden.
Jika itu terjadi, maka kekuasaan pemerintah akan jatuh menjadi kehinaan. Wajah demokrasi yang bertahun-tahun lamanya kita bangun dengan susah-payah harus tercoreng dan luluh-lantak demi ambisi kekuasaan sesaat, akibat syndrom paranoid yang seharusnya tidak hadir. Ujung-ujungnya, rakyat pula yang akan menjadi korban. Rakyat pula yang menanggung derita akibat syndrom paranoid yang menjangkiti pemimpin utamanya. Gawat!
Oleh – Miko Alberto
Apa yang disampaikan SBY ini ibarat pukulan telak bagi lawan politiknya. Mereka yang mengira SBY akan diam saja akhirnya tergigit lidah. Rumor bahwa Antasari memegang kartu truf SBY, patah sudah. Fitnah Antasari bawah SBY adalah insiator dari kasus hukumnya. seolah-olah dia tidak bersalah dan dirinya hanya menjadi korban dibantah dengan tegas. Malahan SBY menantang Antasari untuk membuka semua bukti dan fakta terkait kasus ini.
Manuver politik Antasari mustahil terbit jika tidak ada restu dari penguasa. Antasari pasti paham bahwa manuvernya ini menyangkut harkat dan martabat Presiden ke-6 RI. Manuvernya akan memicu reaksi keras, baik secara politis bahkan hukum. Karenanya, Antasari hanya dapat berlindung pada dua hal:
Pertama, pengakuan Antasari dapat menjadi fakta hukum bila sudah dilabeli dua alat bukti. Dalam konteks ini adalah kesaksian Hary Tanoesudibjo dan rekaman pembicaraan mereka. Tetapi, jika benar bukti ini ada, mengapa dulu tidak dimajukan dalam persidangan? Ingat kasus peradilan Antasari berlangsung bertahun-tahun. Mulai dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan akhirnya Mahkamah Agung. Proses peradilan ini amat menarik, karena berupa kasus pembunuhan yang melibatkan kisah cinta segitiga dari seorang Ketua KPK; simbol pemberantasan korupsi di negeri ini. Hampir dikatakan nyaris tidak ada yang luput dari perhatian publik.
Jika benar perbincangan itu terjadi, ini merupakan bukti kuat untuk mengubah persepsi hakim. Vonis Antasari bisa berubah. Lantas, mengapa hal ini disimpan lama? Mengapa baru dipecahkan pada jam-jam terakhir menjelang pencoblosan Pilkada DKI Jakarta? Apa karena Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang kebetulan putera SBY terjun dalam kontestasi politik tersebut?
Kedua, jangan-jangan bukti ini tidak pernah ada. Jangan-jangan, ini cuma manuver politik. Antasari hanya pion dalam permainan kekuasan yang lebih besar. Dan untuk itu, Antasari sudah dijamin oleh kekuatan besar dari reaksi SBY dan pendukungnya. Pertanyaan, siapa yang mampu melindungi Antasari dari jerat hukum jika bukan pihak penguasa?
Keterlibatan istana dalam hal ini kental. Ini semua ibarat aksi main kayu untuk menggolkan paslon jagoan istana dalam kontestasi transisi kekuasaan di Jakarta. Begitu cara rezim preman ini berlaku. Segala yang berbeda dianggap musuh. Wajib dihabisi bahkan dengan cara-cara tak bermoral dan melanggar peraturan perundang-undangan. Rezim preman ini cuma punya satu aturan : atas nama perang dan cinta, segala halal dilakukan.
Geliat rezim preman ini sudah terang. Sebelum kasus Antasari naik ke permukaan, sudah terang dukungan tangan tangan-tangan tak terlihat (invisible hand) dalam membela terdakwa penista agama Ahok. Kendati sempat dipatahkan protes jutaan umat Islam, misi penyelamatan Ahok terus berlanjut.
Bahkan, ketika Ahok tersandung pelecehan Kyai Ma’ruf Amin, Luhut Binsar Padjaitan bersama Kapolda dan Pangdam Jaya menyambangi kediaman Ketua MUI. Publik bertanya, apa urusan Menko Kemaritimin dengan gejolak sosial-politik? Sekarang, Mendagri mencari-cari alasan agar Ahok tak perlu dinonaktifkan selepas masa cuti kampanyenya selesai. Padahal sekelas mantan Ketua MK Hamdan Zoelva menyebut seharusnya Ahok sudah dinonaktifkan sejak menyandang status terdakwa.
Jika SBY bertanya apakah AHY tidak boleh maju sebagai cagub DKI Jakarta sehingga sekeji ini fitnah dan serangan yang ditujukan kepada SBY dan keluarganya, maka itu benar adanya. Sudah nasib AHY berkompetisi di bawah era rezim ugal ugalan ini. Dan para pentolan rezim ini telah menilai AHY bak buldoser yang akan merusak skenario politik mereka di masa depan. Syndrom paranoid rezim ini kian meruyak demi menyaksikan fenomena rising star-nya AHY. Sepak-terjang AHY sebagai pemain baru yang sukses membuat Ahok keteteran, membuat mereka panik tak terkira.
Ada dua orientasi rezim terhadap pilkada DKI Jakarta. Pertama, sebagai basis PDIP, kursi pemimpin Jakarta tak boleh jatuh ke tangan parpol lain. Kedua, karir politik AHY harus dibunuh selekas mungkin. Pasalnya, AHY telah mengingatkan elit rezim preman akan fenomena kemunculan Jokowi di panggung politik nasional. Penegaskan AHY untuk mengabdi di Jakarta gagal menggerus syndrom paranoid yang menjangkiti mereka. Di luar kuasa AHY, dirinya sudah mereka petakan sebagai sosok capres penantang Jokowi pada Pilpres 2019. Ini pikiran yang amat kelewatan. Tapi syndrom paranoid punya banyak pembenaran atas kecurigaan yang kabur.
Apapun keresahan yang ada di benak elit rezim ini, publik berharap Presiden tidak tersangkut-paut. Publik meminta segalanya berlangsung demokratis. Presiden boleh kuatir, boleh paranoid, tetapi kebijakan pemerintah tetap harus konstitusional, tetap berada pada koridor hukum dan perundang-undangan, juga moral politik. Presiden dituntut netral dan tidak melakukan diskriminasi, apalagi main kayu. Presiden harus paham, Indonesia adalah negara hukum bukan republik semau gue. Ketentuan ini tidak bisa digeser sekalipun oleh Presiden. Apalagi dilakukan demi kepentingan penyelamatan seorang yang diakui publik sebagai sejawat presiden.
Jika itu terjadi, maka kekuasaan pemerintah akan jatuh menjadi kehinaan. Wajah demokrasi yang bertahun-tahun lamanya kita bangun dengan susah-payah harus tercoreng dan luluh-lantak demi ambisi kekuasaan sesaat, akibat syndrom paranoid yang seharusnya tidak hadir. Ujung-ujungnya, rakyat pula yang akan menjadi korban. Rakyat pula yang menanggung derita akibat syndrom paranoid yang menjangkiti pemimpin utamanya. Gawat!
Oleh – Miko Alberto
melacurkan diri ke penguasa

0
3.6K
Kutip
53
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan