- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Selamat Untuk Warga Jakarta, Anda Punya Gubernur Terdakwa


TS
goahraesa
Selamat Untuk Warga Jakarta, Anda Punya Gubernur Terdakwa
14 February 2017
http://politiktoday.com/selamat-untu...rnur-terdakwa/
Quote:
Sebagai Ibukota Indonesia, Jakarta adalah kota nomor satu. Jakarta adalah pusat perekonomian, pendidikan, pemerintah dan segala sektor lainnya di Indonesia. Sebagai barometer dari segala fenomena di Indonesia, segenap yang terjadi di Jakarta berpeluang besar dicontoh oleh daerah-daerah lain. Pun jika yang dicontoh itu adalah sesuatu yang mengerikan.
Salah satu yang mengerikan itu terjadi saat ini. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali menjabat Gubernur DKI Jakarta. Untuk kali pertama dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, ada kepala daerah yang masih memimpin daerahnya ketika berstatus terdakwa. Fenomena ini kian mengerikan, karena pelanggaran itu tidak terlepas dari intervensi pemerintah pusat. Tindakan Mendagri Tjahjo Kumolo yang terkesan mengulur-ulur waktu pemberhentian sementara Ahok adalah tindakan yang sewenang-wenang. Bukan hanya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dirudapaksa di sana, tetapi juga pelanggaran konstitusi.
Sesuai ketentuan Pasal 83 UU Pemda, seharusnya Presiden memberhentikan sementara Ahok segera setelah menjadi terdakwa, yakni sejak berkas perkaranya dilimpahkan jaksa dan terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Desember 2016. Ini sesuai dengan ayat 2 Pasal 83 UU Pemda. Ironisnya, pemerintah malah mengarang penafsiran ketentuan pemberhentian sementara tersebut. Mulanya, pemberhentian sementara belum perlu karena Ahok masih cuti kampanye. Namun setelah masa cuti berakhir, Ahok malah kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Manuver Mendagri ini ibarat politik main kayu; suatu sinyal kepanikan. Ada kekhawatiran pemberhentian sementara Ahok akan berimbas pada elektabilitasnya pada Pilkada 2017. Akibatnya, kayu dimainkan ke sana-ke mari sebagai manuver semena-mena demi menjaga posisi elektabilitas sejawat Presiden itu. Padahal, manuver ini nyata-nyata mengesampingkan hukum dan mengedepankan kekuasaan.
Pelanggaran Konstitusional
NKRI adalah negara hukum. Tidak ada yang lebih tinggi ketimbang hukum. Nyatanya, kuat dugaan telah terjadi pelanggaran konstitusi dalam manuver Mendagri; yakni perkara kesamanaan kedudukan seseorang di hadapan hukum.
Faktanya, dalam kasus-kasus serupa, Mendagri dan Presiden tidak ragu-ragu mengikuti prosedur pemberhentian sementara kepala daerah sesuai UU Pemda. Sejarah penegakan hukum kita mencatat Suhadak, Ahmad Wazir Nofiadi, Gatot Pujo Nugroho, Rachmat Yasin dan Ratu Atut Chosiyah; yang diberhentikan dari jabatan kepala daerah ketika menjalani sidang pengadilan. Apa jadinya jika mereka meminta keadilan karena merasa diperlakukan berbeda dengan Ahok. Bahwa untuk Ahok, hukum tidak membiarkan kedudukan seseorang menjadi setara.
Ini merupakan pelanggaran konstitusional yang amat serius bagi seorang kepala pemerintahan, sehingga hak angket yang diajukan Fraksi Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN adalah langkah politik yang memang diperlukan. Hak angket ini sesuai Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.
Hanya mereka yang menderita sakit kewarasan yang akan menuding hak angket ini sebagai manuver politik terkait Pilkada DKI Jakarta. Ada masalah yang lebih besar ketimbang transisi kekuasaan di ibukota, yakni dugaan Presiden ke-7 RI Joko Widodo telah melakukan pelanggaran konstitusional. Jika hal ini terbukti benar, dan memang dibenarkan oleh mantan ketua hakim MK; Mahfud MD dan Hamdan Zoelva, maka Jokowi dapat dimakzulkan.
Jakarta yang Menyumbang Kegaduhan
Saya ingin kembali membuka sikap pemerintah yang gandrung melemparkan kegagalan kepada pilhak lain; versi miniaturnya terjadi pula di Pemprov DKI Jakarta. Terkait dengan polemik pemberhentian sementara Ahok, bisa disimpulkan bahwa pemerintah sendiri yang sejatinya cari masalah.
Tudingan bahwa suara-suara yang mengkritik pemerintah berasal dari garis keras yang mendengungkan sikap anti kebhinekaan terbantahkan sudah. Lokus masalah bukan terletak di eksternal pemerintah, melainkan internal pemerintah. Jokowi bersama kabinetnya telah menggunakan kacamata dan pena yang salah sehingga menggangkangi peraturan perundang-undangan.
Sebaiknya, pemerintah menampik suara kebenaran yang melantang dari hati nuraninya. Bacalah catatan sejarah. Lihatlah, betapa kekuasaan yang paling adidaya sekalipun, tumbang oleh kepongahan dan pengabaian jeritan rakyatnya.
Saat ini perjuangan untuk meluruskan pelaksanaan konstitusi sedang berlangsung. Baik di tubuh DPR, akademisi, maupun gerakan oposisi rakyat. Perjuangan ini tidak akan berhenti selepas hari H pencoblosan Pilkada serentak 2017 mendatang. Siapapun yang akan memenangkan suara pemilih DKI Jakarta, tidak akan berpengaruh pada kasus pelanggaran konstitusi ini. Kasus ini akan terus bergulir bak bola salju, bukan hanya Ahok yang akan tersangkut, tetapi juga Mendagri dan Presiden. Artinya, pelanggaran konstitusi untuk membela Ahok berpotensi besar untuk membuat gejolak sosial politik baru di Indonesia.
‘
Sebagai warga negara Indonesia, saya merasa miris. Lagi-lagi, Jakarta menyumbang kegaduhan dahsyat bagi tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sudah tiga kali, masyarakat Indonesia dihantam tsunami energi negatif. Pertama, ketika Ahok menista agama. Kedua, ketika Ahok melecehkan K.H. Ma’ruf Amin; ulama besar negeri ini. Ketiga, ketika Presiden tidak memberhentikan sementara Ahok yang telah berstatus terdakwa penghinaan agama; sesuatu yang sejatinya amat menyakiti umat Islam. Lokusnya masih sama, ibukota Jakarta. Pelakunya masih sama, Basuki Tjahaya Purnama.
Karenanya, izinkan saya mengucapkan turut berbelasungkawa. Selamat untuk warga Jakarta, Anda semua adalah satu kalangan yang pernah hidup di bawah kepemimpinan gubernur berstatus terdakwa. Ini pecah telur sejarah. Ini suatu kengerian yang harus lekas diperbaiki.
Oleh: Eko Sulistyo
Salah satu yang mengerikan itu terjadi saat ini. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali menjabat Gubernur DKI Jakarta. Untuk kali pertama dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, ada kepala daerah yang masih memimpin daerahnya ketika berstatus terdakwa. Fenomena ini kian mengerikan, karena pelanggaran itu tidak terlepas dari intervensi pemerintah pusat. Tindakan Mendagri Tjahjo Kumolo yang terkesan mengulur-ulur waktu pemberhentian sementara Ahok adalah tindakan yang sewenang-wenang. Bukan hanya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dirudapaksa di sana, tetapi juga pelanggaran konstitusi.
Sesuai ketentuan Pasal 83 UU Pemda, seharusnya Presiden memberhentikan sementara Ahok segera setelah menjadi terdakwa, yakni sejak berkas perkaranya dilimpahkan jaksa dan terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Desember 2016. Ini sesuai dengan ayat 2 Pasal 83 UU Pemda. Ironisnya, pemerintah malah mengarang penafsiran ketentuan pemberhentian sementara tersebut. Mulanya, pemberhentian sementara belum perlu karena Ahok masih cuti kampanye. Namun setelah masa cuti berakhir, Ahok malah kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Manuver Mendagri ini ibarat politik main kayu; suatu sinyal kepanikan. Ada kekhawatiran pemberhentian sementara Ahok akan berimbas pada elektabilitasnya pada Pilkada 2017. Akibatnya, kayu dimainkan ke sana-ke mari sebagai manuver semena-mena demi menjaga posisi elektabilitas sejawat Presiden itu. Padahal, manuver ini nyata-nyata mengesampingkan hukum dan mengedepankan kekuasaan.
Pelanggaran Konstitusional
NKRI adalah negara hukum. Tidak ada yang lebih tinggi ketimbang hukum. Nyatanya, kuat dugaan telah terjadi pelanggaran konstitusi dalam manuver Mendagri; yakni perkara kesamanaan kedudukan seseorang di hadapan hukum.
Faktanya, dalam kasus-kasus serupa, Mendagri dan Presiden tidak ragu-ragu mengikuti prosedur pemberhentian sementara kepala daerah sesuai UU Pemda. Sejarah penegakan hukum kita mencatat Suhadak, Ahmad Wazir Nofiadi, Gatot Pujo Nugroho, Rachmat Yasin dan Ratu Atut Chosiyah; yang diberhentikan dari jabatan kepala daerah ketika menjalani sidang pengadilan. Apa jadinya jika mereka meminta keadilan karena merasa diperlakukan berbeda dengan Ahok. Bahwa untuk Ahok, hukum tidak membiarkan kedudukan seseorang menjadi setara.
Ini merupakan pelanggaran konstitusional yang amat serius bagi seorang kepala pemerintahan, sehingga hak angket yang diajukan Fraksi Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN adalah langkah politik yang memang diperlukan. Hak angket ini sesuai Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.
Hanya mereka yang menderita sakit kewarasan yang akan menuding hak angket ini sebagai manuver politik terkait Pilkada DKI Jakarta. Ada masalah yang lebih besar ketimbang transisi kekuasaan di ibukota, yakni dugaan Presiden ke-7 RI Joko Widodo telah melakukan pelanggaran konstitusional. Jika hal ini terbukti benar, dan memang dibenarkan oleh mantan ketua hakim MK; Mahfud MD dan Hamdan Zoelva, maka Jokowi dapat dimakzulkan.
Jakarta yang Menyumbang Kegaduhan
Saya ingin kembali membuka sikap pemerintah yang gandrung melemparkan kegagalan kepada pilhak lain; versi miniaturnya terjadi pula di Pemprov DKI Jakarta. Terkait dengan polemik pemberhentian sementara Ahok, bisa disimpulkan bahwa pemerintah sendiri yang sejatinya cari masalah.
Tudingan bahwa suara-suara yang mengkritik pemerintah berasal dari garis keras yang mendengungkan sikap anti kebhinekaan terbantahkan sudah. Lokus masalah bukan terletak di eksternal pemerintah, melainkan internal pemerintah. Jokowi bersama kabinetnya telah menggunakan kacamata dan pena yang salah sehingga menggangkangi peraturan perundang-undangan.
Sebaiknya, pemerintah menampik suara kebenaran yang melantang dari hati nuraninya. Bacalah catatan sejarah. Lihatlah, betapa kekuasaan yang paling adidaya sekalipun, tumbang oleh kepongahan dan pengabaian jeritan rakyatnya.
Saat ini perjuangan untuk meluruskan pelaksanaan konstitusi sedang berlangsung. Baik di tubuh DPR, akademisi, maupun gerakan oposisi rakyat. Perjuangan ini tidak akan berhenti selepas hari H pencoblosan Pilkada serentak 2017 mendatang. Siapapun yang akan memenangkan suara pemilih DKI Jakarta, tidak akan berpengaruh pada kasus pelanggaran konstitusi ini. Kasus ini akan terus bergulir bak bola salju, bukan hanya Ahok yang akan tersangkut, tetapi juga Mendagri dan Presiden. Artinya, pelanggaran konstitusi untuk membela Ahok berpotensi besar untuk membuat gejolak sosial politik baru di Indonesia.
‘
Sebagai warga negara Indonesia, saya merasa miris. Lagi-lagi, Jakarta menyumbang kegaduhan dahsyat bagi tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sudah tiga kali, masyarakat Indonesia dihantam tsunami energi negatif. Pertama, ketika Ahok menista agama. Kedua, ketika Ahok melecehkan K.H. Ma’ruf Amin; ulama besar negeri ini. Ketiga, ketika Presiden tidak memberhentikan sementara Ahok yang telah berstatus terdakwa penghinaan agama; sesuatu yang sejatinya amat menyakiti umat Islam. Lokusnya masih sama, ibukota Jakarta. Pelakunya masih sama, Basuki Tjahaya Purnama.
Karenanya, izinkan saya mengucapkan turut berbelasungkawa. Selamat untuk warga Jakarta, Anda semua adalah satu kalangan yang pernah hidup di bawah kepemimpinan gubernur berstatus terdakwa. Ini pecah telur sejarah. Ini suatu kengerian yang harus lekas diperbaiki.
Oleh: Eko Sulistyo

0
11.9K
Kutip
207
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan